Anda di halaman 1dari 8

Renascense

Disclaimer: Shingeki no Kyojin is created by Hajime Isayama-sensei. Kalau saya yang


punya, ceritanya pasti udah jadi highschool AU. lol.
Ive take no profit from this work.

Warning: Spoiler. General. Angsty. Time-travel. Maybe some OOC-ness.

A/N: Aduh...Udah deh ga ada alasan buat minta maaf karena ga update selama berminggu-
minggu. Full buat kuliah dan ujian dan tugas dan... abis ini malah lebih sibuk lagi karena
saya harus urusin skripsi. //tepaaar. Chapter ini belum di beta-in soalnya saya merasa
bersalah udah lama ga apdet nih fic. Jadi kalau ada kesalahan EYD tolong bilang yaaa.

Thanks to for reviewed the last chapter. *hug*


~ Chapter 2 : The Right Choice~

Chaos

Hanya kata itu yang bisa menggambarkan keadaan dermaga Shiganshina saat ini. Fakta
yang baru saja terjadi, memaksa mereka untuk menghadapi kenyataan yang sudah
diabaikan selama lebih dari puluhan tahun. Dinding yang mereka banggakan selama ini
sudah hancur, tak bisa lagi melindungi mereka.

Ka-kakek.. Suara Armin bergetar mengingat kakeknya. Rona wajahnya sudah sangat
pucat. Telapak tangan bocah lelaki itu dingin karena ketakutan. Armin masih gemetar hebat
ketika ia merasakan seseorang memeluknya. Eren...

Aku yakin kakekmu baik-baik saja. Rumah kalian jauh dari pintu gerbang, kan? Eren
berkata pelan namun pasti di telinga sahabatnya itu, semua akan baik-baik saja.

Sepasang iris biru membulat, kaget karena perlakuan yang tidak biasa ia terima dari
sahabat masa kecilnya itu. Tapi, Armin membutuhkannya saat ini. Ia tidak tahu bagaimana
jika keluarganya satu-satunya meninggalkannya sendirian.

Entah bagaimana, ucapan itu membuat tubuh Armin yang gemetar tadi menjadi lebih
tenang. Kepanikan yang tadi ia rasakan sudah berganti dengan kedamaian. Tapi, hatinya
tetap tidak bisa lepas dari pikiran tentang kakeknya.

Melihat Armin yang mulai tenang, Eren mulai melepaskan pelukannya. Ibunya dan Mikasa
hanya memandang mereka berdua dalam diam. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi,
apapun itu, semuanya berhenti saat sosok yang familier datang menghampiri mereka
dengan cepat.

Carla! suara teriakan terdengar dari kejauhan. Wanita paruh baya itu menoleh ke asal
suara dan langsung mengenali sosok tersebut.

Hannes! Carla segera menghampiri pria itu dan bertanya dengan nada mendesak,
sebenarnya apa yang terjadi?! Kenapa... Kenapa dindingnya bisa hancur?

Aku juga tidak tahu, Hannes berkata frustasi. sudahlah, yang penting kalian harus cepat
mengungsi dari sini. Armin, kakekmu juga ada di sini. Tadi, aku melihatnya ada di pintu
dermaga. Kelihatannya ia sedang mencarimu.

Pernyataan itu membuat wajah Armin yang tadinya sendu, berubah menjadi lebih cerah.
Mata birunya memandang sekeliling mencari sosok kakeknya dan menemukan pria tua itu
sedang terlihat kebingungan. Tanpa berpikir lagi, Armin segera berlari ke arah kakeknya dan
memeluknya. Keluarga kecil itu terlihat bahagia mengetahui bahwa keadaan mereka semua
baik-baik saja.

Erenyang melihat pemandangan tersebuthanya tersenyum kecil penuh arti. Tapi,
perhatian bocah itu teralihkan ketika ibunya menarik tangannya.

Hannes sudah meminta kita untuk lebih dulu masuk ke dalam kapal. Ayo, cepat. Ibunya
berkata dengan terburu-buru. Bocah lelaki itu menurut dan berjalan masuk ke dalam kapal.
Ia bisa merasakan di belakangnya bahwa Armin dan kakeknya juga mengikuti mereka.

Orang-orang masih sibuk berebut masuk ke dalam kapal ketika suara keras kembali
terdengar. Jauh lebih keras dari yang suara pertama. Pertanda bahwa asal suaranya lebih
dekat. Betapa mengerikannya saat mereka melihat bahwa gerbang Wall Maria telah hancur
dan sesosok mahluk yang selalu menjadi mimpi buruk umat manusia, berdiri di hadapan
mereka.

Titan.

Kepanikan yang terjadi begitu dasyat sampai Eren tak bisa melihat apapun di balik
kerumunan orang yang berebut untuk masuk ke kapal. Inilah dimana keegoisan manusia
mulai tampak. Ketika yang ada dalam otak mereka hanyalah cara untuk menyelamatkan diri
sendiri. Tak peduli bagaimana nasib orang lain.

Ya. Di hadapan para Titan, manusia sudah jatuh dalam kasta terendah kehidupan. Seperti
kerumunan domba yang berlarian ketika serigala datang. Menunggu ditemukan untuk
dimangsa. Benar-benar menyedihkan.

Kapal yang mengangkut keluarga Eren sudah mulai melaju. Namun, beberapa orang yang
terlalu panik berusaha melompat ke dalam kapal. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal.
Hukum alam yang berlaku begitu nampak jelas. Yang tak bisa bertahan, hanya akan punah.
Hilang tak berbekas.

Carla memeluk kedua anaknya dengan erat. Ia menutup matanya, tak mau melihat
pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya. Tidak pernah terlintas di benaknya
bahwa dinding yang melindungi mereka akan hancur. Apakah mereka sudah begitu terbuai
dengan kedamaian hingga tak pernah berpikir akan kemungkinan ini?

Pikiran itu membawa Carla akan perkataan anaknya yang tidak menyukai kehidupan di
dalam dinding, mengingat bagaimana ia selalu bertengkar dengan Eren hal tersebut. Ia
memandang anak lelakinya dan mendapati bahwa bocah itu memandang ke arah gerbang,
tempat monster itu masuk.

Eren, ada ap

Suara Carla terputus dengan dramatis. Bagaimana tidak? Terutama jika melihat mata anak
lelakinya sekarang. Mata yang memancarkan cahaya asing yang tak pernah ia lihat
sebelumnya.

Kebencian. Dendam. Penyesalan. Duka.

Emosi yang berganti dengan begitu cepat, tapi Carla bisa mengenalinya. Tapi kenapa? Apa
yang terjadi sampai Eren harus merasakan emosi seperti itu?

Pikiran itu terus berada dibenaknya sembari terus mengawasi anak semata wayangnya itu.
Sampai akhirnya, tiba-tiba Eren tersenyum dan ada cahaya lain yang merasuki mata
emerald itu.

Tekad.

Carla merasa tidak bisa mengenali anaknya sendiri.

.::snk::.

Suasana pagi ini sebenarnya sangat damai. Cuaca yang bersahabat membuat suasana hati
semua orang menjadi tenang. Namun, tidak semua hal bisa sedamai itu. Suara keras
bersahutan terdengar dari pojok gereja tua di daerah Trost. Sepasang anak manusia terlihat
sedang berdebat di sana.

Aku saja yang mengambil makanan untuk kita.

Tidak. Kau diam saja di sini, Mikasa.

Tidak mau.

Suara-suara keras terus terdengar dari kedua bocah kecil itu. Sudah tiga hari semenjak
tragedi shiganshina terjadi. Eren dan keluarganya mendapat tempat mengungsi di gereja tua
yang sudah tidak terpakai di daerah Trost. Semua mantan penduduk Shiganshina
tampaknya tersebar di beberapa titik di daerah tersebut dan cukup puas dengan
penempatan mereka.

Tapi, masih ada beberapa masalah yang kerap terjadi di tempat pengungsian. Beberapa
keributan selalu muncul terutama ketika orang-orang mengantre untuk mendapatkan
makanan. Karena itulah kedua bersaudara itu berdebat tentang siapa yang akan pergi
mengambil makanan karena keadaan yang masih sangat labil di sana.

Aku bukan anak kecil! Berhentilah mengurusiku keadaanku seperti ini, Eren berkata
dengan emosi. Ia kesal karena Mikasa bersikap seperti induk ayam yang tidak mau lepas
dari anaknya.

Uhm... Arminyang sejak tadi berdiri diam di samping merekaberkata dengan ragu,
bagaimana kalau aku saja yang

TIDAK! kedua bersaudara itu langsung berteriak bersamaan mendengar usulan Armin.
Mana mungkin mereka membiarkan sahabat mereka itu berebut makanan dengan serigala-
serigala lapar yang ada di sana.

Melihat bahwa perdebatan ini takkan usai, Eren menghela nafas panjang dan menyerah,
Ya sudah, kamu saja yang ambil Mikasa. Dari pada kita tidak dapat makanan.

Mikasa langsung bergegas pergi karena tak ingin sang bocah lelaki berubah pikiran. Melihat
saudara angkatnya yang makin menjauh, Eren kembali duduk bersandar di dinding gereja
dan menunggu.

Kita bisa lebih cepat dapat makanan kalau kalian membiarkan aku yang mengambilnya,"
Armin duduk di sebelah Eren. Raut wajahnya sedikit merajuk.

Kau boleh melakukannya kalau sudah lebih tinggi dari kami," Eren berkata dengan nada
bercanda. Ia kemudian menghela nafas, Sudahlah, yang penting kita bisa dapat makanan."

Sahabatnya mengangguk setuju. "Lebih baik kita masuk ke dalam kamar," ujar Armin yang
teringat akan kakek dan ibu Eren yang sedang istirahat.

Tapi, Eren tidak mendengar perkataan itu. Matanya hanya terfokus pada pintu gereja.
Wajahnya membeku ketika di sudut matanya terlihat sosok yang sangat ia kenal, sedang
berjalan menjauh menuju ke luar gereja. Sosok yang mampu membuat darah di kepalanya
naik dalam waktu singkat.

Reiner dan Bertholt.

Pengkhianat itu.

Eren segera bangkit dari tempatnya, murka menguasai pikirannya. Ia sudah akan pergi
berlari ke arah pintu gereja ketika seseorang menarik lengan bajunya, membuatnya tak bisa
bergerak.

Eren, kau mau kemana?! tangan kecil Armin merengkuh lengan baju sahabatnya. Bocah
berambut pirang itu langsung menyusul Eren ketika anak lelaki tersebut terlihat berlari ke
arah pintu gereja. Alisnya berkerut tidak setuju melihat kelakuan teman masa kecilnya itu,
jangan berpisah! Sekarang situasinya sedang kacau.. Kita bisa dapat masalah nanti.

A-aku... Eren tergagap mencari alasan. Emosinya sedikit mereda melihat sahabatnya itu.
Sayangnya, ia tidak bisa menemukan alasan apapun agar ia bisa pergi. Bocah lelaki
tersebut mencoba memasang wajah kesal, berharap sahabat baiknya itu melepaskan
genggaman tangannya, Armin, aku harus pergi. Lepaskan!

Bukannya menuruti perintah, Armin malah semakin mempererat genggamannya. Kedua
tangan bocah pirang itu menahan pergelangan tangan Eren yang meronta untuk lepas.

Tidak mau, sepasang mata biru bersinar dengan kebulatan tekad yang setara dengan
keras kepala, Kalau kau mau pergi, aku juga ikut. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian.
Bahaya kalau sendirian pada saat seperti ini.

'Itu mustahil!' pikir Eren frustasi,'mana mungkin aku membiarkanmu ikut denganku!'

Hening bebeberapa saat. Eren tahu, meskipun fisiknya lemah, Armin selalu memegang
teguh apa yang ia percayai. Kalau sahabatnya itu bilang ia takkan melepaskan dirinya, maka
hal itu akan dipertahankannya sampai dirinya yakin Eren tidak akan pergi kemanapun.

Eren menutup matanya sambil berpikir. Ia bisa merasakan Armin tetap tidak melepaskan
tanggannya.Memang iatak harus menjalankan rencananya sekarang. Tapi, akan lebih
mudah kalau segalanya dimulai lebih cepat.

Baiklah.. Aku tidak akan pergi, ujarnya dengan nada menyerah. Ia kembali memandang ke
arah sahabatnya. Tapi, Armin menatapnya tidak percaya. Seakan Eren akan pergi jika ia
melepaskan tangannya walaupun sesaat. Helaan nafas berat keluar dari mulut bocah
bermata hijau itu, Aku janji.

Perlu beberapa saat sampai sahabatnya itu yakin pada ucapannya. Merasakan kalau
sahabatnya tidak berusaha pergi lagi, Armin mulai melepaskan tangannya dengan sedikit
ragu.

Dan Eren memanfaatkannya untuk berlari secepatnya ke luar gereja.

"Eren!"

.::snk::.

Langkah kaki Eren bertautan dengan cepat. Mata hijaunya menyusuri setiap sudut tempat di
jalanan depan gereja itu. Mencari kedua sosok yang membuat amarahnya tak terkontrol
seperti saat ini.

Kemana mereka? Eren berpikir frustasi. Ia berhenti di depan gerbang dinding Wall Rose
sambil mengatur nafasnya yang memburu. Rasa kesal mulai muncul di hatinya karena
kehilangan kesempatan yang mungkin tak akan bisa ia dapatkan lagi.

Eren menenangkan diri dan mengamati sekelilingnya. Beberapa anggota kepolisian militer
terlihat mengatur para pengungsi yang sedang mengantri makanan di posko. Ia teringat
akan Mikasa yang saat ini pasti sudah kembali dari mengambil jatah makan mereka. Bocah
itu sudah akan kembali ke gereja sampai ia melihat sosok gadis kecil berambut pirang yang
sedang menerima roti di meja posko.

Annie.

Mata hijau Eren membulat mengenalinya sosok tersebut. Ia langsung berbalik arah dan
mengikuti sang gadis yang mulai menjauhi keramaian. Eren menjaga jarak dan membuat
suara sedikit mungkin. Ia menahan nafas, tak ingin kesempatan ini hilang begitu saja.

Mereka berjalan melewati beberapa rumah penduduk sampai bocah lelaki itu melihat Annie
tiba-tiba berhenti dan berbelok dengan cepat ke arah gang sempit di sebelah kanan. Eren
langsung berlari dan berbelok mengikuti gadis itu. Tapi ia tak mendapati sosok Annie di
gang tersebut.

"Kenapa kau mengikutiku?"

Suara yang sudah akrab di telinga Eren, namun lebih kekanakan, terdengar di belakangnya.
Ia berbalik dan mendapati gadis bersurai pirang itu sudah melipat tangannya dan melotot ke
arahnya, meminta jawaban. Tubuhnya yang lebih kecil sama sekali tak mengurangi
kekuatan yang terpancar dalam sosoknya itu.

"Arah kita sama." ujar Eren berkelit.

"Jangan membohongiku," Annie meletakkan rotinya di celah dinding dan mulai memasang
kuda-kuda bela diri, "katakan tujuanmu kalau kau tak ingin jadi makanan burung gagak."

Eren menelan ludah mendengar ancaman itu. Ia masih ingat bagaimana gadis itu
menghajarnya entah berapa kali di masa lalu (atau masa depan?) dan itu membuatnya
sedikit gentar.

"Baiklah.." Eren mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, "aku hanya ingin bicara
denganmu."

Annie memandang curiga dan tetap mempertahankan posisinya. Mata birunya menyipit,
mengamati bocah lelaki yang ada di hadapannya. Ia tak melihat ada yang mencurigakan.
Tapi, tak ada salahnya ia berjaga-jaga.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Jangan di sini," Eren mengabaikan pertanyaan gadis itu, "lebih baik kita cari tempat lain
untuk bicara."

"Dan kenapa aku harus mengikutimu?" desis Annie tak percaya.

"Aku akan membantumu menyelamatkan ayahmu."

Jawaban yang sama sekali tak terlintas dalam mimpi Annie yang terliar sekalipun.

Annie berdiri tegang di tempatnya, tak mengindahkan jantungnya yang berdebar kencang.
Ia sekarang melihat bocah lelaki di hadapannya dengan pandangan yang berbeda. Hilang
sudah gambaran anak lelaki polos yang tadi mengikutinya. Berganti dengan sosok misterius
yang mengetahui sesuatu yang tidak semestinya.

Eren hanya diam di tempatnya. seperti tak peduli bagaimana kalimatnya barusan
mempengaruhi gadis bersurai pirang itu. Ia menjetikkan jarinya di muka sang gadis yang
kaku, membuatnya kaget.

"Ikuti aku," Eren berjalan ke luar dari gang sempit itu. Manik Emerald beradu dengan aqua,
"jangan sampai kau menyesalinya lagi, Annie."

Mata Annie mengerjap kaget mendengar namanya disebut oleh orang yang sama sekali tak
di kenalnya. Rasa penasaran mulai muncul di hatinya mendengar kalimat tersebut.
Menyesali? Menyesali apa?

Tanpa sadar, gadis itu mengikuti sang bocah lelaki yang berjalan lambat di depannya.
Mereka terus berjalan semakin jauh dari kota dan mulai masuk ke hutan. Jemari sang gadis
bergerak gelisah karena ketidak pastian yang dirasakannya. Otaknya mulai
mempertimbangkan untuk berbalik pergi dan mengabaikan penawaran itu, sampai tiba-tiba
Eren menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahnya.

"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tahu tentang ayahmu,"Erenmulai bicara tanpa basa-
basi, "aku tidak akan menjawab bagaimana aku mengetahuinya karena itu bukan tujuanku
untuk berbicara denganmu."

Sunyi sesaat. "Aku tahu rencana mereka untuk menghancurkan dinding," bibir bocah lelaki
itu mulai terkulum rendah, "dan aku tahu kau serta kedua temanmu lah yang menyebabkan
kehancuran Wall Maria tiga hari lalu."

Tak perlu kemampuan khusus untuk melihat keterkejutan di mata Annie yang membulat.
Mulutnya terbuka seperti akan membantah meski tak ada suara yang keluar. Eren tak
membiarkan kesempatan itu terjadi karena ia sudah lebih dulu menyampaikan tujuannya.

"Bekerja samalah denganku," sepasang mata hijau berkilat dengan tekad, "kau tak perlu
berada di neraka itu lagi, Annie."

"Kau... Kau tak tahu apapun tentang mereka," ujar Annie gemetar.

"Percayalah aku tahu," Eren berkata tanpa ragu, "sekarang terserah kau untuk memilih
untuk mempercayaiku atau tidak. "

Keheningan yang mengikuti begitu menyesakkan karena tak seorang pun dari mereka yang
bergerak. Waktu seolah berhenti, menunggu jawaban sang gadis.

Pikiran Annie berkecamuk, memilih antara loyalitas dan keluarga. Otaknya berteriak agar ia
mengabaikan ucapan bocah lelaki di hadapannya. Jika perlu membungkam mulutnya. Tapi
ayahnya... Ayahnya...

"Baiklah," ucap sang gadis dengan bibir bergetar, "tapi, kalau aku menangkap sedikit saja
ketidakmampuan untuk membuktikan ucapanmu. Aku tak akan ragu untuk berkhianat."

"Tak masalah," Eren berkata dengan tenang, "karena itu takkan terjadi."

Annie menilik mata hijau yang terlihat percaya diri itu. Entah apa yang dicarinya, tapi tubuh
gadis itu yang berubah menjadi kendur, seperti telah menemukan yang ia inginkan.

Eren tersenyum melihatnya. Mungkin karena umur Annie yang masih kecil membuat ia bisa
dengan mudah mempengaruhi gadis itu untuk mempercayainya. Semua takkan berjalan
selancar ini jika mereka baru bertemu ketika di militer.

"Untuk saat ini kau tidak perlu melakukan apapun. Bersikaplah seperti biasanya." Eren
berjalan ke sebelah sang gadis dan menepuk pundaknya. "Kita akan bertemu lagi nanti.
Jangan pernah lupakan kesepakatan ini."

"Apa tujuanmu sebenarnya?" tanya Annie tajam.

Eren tersenyum pahit dan misterius.

Menyelamatkan takdir umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai