Anda di halaman 1dari 10

1

PERBEDAAN PRODUKTIFITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWAH (PE)


ANTARA PERKAWINAN ALAM DAN PERKAWINAN INSEMINASI BUATAN
(IB) DI AMPELGADING KABUPATEN MALANG

BADRIYAH
1
TRINIL SUSILAWATI
2
DAN SRI WAHYUNINGSIH
2

1. Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak Program Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya, Malang.
2. Dosen Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, Malang.
RINGKASAN
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Desember 2010 di Desa
Mulyoasri, Tawang Agung, Argoyuwono dan Wirotaman Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Malang.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan tingkat produktifitas
pada sistem perkawinan yang berbeda pada kambing PE di Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Malang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
untuk melakukan evaluasi sistem perkawinan yang berbeda terhadap
produktifitas kambing PE pada serta sebagai kepijakan penelitian yang akan
datang.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk Kambing PE
terdiri dari 6 macam paritas yang mempunyai catatan lengkap, masih produktif,
berumur 2 6 tahun, dengan jumlah ternak 121 ekor yang dikawinkan secara
kawin alam, 18 ekor secara IB yang menggunakan straw yang berasal dari Balai
Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah survei. Variabel yang diamati adalah berat lahir, berat sapih,
litter size, kematian anak kambing pra sapih, days open (DO) dan kidding
interval. Data yang diperoleh ditabulasi kemudian dihitung persentase, rata-rata
dan simpangan bakunya yang selanjutnya dianalisis menggunakan analisis
ragam satu arah (one way lay out) menggunakan software GenStat release 12.2.
Hasil penelitian menunjukkan nilai kidding interval dan days open kambing
PE di Ampelgading Kabupaten Malang sebesar 259+21,64 hari dan 112,3+30,27
hari pada perkawinan alam sedangkan pada perkawinan IB sebesar 253+18,77
hari dan 104,4+21,32 hari. Rataan litter size 1,83+0,56 ekor untuk perkawinan
alam dan 2,39+0,92 ekor pada hasil perkawinan IB, dengan berat lahir dan berat
sapih anak kambing hasil perkawinan alam sebesar 3,48+0,52 kg dan
16,20+1,63 kg sedangkan pada perkawinan IB sebesar 3,13+0,65 kg dan
16,50+1,80 kg.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah perkawinan IB berpengaruh terhadap
liiter size dan berat lahir tetapi tidak berpengaruh terhadap berat sapih, kidding
interval dan days open pada kambing PE dan perkawinan IB belum dapat
meningkatkan produktivitas kambing PE di Kecamatan Ampelgading karena
beragamnya sampel yang digunakan. Disarankan untuk meningkatkan
produktivitas ternak kambing PE perlu dilakukan perbaikan manajemen
pemeliharaan serta dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan umur
dan paritas yang sama.

Kata Kunci : Kambing PE, Perkawinan Alam dan IB
2

GOAT PRODUCTIVITY DIFFERENCES ETTAWAH GOAT BETWEEN THE


NATURAL AND ARTIFICIAL INSEMINATION MARRIAGE
IN AMPELGADING, MALANG

BADRIYAH
1
TRINIL SUSILAWATI
2
DAN SRI WAHYUNINGSIH
2

1) Postgraduate Student from Animal Science Study Program Brawijaya
University, Malang.
2) Animal Production Study Program, Faculty of Animal Husbandary
Brawijaya University, Malang
SUMMARY
The experiment was conducted from August to December 2010 in the
village of Mulyoasri, Tawang Agung, Argoyuwono and Wirotaman, Ampelgading
District and Malang regency.
The porpose of this study to determine differences in pregnancy rate of
different mating systems in district Ampelgading goat in Malang. The results of
this study is expected to be used to evaluate the different mating systems on goat
productivity as well as policies on future studies.
The material used in this research is the parent Filial Ettawah goat consists
of 6 kinds of parity that has a complete record, still productive, aged 1-6 years,
with the number of cattle 121 goats which were mated in natural mating, 18 goat
in AI that uses straw derived from Center for Artificial Insemination Singosari. The
method used in this study is survey. The variables measured were birth weight,
weaning weight, litter size, pre-weaning kid mortality, days open (DO) and kidding
interval. The data obtained is tabulated and then calculated the percentage,
average and standard deviation are then analyzed using one-way analyzes of
variance (one way lay out) using GenStat software release 12.2.
The results showed the value of kidding interval and days open
Ampelgading goat in Malang for 259+21,64 days and 112,3+30,27 day on natural
mating in the mating while the AI for 253+18,77 days and 104,4+21,32 days. The
average litter size 1,83+0,56 head for natural mating and 2,39+0,92 head on the
results of Artificial Insemination (AI), birth weight and weaning weight of young
goat, the result of natural mating at 3,48+,.52 kg and 16,20+1,63 kg while in the
mating of AI at 3,13+0,65 kg and 16,50+1,80 kg.
The conclusion of this research is a marriage of Artificial Insemination
(AI) influence on liiter size and birth weight but had no effect on weaning weight,
kidding interval and days open on the goat and the marriage of Artificial
Insemination (AI)has not been able to increase productivity in Sub Ampelgading
goat because of the diversity of the sample used. It is recommended to increase
the productivity of livestock goat needs to be done to improve management of
maintenance and further studies using the same age and parity.

Key words: Ettawah Fillial goat, Natural and Artificial Insemination.


3

PENDAHULUAN
Salah satu ternak lokal yang
dapat dikembangkan dalam
mendukung P2SD 2014 adalah
kambing Peranakan Ettawah (PE).
Ternak kambing merupakan salah
satu jenis ternak yang cukup
digemari masyarakat, namun skala
usahanya masih bersifat usaha
kecil-kecilan di mana sistem
pemeliharaan dan
perkembangbiakannya masih secara
tradisional. Pemeliharaan kambing
pada umumnya sebagai usaha
sambilan bagi masyarakat peternak,
meskipun ada juga yang menjadikan
sebagai mata pencaharian pokok.
Ternak kambing merupakan salah
satu jenis ternak yang mempunyai
prospek untuk dikembangkan karena
hanya memerlukan sarana dan
sistem pemeliharaan yang relatif
sederhana serta dapat beradaptasi
dengan lingkungan dan jenis pakan
(Garantjang, 2004).
Keberhasilan reproduksi akan
sangat mendukung peningkatan
produktivitas ternak selain faktor
pakan dan manajemen. Daya
reproduksi kelompok ternak yang
tinggi disertai dengan pengelolaan
ternak yang baik akan menghasilkan
efisiensi reproduksi yang tinggi
diikuti dengan produktifitas ternak
yang tinggi pula. Tinggi rendahnya
efisiensi reproduksi ternak
dipengaruhi oleh angka kebuntingan
(conception rate), jarak antar
kelahiran (kidding interval), jarak
waktu antara melahirkan sampai
bunting kembali (days open), angka
kawin per kebuntingan (service per
conception), dan angka kelahiran.
Selain itu juga dapat dilihat dari
produktivitasnya yang meliputi berat
lahir, berat sapih, litter size dan
pertambahan berat badan harian
(Sutama, 2004).
Faktor penghambat yang
diduga sebagai penyebab
rendahnya produktivitas ternak di
Indonesia adalah manajemen
pemeliharaan yang belum optimal,
yang ditandai dengan sistem
pemeliharaan bersifat ekstensif
(tradisional), usaha sambilan (non
agribusiness oriented) dan tidak
memperhatikan input produksi.
Selain itu, sistem pemuliaan dan
seleksi yang tidak terarah sehingga
mengakibatkan kinerja ternak sangat
beragam (Sugoro, 2009). Untuk
mengatasi permasalahan tersebut
dapat dilakukan melalui penerapan
teknologi IB. Teknologi ini digunakan
untuk peningkatan produksi dan
perbaikan mutu genetik ternak serta
sebagai alat dalam pelaksanaan
kebijakan pemuliaan secara
nasional.
Keberhasilan IB dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya
adalah semen, ketepataan deteksi
birahi, teknik thawing, deposisi
semen dan manajemen
pemeliharaan (Susilawati, 2002).
Tujuan IB adalah memperbaiki mutu
genetika ternak; tidak mengharuskan
pejantan unggul untuk dibawa
ketempat yang dibutuhkan, sehingga
mengurangi biaya; mengoptimalkan
penggunaan bibit pejantan unggul
secara lebih luas dalam jangka
waktu yang lebih lama;
meningkatkan angka kelahiran
dengan cepat dan teratur dan
mencegah penularan/penyebaran
penyakit kelamin. Dengan IB maka
peningkatan produktivitas ternak
dapat dilakukan secara cepat.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan tingkat
produktifitas perkawinan alam dan IB
pada kambing PE di Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Malang.

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian.
Penelitian dilakukan pada
bulan Agustus sampai Desember
2010 di Desa Mulyoasri, Tawang
Agung, Argoyuwono dan Wirotaman
Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Malang.
4

Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah induk Kambing
PE terdiri dari 6 macam paritas
yang mempunyai catatan lengkap,
masih produktif, berumur 2 6
tahun, dengan jumlah ternak 121
ekor yang dikawinkan secara kawin
alam (campuran perkawinan IB dan
alam), 18 ekor secara IB yang
menggunakan straw yang berasal
dari Balai Besar Inseminasi Buatan
(BBIB) Singosari.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Produksi Kambing PE
Berat lahir mempunyai arti
penting, karena sangat berkorelasi
dengan laju pertumbuhan, ukuran
dewasa dan daya hidup anak.
Menurut Warwick dkk. (1990)
menyatakan berat lahir memang
tidak mempunyai nilai ekonomis
yang penting akan tetapi berat lahir
dapat dijadikan kriteria untuk seleksi
dini karena ada hubungan antara
berat lahir dengan berat sapih.
Hasil penelitian diperoleh data
produksi anak kambing dari dua
macam sistem perkawinan di
Ampelgading, disajikan pada Tabel
1.

Tabel 9. Penampilan Anak Kambing PE dari Dua Sistem Perkawinan di
Ampelgading
Variabel Perkawinan Alam Perkawinan IB
Litter Size (ekor) 1,83+0,56 (121) 2,39+0,92 (18)
Berat lahir (kg) 3,48+0,52 (216) 3,13+0,65 (40)
J antan (kg) 3,58+0,54 (132) 3,23+0,70 (20)
Betina (kg) 3,31+0,44 (84) 3,03+0,60 (20)
Berat sapih (kg) 16,20+1,63 (214) 16,50+1,80 (36)
J antan (kg) 16,63+1,61 (132) 17,10+1,71 (20)
Betina (kg) 15,45+1,42 (82) 15,75+1,65 (16)
Kematian anak (%) 0,9% (2) 10% (4)
Umur Sapih (bulan) 4,03+0,60 3,94+0,41
Pertambahan Berat
Badan Harian (PBBH)
(gram)
107+17,20

114+19,83

J antan (gram) 110+17,40 117+26,00
Betina (gram) 103+16,00 111+19,64
Keterangan: ( ) =jumlah ternak
Hasil analisis statistik (Tabel.2)
menunjukkan berat lahir anak
kambing hasil perkawinan alam
memiliki berat lahir sebesar
3,48+0,52 kg dan perkawinan IB
sebesar 3,13+0,65 kg. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa sistem
perkawinan berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap berat lahir
anak. Berat lahir yang tinggi
5

menunjukkan bahwa pejantan yang


digunakan dalam perkawinan ini
memiliki mutu genetik yang tinggi
(Ihsan, 2010) dan juga manajemen
pemeliharaan yang baik.
Hasil rataan berat lahir dari dua
sistem perkawinan ini lebih rendah
dari penelitian Sutama (2004),
Kostaman dan Sutama (2005) serta
Atabany (2001) yang menyatakan
bahwa rataan berat lahir anak
kambing PE masing-masing sebesar
3,68 kg, 3,71+0,89 kg dan 3,84 kg,
tetapi lebih tinggi dari penelitian
Harris, Dakhlan dan Suharyati
(2009) sebesar 2,39+0,36 kg.
Perbedaan tersebut menunjukan
berat lahir dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya genetik,
litter size, jenis kelamin, pakan dan
manajemen pemeliharaan.
Hasil analisis ragam diketahui
umur induk dan paritas tidak
berpengaruh terhadap berat lahir
anak kambing tetapi liiter size
berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap berat lahir anak kambing
PE pada perkawinan alam dan IB.
Perbedaan ini disebabkan karena
sampel yang digunakan memiliki
variasi yang tinggi pada paritas,
umur dan lokasi penelitian. Hal ini
tidak sesuai dengan hasil penelitian
Ince (2010), menyatakan umur induk
dan tipe kelahiran perpengaruh
nyata (P<0,05) dan sangat nyata
(P<0,01) terhadap berat lahir
kambing Saanen, tetapi jenis
kelamin tidak memberikan pengaruh
yang signifikan. J enis kelamin dan
berat lahir memberikan pengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap
berat sapih dan kemampuan hidup
anak kambing tetapi umur induk
tidak memberikan pengaruh. Rataan
berat lahir kambing Saanen adalah
3,06 kg, berat sapih 12,91 kg dan
kemampuan hidup anak kambing
79%.
Litter size adalah jumlah anak
yang dilahirkan per induk per
kelahiran. Pada Tabel 2 terlihat rata-
rata litter size 1,83+0,56 ekor untuk
perkawinan alam dan 2,39+0,92
ekor pada hasil perkawinan IB. Hasil
ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Sumadi (2003) yaitu 1,85
anak per kelahiran, Devendra &
Burns (1994) sebesar 1,5 anak per
kelahiran, Sodiq dan Sumaryadi
(2002) litter size kambing di J awa
Tengah sebesar 1,56 anak per
kelahiran, dan Atabany (2001)
sebesar 1,77 anak per kelahiran di
peternakan Barokah. Rataan litter
size yang tinggi ini terjadi karena
banyaknya kasus kelahiran kembar
yang ditemukan di lokasi penelitian.
Hasil analisis ragam
menunjukan bahwa sistem
perkawinan berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) sedangkan umur dan
paritas induk tidak berpengaruh
terhadap litter size kambing PE.
Litter size pada perkawinan IB lebih
tinggi daripada perkawinan alam.
Hal ini disebabkan karena
perkawinan IB menggunakan semen
dari pejantan yang telah teruji
keunggulannya dari segi produksi
dan reproduksi. Ihsan (2010)
mengemukakan teknik IB dapat
meningkatkan perbaikan mutu
genetik secara cepat, untuk
pencegahan kemajiran ternak, dan
pencegahan penyebaran penyakit.
Pada IB hanya pejantan-pejantan
yang sudah teruji dan mempunyai
genetik unggul yang dipakai untuk
mengawini ternak betina sehingga
dapat memperbaiki mutu genetik
pada keturunannya.
Umur sapih merupakan umur
saat anak kambing tidak lagi
menyusu ke induknya. Penyapihan
pada penelitian ini dilakukan pada
umur 4,03+0,60 bulan pada
perkawinan alam dan umur
3,94+0,41 bulan pada IB. Umur
sapih pada lokasi penelitian ini
hampir sama dengan penelitian
Sumadi, Prihadi dan Hartatik (2003)
melaporkan bahwa umur sapih
kambing PE di Kabupaten Kulon
Progo sebesar 3,30+1,00 bulan,
Rosita (2003) mendapatkan umur
6

sapih sebesar 3,68+1,24 bulan di


Desa Bojong, tetapi lebih rendah
dari Sukendar (2005), umur sapih
kambing PE di Desa Hargamanah
sebesar 5,22+1,22 bulan.
Perbedaan umur sapih ini
dikarenakan perbedaan manajemen
pemeliharaan anak kambing di
lokasi penelitian. Makin lamanya
umur sapih maka akan semakin
berat pula berat sapih anak
kambing.
Berat sapih kambing PE yang
diperoleh dari hasil penelitian ini
disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis
statistik (Tabel 1) menunjukkan
bahwa rata-rata berat sapih anak
kambing hasil perkawinan alam
sebesar 16,20+1,63 kg dan
perkawinan IB 16,50+1,80 kg.
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa sistem
perkawinan tidak memberikan
pengaruh terhadap berat sapih
kambing PE. Hal ini dikarenakan
berat sapih banyak dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Perbedaan berat
sapih ini dikarenakan berat sapih
banyak dipengaruhi faktor
lingkungan diantaranya manajemen
pemeliharaan dan produksi susu
induk (Maylinda, 2010). Berat sapih
merupakan sifat yang dipengaruhi
komponen genetik induk (maternal
genetic effect) yaitu pengaruh gen
yang mempengaruhi kondisi
lingkungan pada induk yang
mempengaruhi performa individu
(Bourdon, 1997). Pengaruh meternal
genetik antara lain adalah produksi
susu dan tingkah laku menyusui
induk sehingga berat sapih juga
dapat digunakan sebagai kriteria
seleksi induk yang memiliki
mothering ability baik.
Tingkat mortalitas anak
kambing pra sapih (Tabel. 1) pada
perkawinan alam 0,9% dan
perkawinan IB 10%. Persentase
kematian dari sistem perkawinan
tersebut hampir sama atau lebih
rendah dari penelitian Budiarto dkk.
(2001) yang melaporkan tingkat
kematian anak kambing PE di Blitar
sebesar 4,63 persen; Chaniago dan
Hastono (2001) kematian anak
kambing PE yang diberi susu
pengganti yaitu sebesar 4,26%;
Sukendar dkk (2005) di Desa
Hargamanah sebesar 9,30%; Sodiq
dan Sudewo (2008), persentase
kematian anak kambing PE di
Banyumas sebesar 5,9%, dimana
untuk anak jantan 5,4% dan betina
6,3%. Tingkat kematian tertinggi
sebesar 16,7% pada kelahiran tiga,
kelahiran kembar dua 5,6% dan
tunggal sebesar 2,9%. Sutama
(2004), kematian anak pada
kelahiran kembar 3 atau 4 (26-43%)
lebih tinggi dari pada kelahiran
tunggal atau kembar dua (17-18%).

Sifat Reproduksi Kambing PE
Days open adalah banyaknya
hari saat sesudah induk beranak
sampai dengan bunting. Days open
pada seekor ternak dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya IB yang
mencakup teknik inseminasi,
penggunaan semen berkualitas baik
dan kualitas estrus induk, kesehatan
ternak, fertilitas induk dan
manajemen yang meliputi recording,
ketepatan dalam deteksi estrus dan
nilai nutrisi yang memadai (Ax et al,
2008).


Tabel 2. Penampilan Reproduksi Kambing PE dari Dua Sistem Perkawinan
di Ampelgading

Variabel Perkawinan Alam Perkawinan IB
Days Open (DO) (hari) 112,30+30,27 (91) 104,40+21,32 (18)
J arak Beranak (hari) 259+21,64 (91) 253+18,77 (18)

Nilai days open di lokasi
penelitian (Tabel 2) sebesar
112,3+30,27 hari pada perkawinan
alam dan 104,4+21,32 hari pada
perkawinan IB, sehingga rataan nilai
days open perkawinan alam lebih
panjang 7,9 hari dari perkawinan IB.
Setelah di analisis ragam
menunjukkan bahwa sistem
perkawinan tidak berpengaruh
terhadap days open kambing PE.
Hal ini ditunjukkan dengan rataan
days open antar dua sistem
perkawinan yang hampir sama
dengan perbedaan yang relatif
pendek. Days open yang hampir
sama menunjukkan bahwa
manajemen reproduksi di
Ampelgading sudah baik.
Day open yang lebih panjang
pada perkawinan alam daripada
perkawinan IB disebabkan beberapa
faktor, yaitu kegagalan IB sehingga
peternak kemudian melakukan
perkawinan alam lagi yang
menyebabkan akan memperpanjang
days open.
J arak beranak adalah jangka
waktu antara satu kelahiran dan
kelahiran berikutnya. J arak beranak
ditentukan oleh lama kebuntingan
dan lama waktu kosong. Lama
kosong menunjukkan selang waktu
antara saat beranak sampai dengan
terjadi konsepsi kembali (Hafez and
Hafez, 2008). J arak beranak adalah
karakter yang paling penting untuk
menilai produktivitas dan merupakan
indeks terbaik untuk mengevaluasi
efisiensi reproduksi pada
sekelompok ternak di lapang.
Hasil penelitian di
Ampelgading (Tabel 2) diperoleh
nilai jarak beranak sebesar
259+21,64 hari pada perkawinan
alam dan 253+18,77 hari pada
perkawinan IB. Hasil penelitian ini
lebih pendek dari jarak beranak
kambing yang dilaporkan oleh
Devendra dan Burns (1994) yaitu
327 hari (10,9 bulan), Setiadi,dkk.
(1995) yakni 10 bulan pada kambing
PE dan Odubute (1996) terhadap
kambing lokal Mootse, yakni 285
hari (9,5 bulan) dan hampir sama
dengan penelitian Atabany (2001),
bahwa selang beranak kambing PE
di peternakan Barokah sebesar
259,36 hari.
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa sistem
perkawinan tidak berpengaruh
terhadap jarak beranak kambing PE.
Hal ini ditunjukkan dengan rataan
jarak beranak antar dua sistem
perkawinan yang hampir sama.
J arak beranak yang hampir sama
menunjukkan bahwa manajemen
reproduksi di Ampelgading sudah
baik. Menurut Wijanarko (2010)
panjang pendeknya jarak beranak
dipengaruhi oleh interval antara
munculnya birahi pertama dengan
terjadinya kebuntingan, lama
kebuntingan, kegagalan perkawinan,
kematian embrio dan days open.

KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan perkawinan IB
berpengaruh terhadap liiter size dan
berat lahir tetapi tidak berpengaruh
terhadap berat sapih, kidding interval
8

dan days open pada kambing PE.


Rataan litter size 1,83+0,56 ekor
untuk perkawinan alam dan
2,39+0,92 ekor pada hasil
perkawinan IB, dengan berat lahir
dan berat sapih anak kambing hasil
perkawinan alam sebesar 3,48+0,52
kg dan 16,20+1,63 kg sedangkan
pada perkawinan IB sebesar
3,13+0,65 kg dan 16,50+1,80 kg dan
nilai kidding interval dan days open
kambing PE di Ampelgading
Kabupaten Malang sebesar
259+21,64 hari dan 112,3+30,27
hari pada perkawinan alam
sedangkan pada perkawinan IB
sebesar 253+18,77 hari dan
104,4+21,32 hari.
Untuk meningkatkan
produktivitas ternak kambing PE
perlu dilakukan perbaikan
manajemen pemeliharaan serta
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan menggunakan umur dan
paritas yang sama.


DAFTAR PUSTAKA


Adriani, A. Sudono, T. SutardiI, W.
Manalu dan I.K. Sutama.,
2003. Optimasi produksi anak
dan susu kambing Peranakan
Etawah dengan superovulasi
dan suplementasi seng. Forum
Pascasarjana. Sekolah
Pascasarjana, Institute
Pertanian Bogor 26 (4): 335-
352.

Atabany, A., 2001. Study Kasus
Produktivitas Kambing
Peranakan Ettawah dan
Kambing Saanen pada
Peternakan Kambing Perah
Barokah dan PT. Taurus Dairy
Farm. Tesis. Sekolah
Pascasarjana Insitut Pertanian
Bogor. Bogor.


Ax, R.L., M.R. Dally., B.A. Didion.,
K.W.Lenz., C.C. Love., D.D.
Varner., B. Hafez and M.E.
Bellin., 2008. Artificial
Insemination. Reproduction in
Farm Animals. 7
th
ed by B.
Hafez and E.S.E. Hafez
Blackwell Publishing. Oxford :
376389.

Blakely, J . dan H. Bade., 1992. Ilmu
Peternakan. Edisi Keempat.
Terjemahan: B. Srigandono.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Bourdon, R. M. 1997. Understanding
Animal Breeding. Prentice-
Hall, Inc. New J ersey.

Bradford, G.E. 1993. Small ruminant
breeding strategies for
Indonesia. Proceedings of a
Workshop Held at the
Research Institute for Animal
Production. Bogor, August 3-4,
1993: 83-94.

Chaniago, T.D dan Hastono. 2001.
Pertumbuhan pra-sapih
Kambing Peranakan Etawah
anak yang diberi susu
pengganti. Proseding Seminar
Nasional teknologi Peternakan
dan Veteriner. Puslitbang
Peternakan. Badan Litbang
Pertanian. Departemen
Pertanian. Bogor.

Dakhlan, A. 2007. Performan dan
Indeks Produktivitas Induk
Kambing Boerawa dan
Kambing Peranakan Etawa
pada Pemeliharaan Rakyat.
Laporan Penelitian Universitas
Lampung. Bandar Lampung.

Devendra, C dan M. Burns., 1994.
Produksi Kambing di Daerah
Tropis. Diterjemahkan oleh
IDK. Putra. Penerbit ITB dan
Universitas Udayana.
Bandung.
9


Direktorat J enderal Peternakan.,
2010. Blue Print Swasembada
Daging 2014. Kementerian
Pertanian. J akarta.


Garantjang, S., 2004. Pertumbuhan
Anak Kambing Kacang pada
Berbagai Umur Induk yang
Dipelihara Secara Tradisional.
J urnal Sains dan Teknologi.
April 2004. Vol 4 no 1: 40-45.

Hafez, B., and E.S.E Hafez
1
., 2008.
Fertilization and Cleavage.
Reproduction in Farm Animals.
7
th
ed by B. Hafez and E.S.E.
Hafez Blackwell Publishing.
Oxford : 110125.

Harris, I., A. Dakhlan dan S.
Suharyati., 2009. Performance
of Kid Grade-1 as a Result of
Grading-up Between Local
Goat and Boer Goat. The First
International Seminar on
Animal Industry, Faculty of
Animal Husbandry, Bogor
Agricultural University,
November 23-24, 2009

Ihsan M.N., 2010. Pengembangan
Kambing Dengan Inseminasi
Buatan (Kendala dan
Solusinya). Pidato
Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang.

Ince, D., 2010. Reproduction
performance of Saanen goats
raised under extensive
conditions. African J ournal of
Biotechnology Vol. 9(48) :
8253-8256, 29 November,
2010.

Kostaman, T dan I-K. Sutama.,
2005. Laju Pertumbuhan
Kambing Anak Hasil
Persilangan antara Kambing
Boer dengan Peranakan
Etawah pada Periode Pra-
sapih. J urnal Ilmu Ternak dan
Veteriner.: 06 12.

Kurnianto, E., S. J ohari dan H.
Kurniawan., 2007. Komponen
Ragam Bobot Badan Kambing
Peranakan Ettawah di Balai
Pembibitan Ternak Kambing
Sumberrejo kabupaten Kendal.
Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro.
Semarang.


Maylinda, S., 2010. Pengantar
Pemuliaan Ternak.
Universitas Brawijaya Press.
Malang.

Rosita, Y. 2003. Produktivitas
Kambing PE yang dipelihara
secara tradisional di Desa
Bojong Kecamatan Tenjo
Kabupaten Bogor. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Sodiq, A. 2004., Doe Productivity of
Kacang and Peranakan
Etawah Goats and Factors
Affecting the in Indonesia.
J ournal of Agriculture and
Rural Development in the
Tropics and Subtropics. Kassel
University Press. GmbH. http:
//dnb.ddb.de_abrufbar

Sodiq, A dan A.T.A. Sudewo., 2008.
Reproductive Performance and
Preweaning Mortality of
Peranakan Ettawah Goat
under Production System of
Goat Farming Group in
Gumelar Banyumas. Animal
Production, Mei 2008 vol 10 no
2: 67-72.

Sodiq, A., S. Adjisoedarmo dam E.S.
Tawfik., 2003. Reproduction
Rate of Kacang and
Peranakan Ettawah Goats
under Village Production
10

System in Indonesia.
International Reserach of Food
Security Natural Resource
Management and Rural
Development. Gottingen 8-10
October 2003.

Sugoro, I., 2009. Kajian Bioetika:
Pemanfaatan Inseminasi
Buatan untuk Peningkatan
Produktivitas Sapi. Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati.
Insitut Teknologi Bandung.
Bandung.

Sukendar, A.,, M. Duldjamanr dan A.
Sukmawati., 2005. Potensi
Reproduksi dan Distribusi
dalam Pengembangan
Kambing PE di Desa
Hegarmanah Kecamatan
Cicantayan Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat. Media
Peternakan April 2005 volume
28 no 1: 1-7

Susilawati, T., 2002. Optimalisasi
Inseminasi Buatan Dengan
Spermatozoa Beku Hasil
Sexing Pada Sapi Untuk
Mendapatkan Anak Dengan
Jenis Kelamin Sesuai
Harapan. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Perguruan
Tinggi. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang.

Sutama, I.K., 2004. Tantangan dan
Peluang Peningkatan
Produktivitas kambing Melalui
Inovasi Teknologi Reproduksi.
Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Balai Penelitian
Ternak, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Bogor.

Warwick, E.J ., J .M. Astuti dan W.
Hardjosubroto. 1995.
Pemuliaan Ternak. Gadjah
Mada University Press.
Yogyakarta.

Wijanarko, A.W., 2010. Kajian
Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi
Penampilan Reproduksi
Sapi Brahman Cross di
Kabupaten Ngawi.
Disertasi. Program Pasca
Sarjana Fakultas
Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang.

Anda mungkin juga menyukai