Anda di halaman 1dari 12

Tri Joko S.

Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
7
DAMPAK URBANISASI
TERHADAP MASYARAKAT DI DAERAH ASAL
Tri Joko S. Haryono
Pendahuluan
Kecenderungan yang terjadi dalam perkem-
bangan kota-kota di negara-negara dunia
ketiga, termasuk Indonesia, adalah adanya
pertumbuhan penduduk yang begitu pesat,
yang seringkali tidak lagi dapat diantisipasi
oleh daya dukung kota secara layak,
terutama dalam hal penyediaan fasilitas -
fasilitas kehidupan bagi warganya. Pesatnya
pertumbuhan penduduk kota tersebut di
samping terjadi karena pertumbuhan yang
bersifat alami, terutama juga disebabkan
oleh arus urbanisasi. Meningkatnya arus
urbanisasi tersebut nampaknya berseiring
banyaknya pusat-pusat perekonomian yang
dibangun di daerah perkotaan, terutama
dalam bidang industrialisasi. Peningkatan
pertumbuhan penduduk perkot aan akan
menimbulkan berbagai permasalahan serta
membawa konsekuensi dalam segala aspek
kehidupan di perkotaan. Banyak kota besar
yang dalam kenyataannya tidak mampu lagi
menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan,
perumahan, transportasi, dan lapangan kerj a
lebih dari yang minimal kepada sebagian
penduduknya.
Di Indonesia, gejala urbanisasi mulai
tampak menonjol sejak tahun 1970-an, di
saat pembangunan sedang digalakkan, ter -
utama di kota-kota besar. Beberapa faktor
disinyalir menjadi pendorong meningkatnya
arus urbanisasi, di antaranya: (1) perbedaan
pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas
antara desa dengan kota dalam berbagai
aspek kehidupan (Saefullah, 1994:35); (2)
semakin meluas dan membaiknya sarana dan
prasarana transportasi, (3) pertumbuhan
industri di kota-kota besar yang banyak
membuka peluang kerja, (4) pembangunan
pertanian, khususnya melalui paket program
revolusi hijau (Hugo, 1975). Tetapi pada
umumnya faktor ekonomi dianggap sebagai
faktor utama menjadi pendorong arus
urbanisasi.
Berkaitan dengan faktor pembangun-
an pertanian di atas, beberapa ahli melihat
bahwa selama ini usaha pembangunan pede -
saan yang diharapkan mampu membendung
arus urbanisasi umumnya tidak terlalu ber -
hasil dalam banyak hal, bahkan justru me -
macu arus urbanisasi menjadi semakin
besar. Beberapa peneliti seperti Collier
(1974), Mantra (1980), dan White (1989)
menemukan modernisasi pertanian di pede -
saan Jawa ternyata merangsang gerak pen -
duduk ke luar desa, terutama pada petani
gurem dan buruh tani. Hal ini disebabkan
pembangunan pertanian dengan teknologi
yang lebih modern justru telah mening -
katkan jumlah buruh tani yang tidak ber -
tanah, sehingga mendorong terjadinya po -
larisasi sosial. Collier (1974:12-30) berdalih
revolusi hijau hanya membuka kesempatan
yang lebih luas kepada petani yang berlahan
luas dalam menerima teknologi, sehingga
mereka sebagai kelas komersial menga -
baikan loyalitasnya kepada petani miskin.
Lambat laun masyarakat desa menjadi
semakin terpolarisasi (Amaluddin, 1987:30).
Akibat yang muncul kemudian
dengan terjadinya polarisasi tersebut adalah
banyak masyarakat pedesaan, baik dengan
sukarela maupun terpaksa, keluar dari desa
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
8
tempat kelahirannya dan pergi mengadu
nasib mencari pekerjaan di kota karena
semakin sempitnya lapangan kerja yang
tersedia di desa. Beberapa peneliti seperti
Mantra (1980) dan McGee (1982)
menyatakan mobilitas penduduk merupakan
salah satu strategi yang penting bagi rumah
tangga pedesaan untuk mendapatkan dan
menaikan penghasilan mereka. Hugo (1986)
menyatakan motif migrasi, khus usnya
migrasi sirkuler dan migrasi pulang-balik
adalah untuk meningkatkan pendapatan
keluarga yang menetap di desa. Gejala ini
menonjol terutama desa yang kurang maju
atau desa di mana kesempatan kerja yang
ada sangat terbatas. Dikatakan Effendi
(1985) bahwa mobilitas penduduk berfungsi
sebagai salah satu sarana penduduk desa
untuk ikut menikmati buah pembangunan.
Urbanisasi sebagai gejala sosial,
ekonomi, dan budaya ternyata menyajikan
cerita yang menarik tidak saja menyangkut
kota besar di mana para migr an berdatang-
an, namun juga menyangkut desa asal
migran. Hal ini disebabkan oleh sikap kaum
migran yang secara kultural masih tetap
sebagai orang desa, walaupun mereka telah
puluhan tahun hidup di kota. Anggapan dan
sikap bahwa mereka hidup di kota hanya
sementara waktu, tidak hanya ditunjukkan
dalam hal kualitas tersebut, melainkan
mereka juga membangun ekonomi desanya.
Saefullah (1994) berdasarkan penelitian di
Jawa Barat, menunjukkan kenyataan
urbanisasi mempunyai andil yang cukup
besar terhadap proses pembangunan baik di
daerah asal maupun daerah tujuan. Orang -
orang desa yang telah berhasil hidupnya di
kota, pada umumnya masih mengadakan
hubungan, bahkan mengirimkan sebagian
penghasilannya ke desa. Namun bila disi -
mak lebih mendalam, keberadaan urbanis asi
ternyata tidak selalu membawa akibat yang
menguntungkan bagi warga pedesaan.
Penelitian atau studi urbanisasi telah
banyak dilakukan, yang umumnya lebih me -
nyoroti pola adaptasi yang dilakukan para
pendatang setibanya mereka di perkotaan;
dan juga besarnya arus urbanisasi sebagai
akibat kesenjangan kondisi sosial ekonomi
yang cukup menonjol antara daerah pedesa -
an dengan perkotaan. Kesenjangan yang ter -
jadi antara daerah pedesaan dan perkotaan
pada gilirannya mendorong penduduk
pedesaan untuk mencari alternatif lain guna
meningkatkan penghasilan atau menikmati
fasilitas yang ada di daerah perkotaan.
Sementara itu studi yang berkaitan
dengan perubahan pada daerah asal migran
belum banyak dilakukan. Studi ini akan
melihat proses urbanisasi yang terjadi d ari
salah satu desa di Sukoharjo, Jawa Tengah
yang sebagian penduduknya berurbanisasi,
terutama ke Jakarta; dengan lebih menekan -
kan pada dampak yang ditimbulkan dengan
adanya urbanisasi pada desa asal.
Urbanisasi Penduduk Desa Jetis
Desa Jetis merupakan salah satu desa di
wilayah Kecamatan Tawangsari, Kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah. Terletak kira -kira
sejauh dua kilometer di sebelah utara kota
kecamatan, dan enam kilometer di sebelah
selatan kota kabupaten, sedangkan dengan
Kota Solo kira-kira berjarak 20 kilometer.
Dari segi transportasi, ada beberapa jalur
jalan yang menghubungkan desa Jetis
dengan desa-desa di sekitarnya. Sebagian
prasarana jalan tersebut telah diaspal, dan
sebagian lain berupa jalan makadam.
Seperti umumnya desa-desa di Jawa,
Jetis adalah desa pertanian. Menurut data
monografi desa, luas Desa Jetis adalah 256,
77 hektar, terdiri dari: (1) persawahan 89,92
hektar; (2) pekarangan/pemukiman 89,48
hektar; (3) tegalan 67,81 hektar; dan (4) lain -
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.

lain (jalan, sungai, dsb) seluas 3,53 hekt ar.


Apabila jumlah kepala keluarga di Desa
Jetis ada 632 kk, maka rata-rata pemilikan
tanah bagi setiap keluarga adalah 0,37
hektar, dan bila jumlah penduduknya ada
3427 orang maka pemilikan tanah rata -rata
tiap orang adalah 0,069 hektar. Bila
mengacu pengertian cukupan seperti yang
dikatakan Singarimbun (1976:25) bahwa
seseorang dapat kecukupan kehidupannya
jika dapat mengolah 0,7 hektar sawah tadah
hujan, dan sebidang tanah darat 0, 3 hektar,
maka keadaan penduduk di Desa Jetis dapat
dikatakan amat kekurangan tanah pertanian.
Kondisi yang memprihatinkan ini ditunjang
pola pemilikannya yang tidak merata. Hanya
sebagian kecil penduduk yang memiliki
tanah lebih dari satu hektar, sementara
sebagian besar penduduk merupakan petani
gurem atau bertanah sempit, bahkan banyak
di antaranya yang tidak memiliki tanah
persawahan sama sekali.
Dengan kondisi tanah pertanian yang
demikian menyebabkan masyarakat Desa
Jetis tidak dapat terlalu mengandalkan
kehidupannya hanya dari sektor pertanian.
Nampaknya sejarah kehidupan penduduk
desa Jetis menunjukkan hal yang demikian.
Hal ini bisa dilihat bahwa sejak tahun 1950 -
an di desa Jetis telah berkembang suatu
kegiatan di luar bidang pertanian, yaitu
dalam bentuk industri tenun. Industri tenun
ini mencapai puncak kejayaanya pada sekitar
tahun 1962, di mana saat itu di Desa Jetis
ada sekitar 35 perusahaan tenun, dengan
jumlah sekitar 550 unit tenun, dan dengan
melibatkan sekitar 750 orang tenaga kerja.
Masa itu penduduk Desa Jetis mengalami
masa kemakmuran, bahkan juga menjadi
tumpuan untuk mencari nafkah bagi pekerja
dari desa-desa di sekitarnya, karena pekerja
yang tertampung pada industri tenun tidak
hanya penduduk Desa Jetis, tetapi juga
penduduk desa-desa sekitar.
Karena berbagai sebab, sejak dekade
1960-an industri tenun di Desa Jetis mulai
mengalami kemunduran, dan mencapai
kemacetan total pada sekitar sekitar
pertengahan tahun 1970-an. Kemacetan total
industri tenun di desa Jetis saat itu
membawa perubahan besar bagi sebagian
besar penduduknya, baik pada pengusaha
maupun pekerjanya. Sebagian ada yang
kembali bekerja sebagai petani, ada yang
menjadi pedagang, tetapi yang paling banyak
adalah meninggalkan desa mengadu nasib
dengan berurbanisasi ke kota.
Dengan demikian untuk kasus Desa
Jetis, faktor urbanisasi antara lain dapat
dilihat karena tidak adanya lapangan kerja di
desa selepas mereka bekerja sebagai buruh
industri. Memang ada sawah, tetapi
berhubung sempitnya lahan pertanian tidak
memungkinkan mereka secara keseluruhan
bekerja di sektor pertanian, apalagi mereka
umumnya sudah lama atau bahkan ada yang
sebelumnya tidak pernah mengenal kegiatan
bertani. Faktor yang lain adalah, adanya
daya tarik kota. Daya tarik tersebut muncul
karena pada saat industri tenun masih ber -
jalan, telah ada beberapa orang Desa Jetis
yang berurbanisasi, terutama ke Jakarta.
Pada saat pulang ke desa, mereka mencerita -
kan berbagai pengalaman hidupnya di kota
besar. Cerita itu banyak menarik orang
untuk ikut pergi ke kota, apalagi kondisi
industri tenun tidak dapat diharapkan lagi.
Sejak saat itu arus urbanisasi terus
mengalir ke kota-kota besar baik di Jawa
maupun luar Jawa. Mengenai jumlah dan
tujuan mereka berurbanisasi, ternyata tidak
ada data atau catatan yang resmi. Namun
demikian berdasarkan penjelasan beberapa
informan, termasuk kepala desa, diketahui
bahwa sejarah perjalanan urbanisasi yang
terjadi sejak tahun 1970-an menyebabkan
ada sekitar separoh penduduk Desa Jetis
yang melakukan urbanisasi, dan mereka itu
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
70
umumnya pada usia produktif. Yang kini
tinggal di Desa Jetis, sebagian besar adalah
orang-orang yang sudah tua, yang ditinggal
pergi anak-anak; atau sebaliknya anak-anak
yang masih kecil yang ditinggalkan oleh
orangtuanya. Memang ada beberapa yang
masih yang masih muda dan produktif yang
tinggal, mereka umumnya juga tidak bekerja
di bidang pertanian melainkan pada peker -
jaan-pekerjaan sebagai pegawai negeri, pe -
dagang, atau bekerja pada industri tekstil
yang ada di kota kabupaten. Sebagian besar
di antara mereka pernah mencoba, tetapi
mereka gagal atau merasa tidak cocok hidup
di kota, dan memilih tinggal di desa.
Berdasarkan keterangan beberapa in-
forman, kota tujuan urbanisasi sebagian be -
sar adalah Jakarta, dan sebagian kecil di
Semarang, Serang, Bangka, Belitung, Pang -
kal Pinang, Medan, Balikpapan, dan bebe -
rapa kota di Jawa Tengah. Sementara itu
jenis pekerjaan yang dilakukan umumnya
adalah pada sektor-sektor informal seperti
penjual bakso, penjual jamu, penjual buah
dingin, tukang ojek, sopir taksi, sopir bajaj,
atau sebagai pekerja perusahaan. Hanya
sedikit penduduk Desa Jetis yang berurbani-
sasi yang bekerja sebagai pegawai pemerin -
tah atau pada sektor formal yang lain.
Sedangkan mengenai frekuensi kepulangan
ke daerah asal, amat dipengaruhi oleh dua
faktor. Pertama, jauh dekatnya kota tujuan
urbanisasi, dalam hal ini semakin jauh
tempat tujuan akan semakin jarang pulang
ke desanya. Kedua, tanggungan keluarga
yang ada di desa, dalam hal ini yang
memiliki tanggungan keluarga di desa
frekuensi kepulangannya cenderung lebih
sering dilakukan. Namun demikian, secara
umum dapat dikatakan bahwa setidaknya
setahun sekali mereka pulang ke desanya,
yaitu pada saat lebaran.
Satu hal yang menarik dalam kasus
urbanisasi ini adanya variasi dalam pola
urbanisasi penduduk Desa Jetis. Pertama,
ada yang berniat melakukan urbanisasi
secara permanen. Mereka ingin menjadi
penduduk kota sepenuhnya, sehingga
mereka membawa serta seluruh anggota
keluarganya. Pada kelompok ini umumnya
adalah mereka yang memiliki status sosial
ekonomi lebih baik, dan dengan pekerjaan
yang lebih mapan, serta bekerja pada sektor
formal. Misalnya sebagai pegawai negeri,
pegawai perusahaan, atau pada sektor formal
yang lain. Kedua, yang merupakan bagian
yang lebih besar, mereka cenderung
merupakan migran sirkuler. Artinya sekali -
pun mereka sudah puluhan tahun tinggal di
kota, tetapi secara kultural mereka masih
menunjukkan sikap pedesaan. Mereka mera -
sa bahwa bekerja di kota hanya bersifat
sementara, mereka ingin kembali ke desanya
suatu saat kelak. Gejala ini diperkuat oleh
adanya kenyataan masih banyak keluarga
muda yang dengan sukarela atau terpaksa
meninggalkan anak-anak mereka yang masih
kecil di desa.
Satu kasus yang pernah ditemui,
yaitu ada keluarga muda yang berurbanisasi,
yang memiliki tiga orang anak yang masih
kecil, di mana ketiga anaknya tersebut
tersebar dalam tiga tempat. Anak pertama,
kelas tiga SD tinggal di rumah sendirian;
anak kedua yang masih TK nol kecil
dititipkan kepada neneknya yang tinggal di
desa lain yang lokasinya cukup jauh dari
Desa Jetis; dan anak ketiga berusia sekitar
satu tahun dibawanya ke Jakarta tinggal
bersama mereka.
Sikap kedesaan mereka juga diper -
jelas dengan adanya kenyataan simpanan
kekayaan mereka di desa. Sebagai misal
mereka menggunakan uangnya untuk mem-
bangun rumah atau membeli sawah di
desanya. Sementara di kota mereka tinggal
secara berdesak-desakan di rumah-rumah
kumuh. Dari segi ini terlihat adanya kondisi
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
71
yang bertolakbelakang, di desa mereka
sebenarnya memiliki rumah yang bagus
dengan perlengkapan perabotan rumah
tangga yang bagus, dan rumah tersebut
untuk sementara, mungkin j uga dalam waktu
yang cukup lama, tidak dihuni; sebaliknya
ketika di kota, khususnya Jakarta mereka
tinggal secara berdesakan di rumah-rumah
kumuh, dengan kondisi pemukiman yang
kurang memenuhi syarat untuk tempat
tinggal. Pada hal sebagian besar hidup
mereka berada di kota.
Dampak Urbanisasi terhadap Daerah
Asal
Sebelum dilakukan pembahasan tentang
dampak urbanisasi terhadap kehidupan
masyarakat daerah asal, ada baiknya
dikemukakan terlebih dahulu secara sepintas
tentang liku-liku kehidupan mereka di kot a
tujuan. Penjelasan yang dikemuka -kan di
dasarkan atas wawancara mendalam dengan
beberapa informan dan juga atas
pengamatan dalam beberapa kali kunjungan
di tempat tinggal mereka di kota, khususnya
yang ada di Jakarta.
Sebagai pendatang di kota besar,
mereka perlu proses adaptasi, untuk bisa
bertahan hidup di kota. Dalam proses
adaptasi pada berbagai aspek kehidupan di
kota ini, peranan kerabat, teman, dan
tetangga sedesa asal sangat penting. Pada
awal kedatangan di kota umumnya mereka
menumpang untuk sementara di tempat
tinggal orang-orang yang telah terlebih
dahulu berurbanisasi. Sedangkan dalam hal
pekerjaan seringkali mereka magang terlebih
dahulu kepada seniornya dengan cara
mengikuti dan membantu pekerjaan yang
dilakukan seniornya tersebut. Bi la dirasa
sudah mampu barulah dilepas untuk
bekerja sendiri.
Dengan latar belakang pendidikan
yang relatif rendah, umumnya hanya
berpendidikan sekolah dasar, dan
keterbatasan ketrampilan modern yang
memadai, sebagian besar dari mereka
melakukan pekerjaan dalam bentuk usaha
mandiri kecil-kecilan, dengan meng-
gunakan peralatan dan ketrampilan seder -
hana yang dikuasainya. Mereka bekerja se -
bagai pedagang keliling seperti penjual
bakso, mie ayam, buah dingin, es, soto
ayam, jamu, atau mainan anak-anak; peda-
gang kaki lima; tukang ojek; pengemudi
bajaj; atau pekerjaan-pekerjaan lain yang
umumnya merupakan bagian dari sektor
informal di kota. Kemudahan memasuki la -
pangan kerja di sektor informal nampaknya
menjadi faktor utama yang menyebabkan
mereka umumnya memasuki sektor ini.
Mereka beranggapan hi -dup di kota
hanya untuk sementara waktu, sekalipun
sebenarnya telah tinggal di kota puluhan
tahun. Mereka masih tetap merasa sebagai
orang desa, bahkan dari segi status
kependudukan secara formal pun masih
sebagai orang desa, hal ini ditunjukkan dari
pemilikan KTP mereka. Dalam hal tempat
tinggalpun mereka umumnya tidak pernah
berfikir untuk memiliki tempat tinggal
sendiri di kota, sehingga umumnya mereka
kost atau kontrak kamar secara patungan
satu kamar dihuni beberapa orang.
Pengamatan yang dilakukan terhadap bebe -
rapa lokasi menunjukkan bahwa tempat
tinggal mereka umumnya nampak berjubel,
sumpek, pengap, panas, dan umumnya ku -
rang memenuhi syarat kesehatan. Terkesan
bahwa rumah atau kamar yang mereka
tempati di kota hanya untuk tempat tinggal
sementara, sekedar tempat untuk beristira -
hat. Pemilihan tempat tinggal yang demikian
barangkali terkait dengan mahalnya sewa
rumah/kamar di kota. Yang menarik bahwa
tempat tinggal mereka di kota ini seringkali
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
72
sangat bertolakbelakang dengan kondisi
rumah yang mereka miliki di desa yang
umumnya dibangun secara bagus. Hal ini
akan dijelaskan pada bagian berikut.
Orang-orang Desa Jetis yang telah
berhasil hidupnya di kota, pada umumnya
masih mengadakan hubungan dengan desa
asal, bahkan mengirimkan sebagian pengha -
silannya ke desa asal. Namun bila disimak
lebih mendalam, keberadaan urbanisasi
ternyata tidak selalu membawa akibat yang
menguntungkan bagi warga pedesaan.
Dampak Urbanisasi dalam Aspek Sosial
Ekonomi
Sekalipun para urbanisan umumnya bekerja
di sektor informal, tetapi dari segi
penghasilan, dapat dikatakan cukup
lumayan. Paling tidak, jauh lebih tinggi bila
dibandingkan dengan peng-hasilan yang bisa
diperoleh di desa asalnya. Menurut I
nforman, seorang penjual j amu dalam sehari
memperoleh penghasilan Rp 20.000, - atau
lebih, demikian juga pedagang yang lain
pendapatan yang diperoleh tidak kurang dari
Rp 10.000,- per hari. Upah sebagai buruh
tani di desa paling tinggi Rp 5000, -. Peng-
hasilan yang diperoleh para mi gran asal
Desa Jetis nampaknya sesuai dengan temuan
Papanek (1986:230) yang menunjukkan
bahwa para migran ke kota umumnya
bernasib lebih baik daripada ketika masih di
pedesaan. Pendapatan mereka rata -rata
meningkat dua pertiga kali lipat.
Tingginya kesenjangan pendapatan
antara yang diperoleh di desa dengan di kota
inilah barangkali yang menjadi penyebab
utama banyaknya penduduk Desa Jetis
melakukan urbanisasi. Temuan di atas
nampaknya sejalan dengan pemikiran
(Todaro, 1970:126) yang menyatakan bahwa
keputusan bermigrasi merupakan suatu
respons terhadap harapan tentang penghasil -
an yang akan diperoleh di kota dibanding
dengan yang diterima di desa, dan kemung -
kinan memperoleh pekerjaan di kota.
Dijelaskan oleh beberapa informan
bahwa tidak semua yang berurbanisasi dapat
atau berhasil meningkatkan kehidupannya,
ada di antaranya yang gagal sehingga
memilih kembali tinggal di desa, namun
tidak sedikit yang masih tetap bertahan
tinggal di kota, meski dengan kondisinya
sangat memprihatinkan, sehingga hampir
tidak mampu untuk menyisihkan sebagian
peng-hasilannya untuk ditabung. Secara
lebih detail dapat dikemukakan tentang
dampak urbanisasi dalam aspek sosial
ekonomi.
Pertama, keberhasilan para migran
yang melakukan urbanisasi dalam
meningkatkan pendapatannya seba gian
digunakan untuk membangun rumah di desa.
Kenyataan itu dapat dilihat di desa Jetis,
seperti misalnya banyak pembangunan
rumah-rumah baru yang lebih permanen dan
memenuhi syarat kesehatan. Rumah-rumah
baru yang mereka bangun tersebut telah
dilengkapi dengan perabotan rumah tangga
modern, misalnya TV, Radio tape, kulkas,
sepeda motor, dsb. Kemampuan untuk
membangun rumah baru dan membeli
perlengkapan rumah tangga ini tentu saja
sesuai dengan kemampuan masing-masing
migran. Berdasarkan pengamatan ada ruma h
yang dibangun bertingkat, pada hal menurut
informasi pemilik rumah tidak lulus SD, dan
bekerja sebagai pedagang di Jakarta. Kondisi
tempat tinggal yang mereka miliki di desa
ini seringkali bertolak belakang dengan
kondisi tempat tinggal mereka selama hid up
di kota, sebagaimana telah disinggung
terdahulu.
Rumah-rumah baru umumnya
dibangun dengan arsitektur model, akibatnya
berdampak pada pembongkaran rumah
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
73
tradisional yang kemudian dirubah menjadi
model baru. Hal ini amat disayangkan
karena rumah-rumah dengan arsitektur
tradisional yang sebagian besar bahannya
terbuat dari kayu semakin berkurang
jumlahnya, dan dikhawatirkan nantinya akan
semakin langka.
Kelebihan penghasilan yang diwu-
judkan dalam bentuk bangunan rumah ini
juga menunjukkan keterbatasan ima jinasi
budaya mereka. Barangkali dilihat dari
kacamata pemikiran rasional ekonomis,
kelebihan penghasilan itu dapat digunakan
oleh mereka untuk memperkuat modal
usaha, tetapi hal ini nampaknya tidak banyak
dilakukan oleh penduduk desa Jetis.
Kelebihan penghasilan justru mereka guna-
kan untuk membangun rumah baru di desa
sementara mereka sendiri bekerja di kota,
sehingga rumah-rumah yang telah terbangun
megah tersebut ada yang tidak berpenghuni,
atau hanya dihuni di saat mereka pulang
kampung saja; tetapi ada juga yang ditem-
pati oleh anak-anaknya saja sementara orang
tuanya berada di kota; dan ada juga meminta
kerabatnya, biasanya yang sudah tua, atau
orangtuanya untuk menunggui rumah.
Beberapa rumah bahkan ditempati orang
dari luar daerah yang bekerja di sekitar desa,
sementara mereka belum memiliki rumah
sendiri. Dalam kasus demikian, biasanya
mereka tidak diminta untuk membayar sewa
rumah, melainkan hanya diminta merawat
selama menempati rumah tersebut.
Kedua, ada yang memiliki kemam-
puan untuk menginvestasikan kelebihan
penghasilannya dalam bentuk sawah dan
pekarangan di desa. Hal ini dipandang se -
bagai dampak positif, artinya mereka telah
mempunyai orientasi ke masa depan.
Keinginaan menginvestasikan uang dalam
bentuk tanah dan pekarangan di desa asal ini
berkait dengan keinginan sebagian besar
migran yang nantinya setelah tua mereka
kembali ke desa.
Ketiga, keberhasilan migran di kota
memberikan dampak pada kesejahteraan
keluarga yang ditinggalkan. Dengan kelebih -
an penghasilan selama mereka bekerja di
kota, akan berimbas pada keluarganya yang
ditinggal di desa, sehingga dari segi peme -
nuhan kebutuhan hidup menjadi lebih baik.
Sebagai orang desa yang hidup dalam kea -
daan subsistensi, ukuran kesejahteraan bagi
mereka adalah terpenuhinya kebutuhan hi -
dup mereka secara ekonomi, apalagi bila ada
kelebihan penghasilan yang dapat diin -
vestasikan dalam bentuk lain. Bagi mereka,
nampaknya tidak terlalu mempersoalkan
apakah mereka berkumpul terus dengan
keluarganya atau tidak, yang dipentingkan
adalah terpenuhinya kebutuhan ekonomi.
Hal ini dibuktikan dari ungkapan beberapa
informan yang menyatakan bahwa dewasa
ini mereka merasa lebih sejahtera dan lebih
tenteran hidupnya, sekalipun harus berpisah
sementara dengan keluarganya.
Keempat, keberhasilan meningkat -
kan penghasilan ini juga berdampak pada
perbaikan fasilitas umum yang pembiaya -
annya dilakukan secara swadaya. Dana
untuk membangun fasilitas umum tersebut
sebagian besar diperoleh dari pen-duduk
yang melakukan urbanisasi. Berbagai
fasilitas umum yang mengalami perbaikan di
antaranya jalan-jalan desa yang sebagaian
besar sudah diaspal, jembatan, dan tempat
peribadatan. Dengan perbaikan prasarana
jalan ini akan sedikit banyak mempengaruhi
perekonomian desa.
Kelima, dalam bidang pertanian, ke-
berhasilan dalam urbanisasi ini membawa
dampak yang kurang mengun-tungkan.
Kegiatan pertanian yang kurang diperhatikan
sejak keber-hasilan penduduk Desa Jetis
dalam bidang industri tenun pada beberapa
dekade sebelumnya terus berlanjut hingga
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
74
sekarang, apalagi sebagian penduduk
berurbanisasi. Pada saat industri tenun masih
jaya, banyak di antara pemilik sawah yang
juga sebagai pengusaha tenun tidak
mengerjakan sendiri sawah miliknya, karena
penghasilan yang diperoleh waktu itu lebih
kecil dibanding penghasilan dalam bidang
industri tenun. Demikian juga penghasilan
sebagai buruh tani lebih kecil dibanding
sebagai buruh industri. Akibatnya pekerjaan
di bidang pertanian lebih banyak dilakukan
dengan mendatangkan buruh dari luar
daerah. Saat ini, keberhasilan urbanisasi
menyebabkan mere-ka semakin enggan pergi
ke sawah, apalagi untuk generasi mudanya
yang umumnya hampir tidak pernah bekerja
di bidang pertanian. Karena itu, dewasa ini
kesulitan yang dihadapi pemilik sawah
adalah men-cari buruh tani, karena desa-desa
lain di sekitarnya banyak warganya yang
sekarang juga melakukan urbanisasi.
Akibatnya, para pemilik sawah seringkali
harus menda-tangkan buruh tani dari
wilayah Kabupaten Purwodadi untuk
menggarap sawahnya. Bahkan kadang-
kadang ada sawah milik warga Desa Jetis
yang terpaksa terbengkelai tidak tergarap
karena kesulitan mencari buruh tani untuk
menggarapnya.
Dampak Urbanisasi dalam Aspek
Sosial-Budaya
Perbincangan mengenai akibat urbanisasi
bagi masyarakat desa, selama ini lebih
banyak mengungkapkan pada aspek sosial
ekonomi, sementara sorotan terhadap aspek
sosial budaya dirasakan masih kurang. Pada
hal sebagaimana dinyatakan beberapa ahli
seperti Zelinsky (1971:222) dan Lewis
(1982:168) bahwa mobilitas penduduk me -
megang peranan penting dalam perubahan
sosial-budaya dengan cara membawa ma-
syarakat dari kehidupan tradisional ke sua -
sana dan cara hidup modern yang dibawa
dari luar. Perubahan tersebut termasuk per -
geseran nilai dan norma serta jaringan dan
pola hubungan kekerabatan di pedesaan.
Sebenarnya tidaklah mudah menge -
mukakan perubahan yang terjadi pada aspek
sosial budaya ini, karena tidak begitu
nampak secara nyata seperti halnya pada
perubahan sosial ekonomi. Sehingga untuk
mengetahuinya diperlukan pengamatan yang
agak intensif dan wawancara mendalam
dengan beberapa tokoh masyarakat yang
benar-benar menguasai pemasalahan. Bebe -
rapa perubahan dalam aspek sosial budaya
antara lain tersebut di bawah ini.
Pertama, perubahan yang paling
nampak dalam aspek sosial budaya adalah
dalam bidang pendidikan. Beberapa infor -
man mengemukakan bahwa sejak sekitar
dua puluh tahun terakhir ini, yaitu sejak
berangsurnya penduduk Desa Jetis melaku -
kan urbanisasi, maka kesadaran penduduk
untuk menyekolahkan semakin meningkat.
Bila pada tahun 1970-an kebanyakan orang
tua hanya menyekolahkan hingga tamat SD,
dan sangat sedikit yang menyekolahkan
hingga sekolah lanjutan, kini sebagian besar
telah menyekolahkan anak-anak mereka
hingga ke jenjang sekolah lanjutan atas,
bahkan hingga perguruan tinggi. Di desa
Jetis, tidaklah aneh bila orang tuanya
bekerja di kota sebagai pedagang bakso,
sementara anaknya kuliah di perguruan
tinggi. Tanpa mengabaikan pengaruh varia -
bel lain, misalnya fasilitas pendidikan yang
semakin banyak hingga ke pelosok desa,
urbanisasi berdampak pada peningkatan
kesadaran menyekolahkan anak, wawasan
dan pemikiran semakin terbuka setelah ba -
nyak berhubungan dengan masyarakat luar,
dan melihat perkembangan pembangunan
yang terjadi di tempat lain. Apalagi ke -
sadaran ini semakin ditunjang peningkatan
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
75
pendapatan sehingga mereka mampu
membiayai pendidikan anaknya.
Kedua, urbanisasi juga berdampak
pada perubahan peranan dan tanggung jawab
wanita. Kenyataan ini terutama nampak pada
wanita yang ditinggal suaminya bekerja di
kota, mereka harus bertindak sebagai kepala
rumah tangga selama suaminya tidak ada di
rumah. Wanita tidak hanya bertanggung
jawab atas kegiatan di dalam rumah tangga,
tetapi juga harus melakukan kegiatan
kemasyarakatan atas nama suami. Secara
tidak langsung mengubah kebiasaan
menempat-kan kaum wanita hanya sebagai
ibu rumah tangga serta berurusan dengan
kegiatan wanita saja. Sebagaimana program
pemerintah yang menuntut kaum wanita
untuk turut serta dalam kegiatan di luar
rumah tangga.
Ketiga, dampak urbanisasi juga ter -
lihat pada kelembagaan keluarga, khususnya
dalam sistem perkawinan, di mana sekarang
ini orang tua tidak lagi dominan dalam
menentukan pilihan jodoh bagi anaknya.
Dalam kasus di Desa Jetis ini, banyak di
antara pemuda-pemudinya yang memperoleh
pasangan hidup dari luar daerah atas dasar
pilihannya sendiri , dan kebanyakan
jodohnya tersebut diperoleh di kota tempat
mereka bekerja. Dampak lain adalah
semakin meningkatnya usia perka -winan.
Kalau pada tahun 1970-an anak gadis yang
belum berumur 18 tahun sudah di -nikahkan,
kini umur kawin telah meningkat dan
cenderung diprogram oleh mereka sendiri.
Keempat, urbanisasi memberikan
pengaruh pada meluasnya kerangka pemi -
kiran penduduk desa serta mengubah
perilaku masyarakat dari orientasi sosial ke
orientasi komersial. Dalam hal ini telah
terjadi perubahan apresiasi nilai uang pada
seluruh warga desa, atau dengan kata lain
meminjam istilah beberapa ahli, di desa
tersebut telah terjadi monetisasi dan
komersialisasi aktivitas yang semula bersifat
sosial. Kegiatan gotong-royong yang selama
ini dipandang merupakan aktivitas luhur
yang kita banggakan kini semakin luntur.
Contoh nyata dalam hal ini adalah bahwa
dewasa ini kegiatan memperbaiki rumah,
membangun pagar, membuat sumur, dan
kegiatan-kegiatan lain di sekitar rumah
tangga sekarang tidak lagi dilakukan dengan
cara sambatan atau tolong-menolong antar
tetangga, melainkan dilakukan dengan
membayar tenaga tukang.
Kelima, dari segi hubungan kekera-
batan, urbanisasi sering diasosiasikan
dengan melemahnya atau longgar -nya
hubungan kekerabatan. Dengan kata lain,
makin meningkat kegiatan mobilitas
penduduk akan semakin melonggarkan ke -
terikatan mereka dengan kehidupan pen -
duduk setempat. Lemahnya hubungan keke -
rabatan sebenarnya tergantung dari persepsi
yang diberikan. Secara fisik, memang
kepergian mereka ke luar desa menga ki-
batkan semakin berkurangnya kesempatan
mereka untuk mengikuti acara atau peris -
tiwa sosial di desa. Tetapi secara batiniah
hubungan dan ikatan dengan daerah asal itu
ada beragam perilaku. Ada yang memang
merasa masih memiliki ikatan kuat dengan
kerabatnya di desa. Hal ini ditunjukkan
dengan perilaku kepulangan mereka setiap
saat ke desa asal. Tetapi ada pula yang sudah
mulai ogah-ogahan pulang ke desa, dan
dengan demikian ikatan kekerabatan juga
sudah melonggar.
Keenam, secara sosial, urbanisasi
akan berpengaruh pada kesejahteraan ke -
luarga migran yang bersangkutan. Hal ini
berkait dengan kehidupan keluarga mereka
yang terpaksa harus hidup terpisah sampai
jangka waktu yang tidak diketahui batasnya.
Sekalipun mereka pada waktu-waktu ter-
tentu pulang ke desa, namun kese-jahteraan
keluarga akan lebih terjamin bila mereka
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
7
selalu berkumpul dalam satu rumah. Namun
demikian, hal ini nampaknya tidak terlalu
dirisaukan oleh orang desa, sebagai
masyarakat desa yang biasa hidup sub -
sistensi, nampaknya pemenuhan ke butuhan
ekonomi lebih mendominasi pemikiran
mereka dalam soal kesejahteraan hidupnya.
Ketujuh, orang-orang sukses di
kota ini dapat menumbuhkan kemampuan
dan keinginan untuk berkompetisi atau
bersaing. Dari sisi positif kompetisi dan
persaingan ini akan sehat dan baik apabila
mendorong mereka terpacu dan semakin giat
bekerja, sehingga keberhasilan ini akan
semakin dapat dirasakan penduduk desa. Di
sisi lain kompetisi dan persaingan ini akan
menjadi tidak sehat karena membuahkan
perilaku budaya baru yang disebut dengan
budaya pamer dengan menggunakan ke -
kuatan ekonomi. Karena budaya pamer ini
tidak sesuai dengan budaya Jawa yang
berusaha untuk konform dengan lingkungan
sekitar. Dalam hal ini, orang mencari penga -
kuan dan kehormatan melalui kekayaannya.
Data di atas sesuai dengan sinyalemen
Saefullah (1994:40) yang menyatakan
penggunaan uang untuk membeli tanah,
mendirikan rumah, membeli sepeda motor,
dan alat-alat rumah tangga modern tam-
paknya terdorong oleh apirasi mobilitas
sosial.
Kedelapan, pengaruh urbanisasi juga
nampak pada kebiasaan berpakaian dan
makan. Perubahan dalam hal berpakaian
tidak semata-mata karena evolusi alamiah,
melainkan juga karena ada kontak dengan
dunia luar atau ada pihak yang memper -
kenalkan. Media massa dan iklan dapat
mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam
berpakaian dan makan, tetapi dampaknya
tidak akan efektif apabila tidak ada orang
yang memberikan contoh nyata dalam
kesehariannya. Setelah melihat cara -cara
baru berpakaian dan mengenal macam-
macam makanan modern sekembalinya ke
desa diperlihatkan kepada orang-orang desa.
Kesembilan, perubahan juga nampak
pada pergaulan remaja, serta interaksi antara
generasi muda dengan orang tua. Dari sisi
positif, urbanisasi mendorong penduduk
untuk memperluas pergaulan dan penga -
laman, dengan akibat lebih lanjut pada
keinginan mereka untuk meningkatkan ke -
mampuan diri. Sedangkan di pihak lain
sebagian remaja yang pergi ke kota mem-
bawa kebiasaan baru yang bersifat negatif
yang diperolehnya di kota seperti minum-
minuman yang mengandung alkohol, ber-
judi. Dampak negatif yang lain adalah mulai
berkurangnya penghormatan terhadap orang
tua. Memang hanya sedikit warga Desa Jetis
yang melakukan kegiatan negatif semacam
itu, meskipun demikian perilakunya dapat
mengganggu kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Dalam hal interaksi antara
generasi muda dengn orang tua seringkali
ditemui adanya kesenjangan, baik dalam hal
nilai, norma dan berakibat pada perilaku
kesehariannya.
Kesimpulan dan Implikasi
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpu l-
kan bahwa urbanisasi yang dilakukan
penduduk desa Jetis sejak tahun 1970 -an
antara lain disebabkan faktor pendorong dari
desa, yaitu hilangnya kesempatan kerja
sebagai akibat terjadinya kemacetan industri
tenun, dan kemudian ditunjang oleh daya
tarik kota yang mereka ketahui dari orang-
orang yang telah berurbanisasi. Arus
urbanisasi mengalami peningkatan yang
pesat, karena adanya kesenjangan yang besar
dalam segi penghasilan antara di desa dan di
kota.
Sebagai pendatang dengan latar bela -
kang pendidikan yang rendah, dan
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
77
ketrampilan yang kurang memadai, umum-
nya mereka bekerja pada sektor informal.
Sedangkan dalam hal tempat tinggal, umum-
nya mereka menyewa rumah atau kamar
secara patungan beberapa orang kemudian
mereka tempati secara bersama-sama. Kon-
disi tempat tinggal mereka umumnya kurang
memenuhi syarat kesehatan, dan kondisi ini
seringkali bertolakbelakang dengan rumah
yang mereka miliki di desa.
Urbanisasi telah menjadi penghu-
bung antara desa dengan kota. Mereka yang
melakukan urbanisasi secara pr aktis telah
menjadi sumber kemajuan dan kehidupan
dunia luar serta menjadi model manusia
modern di desa asalnya. Dengan demikian,
urbanisasi telah membuat masyarakat desa
menjadi semakin berwawasan luas, bersikap
progresif, dan terbuka terhadap perubahan.
Urbanisasi penduduk desa Jetis ter -
nyata memberikan dampak dalam berbagai
aspek kehidupan bagi penduduk desa.
Dampak urbanisasi pada aspek sosial
ekonomi yang paling nampak adalah
terjadinya peningkatan kesejahteraan hidup
warga masyarakat. Secara fisik perubahan
yang dapat dilihat adalah semakin banyak -
nya bangunan rumah baru dengan model
baru, terutama dibangun oleh penduduk
yang melakukan urbanisasi. Perubahan seca -
ra fisik yang lain nampak pada pem-
bangunan prasarana dan sarana umum se -
perti jalan, jembatan, dan sarana peribadat -
an. Sedangkan dalam bidang pertanian,
dampak yang ditimbulkan nampaknya cen -
derung kurang menguntungkan. Hal ini
terlihat dari sulitnya pemilik sawah untuk
mencari tenaga buruh tani di desa setempat,
sehingga terpaksa mereka mendatangkan
buruh tani dari daerah lain.
Pada aspek sosial budaya, perubahan
yang paling nampak sebagai akibat
urbanisasi adalah dalam bidang pendidikan,
dalam arti semakin tingginya tingkat pen -
didikan yang dicapai oleh penduduk setem-
pat. Dampak lain adalah kemampuan me-
reka dalam mencari nafkah di kota di satu
sisi telah menumbuhkan budaya kompetisi
dan persaingan, di sisi lain timbul budaya
pamer untuk meningkatkan status sosial.
Implikasi dari kasus urbanisasi di
desa Jetis adalah perlu adanya kebijak sa-
naan yang mengarahkan urbanisasi menjadi
peluang untuk mempercepat proses pem-
bangunan desa ke arah yang lebih positif,
yaitu dengan memanfaatkan mereka yang
melakukan urbanisasi untuk berperan se -
bagai media dalam upaya memindahkan
pengalaman pembangunan dari daerah lain
untuk diterapkan di desanya, dengan kata
lain mereka diberi peran sebagai agent of
change bagi pembangunan desanya.
Implikasi yang lain adalah bahwa
dengan peningkatan sarana dan prasarana
transportasi dan jaringan komunikasi perlu
adanya pemikiran tentang strategi kebijak -
sanaan yang mengintegrasikan antara pem-
bangunan desa dengan pembangunan kota.
Daftar Pustaka
Aminudin, Moh., Kemiskinan dan Polari -
sasi Sosial:Studi Kasus di Desa Bu-
lugede, Kabupaten Kendal, Jawa
Tengah (Jakarta:UI Press, 1987).
Collier, William L., Sistem Tebasan, Bibit
Unggul, dan Pembaharuan Desa di
Jawa, dalam Prisma, No. 3 (6)
1974.
Effendi, Tadjuddin Noer, Masalah Ketena -
gakerjaan di Pedesaan dan Strategi
Penanganannya, dalam Peter Hagul
(ed.) Pembangunan Desa dan
Lembaga Swadaya Masyarakat
(Jakarta: CV Rajawali, 1985).
Tri Joko S. Haryono, Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal , Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,
Oktober 1999, 67-78.
78
Hugo, G., Circular Migration in Indonesia
dalam Population and Development
Review, No. 8 (1) 1986.
Lewis, G.J., Human Migration, A Geo-
graphical Perspective (London:
Croom Helm, 1982).
Mantra, Ida Bagus, Pola Mobilitas Pendu -
duk dari Desa ke Kota, dalam Wi-
dyapura, No. 6, 1980.
McGee, TG., The Urbanization Process in
the Third World (London: G. Bell,
1982).
Papanek, Gustav dan Dorodjatun Kuntjoro -
Jakti, Penduduk Miskin di Jakarta ,
dalam Kemiskinan di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1986).
Saefullah, Asep Djaja Mobilitas Penduduk
dan Perubahan di Pedesaan, dalam
Prisma, No. 7, Tahun XXIII, 1994.
Singarimbun, Masri dan Penny DH, Pen-
duduk dan Kemiskinan (Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, 1976).
Todaro, M.P., A Model of Labor Migration
and Urban Unemployment in Less -
Developed Countries, dalam
American Economic Review, No. 59,
1970.
White, Benjamin, Javas Green Revolution
in Long-term Perpective dalam
Prisma, Edisi Bahasa Inggris, No.
48, 1989.
Zelinsky, Wilbur The Hypothesis of the
Mobility Transition, dalam The
Geographical Review, Volume LXI,
1971.

Anda mungkin juga menyukai