KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2014 BAB I STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS I. Identitas Pasien Nama : Waris Restu Santoso Umur : 4 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Kwoso RT/RW 01/02, Gergunung Klaten, Klaten, Jateng Tanggal Masuk : 17 Mei 2014 Tanggal Periksa : 19 Mei 2014 No. RM : 01198587
II. Keluhan Utama BAB sulit sejak lahir.
III. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengalami kesulitan buang air besar sejak lahir. Saat lahir, perut pasien mengalami distensi karena susah BAB. Pasien mengalami pengeluaran mekoneum yang terlambat, mekoneum baru keluar setelah hari ke 3. Namun pasien tidak mengalami muntah-muntah. Pasien baru dapat BAB jika anus pasien dirangsang dengan memasukkan benda tumpul. Selain dirangsang dengan memasukkan benda tumpul, pasien juga dapat BAB jika dirangsang dengan microlax. Pasien diperiksa oleh bidan di sekitar rumahnya dan terdiagnosis Hirscprung Disease pada usia 21 hari. Pasien dibawa ke RS Soeradji Tirtonegoro, Klaten kemudian pasien mendapatkan jamkesda dan dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi. Di RSUD Dr. Moewardi pasien terdiagnosis Megacolon Kongenital, dan dilakukan tindakan pembedahan pembuatan stoma tgl 12 Juni 2013. Pada tanggal 17 Mei 2014 pasien masuk rumah sakit Dr. Moewardi lagi karena mengalami kesulitan untuk BAB pasca operasi pembuatan stoma. Gejala kesulitan BAB pasien pasca pembuatan stoma mulai dirasakan 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan sakit jika mengejan untuk BAB.
IV. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluhan yang sama : disangkal Riwayat Alergi : disangkal
V. Riwayat Kelahiran Pasien lahir dari ibu usia 37 tahun G 3 P 3 A 0 secara normal. Saat lahir menangis spontan, ketuban jernih, tidak berbau. Usia kehamilan : 41 minggu Berat badan lahir : 3100 gram Usia ibu saat melahirkan : 37 tahun
VII. Riwayat Kehamilan dan Prenasi Riwayat ANC : rutin di bidan setempat Riwayat sakit saat hamil : disangkal Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal
VIII. Riwayat Imunisasi Riwayat imunisasi pasien lengkap.
B. PEMERIKSAAN FISIK a.Keadaan umum : compos mentis, pasien tampak baik, gizi kesan baik BB : 12 kg TB : 97 cm b. Vital sign : S : 36,4 C per aksilar N : 70 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup RR : 20 x/menit TD : 90/60 mmHg b. Kepala : mesocephal c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-) d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-). e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar darah (-). f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), jejas (-). g. Tenggorokan : Tonsil T1 T1, hiperemis (-). g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-). h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), retraksi (-). i. Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak tampak. Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat. Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar. Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-). j. Pulmo Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri. Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri Perkusi : sonor/sonor. Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-). k. Abdomen Inspeksi : perut distensi (-), stoma (+), produksi (+) Auskultasi : bising usus (+) normal Perkusi : timpani Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-) l. Genitourinaria : anus (+) normal m. Muskuloskletal : nyeri pada anggota gerak(-) , kelemahan pada anggota gerak(-), ROM terbatas pada anggota gerak(-) n. Ekstremitas Akral dingin Oedema - - - -
II. Status Lokalis Pada pembuatan stoma, didapatkan 2 lubang. Luka sudah kering.
C. ASSESSMENT I Post Sigmoidectomy e. c megacolon kongenital. D. PLANNING I - Cek Darah - Lopografi proksimal - - - - E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (21 April 2014) di RSUD Dr. Moewardi Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Hemoglobin 11,6 g/dL 10,8-12,8 Hematokrit 35 % 35 43 Leukosit 7,6 Ribu/l 4,5-17,0 Trombosit 330 Ribu/l 150 450 Eritrosit 4,61 Juta/l 3,9 5,3 Natrium 131 mmol/L 132 145 Kalium 3,1 mmol/L 3,1 5,1 Klorida 103 mmol/L 98 106 Gula darah sewaktu 102 mg/dL 60-100
2. Foto Colon In Loop (24 April 2014) di RSUD Dr. Moewardi
Klinis : Post TCS a/i megacolon. Plain Foto : Tampak terpasang 2 buah marker, marker berbentuk segi empat terproyeksi di illiac wing kiri dan marker berbentuk persegi panjang terproyeksi di anal dimple. Bayangan gas usus normal bercampur fecal material prominent. Bayangan Hepar dan Lien tidak tampak membesar. Contour ginjal kanan kiri tidak tampak jelas. Tak tampak bayangan radioopaque sepanjang traktus urinarius. Psoas shadow kanan kiri tak tampak jelas. Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik.
Kontras study : Kontras barium yang telah diencerkan +/- 50 mL dimasukkan melalui kateter ke dalam anus. Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari rectum sigmoid. Tampak dilatasi di bagian proksimal sigmoid.
Kesan : Masih tampak gambaran megacolon.
3. Foto Colon In Loop (29 April 2014) di RSUD Dr. Moewardi
Klinis : Post TCS a/i megacolon kongenital. Colon in Loop : Plain Foto : Bayangan gas dalam usus normal. Masih tampak sisa kontras di rectosigmoid bekas pemeriksaan colon in loop pada tanggal 24 Maret. Tampak terpasang dua buah marker , marker berbentuk segitiga terletak di illiac wing kiri dan marker berbentuk persegi panjang terletak di anal dimple. Tulang-tulang tampak baik.
Kontras study : Kontras barium diencerkan 1.6 sebanyak +/- 100 mL dimasukkan melalui kateter dalam lubang stoma. Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari colon descenden, fleksura lienalis, colon transversum, fleksura hepatik, dan sebagian mengisi colon descenden. Tampak kaliber rektum dilatasi.
Kesan : Pemeriksaan Lopografi Proksimal masih tampak gambaran megacolon.
D. ASSESMENT II Post sigmoidectomy e.c megacolon kongenital.
E. PLANNING II - Tindakan bedah definitif dengan prosedur duhamel.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Megakolon kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang atau pada apendiks dengan peritonitis. 1,6,7
Gambar 2.1 Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada megakolon kongenital Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-segment Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon, dilatasi kolon Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal achalasia.
B. Etiologi Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung beresiko lebih tinggi. Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital sebagai berikut: 1. Sindroma Down 2. Sindroma Neurocristopathy 3. Sindroma Waardenburg-Shah 4. Sindroma buta-tuli Yemenite 5. Piebaldism 6. Sindroma Goldberg-Shprintzen 7. Neoplasia endokrin multiple tipe II 8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat 9. Cartilage-hair hypoplasia 10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondines curse) 11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus. Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus. 1
C. Patofisiologi Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum diketahui. 7 Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor neurotropik. 1 Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal (Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah. Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi. Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk, sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional. 6
D. Klasifikasi Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 1. Megakolon kongenital ultra short-segmen Bila segmen aganglionik meliputi rektum distal-anus 2. Megakolon kongenital segmen pendek (short-segment) Bila segmen aganglionik meliputi rektum 3. Megakolon kongenital tipikal Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%). 4. Megakolon kongenital segmen panjang (long-segment) Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%), dapat mencapai colon descenden atau flexura hepatica. 5. Kolon aganglionik total Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-%)
F. Manifestasi Klinis Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat : Periode Neonatal Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. 1,3,5 Anak Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari. 3
G. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Anamnesis Pada neonatus : 1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam 2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir 3. perut cembung dan tegang 4. muntah 5. feses encer Pada anak : 1. Konstipasi kronis 2. Failure to thrive (gagal tumbuh) 3. Berat badan tidak bertambah 4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) Pemeriksaan Fisik Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk sementara. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas : a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi; b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. 1
H. Diagnosis Banding 1. Meconium plug syndrome Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal. 2. Akalasia recti Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion Meissner dan Aurbach. 1
I. Penatalaksanaan 1. Tindakan Non Bedah Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta komplikasi- komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi. 1 2. Tindakan Bedah. a. Tindakan Bedah Sementara Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose. 3,5 b. Tindakan Bedah Definitif 1. Prosedur Swenson Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit Hirschsprung dengan metode pull-through. Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. 2. Prosedur Duhamel Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. 3 3. Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut. 3
4. Prosedur Rehbein Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis. 3 5. Prosedur Open Hartmann Sigmoidectomy merupakan prosedur reseksi kolon sigmoid, terkadang termasuk mereseksi seluruh rektum dan dinamakan proctosigmoidectomy. Prosedur sigmoidectomy yang diikuti oleh colostomy terminal dan rectal stump dinamakan prosedur Open Hartmann. Pada awalnya prosedur ini digunakan sebagai tindakan operatif pada kasus adenocarcinoma kolon, walaupun begitu indikasi prosedur ini makin bermanacam-macam. 2
J. Komplikasi Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah. K. Prognosis Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% . 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI 2. Fonkalsrud. 1997. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;p.2097-105. 3. Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger JG,editor. Swensons pediatric surgery. 5 th ed. Connecticut:Appleton & Lange: 555-77. 4. Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC 5. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 908-10. 6. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC 7. Gonzales, Angel MM. 2013. Open Hartmann Procedure, http://emedicine.medscape.com/article/1535055-overview.