Anda di halaman 1dari 7

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG

PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH

(BAG.VI )

HADITS / ATSAR LEMAH DAN PALSU TENTANG TAWASSUL (II)

Alhamdulillah, segenap puji hanya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Semoga sholawat dan salam
senantiasa tercurah kepada teladan kita yang mulya, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam,
keluarga, para Sahabat serta orang-orang yang senantiasa mengikuti Sunnah beliau.
    Saudaraku kaum muslimin….
    Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas hadits-hadits dan atsar lemah
yang sering digunakan hujjah oleh penentang dakwah Ahlussunnah. Pada tulisan sebelumnya, telah
dipaparkan kelemahan-kelemahan riwayat sampai pada syubhat yang ke-6. Bantahan ini ditulis untuk blog
penentang dakwah Ahlussunnah yang menurunkan tulisan-tulisan berjudul :
-    Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
-    Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
-    Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul
Silakan disimak kajian berikut ini, semoga Allah memberikan hidayahNya kepada kita semua…

(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]”  adalah isi tulisan dari blog penentang
Ahlussunnah)  

Syubhat ke-7 : Persetujuan Ali bin Abi Thalib terhadap Perbuatan Seorang Arab Badui di Makam Nabi

Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah :

[[

 Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah
adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami
nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang
kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan
dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai
Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan
kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku
telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas
terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’
al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang
legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul /
istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul -dengan memeluk dan melumuri kepalanya
dengan tanah pusara- yang di tujukan kepada Rasul yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di
hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau
adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana
Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib KW:

- “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali” (Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-
Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)
- “Ali bersama al-Quran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari
kebangkitan” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124)
- “Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota
maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126)
- “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah
(kematian)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122)

]]

Bantahan :

    Atsar tersebut lafadz aslinya adalah sebagai berikut :


‫ صلى هللا‬- ‫ بثالثة أيام فرمى بنفسه إلى قبر النبي‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫قدم علينا أعرابي بعدما دفنا رسول هللا‬
‫ ووعيت عن هللا عز وجل فما وعينا‬، ‫ يا رسول هللا قلت فسمعنا قولك‬: ‫ وقال‬، ‫ وحثا على رأسه من ترابه‬- ‫عليه وسلم‬
‫ وكان فيما أنزل هللا عليك {ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا هللا واستغفر لهم الرسول لوجدوا هللا توابا‬، ‫عنك‬
‫رحيما} وقد ظلمت نفسي وجئتك تستغفر لي فنودي من القبر إنه قد غفر لك‬
Kajian terhadap sanad atsar :

Al-Hafidz Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi menyebutkan sanad atsar ini di dalam kitab As-Shoorimul
Munkiy halaman 363-364:
‫روى أبو الحسن علي بن إبراهيم بن عبد هللا بن عبد الرحمن الكرخي عن علي بن محمد بن علي ثنا أحمد بن محمد‬
‫بن الهيثم الطائي ثنا أبي عن أبيه عن سلمة بن كهيل عن أبي صادق عن علي بن أبي طالب رضي هللا عنه‬
Abul Hasan Ali bin Ibrohim bin Abdillah bin Abdirrohman al-Karkhy meriwayatkan dari Ali bin Muhammad
bin Ali (ia berkata ) telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Haitsam at-Tho-i (ia
berkata) telah mengkhabarkan kepada kami ayahku dari ayahnya dari Salamah bin Kuhail dari Abu Shodiq
dari Ali bin Abi Tholib radliyallaahu ‘anhu.
    Sebelum kita menyimak sedikit penjelasan dari al-Hafidz Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi (yang
lebih dikenal sebagai Ibnu Abdil Hadi) tentang sanad atsar tersebut, ada baiknya kita mengenal siapakah
al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi agar kita mengetahui kadar keilmuan beliau.
    Al- Imam As-Suyuthy menyebutkan tentang biografi beliau dalam kitabnya Thobaqootul Huffadz dalam
bab at-Thobaqoh al-Haadiyah wal ‘Isyruun juz 1 halaman 109. As-Suyuthy menyatakan tentang beliau
sebagai al-Imam, al-Muhaddits (ahlul hadits), al-Hafidz, al-Faqiih (ahli fiqh), dan gelar pujian yang lain.
Setelah itu disebutkan bahwa Ibnu Abdil Hadi  adalah termasuk murid Ibnu Taimiyyah yang mahir dalam
fiqh, al-Ushul, dan bahasa Arab. Kemudian beliau menukil pujian – pujian Ulama’ lain terhadapnya, di
antaranya adalah ahli tafsir terkenal Ibnu Katsir yang menyatakan :
‫كان حافظاً عالمة ناقداً حصل من العلوم ما ال يبلغه الشيوخ وال الكبار وبرع في الفنون وكان جبال في العلل والطرق‬
‫والرجال حسن الفهم جداً صحيح الذهن‬
“ Beliau adalah seorang hafidz, Allaamah (seorang yang sangat ‘alim), Naaqid (pengkritik derajat hadits),
tercapai padanya ilmu-ilmu yang tidak bisa dijangkau para Syaikh dan Ulama’ yang besar, dan mahir dalam
bidang-bidang (ilmu), beliau adalah (bagaikan) gunung dalam masalah ‘ilal (cacat-cacat pada hadits), dan
jalan-jalan (periwayatan hadits), dan perawi-perawi (hadits). Beliau memiliki pemahaman yang sangat baik
dan pemikiran yang shahih”
AlHafidz al-Mizzi –salah seorang guru Ibnu Katsir-mengatakan :
‫ما لقيته إال واستفدت منه‬
“ tidaklah aku bertemu dengannya kecuali aku mendapatkan faedah darinya”
As-Suyuuthy menyatakan bahwa ucapan al-Mizzi tersebut juga diucapkan oleh al-Hafidz Adz-Dzahaby.
(Para pembaca, al-Hafidz Adz-Dzahaby adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada
saat awal menuntut ilmu hadits, al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany bercita-cita dan berkeinginan besar
ingin seperti Adz-Dzahaby, sehingga jika beliau minum air zam-zam juga berdoa kepada Allah agar
dikaruniai keilmuan seperti al-Hafidz Adz-Dzahaby).
    Kita kembali pada penjelasan al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi tentang atsar ‘Ali bin Abi Tholib tersebut….
      Setelah menyebutkan sanadnya, beliau menyebutkan sisi kelemahan yang ada pada atsar tersebut. Di
dalam sanad tersebut dinyatakan bahwa Ahmad bin Muhammad alHaitsam at-Tho-i mendengar dari
ayahnya, dan ayahnya mendengar dari ayahnya lagi (kakek Ahmad bin Muhammad al-Haitsam).  Al-Hafidz
Ibnu Abdil Hadi  menyoroti perawi kakek dari Ahmad bin Muhammad al-Haitsam at-Tho-i:
 ‫ وإال فهو مجهول‬، ‫ فهو متروك كذاب‬، ‫ فإن يكن هو‬، ‫والهيثم جد أحمد بن الهيثم أظنه ابن عدي الطائي‬
“ dan al-Haitsam kakek Ahmad bin al-Haitsam, aku mengira ia adalah Ibnu ‘Adi at-Tho-i, kalau memang ia
adalah orangnya, maka dia adalah matruk (ditinggalkan), dan pendusta. Jika bukan, maka ia adalah majhul
(tidak dikenal).
    Selanjutnya, al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi menyebutkan keterangan para Ulama’ tentang al-Haitsam bin
‘Adi, di antaranya :
    Yahya bin Ma’in menyatakan tentangnya: dia tidaklah terpercaya dan pendusta. Abu Dawud juga
menyatakan bahwa dia adalah pendusta (Lihat kitab at-Taarikh karya Ibnu Ma’in no 1767).
    Selain itu, dalam sanad atsar tersebut dinyatakan bahwa yang meriwayatkan dari ‘Ali adalah Abu Shodiq.
Dalam kitab al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Haatim juz 8 halaman 199 no 875 disebutkan bahwa Abu
Shodiq tersebut namanya adalah Muslim bin Yazid, ada juga yang menyatakan bahwa namanya adalah
Abdullah bin Najidz. Dia meriwayatkan hadits dari ‘Ali secara mursal, maksudnya dia tidak pernah
mendengar langsung dari ‘Ali bin Abi Tholib (sebagaimana dijelaskan oleh Abu Haatim ketika ditanya oleh
anaknya Ibnu Abi Haatim). Sehingga, dalam sisi ini atsar tersebut terputus sanadnya.
Dari segi kandungan (matan) kita akan mendapati ketidakshahihan atsar tersebut, di antaranya dari :
1). Ketidaksesuaiannya dengan konteks ayat yang dibaca oleh Arab Badui tersebut:
‫ما‬
ً ‫ه تَ َّوابًا َرحِي‬ َ ‫ل لَ َو‬
َ َّ‫ج ُدوا الل‬ ُ ‫سو‬ ُ ‫اس َت ْغ َف َر لَ ُه‬
ُ ‫م ال َّر‬ َ َّ‫اس َت ْغ َف ُروا الل‬
ْ ‫ه َو‬ ْ ‫ك َف‬
َ ‫جا ُءو‬
َ ‫م‬ َ ‫موا أَ ْن ُف‬
ْ ‫س ُه‬ ْ ‫َولَ ْو أَنَّ ُه‬
ُ َ‫م إِ ْذ ظَل‬
“ Kalau seandainya mereka ketika mendzhalimi diri mereka sendiri mendatangimu (wahai Muhammad)
sehingga mereka meminta ampunan kepada Allah, dan Rasul memintakan ampunan bagi mereka, niscaya
mereka akan mendapati Allah sebagai Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”(Q.S AnNisaa’:64)
Ibnu Jarir AtThobary dalam tafsirnya menyatakan :
،‫ الذين إذا دعوا إلى حكم هللا وحكم رسوله صدوا صدودا‬،‫ولو أن هؤالء المنافقين الذين وصف صفتهم في هاتين اآليتين‬
،‫إذ ظلموا أنفسهم باكتسابهم إياها العظيم من اإلثم في احتكامهم إلى الطاغوت وصدودهم عن كتاب هللا وسنة رسوله‬
‫ راضين بحكمه دون حكمك جاءوك تائبين‬،‫إذا دعوا إليها جاءوك يا محمد حين فعلوا ما فعلوا من مصيرهم إلى الطاغوت‬
‫ وذلك هو معنى‬،‫منيبين فسألوا هللا أن يصفح لهم عن عقوبة ذنبهم بتغطيته عليهم وسأل لهم هللا رسوله مثل ذلك‬
)‫ (فاستغفروا هللا واستغفر لهم الرسول‬:‫قوله‬
“ kalau seandainya orang-orang munafiqin  yang Allah sifatkan keadaannya adalam 2 ayat ini yang ketika
dipanggil untuk berhukum dengan hukum Allah dan hukum RasulNya, mereka menolak dengan penolakan
yang sangat. Jika mereka mendzholimi dirinya sendiri karena melakukan dosa besar dalam hal berhukum
dengan thaghut dan penolakan mereka terhadap Kitabullah dan Sunnah RasulNya, ketika dipanggil
kepadanya mereka datang kepadamu wahai Muhammad ketika melakukan perbuatan (berhukum dengan )
thaghut, mereka ridla dengan hukumnya selain hukummu, mereka datang kepadamu dalam keadaan
bertaubat kembali (kepada Allah), sehingga mereka meminta kepada Allah untuk memaafkan mereka
(dengan menghapuskan) siksaan akibat dosa mereka, dengan menutupnya terhadap mereka, dan
Rasulullah meminta kepada Allah semisal dengan itu. Demikian itu adalah makna firman Allah : maka
mereka meminta ampunan kepada Allah dan Rasul memintakan ampunan bagi mereka”
    Jelas sekali bahwa konteks ayat tersebut adalah untuk seseorang pendosa yang ingin bertaubat,dia
meminta ampunan kepada Allah juga dengan mendatangi Rasul semasa hidup beliau agar Nabi
memohonkan ampunan baginya. Ayat tersebut merupakan bimbingan dari Allah agar seseorang yang
berbuat dosa ‘mendatangi Nabi’, bukan ‘mendatangi makam/kuburan Nabi’. Jika Nabi masih hidup,
seseorang bisa datang langsung kepada Nabi untuk memintakan ampunan untuknya kepada Allah. Namun,
jikapun seseorang yang berdosa itu tidak mendatangi Nabi, namun memohon ampunan bagi Allah secara
langsung, maka yang demikian ini sudah cukup bagi dia.
    Hal ini semakin diperjelas dengan hadits :

‫ن‬
َ ‫س بَ ْي‬ َ َ ‫جل‬ َ ‫ َف‬, ‫ح ْر َملَ ُة بن َز ْي ٍد‬ َ ‫جا َء ُه‬ َ ‫م إِ ْذ‬ َ َّ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬ َ ‫ي‬ ِ ّ ِ‫ع ْن َد ال َّنب‬ ِ ‫ت‬ ُ ‫ ُك ْن‬: ‫ل‬ َ ‫ َقا‬، ‫ي اللَّ ُه تَ َعالَى َع ْن ُه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫م َر َر‬ َ ‫ن ُع‬ ِ ‫ن ا ْب‬ ِ ‫َع‬
، ‫ه ُه َنا‬ َ ُ‫ َوال ِنّ َفاق‬، ‫ه‬ ِ ِ‫ِسان‬ َ
َ ‫شا َر بِيَ ِد ِه إِلى ل‬ َ
َ ‫ه ُه َنا َوأ‬ َ ‫ان‬ ُ ‫م‬ َ ‫اإلي‬ َّ َ َّ َ َّ َّ َّ
ِ ،‫ه‬ ِ ‫ل الل‬ َ ‫سو‬ ُ ‫ يَا َر‬: ‫ل‬ َ ‫ فقَا‬، ‫م‬ َ ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلى الل ُه َعل ْي‬ َ ‫ه‬ ِ ‫سولِ الل‬ ُ ‫ي َر‬ ْ ‫يَ َد‬
‫ت‬َ َ
‫ك‬ ‫س‬
َ َ ‫و‬ ، ‫ه‬
ِ ‫ي‬ َ
ْ َ َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬
َ ‫د‬ ‫د‬
َ َّ َ ‫ر‬ َ
‫ف‬ ، ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ َ َ ْ َ ُ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬ َّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫ي‬
ُّ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ال‬
ِ َّ ُ ْ َ َ ‫ه‬ ‫ن‬‫ع‬ ‫ت‬ َ
‫ك‬ ‫س‬َ َ
‫ف‬ ، ‫ِيال‬ ‫ل‬ َ
‫ق‬ ‫ال‬ ‫إ‬
ِ َ ‫ه‬ َّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ُر‬ ‫ك‬ ْ‫ذ‬ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ر‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ه‬
ِ ‫د‬
ِ َ ِ َ َ ‫َو‬
‫ي‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫ش‬ َ ‫أ‬
ُ َ َ ِ ْ َ ِ
، ‫شاكِ ًرا‬ َ ‫ َو َق ْلبًا‬، ‫صا ِد ًقا‬ َ ‫ِسانًا‬ َ ‫ل لَ ُه ل‬ ْ ‫اج َع‬ ْ ‫م‬ َّ ‫ " اللَّ ُه‬: ‫ل‬ َ ‫ َفقَا‬، ‫ة‬ َ َ‫ح ْر َمل‬ َ ِ‫ِسان‬ َ ‫م بِطَ َرفِ ل‬ َ َّ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫خ َذ ال َّن ِب‬ َ َ‫ َفأ‬، ‫ح ْر َملَ ُة‬ َ
‫م‬ ْ ‫ِيه‬ ‫ف‬ ‫ت‬ُ ‫ن‬ْ ‫ك‬
ُ ‫ِين‬
َ ‫ق‬ِ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ن‬
َ ‫م‬ ُ ‫ًا‬ ‫ن‬‫ا‬ ‫و‬
َ ‫خ‬ ْ ‫إ‬ ‫ِي‬ ‫ل‬ َّ‫ن‬ ‫إ‬ ، ‫ه‬
ِ َّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ل‬
َ ‫و‬ ‫س‬ُ ‫ر‬َ ‫ا‬‫ي‬
َ : ‫ة‬
ُ َ ‫ل‬ ‫م‬
َ ‫ر‬
ْ ‫ح‬َ ‫ل‬
َ ‫َا‬‫ق‬ َ
‫ف‬ ، " ‫ر‬ ‫ي‬
ْ ‫خ‬
َ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ه‬ُ ‫ر‬
َ ‫م‬
ْ َ ‫أ‬ ‫ر‬
ْ ّ ‫ي‬
ِ ‫ص‬َ ‫و‬
َ ، ‫ِي‬ ‫ن‬ ُّ ‫ب‬ ‫ح‬
ِ ‫ي‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫م‬َ ‫ب‬ َّ ‫ح‬ ُ ‫و‬
َ ‫ي‬ ‫ب‬
ِ ‫ح‬ ‫ه‬ ُ ْ
‫ق‬ ‫ز‬
ُ ْ ‫َو‬
‫ار‬
ِ ِ ِ ِ ِ ّ ُ
،‫ك‬ َ َ‫اس َت ْغ َف ْرنَا ل‬ ْ ‫ما‬ َ ‫اس َت ْغ َف ْرنَا لَ ُه َك‬ ْ ‫ج ْئ َت َنا‬ ِ ‫ما‬ َ ‫جا َءنَا َك‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ َم‬، ‫ " ال‬: ‫م‬ َ َّ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫ل ال َّنب‬ َ ‫م ؟ َفقَا‬ ْ ‫ك َعلَ ْي ِه‬ ُّ َ
َ ‫سا أ َفال أ ُدل‬ َ ً ‫َر ْأ‬
‫س ْت ًرا‬ َ ‫ح ٍد‬ َ َ‫خ ِرقْ َعلَى أ‬ ْ َ‫ َوال ت‬، ‫ه‬ ِ ِ‫ه َفاللَّ ُه أَ ْولَى ب‬ ِ ِ‫ص َّر َعلَى َذ ْنب‬ َ َ‫ن أ‬ ْ ‫َو َم‬

“ dari Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya- beliau berkata : ‘Aku sedang berada di sisi Nabi shollallaahu
‘alaihi wasallam ketika datang Harmalah bin Zaid. Kemudian dia duduk di depan Rasulullah shollallaahu
‘alaihi wasallam, kemudian dia berkata : ‘Wahai Rasulullah, iman itu di sini’. (Ia mengisyaratkan pada
lisannya). ‘Sedangkan kemunafikan itu ada di sini. (Ia mengisyaratkan dengan tangannya ke arah
dadanya), ‘dan tidaklah berdzikir mengingat Allah kecuali hanya sedikit’. Maka Nabi shollallaahu ‘alaihi
wasallam terdiam. Ia mengulanginya, dan Harmalah diam. Kemudian Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam
memegang ujung lidah Harmalah dan berdoa : Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur, hati yang
bersyukur, dan berikan kepadanya kecintaan kepadaku dan kecintaan kepada orang yang mencintaiku, dan
arahkan urusannya pada kebaikan”. Maka Harmalah berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
memiliki beberapa saudara munafiq. Aku menjadi pemimpin bagi mereka. Apakah aku tunjukkan pada
mereka (untuk mendatangimu juga agar kau doakan)? Maka Nabi shollallaahu ‘alahi wasallam bersabda :
‘Tidak’. Barangsiapa yang datang kepada kami sebagaimana kedatanganmu, kami akan mintakan ampunan
untuknya, sebagaimana kami mintakan ampunan untukmu. Barangsiapa yang terus dalam dosanya, maka
Allahlah yang lebih berhak terhadapnya. Dan janganlah engkau merobek tirai seorangpun “ (diriwayatkan
oleh atThobaroony dalam alMu’jamul Kabiir, al-Haitsamy menyatakan: perawi-perawinya adalah perawi-
perawi As-Shohiih. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan dalam kitab al-Ishoobah (1/320) : sanadnya tidak
mengapa).
    Perhatikanlah saudaraku kaum muslimin…., ketika Harmalah menanyakan kepada Nabi apakah
sebaiknya ia beritahukan cara tersebut agar ditiru oleh saudara-saudaranya yang lain, Nabi tidak
menganjurkan. Beliau tidak memerintahkannya pada saat beliau hidup, apalagi pada saat beliau meninggal.
Sama sekali beliau tidak mengatakan kepada Harmalah : ‘ya, beritahukan kepada mereka semua, dan
semua orang yang ada kemunafikan pada dirinya dan banyak berdosa, agar mereka mendatangiku pada
saat aku masih hidup, atau jika aku sudah meninggal, silakan mendatangi kuburanku’ atau ucapan
semisalnya.
2) Tidak pernah ternukil dalam riwayat yang shohih ataupun hasan bahwa para Sahabat mencontoh
perbuatan orang Arab Badui tersebut. Bahkan Ali bin Abi Tholib yang disebutkan dalam riwayat tersebut
juga tidak pernah melakukannya. Silakan tunjukkan pada kami riwayat lain yang shohih ataupun hasan
yang mendukung kisah ini, jika anda sekalian –wahai para penentang Ahlussunnah- memilikinya! Tidaklah
ada pada kalian kecuali dalil – dalil yang sangat lemah bahkan palsu.
3) Lebih aneh lagi, dikisahkan dalam riwayat tersebut, bahwa setelah Arab Badui tadi melakukan tawassul
di kuburan Nabi, kemudian terdengar suara dari makam Nabi : ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah
mengampunimu’.
    Subhaanallah, kedustaan yang luar biasa! Kalau seandainya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bisa
berbicara dari dalam kuburnya, para Sahabat tidak akan hanya bertawassul pada beliau meminta istighfar
Nabi jika mereka bersalah, tapi setiap ada permasalahan, mereka akan mendatangi kuburan Nabi, dan itu
akan terus berlangsung sampai hari kiamat oleh orang-orang yang beriman. Tidak akan bermasalah
penentuan kekhalifahan sepeninggal Nabi, semisal siapa yang akan menggantikan Utsman bin Affan, dan
banyak permasalahan-permasalahan penting lainnya, tinggal ditanyakan di kuburan Nabi.
    Masih sangat banyak keanehan –keanehan dari riwayat tersebut, selain telah kami tunjukkan sisi
kelemahannya yang sangat dari sisi sanad, namun penjelasan tentang riwayat ini kami cukupkan sampai di
sini. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan petunjukNya kepada kita semua….
    Penulis blog penentang Ahlussunnah tersebut tidak berilmu tentang hadits, namun sangat berani
menyebutkan riwayat-riwayat yang lemah dan menyandarkannya sebagai ucapan Nabi.  Sebagai contoh ia
menyebutkan hadits tentang Ali yang dinisbatkan ucapannya kepada Nabi :
Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota
maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Mustadrak, AtThobaroony dalam alMu’jamul Kabiir,
Abusy Syaikh Ibnu Hayyan dalam As-Sunnah, juga diriwayatkan oleh atTirmidzi, Abu Nu’aim dalam al-
Hilyah. AdDaaruquthny menyatakan dalam al-‘Ilal : ‘Hadits ini mudhtarib (guncang), tidak tsabit’. AtTirmidzi
menyatakan : ‘hadits ini munkar’. Al-Bukhari menyatakan : ‘sesungguhnya hadits ini tidak memiliki sisi yang
shahih’. Ibnul Jauzi memasukkannya sebagai hadits yang maudlu’ (palsu) dalam kitabnya al-Maudlu’aat dan
disepakati oleh Adz-Dzahaby. Al-Khotib al-Baghdady menukil pernyataan Yahya bin Ma’in bahwa hadits ini
adalah dusta tidak ada asalnya (Silakan dilihat pada kitab Kasyful Khifaa’ karya Isma’il bin Muhammad
al-‘Ajluuny juz 1 halaman 203).

Syubhat ke-8 : Riwayat Ibnu Abi Syaibah ttg Tawassulnya Seseorang di Kuburan Nabi pada Kekhalifahan
Umar

[[

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik
ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman
(kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan
hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan
berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh;
Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat:
Kitab “Fathul Bari” 2/577)

]]

Bantahan :
    AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan dalam kitab Fathul Baari :
‫مر‬َ ‫ازن ُع‬ ِ ‫خ‬َ َ‫ َو َكان‬- ‫ي‬ ّ ‫ار‬ ِ ‫ن َمالِك ال َّد‬ ْ ‫ن َع‬
ِ ‫ما‬ َّ ‫الس‬
َّ ‫صالِح‬ َ ‫ِن ِر َوايَة أَبِي‬ ْ ‫صحِيح م‬ َ ‫س َنا ٍد‬ َ ‫– َو َر َوى اِ ْبن أَبِي‬
ْ ِ‫ش ْيبَة بِإ‬
“ dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Sholih As-Sammaan dari
Maalik ad-Daar” (Fathul Baari 2/577).
    Sepintas orang akan menganggap riwayat ini sanadnya shohih semua, padahal seseorang yang
mempelajari istilah dalam ilmu hadits akan paham terhadap isyarat dari al-Hafidz Ibnu Hajar ini bahwa
riwayat Ibnu Abi Syaibah tersebut shohih sanadnya sampai Abu Sholih As-Sammaan. Jika kita kaji, ternyata
perawi yang bernama Maalik Ad-Daar sebenarnya tidak dikenal di kalangan Ulama’ Ahlul Hadits. Al-
Haitsamy menyatakan : ‘Maalik ad-Daar, aku tidak mengenalnya’ (lihat Majma’uz Zawaaid (3/125).
Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz al-Mundziri dalam kitab ‘AtTarghib wat Tarhiib’ (2/41).
    Kemudian, Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menyatakan :
‫حابَة‬ َ ‫ص‬
َّ ‫حد ال‬َ َ‫ي أ‬ ُ ‫ارث ا ْل‬
ُّ ِ‫م َزن‬ ِ ‫ح‬َ ‫ه َو بِاَل ل ْبن ا ْل‬ ُ ‫مذْ كُور‬ َ ‫س ْيف فِي ا ْل ُف ُتوح أَنَّ الَّذِي َرأَى ا ْل‬
َ ‫م َنام ا ْل‬ َ ‫َو َق ْد َر َوى‬
“ dan Saif telah meriwayatkan di dalam kitab al-Futuh bahwasanya seseorang yang bermimpi tadi adalah
Bilal bin al-Harits al-Muzany seorang Sahabat”
    Saif yang dimaksud oleh Ibnu Hajar tersebut sebenarnya adalah Saif bin ‘Amr bin ad-Dhoby al-Asdy
penulis kitab al-Futuh wad Durroh. Yahya bin Ma’in menyatakan bahwa ia adalah perawi yang lemah. Ibnu
Hibban menyatakan : ‘Ia meriwayatkan riwayat-riwayat palsu dari al-atsbaat dan mereka berkata :
sesungguhnya dia memalsukan hadits’. Abu Hatim menyatakan : matruk (ditinggalkan). Ibnu ‘Adi
menyatakan : ‘keumuman haditsnya adalah munkar’ (Lihat ‘al-Mizan’ (2/197) dan Dhu’afaa’ anNasaa-i
(187)). Sehingga, kita tidak bisa menerima pernyataan dari Saif tersebut bahwa yang bermimpi itu adalah
Sahabat Bilal bin alHarits karena Saif adalah perawi yang ditinggalkan (matruk).
    Selain kelemahan periwayatan tersebut, kisah ini bertentangan dengan petunjuk Nabi shollallaahu ‘alaihi
wasallam kepada umatnya jika ditimpa kekeringan, hendaknya mereka melakukan sholat istisqo’. Demikian
juga dengan istisqo’nya Umar dengan meminta kepada Abbas yang masih hidup untuk berdoa
sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari yang sudah jelas keshahihannya.
    
Syubhat ke-9 : Kisah Sahabat Bilal al-Habsyi

[[
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan
Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu
(jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Bilal
segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal
mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang
beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium
keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208,
Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)
]]

Bantahan :
    Penulis blog dengan judul tulisan Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul tersebut benar-benar tidak
amanah. Ia menyebutkan rujukannya dalam kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ jilid 1 halaman 358, namun ia
tidak menyebutkan secara lengkap ucapan al-Hafidz Adz-Dzahaby setelah menyebutkan kisah tersebut.
Padahal al-Hafidz Adz-Dzahaby sendiri menyatakan tentang kisah tersebut :
‫إسناده لين وهو منكر‬
“ sanad (kisah) tersebut lemah dan dia adalah munkar “.
    Kisah itu diriwayatkan melalui jalur Ibrohim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilaal bin Abid Darda’ dari
ayahnya dari kakeknya dari Ummud Darda’ dari Abud Darda’. Setelah dikisahkan bahwa Bilal mendekap
dan mencium Hasan dan Husein, disebutkan :
،‫ هللا أكبر ارتجت المدينة‬،‫ هللا أكبر‬:‫ فلما أن قال‬،‫ ووقف‬،‫ وعال السطح‬،‫ ففعل‬.‫ يا بالل ! نشتهي أن نسمع أذانك‬:‫فقاال له‬
،‫ خرجت العواتق من خدورهن‬،‫ أشهد أن محمدا رسول هللا‬:‫ فلما قال‬،‫ ازداد رجتها‬،‫ أشهد أن ال إله إال هللا‬:‫فلما أن قال‬
‫ من ذلك اليوم‬،‫ صلى هللا عليه وسلم‬،‫ فما رؤي يوم أكثر باكيا وال باكية بالمدينة بعد رسول هللا‬،‫ بعث رسول هللا‬:‫وقالوا‬

“ Maka keduanya (Hasan dan Husein) berkata : ‘Wahai Bilal, kami ingin sekali mendengar adzanmu. Maka
Bilal pun melakukannya (dia adzan), naik ke atap dan berdiri. Ketika dia mengucapkan :Allaahu Akbar
Allaahu Akbar, Madinah bergemuruh. Ketika dia mengucapkan : Asyhadu an laa ilaaha illallaah… semakin
bertambah gemuruhnya. Ketika dia mengucapkan : Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullaah. Keluarlah
gadis-gadis dari tempat pingitannya, dan mereka berkata:  ‘Rasulullah dibangkitkan. Maka tidaklah terlihat
pada suatu hari orang lebih banyak menangis di Madinah setelah (kematian) Rasulullah shollallaahu ‘alaihi
wasallam dibandingkan hari itu” (Silakan dilihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahaby jilid 1
halaman 358).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan tentang perawi yang bernama Ibrohim bin Muhammad bin
Sulaiman bin Bilaal bin Abid Darda’:
‫إبراهيم بن محمد بن سليمان بن بالل بن أبي الدرداء فيه جهالة حدث عنه محمد بن الفيض الغساني انتهى ترجم له‬
‫ابن عساكر ثم ساق من روايته عن أبيه عن جده عن أم الدرداء عن أبي الدرداء في قصة رحيل بالل إلى الشام وفي‬
‫قصة مجيئه إلى المدينة وأذانه بها وارتجاج المدينة بالبكاء ألجل ذلك وهي قصة بينة الوضع‬

“ Ibrohim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilaal bin Abid Darda’  padanya terdapat ‘jahalah’ (tidak
dikenal), yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin alFaydl al-Ghossaany, -selesai-. Ibnu ‘Asakir
menjelaskan biografinya kemudian menyebutkan riwayatnya dari ayahnya dari kakeknya dari Ummud
Darda’ dari Abud Darda’ tentang kisah perjalanan Bilaal menuju Syam dan tentang kisah kedatangannya ke
Madinah dan adzannya Bilaal dengannya dan gemuruhlah Madinah dengan tangis dengan sebab itu. Dan
itu kisah yang jelas kepalsuannya”( Lihat Lisaanul Miizaan juz 1 halaman 107 no 320 tentang Ibrohim
tersebut).
    Sehingga jelas sekali bahwa kisah itu adalah munkar sebagaimana perkataan al-Hafidz Adz-Dzahaby,
dan palsu seperti perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Demikianlah, para penentang Ahlussunnah
akan banyak menggunakan dalil-dalil yang lemah lagi palsu untuk melegalkan isi dakwah dan
perbuatannya.
    Setelah pada tulisan ini sebutkan bukti-bukti kelemahan atau kepalsuan hadits dan atsar yang
disebutkan tentang tawassul, Insya Allah tulisan selanjutnya akan menunjukkan bukti kelemahan kisah
bertabarruknya Imam Asy-Syafi’i di makam Imam Abu Hanifah. Hanya kepada Allahlah kita berserah diri
dan memohon pertolongan.  

Anda mungkin juga menyukai