Anda di halaman 1dari 5

Ringkasan Makalah

Kajian Filologis atas Masalah Qiraah pada Naskah


Quran-e Mansub-e be Khatt-e Hazrat-e Amir
Oleh:
Dr. Titin Nurhayati Makmun, M.Hum.
Otong Sulaeman, M.Hum

Alquran adalah kitab suci umat Islam. Kitab ini juga diyakini oleh ummat
Islam sebagai mukjizat paling besar Nabi Muhammad. Salah satu nilai mukjizat dari
kitab ini adalah otentisitas teks dan keterjagaannya dari perubahan, meskipun
mengalami proses penyalinan selama berabad-abad.
Akan tetapi, keyakinan tersebut menyalahi salah satu prinsip utama filologi,
yaitu bahwa teks yang mengalami proses penyalinan yang berulang-ulang pastilah
akan mengalami perubahan. Kalaulah tidak mengalami perubahan secara
nonmekanis, pastilah akan terjadi perubahan secara mekanis. Semakin panjang usia
teks, semakin banyak perubahan yang terjadi.
Perubahan yang dimaksud tentunya terkait dengan teks, bukan naskah
1
. Hal
ini bisa dilihat dari model-model perubahan yang dikemukakan oleh para ilmuwan
filologi ketika membahas masalah-masalah yang terkait dengan perubahan dalam
penyalinan atau yang terkait dengan kasus-kasus salah tulis/salin. Lakuna, substitusi,
adisi, omisi, interpolasi, substitusi, ditografi, dan metatesis adalah istilah-istilah yang
terkait dengan perubahan teks, bukan perubahan naskah.

1
Dalam studi filologi, teks dan naskah dibedakan dari sisi bahwa teks adalah isi, ide, dan amanat
(bersifat abstrak), sedangkan naskah naskah merujuk kepada sisi fisik yang bisa dicerap oleh
pancaindera.
Prinsip filologis ini menjadi masalah teologis bagi kaum Muslimin yang
meyakini bahwa kitab suci mereka, yaitu Alquran, bersifat abadi dan tidak mengalami
perubahan sedikitpun. Mempercayai prinsip filologis ini berarti menggugurkan
banyak sekali pilar-pilar agama. Jika Alquran yang ada pada ummat Islam ini
memiliki kemungkinan berbeda dengan Alquran yang dulu diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, berarti ummat Islam tidak bisa menjadikan seluruh ayat Al Quran
sebagai kitab acuan.
Agar permasalahan teologis ini teratasi, perlu sebuah penelitian empiris untuk
menunjukkan bahwa teks Alquran yang saat ini ada di tangan kaum muslimin,
apapun madzhab mereka, memang tidak mengalami perubahan meskipun telah
disalin ribuan kali dalam kurun waktu belasan abad.
Salah satu naskah yang bisa dijadikan objek penelitian adalah naskah Alquran
tulisan tangan Ali bin Abi Thalib (sekitar tahun 40 Hijriah/660 Masehi). Naskah ini
terdapat di Museum Razavi, Mashad, Iran. Dalam keterangan yang dicantumkan oleh
pihak museum, naskah ini diberi nama Quran-e Mansub-e be Khatt-e Hazrat-e Amir
(Alquran Tulisan Tangan Yang Mulia Sang Pemimpin). Naskah ini memuat dua juz
Alquran, yaitu juz 29 dan 30.
Naskah Quran-e Mansub-e be Khatt-e Hazrat-e Amir (selanjutnya disebut
QMKHA) adalah satu bukti empiris yang menunjukkan bahwa Alquran sama sekali
tidak pernah mengalami perubahan teks. Meskipun demikian, sebagaimana penulisan
naskah-naskah lainnya di zaman itu, penulisan mushaf tersebut menghadapi banyak
kendala. Salah satu tantangan besar yang muncul dalam penulisan mushaf Alquran
adalah masa qira`ah. Istilah ini merujuk kepada gaya membaca.
Qiraah menjadi bahan kajian khusus dalam studi ilmu-ilmu Alquran karena
kasus perbedaan gaya membaca ini cukup kompleks dan terkadang menimbulkan
perselisihan pendapat. Sedemikian kompleksnya perbedaan itu hingga menimbulkan
kekhawatiran akan munculnya teks baru. Dalam konteks filologis, munculnya teks
baru itu dianggap sebagai keniscayaan. Masalah qiraah bisa menjadi salah satu
pemicu munculnya teks baru.
Ini tentu saja sangat berbahaya dan mengancam prinsip otentisitas teks
Alquran. Akhirnya, agar potensi buruk ini bisa teredam, para ulama menetapkan tujuh
qiraah resmi, yang kemudian dikenal dengan nama qiraah sabah. Dengan
ketetapan ini, gaya baca yang lainnya dilarang.
Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan munculnya ragam bacaan
atas naskah-naskah Alquran yang ada masa itu. Pada naskah QMKHA, maslah-
maslah itu terlihat secara jelas
a. Bentuk Khath Arab yang Masih Sederhana
Pada waktu itu, khat dikalangan Arab masih berbentuk sangat sederhana.
Karenanya dasar-dasarnya masih belum kuat. Apalagi orang-orang Arab masih belum
mengetahui seni tulis dan cara penulisan yang benar. Banyak sekali kata-kata yang
mereka tulis berdasarkan analogi pengungkapannya. Dalam kaligrafi sekarang, masih
tersisa bekas-bekas itu. Nun yang ada di akhir kalimat ditulis dengan bentuk yang
tidak berbeda dengan Ra, demikian juga dengan bentuk Wawu atau Ya yang
pada saat itu adalah satu. Betapa banyak Mim di akhir kalimat ditulis dengan
bentuk Wawu, dan Dal dengan bentuk Kaf dan Ain yang berada di tengah
ditulis dengan bentuk Ha. Kadangkala, mereka menuliskan huruf-huruf dalam satu
kata secara terpisah satu sama lain saling berpisah.
Hal-hal yang tidak selayaknya terjadi pada mushhaf-mushaf terdahulu itu jelas
menimbulkan banyak kesulitan dalam pembacaan. Inilah yang menjadi salah satu
penyebab lain dari munculnya perbedaan yang begitu mencolok di antara para
pembaca Alquran, khususnya mereka yang bukan orang Arab.
b. Tidak Adanya Titik yang Membedakan Huruf-Huruf
Aksara Arab saat Alquran dikodifikasi sama sekali tidak mengenal titik.
Masalah ini kemudian menjadi salah satu faktor penyebab munculnya ragam qiraah
Alquran. Dalam Mushaf Utsmani, dan sama-sama ditulis . Begitu juga
dengan , , dan ; kemudian antara , dan , ; dan ; dan ; dan
; dan ; serta dan . Pembaca harus bisa membedakannya setelah tahu makna
kata sesuai dengan yang diujarkan dengan jeli, apakah huruf ini adalah Jim, Ha atau
Kha. Sebagai contoh, tulisan ( ) bisa dibaca Tablu, Nablu, Natlu, Tatlu,
atau Yatlu Huruf-huruf tersebut tidak bisa dibedakan antara satu dengan yang lain.
Pembaca non-Arab tentu saja akan menemui kesulitan saat berhadapan
dengan teks seperti itu. Situasi seperti inilah yang menyebabkan sebab lain
munculnya ragam qiraah.
c. Tidak Adanya Harakat (Tanda Baca Vokal)
Tidak adanya harakat juga menjadi salah satu sebab lain dari ragam qiraah.
Seperti yang juga dibahas di atas, aksara pada Mushaf Utsmani tidak mengenal
harakat. Sebagai contoh, pada waktu itu tidak jelas apakah tulisan itu dibaca
alamu (saya mengetahui), ilam (ketahuilah), ataukah ulima (saya diberitahu).
Untuk masyarakat Indonesia, aksara seperti ini dikenal dengan istilah Arab
gundul. Orang yang tidak belajar bahasa Arab tentulah sulit untuk membaca Arab
gundul tersebut. Jika Alquran disajikan dengan menggunakan Arab gundul,
dipastikan akan muncul ragam bacaan dalam skala yang tidak bisa dibayangkan.
d. Tidak Dikenalnya Huruf Alif di Tengah Kata
Faktor lain yang menimbulkan masalah dalam penulisan Alquran adalah tidak
dipakinya Alif di tengah kata. Khat Arab Kufi diambil dari khat Suryani. Dalam khat
Suryani, tidak lazim menulis Alif di tengah-tengah kata. Ketika Alquran ditulis
dengan khat Kufi, maka para penulis mushhaf itu tidak menulis Alif di tengah kalimat
seperti , mereka menulisnya . Kemudian ketika tanda-tanda penjelas
itu sudah dibuat, maka mereka menentukan Alif hanya dengan tanda Alif kecil di atas
kalimat, seperti .
Masalah ini (membuang Alif yang ada ditengah-tengah kalimat) akhirnya
menjadi sumber banyaknya perbedaan bacaan. Sebagai contoh, Nafi, Abu Amr dan
Ibnu Katsir membaca ayat (Al-Baqarah: 9) dengan bacaan

.
2

Meskipun dihadapkan kepada kendala-kendala seperti itu, QMKHA tetap
tertulis secara utuh. Mushaf ini sama sekali tidak berbeda dengan Mushaf induk yang
ditulis pada masa Khalifah Utsman bin Affan r.a. Fakta empiris ini membuktikan
bahwa meskipun dihadapkan kepada tantangan qiraah dan juga sejumlah tantangan
besar lainnya, otentisitas Alquran tetap terjaga secara menakjubkan. Karena sifatnya
yang empirical, para ilmuwan mau tidak mau harus mengakui fakta ini. Dengan
demikian, prinsip umum filologis yang menyatakan bahwa setiap penyalinan naskah
kuna pasti akan disertai dengan perubahan teks tidak berlaku untuk Alquran. Hal ini
menunjukkan sisi lain dari mukjizat Alquran

2
Al-Kasyf An Wujuh al-Qiraat al-Sab; jilid 1, hal. 224.

Anda mungkin juga menyukai