Anda di halaman 1dari 11

6

BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan pustaka
II.1.1 Cacing tanah
Cacing tanah adalah hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang
belakang (invertebrate), dan termasuk dalam kelas Oligochaeta dimana famili
terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae. Cacing tanah
bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat
pedesaan, dan hewan ini mempunyai potensi yang sangat berguna bagi kehidupan
dan kesejahteraan manusia (Ariani, 2010).
Gambar 1. Cacing tanah
(sumber : http://ayobertani.files.wordpress.com/2009/04/4a6.gif)
II.1.1.1. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Lumbricidae
Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus rubellus
(Leiden University Medical Center, 2005)
7
II.1.1.1. Deskripsi Lumbricus rubellus
Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh gilig. Tubuhnya
terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar,
tubuhnya dilindungi oleh kutikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak
dan tidak memiliki mata. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan
klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Klitelium merupakan alat yang
membantu perkembangan dan baru muncul saat cacing mencapai dewasa kelamin,
sekitar 2 bulan (Ristek, 2009).
Adanya lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis
mempermudah pergerakannya. Pada setiap segmennya terdapat organ seta yang
berupa rambut yang relatif keras, berukuran pendek, dan memiliki daya lekat yang
sangat kuat. Selain itu, terdapat pula prostomium yang merupakan organ syaraf
perasa dan berbentuk seperti bibir. Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus untuk
mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran yang
keluar dari anus Lumbricus rubellus dikenal dengan istilah kascing. Kascing
terdiri dari berbagai komponen biologis (giberelin, sitokinin, auxin) maupun
kimiawi (nitrogen, fosfor, kalium, belerang, magnesium, besi) yang sangat
diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Selain itu, kascing
bersifat netral dengan pH 6,5-7,4 dan rata-ratanya adalah 6,8 (Palungkun, 2008).
II.1.1.2. Antibakteri pada cacing tanah
Cacing tanah merupakan makhluk yang telah hidup dengan bantuan sistem
pertahanan mereka sejak fase awal evolusi, oleh sebab itu mereka selalu dapat
menghadapi invasi mikroorganisme patogen di lingkungan mereka. Penelitian
yang telah berlangsung selama sekitar 50 tahun menunjukkan bahwa cacing tanah
memiliki kekebalan humoral dan mekanisme seluler (Ariani, 2010).
Protein yang dimiliki oleh cacing tanah memiliki mekanisme antibakteri
yang berbeda dengan mekanisme antibiotik. Antibiotik membunuh mikroganisme
biasanya dengan dua cara, yaitu dengan menghentikan jalur metabolik yang dapat
menghasilkan nutrient yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menghambat
enzim spesifik yang dibutuhkan untuk membantu menyusun dinding sel bakteri.
Sedangkan, mekanisme yang dilakukan oleh protein yang dimiliki oleh cacing
8
tanah adalah dengan membuat pori atau lubang di dinding sel bakteri sehingga hal
ini akan menyebakan sitoplasma sel bakteri menjadi terpapar dengan lingkungan
luar yang dapat mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan menyebabkan
kematian bakteri. Dengan cara ini, bakteri menjadi lebih susah untuk menjadi
resisten karena yang dirusak adalah struktur sel milik bakteri itu sendiri. Senyawa
antibakteri yang dimiliki oleh L.rubellus dikenal dengan nama Lumbricin-I yang
memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram
negatif (Arslan, 2008 ; Cho et al, 1998).
II.1.1.3. Kandungan cacing tanah
Kandungan asam amino yang terdapat dalam tubuh cacing dapat dilihat
pada tabel 1.
Asam Amino Komposisi (%)
Asam Amino Non-Esensial
- Sistin
- Glisisn
- Serin
- Tirosin
2,29
2,92
2,88
1,36
Asam amino Esensial :
- Arginin
- Histidin
- Isoleusin
- Leusin
- Lisin
- Metionin
- Fenilalanin
- Treonin
- Valin
4,13
1,56
2,58
4,48
4,33
2,18
2,25
2,95
3,01
Tabel 1. Asam Amino pada cacing tanah
(Sumber : Palungkun, 2008)
9
Cacing tanah sangat potensial untuk dikembangkan dengan kandungan
gizinya cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64-76%
(Palungkun, 2008). Selain protein, kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam
tubuh cacing tanah antara lain lemak 7-10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, dan serat
kasar 1,08%. Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari
setidaknya sembilan macam asam amino esensial dan empat macam asam amino
non-esensial yang berguna bagi kesehatan manusia. (Palungkun, 2008).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah Lumbricus rubellus
mengandung enzim fibrinolitik (lumbrokinase), lumbrofebrin, Lumbricin I,
peroksidase, katalase, dan selulose, yang mana enzim-enzim ini berguna bagi
tubuh manusia dan dalam pengobatan. Selain itu, kandungan asam arakhidonat
dalam lumbrofebrin dapat berperan sebagai antipiretik untuk menurunkan panas
tubuh yang disebabkan infeksi (Mihara et al., 1991; Palungkun, 2008).
II.1.1.4. Manfaat cacing tanah bagi kehidupan manusia
Menurut Palungkun (2008) dibawah ini adalah manfaat dari cacing tanah
yang berguna bagi kehidupan manusia, diantaranya adalah :
1.) Pada pertanian
Khasiat dan keuntungan yang diberikan oleh cacing tanah terhadap tanah
diantaranya memberikan aerasi tanah dan menyediakan nutrisi makro bagi
tanah. Ketika cacing tanah mengekskresikan feses dalam bentuk padatan,
mineral dan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman telah diseleksi oleh cacing
tersebut untuk diabsorpsi oleh akar tanaman. Feses cacing tanah mengandung
nitrogen lima kali lebih banyak dari tanah biasa, fosfat tujuh kali lebih
banyak, dan kalium sebelas kali lebih banyak. Seekor cacing dapat
memproduksi lebih dari 4,5 kg feses dalam setahun. Kegiatan cacing yang
terus menggali ke dalam tanah memberikan porositas bagi tanah dan aerasi
yang cukup serta meningkatkan kemampuan drainase tanah (Ariani, 2010 ;
Palungkun, 2008).
2.) Bahan Pakan Ternak
Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yamg tinggi, cacing tanah
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan
10
kodok. Hasil dari berbagai penelitian diperoleh bahwa tepung ikan yang biasa
dipakai untuk pakan ternak dapat digantikan dengan tepung cacing tanah,
dikarenakan kandungan protein dari tepung cacing tanah masih lebih baik
dibandingkan dengan tepung ikan (Ariani, 2010 ; Palungkun, 2008).
3.) Bahan baku obat dan kosmetik
Hasil penelitian telah membuktikan bahwa cacing tanah mampu menghambat
pertumbuhan bakteri patogen yang menyebabkan penyakit tifus dan diare.
Kandungan enzim dan asam amino yang terkandung pada cacing tanah juga
bermanfaat dalam proses pergantian sel tubuh yang rusak, terutama dalam
menghaluskan dan melembabkan kulit (Ariani, 2010 ; Palungkun, 2008).
II.1.2. Bakteri Shigella dysenteriae
Shigella dysenteriae adalah bakteri tidak berflagel, Gram negatif, bersifat
fakultatif anaerobik yang dengan beberapa kekecualian tidak meragikan laktosa
tetapi meragikan karbohidrat yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak
menghasilkan gas. Habitat alamiah S.dysenteriae terbatas pada saluran pencernaan
manusia dan dapat menimbulkan infeksi yang disebut disentri basiler (Jawetz et
al., 2005).
Gambar 2. Bakteri Shigella dysenteriae
(sumber : http://www.corbisimages.com)
II.1.2.1. Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Classis : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
11
Genus : Shigella
Species : Shigella dysentriae
(Jawetz et al., 2005)
II.1.2.2. Sifat dan morfologi
Bentuk : Cocobasil
Susunan : Tunggal
Warna : Merah
Sifat : Gram negatif
Bakteri S.dysenteriae adalah bakteri yang memiliki morfologi batang
ramping, tidak berkapsul, tidak bergerak, tidak membentuk spora, bersifat
fakultatif anaerob tetapi paling baik tumbuh secara aerobic. Bentuk koloni
S.dysenteriae konveks, bulat, transparan dengan pinggir-pinggir utuh mencapai
diameter kira-kira 2mm dalam 24 jam. Bakteri ini sering ditemukan pada
perbenihan diferensial karena ketidakmampuannya meragikan laktosa (Jawetz et
al., 2005).
Shigella sp mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak
tumpang tindih dalam sifat serologic berbagai spesies dan sebagian besar bakteri
ini mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh bakteri enteric lainnya. Antigen
somatic O dari Shigella sp adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya
tergantung pada polisakarida dan terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi
Shigella sp didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigeniknya (Jawetz et al.,
2005).
II.1.2.3. Patogenesis dan patologi
Shigellosis disebut juga Disentri basiler, disentri sendiri artinya salah satu
dari berbagai gangguan yang ditandai dengan peradangan usus, terutama kolon
dan disertai nyeri perut , tenesmus dan buang air besar yang sering mengandung
darah dan mukus. Habitat alamiah bakteri disentri adalah usus besar manusia,
tempat bakteri tersebut dapat menyebabkan disentri basiler. Infeksi S.dysenteriae
praktis selalu terbatas pada saluran pencernaan, dan invasi bakteri ke dalam darah
sangat jarang. S.dysenteriae menimbulkan penyakit yang sangat menular dengan
12
dosis infektif dari bakteri S.dysenteriae adalah kurang dari 10
3
organisme dan
merupakan golongan Shigella sp yang cenderung resisten terhadap antibiotik
(Jawetz et al., 2005).
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lendir,
mikroabses pada dinding usus besar dan ileum terminal yang cenderung
mengakibatkan nekrosis selaput lendir, ulserasi superfisial, perdarahan,
pembentukan pseudomembran pada daerah ulkus. Ini terdiri dari fibrin, lekosit,
sisa sel, selaput lendir yang nekrotik, dan bakteri. Waktu proses patologik
berkurang, jaringan granulasi akan mengisi ulkus sehingga terbentuk jaringan
parut (Jawetz et al., 2005). S. dysenteriae dapat menyebabkan 3 bentuk diare:
Disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah, mukus dan
pus
Watery diarrhea
Kombinasi antara disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai
darah, mukus, pus dengan watery diarrhea.
Penatalaksaan Shigellosis dengan pemberian antibakteri seperti
kotrimoksazol, ciprofloksasin, ampisilin, asam nalidixic atau ceftriaxone dapat
membantu memperpendek masa sakit dan ekskresi patogen serta meringankan
panyakit. Obat-obat antibakteri tersebut harus digunakan pada situasi tertentu
dengan indikasi yang jelas, indikasi tersebut antara lain untuk mengurangi
beratnya penyakit, untuk melindungi kontak dan indikasi epidemiologis.
Resistensi bakteri Shigella sp terhadap antibiotik dengan segala aspeknya
bukanlah merupakan suatu hal yang baru., dimana selama 5 dekade terakhir
bakteri Shigella sp telah resisten terhadap berbagai antibakteri baru yang pada
awalnya sangat efektif terhadap infeksi Shigella sp. Shigella sp yang resisten
terhadap multiantibiotik, seperti S. dysentriae tipe 1, ditemukan di seluruh dunia
dan timbul sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional. Akibat
sering terjadinya resistensi terhadap suatu antibakteri maka pemilihan antibakteri
yang tepat perlu dilakukan, dimana pemilihan antibakteri tergantung kepada
gambaran resistensi bakteri setempat sesuai prevalensi infeksi yang terjadi pada
daerah tersebut (James, 2001).
13
II.1.2.4. Toksin
Shigella sp menghasilkan toksin yang disebut Shigatoksin dan
mengadakan multiplikasi tanpa invasi di dalam jejunum kemudian memproduksi
toksin. Toksin ini kemudian berikatan dengan reseptor dan menyebabkan aktivasi
proses sekresi sehingga terjadi diare cair yang tampak pada awal penyakit, hal ini
merupakan tanda dari sifat enterotoksik shigatoksin. Selanjutnya, perjalanan
penyakit melibatkan usus besar dan invasi jaringan di mana aksi shigatoksin akan
memperberat gejalanya. Efek enterotoksik shigatoksin lebih pada penghambatan
absorpsi elektrolit, glukosa, dan asam amino dari lumen intestinal (Dzen dkk,
2003).
II.1.3. Media pembiakan bakteri
Pembiakan mikroba dalam laboratorium memerlukan medium yang berisi
zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai dengan mikroorganisme.Zat
hara digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan
sumber energy, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen,
hydrogen serta unsur-unsur sekelumit (trace element). Dalam bahan dasar
medium dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino, vitamin
atau nukleotida (Waluyo, 2004).
Medium biakan yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme dalam
bentuk padat, semi padat, dan cair. Media terbagi menjadi 2 golongan besar:
a. Media hidup : pada umumnya dipakai dalam laboratorium virology untuk
pembiakan virus, sedangkan dalam laboratorium bakteriologi hanya beberapa
bakteri saja, dan terutama pada hewan percobaan. Contoh media hidup: telur
berembrio, sel-sel biakan bakteri tertentu untuk penelitian bakteriofage
(Waluyo, 2004).
b. Media mati : terbagi menjadi beberapa macam yaitu:
Media padat: diperoleh dengan cara menambahkan agar. Agar berasal dari
alga yang berfungsi sebagai bahan pemadat. Alga digunakan karena bahan
ini tidak diuraikan oleh mikroorganisme, dan dapat membeku pada suhu
diatas 45C. Media padat dibagi menjadi agar miring, dan deep agar
(Waluyo, 2004)
14
Media setengah padat: media ini dibuat dengan bahan sama dengan media
padat, akan tetapi yang berbeda adalah komposisi agarnya. Media ini
digunakan untuk melihat gerak bakteri secara mikroskopik (Waluyo,
2004)
Media cair: ini merupakan media sintetik yang mempunyai kandungan dan
isi bahan yang telah diketahui secara terperinci. Media sintetik sering
digunakan untuk mempelajari sifat genetik dan faal mikroorganisme.
Senyawa anorganik dan senyawa organic yang ditambahkan dalam media
sintetik harus murni. Contoh media sintetik adalah cairan Hanks, Locke,
dan Eagle (Waluyo, 2004).
II.1.4. Uji aktivitas antibakteri
Penentuan kepekaan bakteri pathogen terhadap suatu antibakteri dapat
dilakukan dengan salah satu metode dari dua metode pokok yaitu dilusi atau
difusi. Penting sekali untuk menggunakan metode standar untuk mengendalikan
semua faktor yang mempengaruhi efektivitas antibakteri (Jawetz et al., 2005).
a. Metode Dilusi, metode ini menggunakan antibakteri dengan kadar yang
menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Media
kemudian diinokulasi bakteri uji dan diinkubasi. Tahap akhir antibakteri
dilarutkan dengan kadar yang menghambat atau mematikan (Jawetz et
al.,2005).
b. Metode Difusi, metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi
agar. Kertas cakram berisi sejumlah tertentu dari suatu obat ditempatkan pada
medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada
permukaannya. Setelah diinkubasi, diameter zona hambat sekitar cakram
dipergunakan untuk mengukur kekuatan hambatan terhadap organism uji.
Metode ini dipengaruhi beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara
obat dan organisme (Jawetz et al.,2005)
15
II.1.5. Mekanisme kerja antibakteri
1) Bakteriostatik
Bahan antibakteri memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangan
biakan bakteri. Jika bahan antibakteri dihilangkan, perkembangbiakan bakteri
berjalan kembali (Jawetz et al., 2005 ; Setiabudi, 2007).
2) Bakterisidal
Bahan antibakteri memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri. Jika bahan
antibakteri dihilangkan, perkembangbiakan tidak berjalan kembali (Jawetz et
al., 2005 ; Setiabudi, 2007).
II.2. Kerangka teori
Bagan 1. Kerangka teori
Cacing tanah Lumbricus rubellus
Lumbricin-I
Membuat pori di dinding sel bakteri
Sitoplasma bakteri terpapar dengan lingkungan luar
Makromolekul dan ion keluar dari sel
Kadar bunuh minimal Shigella dysenteriae
Fungsi integritas membrane sitoplasma
bakteri dirusak
16
II.3. Kerangka konsep
Bagan 2. Kerangka konsep
variable bebas variable terikat
variable pengganggu
I.4. Hipotesis Penelitian
Ada efek dari suspensi tepung cacing tanah dalam menghambat
pertumbuhan bakteri S.dysenteriae.
Suspensi tepung cacing
tanah konsentrasi : 5%,
10%, 20%, 40%, 80%
Pertumbuhan Shigella dysenteriae
: dinilai dari lebar diameter
pertumbuhan bakteri yang
dihambat.
Faktor eksternal yang
mempengaruhi pertumbuhan
Shigella dysenteriae: suhu, ph, dan
waktu inkubasi
*tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai