Anda di halaman 1dari 37

UJI FIKSASI KOMPLEMEN

Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam
serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa
komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan
eritrosit tersebut melisis.
Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk
penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2
tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks
antigen-antibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada)
menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak
dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi
tahap kedua, secara tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang
diperiksa.
Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini
harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal.
Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu
dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang
dipakai pada sistem uji ini.
Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat
melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin
ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit.
Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai
reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji
terhadap ada tidaknya faktor penghambat atau faktor yang meningkatkan aktivasi
komplemen (antikomplemen atau prokomplemen). Untuk keperluan ini, pada titrasi
komplemen diikutsertakan antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel
selalu harus diikutsertakan kontrol serum positif maupun negatif. Suatu hasil pemeriksaan,
baru bisa dipercaya apabila semua reaktan pada sistem ini terkontrol dengan baik.
Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk
menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian
yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus,
Rubella dan lain-lain.


Uji Fiksasi Komplemen untuk penetapan antibodi terhadap virus
Peralatan dan bahan yang diperlukan (cara mikro)
1. Peralatan yang dipakai sama seperti untuk teknik mikrohemaglutinasi
2. Kit reagens (Behring) terdiri atas antigen virus, komplemen, eritrosit domba, hemolisin
dan larutan penyangga.

Cara kerja :

I. Uji Pendahuluan
1. Titrasi hemolisin
a. Sediakan 9 tabung reaksi. Masukkan kedalam tabung pertama dan seterusnya larutan
penyangga dengan volume seperti pada gambar.
b. Masukkan 1,0 ml hemolisin yang telah diencerkan 1:100 kedalam tabung pertama, lalu
campur kemudian pindahkan 1 ml kedalam tabung berikutnya, demikian seterusnya hingga
tabung terakhir.
c. Sediakan 12 tabung, kemudian kedalam 9 tabung pertama dimasukkan masing-masing 0,2
ml larutan hemolisin dari tabung-tabung permulaan. Tabung 10-12 dipakai untuk kontrol
erithrosit.
d. Kedalam tabung 1-9 dimasukkan 0,1 ml komplemen yang sudah diencerkan 1:30, 0,2 ml
suspensi eritrosit 2% dan 0,5 ml larutan penyangga.
e. Kedalam tabung 10-12 masukkan 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,8 ml larutan
penyangga.
f. Campur lalu inkubasikan tabung-tabung tersebut pada suhu 37OC selama 30 menit.
g. Perhatikan adanya hemolisis dan tentukan tabung dengan pengenceran hemolisis
tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Pengenceran ini disebut 1 unit dan untuk
pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit.
h. Pembuatan sistem hemolitik
Campur eritrosit 2% sama banyak dengan hemolisin yang titernya 2 unit. Biarkan dalam suhu
kamar selama minimal 10 menit sebelum dipakai.

2. Titrasi Komplemen
a. Sediakan 3 baris tabung yang jumlahnya masing-masing 8 buah. Kedalam tabung-tabung
baris I masukkan larutan penyangga, komplemen dan larutan antigen, lalu campur
b. Lakukan hal yang sama pada tabung baris ke II dan ke III, hanya sebagai pengganti antigen,
kedalam tabung baris II dimasukkan antigen kontrol dan kedalam tabung baris ke III
dimasukkan larutan penyangga.
c. Inkubasikan semua tabung dalam penangas air dengan suhu 37OC selama 30 menit.
d. Masukkan sistem hemolitik (1h) kedalam semua tabung sebanyak 0,2 ml. Campur dan
inkubasikan lagi pada suhu 37OC selama 30 menit.
e. Perhatikan hemolisis yang terjadi dan tentukan pengenceran komplemen tertinggi yang
menyebabkan hemolisis lengkap. Apabila hemolisis lengkap pada ketiga baris tabung terjadi
pada pengenceran komplemen yang sama, berarti semua reaktan pada sistem ini baik.
f. Pengenceran tertinggi komplemen yang dapat menyebabkan hemolisis lengkap disebut 1
unit dan dipakai 2 unit untuk pengujian.

II. Pemeriksaan sampel
Pada setiap pemeriksaan selalu harus diikutsertakan kontrol antigen, kontrol sistem
hemolitik, kontrol eritrosit dan kontrol komplemen.
Serum penderita terlebih dahulu diinaktifkan dalam penangas air dengan suhu 56OC untuk
menghilangkan komplemen yang ada dalam serum, sehingga satu-satunya sumber
komplemen hanya yang dibubuhkan pada pengujian dan diketahui titernya.

1. Sampel
Pakai satu baris sumur untuk sampel pertama (sampel akut) dan satu baris lain untuk sampel
kedua (konvalesen).
a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan sumur 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul.
b. Masukkan ke dalam sumur 1-4 sampel yang terlebih dahulu telah diencerkan 1:5 sebanyak
25 ul.
c. Buat pengenceran serum mulai sumur 4 sampai 12 dengan mikrodiluter.
d. Masukkan kedalam sumur 2, sebanyak 25 ul antigen kontrol dan ke dalam sumur 3-12
sebanyak 25 ul antigen virus (2 unit).
e. Campur, kemudian masukkan kedalam sumur 1-2 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, lalu
campur lagi.

2. Kontrol antigen
Pakailah satu baris sumur.
a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul.
b. Masukkan kedalam sumur 1-4 serum kontrol positif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak
25 ul, dan ke dalam sumur 11-12 serum kontrol negatif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak
25 ul.
c. Buat pengenceran serum mulai sumur 10 dengan mikrodiluter.
d. Ke dalam sumur 2-12 dimasukkan 25 ul antigen virus (2 unit) kemudian campur.
e. Masukkan ke dalam sumur 1-12 komplemen (2 unit) sebanyak 25 ul, kemudian campur
(kocok dengan alat pengocok).

3. Kontrol sistem hemolitik
Pakailah baris terakhir untuk kontrol sistem hemolitik, eritrosit dan komplemen dengan
prosedur seperti yang diuraikan dibawah ini :
Masukkan ke dalam sumur 1 dan 2 larutan penyangga sebanyak 50 ul dan komplemen
sebanyak 25 ul.

4. Kontrol eritrosit
Masukkan ke dalam sumur 3 dan 4 larutan penyangga sebanyak 75 ul dan sistem hemolitik
sebanyak 50 ul.

5. Kontrol komplemen
a. Masukkan ke dalam sumur 5-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 5-8
antigen virus sebanyak 25 ul dan kedalam sumur 9-12 antigen kontrol sebanyak 25 ul.
b. Buat pengenceran komplemen dalam tabung terpisah sehingga memperoleh larutan
komplemen 2 unit, 1,5 unit, 1,0 unit dan 0,5 unit.
c. Masukkan ke dalam sumur 5 dan 9 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 6
dan 10 komplemen 1,5 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 7 dan 11 komplemen 1,0 unit
sebanyak 25 ul dan ke dalam sumur 8 dan 12 komplemen 0,5 unit sebanyak 25 ul.
d. Campurlah reaktan dalam setiap sumur.

6. Plate ditutup dengan plate lain kemudian diinkubasikan pada suhu 4-6OC selama 18 jam
dalam kotak yang lembab (diberi kain basah).

7. Keesokkan harinya, biarkan plate dalam suhu kamar selama 15 menit, kemudian
masukkan ssitem hemolitik ke dalam semua sumur.

8. Kocok, lalu inkubasikan pada suhu 37OC selama 15-30 menit.

9. Reaksi dianggap selesai bila telah timbul hemolisis lengkap dalam sumur yang berisi
komplemen 2 dan 1,5 unit, hemolisis tak lengkap dalam sumur berisi komplemen 1 unit dan
tidak ada hemolisis dalam sumur berisi komplemen 0,5 unit.

10. Perhatikan hemolisis yang terjadi pada sumur-sumur berisi sampel dan nyatakan
pengenceran tertinggi sampel yang tidak menyebabkan hemolisis.

Penafsiran
1. Adanya reaksi positif (tidak ada hemolisis) berarti dalam serum terdapat antibodi
terhadap virus bersangkutan.
2. Titer antibodi dalam serum tunggal belum memastikan apakah ada infeksi atau pernah
divaksinasi.
3. Untuk mengetahui adanya infeksi diperlukan pemeriksaan serum ganda, yaitu 2 sampel
yang diperoleh pada masa akut dan masa konvalesen dengan jarak waktu 2 minggu. Suatu
kenaikan titer sebanyak 4 kali merupakan indikasi adanya infeksi.
4. Reaksi positif pada kontrol antigen berarti dalam serum antibodi terhadap zat-zat
nonspesifik yang menyertai antigen. Untuk memastikan, titrasi terhadap serum diulang
dengan menggunakan kedua jenis antigen secara paralel. Adanya antibodi spesifik dapat
dipastikan bila titernya terhadap antigen virus 4 kali titer terhadap antigen kontrol.
5. Serum kontrol yang diperoleh dari binatang, kadang-kadang mengandung antibodi
terhadap antigen kontrol hingga dapat menimbulkan hemolisis.
alice athecnthe
Selasa, 13 Desember 2011
UJI SEROLOGIS KHUSUS ELISA


ELISA ( Enzyme-linked immunosorbent assay) atau 'penetapan kadar imunosorben taut-
enzim' merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium
imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang
relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA
diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk
menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan
menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label).

Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang
menggunakan konjugat antigenenzim atau konjugat antobodienzim, dan non-
competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive
assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik
kedua ini seringkali disebut sebagai "Sandwich" ELISA.

Uji ini dilakukan pada plate 96-well berbahan polistirena. Untuk melakukan teknik
"Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi:
Well dilapisi atau ditempeli antigen.
Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.
Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti
peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel
sebelumnya.
Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.
Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader
hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung rata-rata
kontrol negatif yang digunakan, didapatkan nilai cut-off untuk menentukan hasil
positif-negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan
hasil negatif, dan demikian juga sebaliknya.


Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang
besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang
satu dengan antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini
dilakukan pada window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu
virus baru dimulai sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan
tidak dapat terdeteksi
1. Pengujian Secara Serologi (ELISA)
1.1 Secara langsung (baku) (Double Antibody Sandwich) (DAS ELISA)
Dalam uji ini digunakan konjugat gamma globulin murni dari antibody virus yang telah
dilabel dengan enzim. Konjugat ini hanya dapat digunakan untuk virus tertentu
saja.
Cara kerja
Gamma globulin (pengenceran yang telah disiapkan) dimasukkan ke dalam sumur-sumur
cawan elisa, masing-masing sebanyak 100-200 ul.
Selanjutnya diinkubasikan selama 1 2 jam pada suhu 37oC, lalu buang larutannya dan
cawan ELISA dibilas dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit.
Contoh antigen (dilarutkan dalam PBST + PVP atau ekstrak buffer) dimasukkan ke dalam
sumur-sumur cawan ELISA, masing-masing 100 200 ul.
Inkubasikan selama 1 2 jam pada suhu 37oC. Lalu buang larutannya dan cawan Elisa
dibilas kembali dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
Enzim konjugat yang telah dlarutkan dengan konjugat buffer dengan perbandingan
tertantu dimasukkan dalam lubang-lubang cawan masing-masing sebanyak 100 200
ul.
Inkubasikan selama 1 2 jam pada suhu 37oC. Lalu buang larutannya dan cawan Elisa
dibilas kembali dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
Siapkan substrat buffer kemudian larutkan PNPP ke dalamnya dengan perbandingan 1:1
(ul/ml), masukkan larutan tadi kedalam lubang-lubang cawan Elisa sebanyak 150
200 ul. Inkubasikan cawan Elisa pada suhu kamar. Lihat perubahan warnanya setelah
30 60 menit. Pembacaan dapat dilakukan secara langsung (visual) atau dengan Elisa
Reader.
1.2 Secara tidak langsung (Double Antigen Coating/DAC)
Cara pengujian tidak langsung digunakan konjugat gamma globulin dari serum darah
hewan(kelinci, kambing atau mencit) yang telah dilabel dengan enzim. Konjugat ini
dapat digunakan untuk mendeteksi semua virus tanaman.
Cara Kerja :
Sap antigen dilarutkan dalam coating buffer dengan perbandingan 1:50 atau lebih
Larutan tersebut dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan Elisa, masing-masing
sebanyak 100 ul.
inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu buanglah larutannya dan cawan Elisa
dibilas dengan PBS-Tween sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
Antiserum (dilarutkan dalam konjugat buffer) dimasukkan ke dalam lubang-lubang
cawan Elisa, masing-masing sebanyak 100 ul.
Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC. Lalu lakukanlah tahap kerja ke-2
Konjugat (anti rabbit FC gamma globulin + alkalin phospatase) dimasukkan masing-
masing sebanyak 100 ul.
Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu lakukan tahap kerja ke-2.
Substrat (sama seperti pada uji Elisa baku) dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan
Elisa, masing-masing sebanyak 100 ul.
inkubasikan cawan Elisa pada suhu kamar selama 15 30 menit. Pembacaan dapat
langsung (warna kuning yang timbul) atau dengan menggunakan ELISA Reade
Aplikasi ELISA
ELISA dapat mengevaluasi kehadiran antigen dan antibodI dalam suatu sampel,
karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mendeterminasi
konsentrasi antibodi dalam serum (seperti dalam tes HIV), dan juga untuk
mendeteksi kehadiran antigen. Metode ini juga bisa diaplikasikan dalam indiustri
makanan untuk mendeteksi allergen potensial dalam makanan seperti susu, kacang,
walnut, almond, dan telur. ELISA juga dapat digunakan dalam bidang toksikologi
untuk uji pendugaan cepat pada berbagai kelas obat.
Beberapa Tipe ELISA
A. Indirect ELISA
Tahap umum yang digunakan dalam indirect ELISA untuk mendeterminasi konsentrasi
antibodi dalam serum adalah:
1. Suatu antigen yang sudah dikenal dan diketahui konsentrasinya ditempelkan pada
permukaan lubang plate mikrotiter. Antigen tersebut akan menempel pada permukaan
plastik dengan cara adsorpsi. Sampel dari konsentrasi antigen yang diketahui ini akan
menetapkan kurva standar yang digunakan untuk mengkalkulasi konsentrasi antigen
dari suatu sampel yang akan diuji.
2. Suatu larutan pekat dari protein non-interacting, seperti bovine serum albumin (BSA)
atau kasein, ditambahkan dalam semua lubang plate mikrotiter. Tahap ini dikenal
sebagai blocking, karena protein serum memblok adsorpsi non-spesifik dari protein
lain ke plate.
3. Lubang plate mikrotiter atau permukaan lain kemudian dilapisi dengan sampel serum
dari antigen yang tidak diketahui, dilarutkan dalam buffer yang sama dengan yang
digunakan untuk antigen standar. Karena imobilisasi antigen dalam tahap ini terjadi
karena adsorpsi non-spesifik, maka konsentrasi protein total harus sama dengan
antigen standar.
4. Plate dicuci, dan antibodi pendeteksi yang spesifik untuk antigen yang diuji
dimasukkan dalam lubang. Antibodi ini hanya akan mengikat antigen terimobilisasi
pada permukaan lubang, bukan pada protein serum yang lain atau protein yang
terbloking.
5. Antibodi sekunder, yang akan mengikat sembarang antibodi pendeteksi, ditambahkan
dalam lubang. Antibodi sekunder ini akan berkonjugasi menjadi enzim dengan
substrat spesifik. Tahap ini bisa dilewati jika antibodi pendeteksi berkonjugasi dengan
enzim.
6. Plate dicuci untuk membuang kelebihan konjugat enzim-antibodi yang tidak terikat.
7. Dimasukkan substrat yang akan diubah oleh enzim untuk mendapatkan sinyal
kromogenik/ fluorogenik/ elektrokimia.
8. Hasil dikuantifikasi dengan spektrofotometer, spektrofluorometer atau alat optik/
elektrokimia lainnya.
Enzim bertindak sebagai amplifier, bahkan jika hanya sedikit antibodi terikat enzim yang
tetap terikat, molekul enzim akan memproduksi berbagai molekul sinyal. Kerugian
utama dari metode indirect ELISA adalah metode imobilisasi antigennya non-
spesifik, sehingga setiap protein pada sampel akan menempel pada lubang plate
mikrotiter, sehingga konsentrasi analit yang kecil dalam sampel harus berkompetisi
dengan protein serum lain saat pengikatan pada permukaan lubang. Mekanisme
indirect ELISA dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

2. Sandwich ELISA
Tahapan dalam Sandwich ELISA adalah sebagai berikut:
Disiapkan permukaan untuk mengikatkan antibodi penangkap
Semua non spesifik binding sites pada permukaan diblokir
Sampel berisi antigen dimasukkan dalam plate
Plate dicuci untuk membuang kelebihan antigen yang tidak terikat
Antibodi primer ditambahkan, supaya berikatan secara spesifik dengan antigen
Antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim dimasukkan, yang akan berikatan
dengan antibodi primer
Plate dicuci, sehingga konjugat antibodi-enzim yang tidak terikat dapat dibuang
Ditambahkan reagen yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal berwarna/
berfluoresensi/ elektrokimia
Diukur absorbansinya untuk menetukan kehadiran dan kuantitas dari antigen

Keuntungan utama dari metode sandwich ELISA adalah kemampuannya menguji sampel
yang tidak murni, dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki.
Tanpa lapisan pertama antibodi penangkap, semua jenis protein pada sampel
(termasuk protein serum) dapat diserap secara kompetitif oleh permukaan lempeng,
menurunkan kuantitas antigen yang terimobilisasi. Prinsip kerja sandwich ELISA
dapat dilihat pada skema berikut ini:

3. ELISA kompetitif
Tahapan pengerjaan ELISA kompetitif berbeda dari dua metode yang telah dibahas
sebelumnya, yaitu:
Antibodi yang tidak berlabel diinkubasi dengan kehadiran antigennya
Komplek antigen-antibodi ini selanjutnya ditambahkan pada lubang yang telah dilapisi
antigen
Plate dicuci, sehingga kelebihan antibodi tercuci (semakin banyak antigen dalam sampel,
semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang menempel pada
permukaan lubang, karena inilah disebut kompetisi
Ditambahkan antibodi sekunder yang spesifik utnuk antibodi primer. Antibodi sekunder
ini berpasangan dengan enzim
Substrat ditambahkan, enzim akan mengubah substrat menjadi sinyal kromogenik/
fluoresensi.
Dalam ELISA kompetitif, semakin tinggi konsentrasi antigen orisinal, semakin lemah
sinyal yang dihasilkan. Prinsip kerjanya dapat dilihat pada gambar berikut ini:


Diposkan oleh yurnima sari di 20.32
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut

Mengenai Saya

yurnima sari
dreams never come true if you don't believe in
yourself,,,,, @^_
Lihat profil lengkapku

Arsip Blog
2011 (3)
Desember (3)
Aku HIDUP BUKAN Hanya untuk MENUNGGU
Mu SEPERTI IN...
Pengenalan blog
UJI SEROLOGIS KHUSUS ELISA

Template Travel. Gambar template oleh rocksunderwater. Diberdayakan oleh Blogger.


PENDIDIKAN,KESEHATAN DAN BIOTEKNOLOGI KEDOKTERAN
Pendidikan dan Kesehatan merupakan hal yang sangat penting, karena itu kami tampilkan
beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan terutama di bidang Laboratorium
Kesehatan. Serta hal-hal yang menyangkut masalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mikroba atau parasit
Senin, 20 Desember 2010
Imunodiagnostik dan Serologi Pada Infeksi Mikroba
Pada laboratorium mikrobilogi klinik, pembiakan mikroorganismee dari specimen pasien masih
merupakan metoda yang digunakan untuk penyakit infeksi. Pada tahun 1940 dan 1950an
dikembangkan teknik serologi seperti teknik Oudin dan imunodifusi Ouchterlony. Kemudian
setelah itu mulai berkembang metode lain yang didasarkan kepada konsep immunologi,
seperti fiksasi komplemen, yang diperkenalkan sebagai metode yang dapat menentukan
respon imun seseorang terhadap infeksi. Pemeriksaan seperti radioimmunoassay, enzyme
assays dan teknik hibridoma meningkatkan peranan pemeriksaan serologis untuk penyakit
infeksi.
Respon imun spesifik secara sederhana dibagi dalam 2 kategori yaitu: respon yang dimediasi
oleh sel dan respon yang dimediasi oleh antibodi. Respon imun yang dimediasi oleh sel
dibawakan oleh sel limfosit T. Limfosit T berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi beragam
sel efektor, termasuk sel T helper dan sel T sitotoksik. Sel T sitotoksik secara spesifik
menyerang dan membunuh mikroorganismee pada sel hospes yang rusak atau karena
terinfeksi pathogen. Sel T helper memproduksi sitokin, sitokin merangsang pematangan sel B
sehingga sel B memproduksi antibodi yang mampu membunuh organisme yang mengifeksi.
Respon imun yang dimediasi oleh antibodi adalah merupakan protein spesifik yang dihasilkan
oleh limfosit B. karena protein bersifat menimbulkan reaksi fungsi imunologis dan memiliki
struktur globular pada keadaan aktif maka disebut juga immunoglobulin.
Antibodi disekresikan ke dalam darah atau cairan limpa (kadangkala pada cairan tubuh lainnya)
oleh sel B limfosit, atau tetap melekat pada permukaan sel limfosit atau sel lain. Karena sel
yang terlibat dalam kategori respon imun ini berada dalam sirkulasi darah, tipe imunitas
seperti ini disebut juga imunitas humoral. Untuk keperluan penentuan antibodi pada pasien
yang telah diproduksi ketika proses melawan infeksi, serum pasien (atau kadangkala plasma)
diperiksa untuk mengetahui adanya antibodi. Mempelajari diagnosa suatu penyakit
berdasarkan penentuan kadar antibodi dalam serum disebut serologi.
Karakteristik Antibodi.
Secara genetik manusia memilki kemampuan untuk memproduksi secara langsung antibodi
spesifik terhadap hampir semua jenis antigen, baik melalui kontak selama hidup dan oleh
pengenalan tubuh sebagai benda asing. Antigen dapat berupa bagian struktur fisik atau
bahan kimia yang diproduksi dan dilepaskan oleh pathogen misalnya eksotoksin. Satu
pathogen dapat mengandung atau memproduksi banyak antigen yang berbeda-beda yang
dapat dikenali oleh hospes sebagai benda asing, sehingga infeksi oleh satu agent penyakit
dapat menimbulkan produksi antibodi yang berbeda-beda. Sebagai tambahan, beberapa
antigen memiliki sifat tidak dapat dikenali oleh sel hospes apabila antigen tersebut tidak
melalui proses perubahan fisik, sebagai contoh sebelum bakteri pathogen dicerna oleh
leukosit polimormonuklear, beberapa antigen pada permukaan sel tidak dapat dikenali oleh
sistem imun, sekali bakteri tersebut pecah, antigen inilah yang akan dikenali sehingga
terbentuk antibodi untuk melawan antigen tersebut. Berdasarkan alasan tersebut pasien
dapat memproduksi antibodi yang berbeda pada saat infeksi oleh satu jenis penyakit.
Respon imun akan semakin matang dengan adanya paparan yang berulang, dan antibodi
yang terbentuk akan lebih spesifik dan lebih dapat terikat dengan kuat.
Antibodi bekerja dengan jalan:
1). Melekat pada permukaan pathogen dan membuat pathogen lebih dapat diterima oleh sel
fagosit (opsonisasi antibodi)
2). Berikatan dan menghalangi reseptor permukaan pada sel hospes (antibodi netralisasi)
3). Melekat pada permukaan sel pathogen dan berperan dalam penghancuran dengan aktifitas
lisis sistem komplemen (fiksasi komplemen antibodi).
Meskipun metode diagnostik serologi rutin biasanya hanya mengukur dua kelas antibodi yaitu
IgM dan IgG, terdapat lima kelas antibodi yang berbeda yaitu : IgG, IgM, IgE, IgA dan IgD.
Pada struktur antibodi terdapat tempat melekatnya antigen (antigen binding site), yang
bersifat spesifik pada setiap antibodi yang terbentuk. Berdasarkan spesifitas antibodi,
antigen dengan beberapa kesamaan tetapi tidak identik, dapat berikatan pula dengan
antibodi, disebut dengan reaksi silang. Komplemen-binding site terletak ditengah-tengah
struktur molekul dan semua sama pada setiap kelas antibodi. IgM merupakan respon
pertama untuk beberapa antigen, walaupun jumlahnya yang tinggi hanya bersifat
sementara. Sehingga dengan adanya IgM menandakan bahwa baru terinfeksi atau
permulaan infeksi aktif. Dilain pihak IgG merupakan antibodi yang dapat tetap bertahan
lama sampai setelah infeksi hilang. Struktur molekul IgM terdiri dari lima monomer antigen
dengan sepuluh antigen binding site.
Respon imun humoral yang bermanfaat dalam pengujian diagnostik
Sistem imun manusia mampu memproduksi baik antibodi IgM atau IgG dalam hampir semua
pathogen. Pada kebanyakan kasus, IgM diproduksi oleh pasien hanya setelah interaksi
pertama dengan pathogen dan tidak lagi terdeteksi setelahnya dalam waktu singkat. Untuk
kepentingan diagnosa secara serologis, perbedaan yang penting dari IgM dan IgG adalah IgM
tidak dapat menembus plasenta dari ibu hamil, sehingga apabila IgM terdeteksi pada serum
bayi baru lahir, pasti telah dibuat oleh bayi itu sendiri. Dengan molekul yang besar dan
jumlah antigen-binding site IgM dapat membantu mempercepat melenyapkan pathogen.
IgG merupakan antibodi yang lebih spesifik terhadap antigen, walaupun IgG hanya memiliki dua
antigen binding site, tapi dapat pula terikat pada komplemen. Ketika IgG terikat pada
antigen, dasar molekul akan melekat dan terikat pada membran sel fagosit, meningkatkan
kemampuan menelan dan penghancuran pathogen oleh sel hospes. Pertemuan kedua
dengan antigen yang sama biasanya hanya menimbulkan respon IgG. Karena sel B limfosit
menyimpan sel memori dari pathogen tersebut, sehingga dapat lebih cepat merespon dan
lebih banyak dihasilkan antibodi dibandingkan dengan interaksi pertama. Respon cepat
tersebut dinamakan respon anamnestik. Karena sel B memori tidak sempurna, kadangkala
kelompok sel memori akan distimulasi oleh antigen yang mirip tapi tidak sama seperti
antigen asal, yang menimbulkan respon anamnestik poliklonal dan tidak spesifik. Sebagai
contoh infeksi ulang cytomegalovirus akan menstimulasi sel B memori untuk memproduksi
antibodi terhadap virus Eipstein-Barr (family virus herpes lainnya).
Interpretasi pada pemeriksaan serologi
Pemahaman umum dari konsep serologi adalah terjadinya peningkatan titer. Titer antibodi
sebanding dengan pengenceran tertinggi serum pasien dimana antibodi masih dapat
terdeteksi. Pasien dengan jumlah antibodi yang tinggi, karena antibodi masih dapat
terdeteksi pada pengenceran tertinggi, serum yang digunakan untuk penentuan titer
antibodi harus diambil selama fase akut dari penyakit (ketika pertama kali diketahui atau
masih tersangka) dan diulangi selama masa penyembuhan (biasanya dua minggu kemudian).
Specimennya disebut serum akut dan serum konvalesen. Untuk beberapa infeksi, seperti
penyakit legionnaires dan hepatitis, titer dapat tidak meningkat sampai beberapa bulan
setelah infeksi akut atau dapat tidak pernah meningkat sama sekali. Untuk kebanyakan
pathogen, peningkatan titer dari pengenceran empat kalinya (yaitu dari positif pada titer 1/8
menjadi 1/32 pada serum berpasangan (akut dan konvalesen), dapat dipertimbangkan
didiagnosa sebagai infeksi baru. Hasil yang akurat untuk diagnosa penyakit infeksi ini akan
didapatkan hanya ketika serum akut dan konvalesen diperiksa bersama-sama dalam sistem
pengujian yang sama.
Prinsip-prinsip pemeriksaan metode serologis
Penentuan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa kasus antibodi
terhadap satu jenis antigen dapat diperiksa dengan lebih dari satu cara tetapi metode
penentuan antibodi yang berbeda terhadap satu antigen boleh jadi mengukur antibodi yang
berbeda. Berdasarkan alasan tersebut adanya antibodi terhadap pathogen tertentu yang
dideteksi oleh satu metode mungkin saja tidak berhubungan dengan adanya antibodi
terhadap antigen yang sama tapi dengan metode yang berbeda. Kemudian pula setiap
metode pemeriksaan memiliki derajat sensitifitas yang bervariasi dalam mendeteksi adanya
antibodi. Walaupun demikian, karena IgM biasanya diproduksi hanya pada pasien dengan
infeksi pertama kali terhadap agent infeksi, penentuan IgM dapat membantu klinisi dalam
penentuan diagnosa, sehingga kebanyakan metode serologis didasarkan kepada analisa IgM.
Pemeriksaan IgM untuk pemeriksaan serologis
Pemeriksaan IgM berguna khususnya untuk penyakit yang memiliki gejala klinik yang tidak jelas,
misalnya toksoplasmosis atau untuk penyakit yang memerlukan keputusan pengobatan yang
cepat contohnya infeksi rubella pada wanita hamil yang dapat berakibat tidak baik bagi janin
seperti katarak, glukoma, keterbelakangan mental, dan ketulian. Sehingga untuk wanita
hamil yang terinfeksi virus rubella dan mengalami sakit demam dapat dlakukan pemeriksaan
terhadap IgM antirubella. Apabila positif dapat diajukan pilihan untuk menghentikan
kehamilan.
Agent yang sulit dibiakan atau hanya dapat ditemui saat stadium dewasa selama siklus hidupnya
seperti Treponema pallidum, cytomegalovirus, virus herpes, Toxoplasma atau Rubella, biasa
digunakan pemeriksaan IgM, dan telah dikelompokkan dalam satu pemeriksaan STORCH
(syphilis, Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). Tes ini dilakukan secara
terpisah tergantung gejala klinik pada bayi baru lahir. Akan tetapi kadangkala pada bayi yang
terinfeksi terlihat sehat. Demikian pula pada beberapa keadaan biasa terjadi positif palsu
atau negatif palsu dalam pemeriksaan serologis, sehingga berbagai pertimbangan termasuk
kondisi klinis harus disertakan pada infeksi neonatal dan teknik pembiakan pada beberapa
kasus masih merupakan metode yang dipercaya untuk diagnosa penyakit.
Pemisahan IgM dari IgG diperlukan untuk metode pemeriksaan yang menggunakan IgM sebagai
marker yang diberi label, misalnya metode IgM capture sandwich. IgM dahulu dapat
dipisahkan dengan metode sentrifugasi kecepatan tinggi. Metode lain yang digunakan untuk
memisahkan IgG dan IgM didasarkan pada kenyataan bahwa protein permukaan
staphylococcus (proteinA) dan streptococcus (protein G) terikat pada bagian Fc dari IgG .
dengan sentrifugasi dan pemisahan partikel dan ikatan IgG dari campuran maka akan
didapatkan IgM. Metode lainnya yang dapat digunakan untuk memisahkan IgM dari serum
yang mengandung IgG dan IgM adalah dengan penambahan rheumatoid factor. Antibodi
IgM diproduksi oleh beberapa pasien bersama-sama IgG, rheumatoid factor berikatan
dengan IgG sehingga IgM dapat dipisahkan dari IgG.
Metode pemeriksaan antibodi
A. Metode aglutinasi
Reaksi aglutinasi (direk atau pasif) banyak digunakan, sebagai contoh penentuan tipe eritrosit
dalam penggolongan darah, diagnosis imunologi pada penyakit hemolitik seperti anemia
hemolitik yang diinduksi obat, tes rheumatoid faktor (IgM dan IgG), tes untuk syphilis dan
aglutinasi untuk tes kehamilan.
Contoh reaksi aglutinasi pada pemeriksaan Golongan darah
Pada reaksi aglutinasi bakteriologis, dasar pemeriksaan penentuan antibodi adalah pengukuran
antibodi yang terbentuk yang merupakan respon terhadap antigen. Antibodi spesifik
melekat pada permukaan bakteri dalam suspensi yang kental sehingga menyebabkan bakteri
berkumpul membentuk agregat. Antibodi yang demikian disebut dengan aglutinin dan
pemeriksaannya disebut aglutinasi bakteri. Reaksi aglutinasi biasa dilakukan untuk infeksi
bakteri yang sulit dilakukan pembiakan secara in vitro. Bakteri yang menggunakan teknik ini
diantaranya: tetanus, yersiniosis, leptospirosis, brucellosis, dan tularemia. Demam thypoid
agglutinin test (Widal test) sudah jarang digunakan karena biasa bereaksi positif pada pasien
dengan infeksi bakteri lain atau reaksi silang antibodi atau karena pernah imunisasi thypoid.
Pemeriksaan yang paling sesuai untuk pasien tersangka demam thypoid adalah dengan
pembiakan dan identifikasi adanya bakteri Salmonella. Sel parasit Plasmodium, Leismania
atau Toxoplasma gondii, juga telah menggunakan metode aglutinasi langsung untuk deteksi
antibodi. Banyak pasien yang terinfeksi ricketsia memproduksi antibodi yang dapat
menyebabkan aglutinasi non spesifik terhadap bakteri proteus. Tes Weil-Felix dapat
digunakan untuk mendeteksi reaksi silang tersebut, tetapi telah tersedia metode
pemeriksaan infeksi ricketsia yang baru yang lebih spesifik sehingga tes Weil-Felix tidak
dipergunakan lagi.
B. Tes Aglutinasi partikel
Teknik pemeriksaan serologis yang mendeteksi antibodi melalui aglutinasi dari partikel pembawa
(carrier) tiruan dimana antigen terikat pada partikel tersebut. Carrier yang biasa digunakan
partikel lateks atau sel darah merah yang telah di olah, atau biologic carrier seperti sel
bakteri yang dapat membawa antigen pada permukaannya dan dapat berikatan dengan
antibodi yang diproduksi sebagai respon dari sel hospes. Ukuran partikel pembawa
memungkinkan reaksi aglutinasi dapat terlihat. Contohnya untuk antigen cryptococcal
digunakan lateks bead yang dilekati antibodi spesifik pada metode lateks agglutination.
Untuk mendeteksi streptococcus grup A dari swab tenggorok , digunakan metode pemeriksaan
aglutinasi partikel untuk grup -hemolitik streptococcus. Hasil aglutinasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya jumlah dan afinitas konjugat antigen terhadap carrier, waktu
inkubasi dengan serum penderita dan interaksi yang terjadi pada lingkungan mikro (pH dan
konsentrasi protein). Tes komersial telah dikembangkan sebagai satu kesatuan lengkap
dengan pelarut, kontrol dan wadah tersendiri. Untuk hasil yang akurat harus digunakan
sebagai kesatuan tidak bisa dimodifikasi atau digantikan dengan reagen lain. Apabila tes
digunakan untuk specimen LCS misalnya, tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan
specimen serum kecuali ada teknik prosedur yang disajikan didalamnya dan telah
distandarisasi untuk digunakan.
Sel darah merah binatang biasa juga digunakan sebagai carrier antigen pada tes aglutinasi, tes ini
disebut dengan haemaglutinasi untuk mendeteksi adanya partikel virus berdasarkan sifat
mengaglutinasikan eritrosit yang terlihat secara makroskopis dan indirect haemaglutinasi
atau haemaglutinasi pasif, karena bukan merupakan antigen sel darah merah itu sendiri,
tetapi sebagai sel pembawa antigen secara pasif, yang akan diikat oleh antibodi. Yang
digunakan secara luas dari metode ini dan telah tersedia secara komersial adalah
Mikrohaemaglutinasi untuk antibodi Treponema pallidum (MHA-TP), Haemaglutinasi
treponemal untuk syphilis (HATTS), haemaglutinasi pasif untuk antibodi terhadap antigen
ekstraseluler steptococcus , dan tes indirek haemaglutinasi untuk antibodi virus Rubella,
eritrosit diolah dengan penambahan formaldehid-piruvat aldehid sehingga virus rubella
dapat terabsorpsi pada membrane permukaan eritrosit . Pedoman laboratorium terpercaya
seperti Center for Disease Control and Prevention (CDC) juga menyelenggarakan
pemeriksaan indirek haemaglutinasi untuk tes antibodi terhadap beberapa clostridia,
Burkholderia psudomallei, Bacillus anthracis, Corynebacterium diphtheria, Leptospira dan
beberapa agen virus dan parasit.
Contoh pemeriksaan aglutinasi partikel:
ASI Color Mono II test merupakan tes aglutinasi untuk pemeriksaan kualitatif dan semikunatitatif
untuk mendeteksi antibodi heteropil serum yang berhubungan dengan Mononukleus
infeksiosa (IM). Tidak diperlukan pengenceran sampel.
Prinsip pemeriksaan:
Tes didasarkan reaksi antara antibodi IM dalam sampel bereaksi dengan antigen yang dilekatkan
pada eritrosit kuda dan diberi indikator warna. Apabila dalam sampel terdapat antibodi
heterofil akan terjadi aglutinasi yang menunjukkan hasil positif apabila tidak ada antibodi,
tidak terjadi aglutinasi (hasil tes negatif)

Gambar contoh reaksi aglutinasi Positif (1) dan negatif (2)
Sumber www.dshs.state.tx.us/LAB/serology_cf.shtm
Tes Haemaglutinasi
Digunakan untuk pemeriksaan
- Virus influenza dan virus lainnya
- Pemeriksaan protein : Neuramidase , Haemaglutinin ( yang secara spesifik terikat pada sel
eritrosit)

Langkah-langkah pemeriksaan:
1. Pemipetan larutan pengencer.
2. Tambahkan eritrosit dan aduk secara perlahan sampai homogen.
3. Biarkan sel eritrosit tenang dan amati pola susunan eritrosit.
4. Amati apakah sel normal mengendap atau ada aglutinasi dengan mengamati apakah
terbentuk seperti kancing pada dasar mikrotiter plate atau terbentuk suspensi eritrosit yang
terlarut .
Haemaglutinasi inhibisi
Pada umumnya virus yang menginfeksi manusia dapat berikatan dengan sel darah merah dari
spesies yang berbeda. Sebagai contoh partikel virus rubella dapat berikatan dengan sel
darah manusia tipe O, angsa atau eritrosit ayam dan menyebabkan aglutinasi sel darah
merah. Virus influenza dan parainfluenza dapat mengaglutinasikan eritrosit babi, ayam dan
manusia tipe O, arbovirus dapat mengaglutinasikan eritrosit angsa, adenovirus dapat
mengaglutinasikan eritrosit tikus atau sel rhesus kera, virus mumps berikatan dengan
eritrosit kera, virus herpes dan cytomegalovirus mengaglutinasikan eritrosit domba.
Tes serologi untuk mendeteksi adanya antibodi berbagai virus tersebut berdasarkan kemampuan
aglutinasi virus. Serum pasien yang telah diolah dengan penambahan kaolin atau heparin-
magnesium chloride (untuk menghilangkan inhibitor nonspesifik dan nonspesifik agglutinin
sel eritrosit) ditambahkan ke dalam system yang mengandung virus tersangka penyebab
penyakit. Apabila serum mengandung antibodi terhadap virus, akan terbentuk kompleks dan
akan menghalangi binding-site permukaaan virus. Ketika sel eritrosit ditambahkan ke dalam
larutan seluruh partikel virus akan terikat pada antibodi, sehingga akan mencegah virus
mengaglutinasikan eritrosit. Sehingga serum pasien dikatakan positif untuk tes
haemaglutination inhibition antibodi
Gambar Reaksi pada tes haemaglutinasi inhibisi
C. Tes flokulasi
Berbeda dengan pembentukkan agregat ketika partikel antigen berikatan dengan antibodi
spesifik, interaksi antara antigen terlarut dengan antibodi akan membentuk presipitat,
pemadatan partikel halus, biasanya terlihat hanya jika presipitat tetap stabil berada pada
matrik.
Ada dua jenis tes berdasarkan flokulasi:
1). Tes Presipitin
Metode klasik untuk mendeteksi antigen terlarut yaitu antigen dalam suatu larutan adalah
Outcherlony double immunodiffusion. Pada metode ini sumur dibuat dalam suatu agar,
suatu matrik berbentuk gelatin yang memungkinkan partikel berdifusi dalam cawan petri.
Metode ini biasanya digunakan untuk mendeteksi eksoantigen yang diproduksi oleh jamur
sistemik untuk konfirmasi keberadaannya dalam pembiakan. Akan tetapi teknik ini terlalu
lambat untuk penggunaan secara umum untuk deteksi antigen secara langsung dari
specimen serum pasien.
Contoh hasil double immunodiffusi dan imunopresipitasi
Imunodiffusi
Tes imunodifusi didasarkan pada pembentukkan imunokompleks yang berdasarkan berat
molekul yang tinggi, presipitat dan bentuk garis presipitasi dapat diamati secara
makroskopik. Metode ini untuk mendapatkan hasil diperoleh kurang lebih satu minggu
itupun hanya hasil kualitatif. Teknik imunodifusi dapat dilakukan pada cawan petri yang
mengandung agar gelatin 1% dalam suasana buffer posfat atau tris buffer. Sumur-sumur
dibuat menggunakan perforator, untuk menempatkan antigen di sumur dan serum-serum
diletakkan mengeliligi antigen. Antigen dan antibodi dalam serum akan berdifusi dalam agar
dan ketika bertemu akan membentuk garis agak kabur yang akan terlihat pada cahaya
langsung dan dengan latar belakang gelap. Kontrol positif (standar serum) harus disertakan
untuk panduan pembacaan hasil positif dan interpretasi. Teknik imunodifusi selain untuk
serum juga dapat digunakan untuk LCS dan urine. Teknik imunodifusi biasa digunakan pula
untuk deteksi antibodi terhadap jamur pathogen : Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides,
Paracoccidioides, dan beberapa jamur opportunistic yang pemeriksaannya memerlukan
waktu sekurang-kurangnya 48 jam bahkan lebih untuk mengembangkan pembentukan pita .
Gambar contoh hasil imunodifusi yang positif untuk paracoccidioidomycosis (a) dan hasil positif
pada reaksi aglutinasi latek pada sumur atas dan hasil negatif pada sumur di bawah (b)
VDRL (Veneral Disease Research Laboratory test)
Merupakan metode yang menggunakan prinsip presipitasi dengan bentuk produk akhir
presipitin berkumpul terlihat secara makroskopis dan mikroskopis. Pasien yang terinfeksi
treponema, pada umumnya Treponema. pallidum, penyebab shypilis membentuk antibodi
seperti protein dinamakan reagin yang akan berikatan dengan antigen cardiolipin-lecithin-
coated cholesterol partikel, menyebabkan partikel berflokulasi. Karena reagin bukan
merupakan antibodi langsung yang spesifik terhadap antigen T. pallidum, tes ini kurang
spesifik tetapi baik digunakan untuk skrining tes. VDRL merupakan satu-satunya tes yang
paling berguna untuk mendeteksi cairan LCS pasien tersangka Neuroshypilis, meskipun
kemungkinan terjadi positif palsu. Pelaksanaan tes VDRL memerlukan ketelitian, alat gelas
yang bersih, dan harus memperhatikan rincian secara tepat, termasuk kontrol kualitas rutin.
Sebagai tambahan, reagen yang akan digunakan harus disiapkan baru setiap pelaksanaan
tes, serum pasien harus diinaktivasi dengan pemanasan selama 30 menit pada 56C sebelum
tes, dan hasilnya dibaca menggunakan mikroskop. Untuk semua alasan tersebut banyak
laboratorium klinik menggunakan tes kualitatif tandingan Rapid Plasma Reagin (RPRtest)
RPR (Rapid Plasma Reagin test)
RPR merupakan tes yang tersedia secara komersial lengkap dengan konrol positif dan negatif,
kartu tempat reaksi, dan reagen untuk persiapan suspensi antigen. Antigen kardiolipin-
lecithin-coated cholesterol dengan cholin klorida dan juga mengandung partikel arang untuk
memperlihatkan flokulasi makroskopis. Serum tanpa pemanasan dan reaksi terjadi pada
permukaan kartu tes yang kemudian dibuang. RPR merupakan tes yang dianjurkan untuk
specimen LCS. Seluruh prosedur distandarisasi dan dijelaskan terperinci dalam kit reagen
dan harus diikuti dengan tepat. Secara keseluruhan RPR merupakan tes skrining yang lebih
sensitif dibandingkan VDRL, dan lebih mudah dalam pengerjaannya. Beberapa modifikasi
telah dibuat, misalnya penggunaan zat warna untuk mempermudah melihat hasil reaksi.
Kondisi dan infeksi lain selain shypilis yang dapat menyebabkan hasil positif pada pemeriksaan
VDRL atau RPR disebut biologic false positive tes. Penyakit autoimun, seperti lupus
erythematosus dan demam reumatik, mononucleosis infeksiosa, hepatitis, kehamilan dan
usia tua,dapat menyebabkan positif palsu sehingga untuk hasil positif dinyatakan sebagai
dugaan dan harus dikonfirmasi dengan tes spesifik treponemal.
Tes RPR
Contoh : BD Macro-Vue RPR Card Test Kits
Sumber : www.cardinalhealth.com/.../images/B/B6940-9.jpg
BD Macro-Vue RPR (rapid plasma reagin) merupakan tes nontreponemal untuk mendeteksi
shypilis, terdiri dari reagen tetes, kartu tes berdiameter 18 mm dan prosedur yang
tercantum dalam A Manual of Tests for Syphilis (Larsen, S., et al., editors, 1990, American
Public Health Association).
Gambar Rotator untuk RPR
Sumber : websites.labx.com/rankin/pics/41747.JPG
BD Macro-Vue Card Test Rotator model 51-II. Merupakan rotator yang digunakan pada
metodeith Macro-Vue circle card tests. Rotator dengan kecepatan rotasi konstan 100 rpm
dengan diameter lingkaran kartu tes 2 cm. waktu yang dibutuhkan selama 8 menit dan akan
terdengar suara bel apabila telah mencukupi waktu yang telah ditentukan. 115V, 60 Hz.
Gambar pengenceran serum RPR kuantitatif
Sumber :student.ccbcmd.edu/.../lab18/images/rprdil.jpg
2). Counterimmunoelectrophoresis
Jenis tes lain yang menggunakan prinsip presipitasi dan penggunaannya secara luas digunakan
untuk mendeteksi antibodi dalam jumlah sedikit. Kelebihan tes ini menggunakan muatan
listrik yang dialirkan pada antigen-antibodi yang dites pada sistem buffer tertentu. Karena
antigen dan antibodi dipertemukan satu sama lainnya dengan bantuan arus listrik pada
suatu matriks semisolid untuk bermigrasi sehingga metode ini disebut
Counterimmunoelectrophoresis (CIE). CIE merupakan modifikasi metode Ouchterlony yang
dipercepat migrasi antigen antibodinya oleh adanya aliran listrik. Dengan pengecualian
bakteri Streptococcus pneumonia serotype 7 dan 14, antigen bakteri akan bermuatan
negatif pada suasana sedikit basa, sedangkan antibodi bersifat netral. Sifat antigen bakteri
inilah yang digunakan pada prinsip metode CIE, dimana larutan yang mengandung antibodi
dan larutan sampel diletakkan pada lubang sumur agarosa yang diletakkan pada permukaan
kaca. Kertas atau fiber bersumbu digunakan untuk menjembatani dua agarosa yang
bersebrangan untuk dilalui buffer yang sedikit alkali. Ketika dialiri arus listrik maka akan
terjadi migrasi dari Antigen yang bermuatan negatif akan bermigrasi ke elektoda positif.
Antibodi yang bermuatan netral akan terbawa oleh elektroda negatif . pada perbatasan
antara sumur akan terbentuk zona ekuivalen, dan komplek antigen-antibodi membentuk
garis presipitasi yang nampak, proses migrasi ini memerlukan waktu satu jam. Banyak
antigen yang dapat diperiksa oleh metode CIE, mendeteksi hampir 0,01 sampai 0,05 mg/ml
antigen yang setara dengan 103 organisme/ml larutan. Perlu disertai control pada setiap
pengerjaan, CIE merupakan metode yang berdasarkan reaksi presipitasi yang cukup mahal,
sehingga tidak banyak digunakan lagi dalam imunodiagnostik.
D. Tes Netralisasi
Tes netralisasi pada kultur sel dan pengujian laboratorik menggunakan hewan coba, antibody
akan mencegah atau menurunkan virulensi virus. Teknik ini sulit dan membutuhkan waktu
pengerjaan yang lama dan sulit untuk dikerjakan, akan tetapi kadangkala diperlukan.
.
Gambar tahapan tes netralisasi virus
E. Tes Fiksasi komplemen
Tes fiksasi komplemen merupakan teknik imunologi yang digunakan untuk menentukan antigen
spesifik atau antibody apabila ada dalam serum pasien. Metode ini sangat umum digunakan
untuk membedakan dan menemukan penyebab infeksi. Pada umumnya digunakan untuk
pemeriksaan mikroorganisme yang sulit di identifikasi melalui metode pembiakan. Akan
tetapi metode ini telah tergantikan oleh metode serological lainnya dalam dignosa klinik
seperti ELISA dan metoda identifikasi patogen yang didasarkan pada DNA khususnya
polymerase chain reaction (PCR)
Pada teknik fiksasi komplemen, komplemen digunakan ketika antigen bereaksi dengan antibodi.
Komplemen dapat ditemukan pada serum babi Guinea. Ketika sel darah merah ditambahkan
dengan anti-red-cell-antibody, sel darah merah akan lisis ketika ditambahkan komplemen
(hasil tes negatif). Apabila dalam serum mengandung antibodi maka complemen akan
menfiksasi ikatan antigen dan antibodi sehingga ketika ditambahkan anti-red-cell antibodi
tidak menghasilkan hemolisis sehingga tes menunjukkan hasil positif.

Reaksi pada teknik fiksasi komplemen
Contoh pemeriksaan dengan metode fiksasi komplemen
Adenovirus
Jamur (Blastomyces, Coccicioides, & Histoplasma)
Virus Influenza A & B
Parainfluenza 1, 2, & 3
Poliovirus 1, 2, & 3
Respiratory Syncitial Virus (RSV)
F. ELISA (Enzyme Linked Immunoassays)/EIA (Enzym Immunoassays)
ELISA digunakan untuk pengukuran konsentrasi antibody terhadap suatu antigen, biasanya
digunakan antibody monoclonal.
Persiapan tes:
- Antigen dilekatkan pada fase padat misalnya pada permukaan dasar mikroplate
- Persiapan anti-human antibody dilabel enzim (contohnya -galaktosida) yang berfungsi sebagai
indicator warna dari substrat yang jernih.
Prinsip ELISA
Cara kerja :
- Specimen yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam sumur biasanya mikroplate, molekul
antibody akan berikatan dengan antigen yang dilekatkan pada fase padat
- Anti-human antibody yang diberi label ditambahkan pada campuran. Antibody berlabel akan
terikat pada ikatan molekul antigen-antibodi yang pertama sehingga terjadi ikatan sandwich
antibody-antigen-antibody berlabel
- Setelah proses pencucian molekul yang tidak berikatan, ditambahkan substrat
- Setelah beberapa waktu sesuai dengan standar prosedur, ditambahkan reagen untuk
menghentikan reaksi (penambahan NaOH 1N). intensitas warna yang terbentuk
proporsional/ sebanding dengan konsentrasi antigen yang terikat.
Contoh teknik ELISA dan imunoblot
G. Indirect Flourescent Antibodi Test (IFA)
Pemeriksaan yang berdasarkan IFA ke dalam analisis serologi dan molekular :
Ehrlichia antibody
Fluorescent Treponemal antibody (FTA)
Legionnella antibody
Mumps IgM antibody
Q Fever antibody
Rocky Mountain Spotted Fever antibody
Toxoplasma IgG antibody
Typhus antibody
Teknik Fluorescent-antibody (FA) masih digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi
walaupun tidak sebanyak EIA. Teknik fluorescent terdiri dari direct dan indirect, metode
indirek biasanya digunakan untuk mendeteksi antibodi (IFA) seperti pada EIA, sedangkan
untuk pemeriksaan antigen digunakan metode direk.
Indirect Fluorescent Antibody Test (IFA)
1. Antigen mikroba diletakkan dalam kaca objek dan diberi bahan fiksatif
2. Serum pasien yang telah diencerkan diinkubasi bersama antigen pada kaca objek, kemudian
dicuci
3. Antibodi berlabel flouresen (konjugat) ditambahkan
4. Kaca objek dicuci hemudian dikeringkan, kemudian dibaca dibawah mikroskop flouresen
Preparat diamati adanya area terang berfloresensi warna hijau dan dibandingkan dengan control
positif dan negatif. Adanya floresensi hijau menandakan adanya antibodi terhadap antigen
Contoh teknik IFA untuk antibodi toxoplasma.
Pada lapang pandang kiri hasil positif,
sedangkan kanan hasil negatif

Contoh tes IFA untuk antibodi ehrlichia .
Ehrlichiae adalah obligat intraseluler
rickettsiae, penyebab penyakit seperti
Rocky Mountain Spotted Fever.

H. Immunoprecipitasi
Imunopresipitasi merupakan metode dimana protein antigen dipresipitasikan dalam larutan
menggunakan antibodi spesifik yang berikatan dengan protein antigen tersebut. Metode ini
dapat digunakan ketika isolasi dan pemadatan protein spesifik pada bahan pemeriksaan
terdiri dari berbagai macam protein dan tidak sejenis. Antibodi harus dilekatkan pada fase
padat pada saat yang sama pada teknik pemeriksaan.

J. Immunoblot
Immunoblot disebut juga dengan Western Blot adalah suatu metoda analisa. Mendeteksi
protein tertentu yang terdapat pada sampel ekstrak atau jaringan. Pada teknik imunoblot,
protein didenaturasi, rantai panjang polipeptida atau struktrur tiga dimensi protein dengan
elektroforesis. Setelah protein dipindahkan ke dalam membrane nitroselulosa, protein
dideteksi dengan penambahan antibodi. Setiap protein akan berikatan dengan antibodi yang
digunakan untuk mendeteksi adanya antigen. Sebuah indicator spesifik digunakan untuk
melabel antibodi yang akan menimbulkan warna setelah bereaksi dengan streptavidin.

K. Pemeriksaan biologi molecular
Misalnya : PAGE atau SDS PAGE (sodium dodecyl sulfate poliacrylamide gel electrophoresis)
adalah metode yang biasanya digunakan untuk biokimia, forensik, genetik dan biologi
molekular. Metode ini menggunakan teknik pemisahan protein berdasarkan kemampuan
pergerakan molekul dalam elektroforesis
L. Teknik pemeriksaan lainnya
Protein sequencing dan X-ray crystallography digunakan untuk analisis protein virus.
Sedangkan teknik Agarose gels, restriction analysis, sequencing, southern blot, northern
blot, PCR atau RT-PCR biasanya digunakan untuk analisa genom virus.
Diposkan oleh Mursalim Achmad di 20.27
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Reaksi:

Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Iklan berlangganan
Apple Google Microsoft
didukung oleh


Pengikut

Arsip Blog
2013 (41)
April (6)
Apr 26 (1)
Apr 15 (1)
Apr 02 (4)
Maret (8)
Mar 28 (4)
Mar 26 (1)
Mar 25 (1)
Mar 24 (2)
Februari (22)
Feb 25 (2)
Feb 22 (2)
Feb 17 (16)
Feb 10 (2)
Januari (5)
Jan 28 (3)
Jan 24 (1)
Jan 20 (1)
2012 (22)
November (5)
Nov 13 (5)
Oktober (1)
Okt 06 (1)
September (7)
Sep 29 (3)
Sep 22 (4)
Agustus (1)
Agu 25 (1)
Juni (2)
Jun 03 (2)
Mei (2)
Mei 27 (2)
Februari (4)
Feb 13 (2)
Feb 12 (2)
2011 (10)
Desember (1)
Des 11 (1)
Juni (3)
Jun 11 (3)
Februari (1)
Feb 16 (1)
Januari (5)
Jan 26 (3)
Jan 05 (2)
2010 (9)
Desember (6)
Des 20 (6)
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH UNTUK JURNAL
Isolasi dan identifikasi bakteri
Imunodiagnostik dan Serologi Pada Infeksi Mikroba
Pewarnaan Bakteri
Penuntun Pemeriksaaan Bakteriologis ISK (urogenita...
bakteriologi
Agustus (1)
Agu 04 (1)
Juli (2)
Jul 21 (2)
2009 (20)
Juli (2)
Jul 25 (1)
Jul 08 (1)
Juni (18)
Jun 27 (1)
Jun 22 (1)
Jun 21 (16)

Mengenai Saya

Mursalim Achmad
Sungguminasa, Sulawesi Selatan, Indonesia
Nama saya : Mursalim Dg Masselekang S.Pd.M.Kes. Lahir di Gowa SulSel tanggal 16 September
1968. Sekolah SD di SD Negeri ParangloE dan Lanjut di SMP Negeri ParangloE Gowa
kemudian lanjut ke Sekolah Menengah Analis Kesehatan Depkes Makassar tahun1984.
Kemudian Lanjut di PT Universitas Muhammadiyah Palu FISIP JURUSAN sosioloGI Thn 1988.
dan AAK Depkes Bandung Tahun 1993,Lanjut ke FMIPA Universitas Negeri Makassar Jurusan
Pendidikan Kimia 2000 dan Pascasarjana Universitas Hasanuddin Prodi BIOMEDIK
Konsentrasi Mikrobiologi Tahun 2004. Pekerjaan : Kepala Laboratorium Kesehatan RS Jiwa
Palu tahun 1987 s/d 1999, Guru SMAK depkes Makassar tahun 1999 s/d 2004, Ketua
Program Analis SMK Kesehatan Megarezky Makassar Tahun 2005 S/d 2009,Dosen Poltekkes
Makassar Jurusan Analis Tahun 2004 S/D sekarang

Anda mungkin juga menyukai