Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN


Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai terletak di Muara Kaman, di tepi Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan
Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan Kutai didirikan oleh Kudungga pada
abad ke-4 M. Bukti berdirinya Kerajaan Kutai adalah ditemukannya
tujuh buah prasasti yang berbentuk yupa. Yupa yaitu tiang batu
pengikat hewan korban yang dipersembahkan oleh para brahmana.
Yupa ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Raja Hindu
pertama di Kerajaan Kutai adalah Aswawarman. Ini dibuktikan oleh
gelar yang dimilikinya, yakni wangsakerta atau pendiri keluarga
kerajaan (dinasti).
Dari tulisan pada yupa yang berbunyi

rmatah r-narendrasya; kuugasya mahtmana; putro vavarmmo
vikhytah; vaakartt yathumn; tasya putr mahtmna; trayas traya
ivgnaya; ten traym pravara; tapo-bala-damnvita; r mlavarmm
rjendro; yav bahusuvarnakam; tasya yajasya ypo yam; dvijendrais
samprakalpita.

Artinya:

Yupa Kerajaan Kutai

Sang Mahrja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang
Awawarmman namanya, yang seperti Anguman (dewa Matahari) menumbuhkan
keluarga yang sangat mulia. Sang Awawarmman mempunyai putra tiga, seperti
api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mlawarmman,
raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mlawarmman telah
mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk
peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.

Dari tulisan pada yupa tersebut dapat disimpulkan adanya tiga generasi. Silsilah dimulai
dari Kudungga yang mempunyai anak bernama Aswawarman. Aswawarman mempunyai tiga
anak, satu di antaranya Mulawarman.

Kalung Uncal
Kalung Uncal yang merupakan atribut dari Kerajaan Kutai
Martadipura (Mulawarman) ini digunakan oleh Sultan Kutai
Kartanegara setelah Kerajaan Kutai Martadipura berhasil ditaklukkan
dan dipersatukan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kalung
UncalTerbuat dari emas 18 karat dengan berat 170 gram. Kalung ini
dihiasi dengan relief cerita Ramayana.


Mahkota Kerajaan Kutai
Ini adalah Ketopong (mahkota) yang dibuat pada
pertengahan abad ke-19, ketika itu masa pemerintahan
Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899), karya agung
ini dibuat oleh seniman lokal dan tukang emas dari
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Mahkota ini
merupakan salah satu simbol paling penting dari
keberadaan kerajaan, dibentuk sebagai brunjungan, dan

Kalung Uncal
Ketopong Kerjaan Kutai

Pedang Sultan Kutai
membutuhkan hampir dua kilogram emas untuk penciptaannya.

Pedang Sultan Kutai
Pedang Kerajaan Kutai ini terbuat dari emas padat. Pada gagang
pedang terukir seekor harimau yang sedang siap menerkam,
sementara pada ujung sarung pedang dihiasi dengan seekor buaya.


Budaya
Masuknya pengaruh budaya India ke Nusantara, menyebabkan budaya Indonesia
mengalami perubahan. Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah maju.
Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu) atau
disebut Upacara Vratyastoma.
Upacara Vratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga
masih mempertahankan ciri-ciri keIndonesiaannya sedangkan yang memimpin upacara
tersebut, menurut para ahli dipastikan adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada
masa Mulawarman kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh
pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli.
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara
Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka
bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh
yang terdiri dari empat baris dan pada bagian
atas tulisan terdapat pahatan sepasang
telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran
(pilin) dan laba-laba.

Prasasti Ciaruteun

Teks:






Terjemahan:

Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu
(pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawarmman, raja di negri
Taruma, raja yang gagah berani di dunia


Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti
tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu
maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
2. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti Kebonkopi ditemukan di kampung Muara Hilir
kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari prasasti
ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan
dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan
dewa Wisnu.
Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa
Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum

vikkrantasyavanipat eh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam



Prasasti Kebon Kopi
Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Teks:


Terjemahan:

Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki yang seperti Airawata,
gajah penguasa Taruma yang agung dalam.dan kejayaan



3. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan
Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah
batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang
dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain.
Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam
bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh
yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk
permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari
masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak
mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan pada
analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui
bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi.
Teks:
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih

~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~
Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam



Prasasti Tugu
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//
Terjemahan:
Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang
memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut,
setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari
tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan
kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun
menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya,
setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang
Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik,
tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra,jadi
hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur.
Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan
Prasasti Lebak
Prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi
sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten
Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun
1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan
huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti
tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.
Isi :
Terjem
ahan :




Vikranto yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra
ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah




Prasasti Lebak





Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di
bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km
sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahasa
Sansekerta dan huruf Pallawa. Isinya mengagungkan dan
menyanjung keperkasaan Raja Purnawarman baik dalam
memerintah maupun dalam pemerintahan.
Teks
Terjemahan

Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya
dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja.



siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma pracura ri pusara
bhedya bikhyatavarmmo/
tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam yandripanam= bhavati
sukhakaram salyabhutam ripunam//



Prasasti Jambu

Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi terletak di lereng selatan bukit Pasir Awi. Prasasti ini terletak di lereng selatan
Pasir Awi dikawasan hutan perbukitan di Cipamingkis, desa sukamakmur, Jonggol Bogor.
Prasasti ini telah diketahui tahun 1867 M. Prasasti Pasir Awi berpahatkan gambar dahan
dengan ranting dan dedaunan serta buah-buahan (bukan aksara) juga berpahatkan gambar
sepasang telapak kaki.


Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor. Prasasti
Muara Cianten terletak di tepi(sungai) Cisadane. Tertulis
dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping
tulisan terdapat lukisan telapak kaki.



Kerajaan Mataram Kuno ( Dinasti Sanjaya )
Prasasti Canggal
Prasasti Canggal adalah prasasti dalam bentuk
candrasangkala berangka tahun 732 yang ditemukan di

Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya yang
termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan yang baju zirahnya yang
terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa
menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tapi merupakan duri dalam daging bagi
musuh-musuhnya.




Prasasti Muara Cianten

Prasasti Canggal
halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti yang ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Prasasti dipandang
sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari
Kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh
Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian
digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan
padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari
penduduk Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam
tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat
Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan
matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak
perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah
jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya.
Rakyat hidup serba senang.
Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai
tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan. Dalam
epik Ramayana, diceritakan bahwa Rama, Sinta, dan Laksmana mengunjungi pertapaan Agastya
di gunung Kunjara.
Prasasti Balitung atau Prasasti Mantyasih
Prasasti Mantyasih, juga disebut
Prasasti Balitung atau Prasasti
Tembaga Kedu,[1] adalah prasasti
berangka tahun 907 M yang berasal
dari Wangsa Sanjaya, kerajaan
Mataram Kuno. Prasasti ini
ditemukan di kampung Mateseh,
Magelang Utara, Jawa Tengah dan
memuat daftar silsilah raja-raja
Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung
sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat
penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno.
Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa
perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang
batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu
disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung
Sindoro dan Sumbing).

Prasasti ini bertarikh 828 Saka, bagian yang memuat silsilah raja adalah pada bagian B baris 7-9:
ta < 7 > sak rahyang ta rumuhun. sirangbsa ing wanua. sang mangdyan
kahyaan.
sang magawai kadatwan. sang magalagah pomahan. sang tomanggng susuk.
sang tumkeng wanua gana kandi landap nyan paka apatha kamu. rahyang
< 8 > ta rumuhun. ri mdang. ri poh pitu. rakai mataram. sang ratu sajaya.
ri mahrja rakai panangkaran. ri mahrja rakai panunggalan.
ri mahrja rakai warak. ri mahrja rakai garung. ri mahrja rakai
pikatan
< 9 > ri mahrja rakai kayuwai. ri mahrja rakai watuhumalang.
lwiha sangk rik landap nyn paka apatha ri mahrja rakai watukura
dyah dharmmodaya mahambhu.
Penafsiran prasasti :

Prasasti Balitung / prasasti Mantyasih
Di Kerajaan Medang dua dinasti yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra sama-sama
berkuasa. Wangsa Sanjaya didirikan oleh Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang yang beragama
Hindu Siwa. Maharaja selanjutnya ialah Rakai Panangkaran, yang menurutnya dikalahkan oleh
Wangsa Sailendra. Maka di Medang terdapat Wangsa Sanjaya berkuasa di utara Jawa dan
Wangsa Sailendra berkuasa di selatan Jawa. Namun Putri Maharaja Samaratungga dari Wangsa
Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya,
yang kemudian mewarisi takhta mertuanya dan Wangsa Sanjaya pun berkuasa kembali di
Medang.
Daftar silsilah raja-raja Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih adalah:
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan,
4. Sri Maharaja Rakai Warak,
5. Sri Maharaja Rakai Garung,
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan,
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan
9. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Dharmmodaya Mahasambhu.

Candi Prambanan
Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks
candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9
masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa
utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu
sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah.
Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini
adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'),
dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam
arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa
Candi Prambanan
di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi
arsitektur Hindu yang berdasarkan kitab Wastu Sastra.
Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk
candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi
Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan
dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti
bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa
bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti
model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu,
yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Baik lahan denah secara horisontal maupun vertikal
terbagi atas tiga zona:
Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana;
manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn hawa
nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi melambangkan
ranah bhurloka.
Bhuwarloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi,
pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran.
Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bhuwarloka.
Swarloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci tempat para
dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi melambangkan
ranah swarloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan kemuncak mastaka
berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan merupakan modifikasi bentuk
wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna
adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka
candi.
Relief candi Prambanan
Ramayana dan Krishnayana
Candi ini dihiasi relief naratif yang
menceritakan epos Hindu; Ramayana dan
Krishnayana. Relif berkisah ini diukirkan
pada dinding sebelah dalam pagar
langkan sepanjang lorong galeri yang
mengelilingi tiga candi utama. Relief ini
dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan
searah jarum jam mengitari candi. Hal ini
sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu
ritual mengelilingi bangunan suci searah
jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi timur candi Siwa dan dilanjutkan ke
candi Brahma temple. Pada pagar langkan candi Wisnu terdapat relief naratif Krishnayana yang
menceritakan kehidupan Krishna sebagai salah satu awatara Wishnu.
Relief Ramayana menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama, diculik oleh Rahwana. Panglima
bangsa wanara (kera), Hanuman, datang ke Alengka untuk membantu Rama mencari Shinta.
Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari Ramayana, yaitu pagelaran wayang orang Jawa yang
dipentaskan secara rutin di panggung terbuka Trimurti setiap malam bulan purnama. Latar
belakang panggung Trimurti adalah pemandangan megah tiga candi utama yang disinari cahaya
lampu.
Lokapala, Brahmana, dan Dewata
Di seberang panel naratif relief, di atas tembok tubuh
candi di sepanjang galeri dihiasi arca-arca dan relief
yang menggambarkan para dewata dan resi
brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi
penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di candi
Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun kitab
Weda terdapat di candi Brahma. Di candi Wishnu
terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara

Relief Ramayana dan Khrishnayana

Panil Dewata yang diapit oleh dua aspara
atau bidadari kahyangan.
Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru
Di dinding luar sebelah bawah candi
dihiasi oleh barisan relung (ceruk)
yang menyimpan arca singa diapit oleh
dua panil yang menggambarkan pohon
hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam
mitologi Hindu-Buddha dianggap
pohon yang dapat memenuhi harapan
dan kebutuhan manusia. Di kaki pohon
Kalpataru ini diapit oleh pasangan
kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh
burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang, domba,
monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola khas yang hanya
ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil Prambanan".


Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah
komplek bangunan candi peninggalan budaya
Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan
Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,
Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di
kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun
1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu
dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).

Relief Singa dan Kalpataru
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada
ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin
(berkisar antara 19-27 C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang
indah. Selain itu, obyek wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang
mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.
Kerajaan Kediri
1. Prasasti Sirah Keting yang memuat tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa
oleh Raja Jayawarsa sekaligus pengesahan desa Marjaya sebagai tanah perdikan atau sima
swatantra.
2. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertasana berisi masalah keagamaan yang
diperkirakan berasal dari Raja Bameswara.







3. Prasasti Ngantang
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti
Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri
menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan
anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri
selama perang melawan Jenggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah
raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya
kembali dengan Kediri.

Prasasti Ngantang

Prasasti Kamulan
4. Prasasti Jaring
Prasasti Jaring terletak di Dusun Jaring, Kelurahan
Kembangarum, Kecamatan Sutojayan, Blitar. Prasasti ini
disebut juga Prasasti Gurit karena dahulu tempat ini
merupakan hutan yang dinamakan Gurit. Prasasti Jaring
menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuna. Isinya
menyebutkan peresmian sima Jaring pada tanggal 11
Suklapaksa bulan Marggasira tahun 1103 Saka ( 19
November 1181M) oleh Sri Maharaja Sri Kroncaryyadipa
Handabhuwanamalaka Parakramanindita Digjayo-
ttungadewanama Sri Gandra. Hurufnya dipahatkan
mengelilingi batunya, pada bagian depan berjumlah 25 baris
dan bagian belakang 30 baris. Prasasti yang bertarik 1181 M
ini berisikan tentang penduduk Desa Jaring yang telah menghadap raja dengan perantaraan
senapati sarwwajala (panglima angkatan laut), memberitahukan bahwa mereka telah
memperoleh anugerah Raja Kadhiri sebelumnya tetapi belum menikmati sepenuhnya sampai
saat itu. Karena mereka menunjukkan kesetiaannya dan ikut memerangi musuh raja akhirnya
permohonannya dikabulkan. Dalam prasasti tersebut diketahui adanya nama-nama hewan
untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan
Puguh, Lembu Agra, dan Macan Kuning.

5. Prasasti Kamulan
Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja
Sarweswara Trikramawataranindita Srngga
Lancana Dikwijayotunggadewa atau biasa
dikenal dengan nama Kertajaya tahun 1116
Saka atau 1194 Masehi.
Berdasarkan prasasti ini ditetapkanlah "Hari
jadi Kabupaten Trenggalek pada hari" Rabu
Kliwon "tanggal 31 bulan Agustus tahun

Prasasti Jaring
1194.
Karya Sastra
Kitab Kakawin Bharatayudha Karya Empu Sedan dan Empu Panuluh
Pada hakikatnya isi cerita kakawin Barathayudha ini menceritakan tentang peperangan antara
keluarga pandawa melaean keluarga kurawa. Sebenarnya kedua duanya ( pandawa dan
kurawa ) adalah satu keluarga yaitu keluarga Bharata, maka peperangan diantara mereka itu
dinamakan perang Bharatayudha. Dua keluarga tersebut dikatakan keluarga Bharata karena
berdasarkan pada garis keturunan sampai pada Bhisma yang menjadi Brahmacarin.
Sumber cerita Bharatayuudha ini kemungkinan besar tidak langsung dari sloka Mahabharata
Sansekerta. , tetapi kemungkinan besar justru mengambil dari kitab kitab parwa dalam bahasa
Jawa Kuna sebelumnya, salinan yang berbahasa prosa dari Jaman Dharmawangsa Teguh.
Mahabharata terkenal pula dengan nama Astadasaparwa. Oleh karena kitab itu terbagi atas 18
parwa. Kakawin Kresnyana ditulis oleh mpu Triguna pada saat prabu Warsajaya memerintah
di Kediri pada kurang lebih tahun 1104 Masehi.
Kitab Kakawin Kresnayana
Kakawin Kresnyana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna yang menceritakan pernikahan
prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini. Kresnyana secara harafiah berarti
perjalanan Kresna, maksudnya perjalanannya ke negeri Kundina, tempat sang Rukmini.
Isi :
Dewi Rukmini, putri prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan dengan Suniti, raja
negerei Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Dewi Pretukirti lebih suka jika putrinya menikah dengan
Kresna. Maka karena hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-
sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi tahu Kresna supaya
datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-diam melarikan diri.
Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala tentara
mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir membunuh Rukma namun dicegah
oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan.
Kitab Kakawin Smaradahana
Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang
menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya. Penulis Smaradahana bernama mpu
Dharmadja.
Isi :
Ketika Batara Siwa pergi bertapa, Indralaya didatangi musuh, raksasa dengan rajanya bernama
Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya
di Kahyangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke
Kahyangan ,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya.
Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah
sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya
dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:
hasrat mendengar yang merdu
hasrat mengenyam yang lezat
hasrat meraba yang halus
hasrat mencium yang harum
hasrat memandang yang serba indah
Akibat panah pancawisesa tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi
Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah atas perbuatan batara Kamajaya.
Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada di tengah-tengah dahi,
hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan
menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas
kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali, permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam
sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki,
sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi
Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata
yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya,
kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha.
Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka
Ganesha 'lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat
berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan
para dewa bersuka cita.
Kitab Lubdaka dan Kitab Wertasancaya
Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang
pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa
dan rohnya diangkat ke surga. Dan Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara
membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
Peningggalan Kerajaan Singosari
Candi Kidal
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan
Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan
atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang
memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian
Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari
perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai
bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa
Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990.
Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral
pembebasan dari perbudakan.
Struktur
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak
agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk
sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga
memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk
melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas
semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap
seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat
disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu
disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik
candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci.
Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya
terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya
taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya
terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai
penjaga bangunan suci candi.
Relief Garuda
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang
menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini
sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita
moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno
berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan
Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan
penebusan air suci amerta.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief
dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi
kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya
(berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah
selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama
menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di
atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief
tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

Relief I: Garuda melayani para
ular


Relief II: Garuda mengambil tirta
amerta

Relief III: Garuda menyelamatkan
ibunya
Candi Jago
Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu",
didirikan pada masa Kerajaan Singhasari
pada abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan
Tumpang, Kabupaten Malang.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya
hanya tersisa sebagian dan menurut cerita
setempat karena tersambar petir. Relief-
relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat
ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan
bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
Struktur
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang
23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi;
yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan
candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di
bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap
belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau
Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-
relief cerita Kresnayana, Parthayana,
Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma,
serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan
cerita relief Candi Jago kita berjalan
mengelilingi candi searah putaran jarum jam
(pradaksiana).

Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri.
Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu
kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi
menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan
serigala. Kura-kura membalas dengan kata-kata sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh
karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang
lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan
orang.
Candi Singosari
Candi Singhasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu
- Buddha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari
yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari,
Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia.
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem
menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu
selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru
turun ke bawah.
Struktur
Candi Singosari dibangun dengan bentuk menyerupai limas, batu disusun dari bawah hingga ke
atas lalu dipahat dengan bagian atas lebih kecil dari bagian bawah candi. Batur (pondasi), kaki
candi, tubuh candi dan atap memiliki fungsi yang berbeda-beda kegunaannya.
Pada bagian Batur berfungsi sebagai pondasi yang menjadi tonggak berdirinya Candi Singosari.
Kaki Candi Singosari menjadi ruangan relung-relung yang ada disini. Tubuh Candi Singosari
sengaja dikosongkan, ini untuk menghormati roh-roh suci di Candi Singosari. Sedangkan pada

Relief pada dinding candi

Hiasan Muka Kala
bagian puncak candi ini disediakan persemayaman para dewa dewi yang dianut oleh agama
Hindu-Budha.
Salah satu relief binatang berbentuk singa dengan pahatan
saling bertolak pandang. Ada juga burung jaringan, yaitu
burung yang dipercaya hidup pada saat candi ini dibangun.
Pahatan wajah-wajah seram yang disebut Muka Kala atau Kirti
Murka juga menghiasi Candi Singosari. Pahatan ini berfungsi
sebagai pengusir roh-roh jahat yang akan datang membawa
bencana terhadap Candi Singosari.

Peninggalan Kerajaan Majapahit
Prasasti Butok (1244 tahun).
Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini
memuat peristiwa keruntuhan kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk
mendirikan kerajaan
Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama.
Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari kediri dan tahun-
tahun awal perkembangan Majapahit
Karya Sastra
Karya sastra
Kitab Pararaton
Serat Pararaton, atau Pararaton saja
(bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"),
adalah sebuah kitab naskah Sastra
Jawa Pertengahan yang digubah
dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini
cukup singkat, berupa 32 halaman
seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan
Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam
bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa
penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan
Singhasari (12221292. Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok
meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penggambaran pada
naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-
bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di
sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi
semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga
kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita,
melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat
Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken
Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah
1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah
dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih mendekati tahun
pertama daripada tahun kedua.
Kitab Negarakertagama
Kakawin Nagarakretagama (Ngaraktgama)
atau juga disebut dengan nama kakawin
Desawarnana (Deawarana) bisa dikatakan
merupakan kakawin Jawa Kuna karya Empu
Prapaca yang paling termasyhur. Kakawin ini
adalah yang paling banyak diteliti pula.
Isi :
Kakawin ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350
sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang
pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah
"wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti. Naskah kakawin ini terdiri dari
98 pupuh. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat
rapi. Pupuh 1 sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 8 sampai 16
menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan
perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk,
dengan rincian lebih detailnya pupuh 40 sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh
45 sampai 49 tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam
Wuruk. Pupuh 1 - 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini.
Bagian kedua dari naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh, terbagi dalam uraian
sebagai berikut: Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang sedang
berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah perjalanan pulang ke
Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh yang dibawa pulang dari pelbagai daerah yang
dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya
berupa pesta srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang
berita kematian Patih Gadjah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci
yang terdapat di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang
berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan.
Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam
Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga prapanca
yang menulis naskah tersebut.
Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan
Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit. Akan tetapi karya ini
bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan
diri ataupun legitimasi kekuasaan. Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca
yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang Raja ingat
sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini disusun
setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama Prapanca sendiri
merupakan nama pena, nama samaran untuk menyembunyikan identitas sebenarnya dari
penulis sastra ini. Karena bersifat pujasastra, hanya hal-hal yang baik yang dituliskan, hal-hal
yang kurang memberikan sumbangan bagi kewibawaan Majapahit, meskipun mungkin
diketahui oleh sang pujangga, dilewatkan begitu saja. Karena hal inilah peristiwa Pasunda
Bubat tidak disebutkan dalam Negarakretagama, meskipun itu adalah peristiwa bersejarah,
karena insiden itu menyakiti hati Hayam Wuruk. Karena sifat pujasastra inilah oleh sementara
pihak Negarakretagama dikritik kurang netral dan cenderung membesar-besarkan kewibawaan
Hayam Wuruk dan Majapahit, akan tetapi terlepas dari itu, Negarakretagama dianggap sangat
berharga karena memberikan catatan dan laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit.
Kitab Sutasoma
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa
Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait
dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia:
Bhinneka Tunggal Ika.
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab
diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai
sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai
protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi
antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan
Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada
abad ke-14.
Isi :
Kisah Sutasoma menjelaskan nilai pengorbanan dan belas kasih antar sesama yang sepatutnya
dijalankan oleh seorang Boddhisattva guna mencapai kesempurnaan sejati yang menjadi ciri
ajaran Mahayana. Oleh karena itu, Mpu Tantular membuat ajaran Siwa dan Buddha menjadi
satu (tunggal), seperti terungkap dalam kalimat: Hyang Buddha tanpahi Siwa rajadewa,
mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika tanhana dharmma mangrwa,
yang artinya adalah Hyang Budha tak ada bedanya dengan Siwa, raja para dewa., karena
hakikat Jina (Budha) dan Siwa adalah satu, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran
bermuka dua.
Kitab Kujarakarna
Kujarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuna yang menceritakan seorang yaksa, semacam
raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
Isi :
Pada suatu hari Kujarakarna bertapa di gunung Mahameru supaya pada kelahiran berikutnya
ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap
Wairocana.
Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar
bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di
neraka.
Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia diperbolehkan
memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali
ke bumi dan berpamitan radengan istrinya.
Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya ratusan tahun. Lalu ia
diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di
lereng gunung Mahameru.
Candi Penataran
Candi Penataran atau Candi Panataran atau
nama aslinya adalah Candi Palah adalah
sebuah gugusan candi bersifat keagamaan
Hindu Siwaitis yang terletak di Desa
Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten
Blitar, Jawa Timur. Candi termegah dan
terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng
barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara
Blitar, pada ketinggian 450 meter di atas
permukaan laut. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun
pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut
digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar
tahun 1415.

Kompleks candi Penataran
Dalam kitab Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365, Candi ini disebut sebagai
bangunan suci "Palah" yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk dalam perjalanan kerajaan
bertamasya keliling Jawa Timur.


Kompleks Candi
a) Candi Angka Tahun
Candi Angka Tahun berangka tahun 1291 Saka atau 1369
Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih mengenalnya
dengan nama Candi Brawijaya yang merupakan
bangunan yang paling dikenal dalam kompleks Candi
Penataran dan juga digunakan sebagai lambang kodam V
Brawijaya. Candi Angka Tahun berangka tahun 1291 Saka
atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih
mengenalnya dengan nama Candi Brawijaya yang
merupakan bangunan yang paling dikenal dalam
kompleks Candi Penataran dan juga digunakan sebagai
lambang kodam V Brawijaya.
Pada bagian atas bilik candi pada batu penutup cungkup
terdapat relief Surya Majapahit yakni lingkaran yang
dikelilingi oleh jurai pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa
segitiga sama kaki. Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain, terdiri
dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh
candi, terdapat bilik atau kamar candi (garbagriha) dan kemudian mastaka atau kemuncak
bangunan yang berbentuk kubus.
b) Candi Naga
Pada bagian dalam halaman tengah ini terdapat Candi
Naga yang hanya tersisa bagian kaki dan badan
dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter
dan tinggi 4,70 meter. Nama Candi Naga digunakan untuk menamakan bangunan ini karena
sekeliling tubuh candi dililit naga dan disangga tokoh-tokoh berbusana raya seperti raja
sebanyak sembilan buah, masing-masing berada di sudut-sudut bangunan, bagian tengah
ketiga dinding dan di sebekah kiri dan kanan pintu masuk. Para Batara ini menggambarkan
sosok makhluk kahyangan, yaitu para dewa dilihat berdasarkan dari ciri busana raya dan
perhiasan mewah yang dikenakannya.
c) Candi Utama
Pada halaman ketiga ini terdapat
bangunan candi induk yang terdiri dari
tiga teras tersusun dengan tinggi 7,19
meter. Pada masing-masing sisi tangga
terdapat dua arca mahakala, yang pada
lapiknya terdapat angka tahun 1269
Saka atau 1347 M. Sekelling dinding
candi pada teras pertama terdapat
relief cerita Ramayana.
Pada sisi sebelah barat daya halaman
terdapat dua buah sisa bangunan.
Sebuah candi kecil dari batu yang belum
lama runtuh yang oleh orang Belanda
dulu dinamakan klein heligdom atau
bathara kecil. Nampaknya candi inilah
yang mula-mula dibuat bersamaan
dengan parasasti Palah melalui upacara
pratistha tersebut. Sebuah sisa yang lain
berupa pondasi dari bata. Kedua sisa bangunan ini menghadap ke arah barat daya. Sederet
dengan sisa kedua bangunan ini berdiri sebuah lingga batu yang disebut Prasasti Palah. Dalam
area komplek percandian juga terdapat sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415
Masehi yang terletak di belakang candi sebelah tenggara dekat aliran sungai.


Bangunan utama candi Penataran berbentuk piramida berundak

Relief pada candi utama berbentuk kotak panel dan medalion



Candi Tikus
Candi Tikus adalah sebuah peninggalan
Kerajaan Majapahit yang terletak di dukuh
Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi
Tikus diperkirakan dibangun pada abad
ke-13 atau abad ke-14. Candi ini
dihubungkan dengan keterangan Mpu
Prapanca dalam kitab Nagarakretagama,
bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-
kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat
bersemayamnya para dewa.
Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat bersarangnya tikus
yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil
yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber
segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-
pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci
amrta, yaitu sumber segala kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai