PENDAHULUAN
Salah satu ternak lokal yang
dapat dikembangkan dalam
mendukung P2SD 2014 adalah
kambing Peranakan Ettawah (PE).
Ternak kambing merupakan salah
satu jenis ternak yang cukup
digemari masyarakat, namun skala
usahanya masih bersifat usaha
kecil-kecilan di mana sistem
pemeliharaan dan
perkembangbiakannya masih secara
tradisional. Pemeliharaan kambing
pada umumnya sebagai usaha
sambilan bagi masyarakat peternak,
meskipun ada juga yang menjadikan
sebagai mata pencaharian pokok.
Ternak kambing merupakan salah
satu jenis ternak yang mempunyai
prospek untuk dikembangkan karena
hanya memerlukan sarana dan
sistem pemeliharaan yang relatif
sederhana serta dapat beradaptasi
dengan lingkungan dan jenis pakan
(Garantjang, 2004).
Keberhasilan reproduksi akan
sangat mendukung peningkatan
produktivitas ternak selain faktor
pakan dan manajemen. Daya
reproduksi kelompok ternak yang
tinggi disertai dengan pengelolaan
ternak yang baik akan menghasilkan
efisiensi reproduksi yang tinggi
diikuti dengan produktifitas ternak
yang tinggi pula. Tinggi rendahnya
efisiensi reproduksi ternak
dipengaruhi oleh angka kebuntingan
(conception rate), jarak antar
kelahiran (kidding interval), jarak
waktu antara melahirkan sampai
bunting kembali (days open), angka
kawin per kebuntingan (service per
conception), dan angka kelahiran.
Selain itu juga dapat dilihat dari
produktivitasnya yang meliputi berat
lahir, berat sapih, litter size dan
pertambahan berat badan harian
(Sutama, 2004).
Faktor penghambat yang
diduga sebagai penyebab
rendahnya produktivitas ternak di
Indonesia adalah manajemen
pemeliharaan yang belum optimal,
yang ditandai dengan sistem
pemeliharaan bersifat ekstensif
(tradisional), usaha sambilan (non
agribusiness oriented) dan tidak
memperhatikan input produksi.
Selain itu, sistem pemuliaan dan
seleksi yang tidak terarah sehingga
mengakibatkan kinerja ternak sangat
beragam (Sugoro, 2009). Untuk
mengatasi permasalahan tersebut
dapat dilakukan melalui penerapan
teknologi IB. Teknologi ini digunakan
untuk peningkatan produksi dan
perbaikan mutu genetik ternak serta
sebagai alat dalam pelaksanaan
kebijakan pemuliaan secara
nasional.
Keberhasilan IB dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya
adalah semen, ketepataan deteksi
birahi, teknik thawing, deposisi
semen dan manajemen
pemeliharaan (Susilawati, 2002).
Tujuan IB adalah memperbaiki mutu
genetika ternak; tidak mengharuskan
pejantan unggul untuk dibawa
ketempat yang dibutuhkan, sehingga
mengurangi biaya; mengoptimalkan
penggunaan bibit pejantan unggul
secara lebih luas dalam jangka
waktu yang lebih lama;
meningkatkan angka kelahiran
dengan cepat dan teratur dan
mencegah penularan/penyebaran
penyakit kelamin. Dengan IB maka
peningkatan produktivitas ternak
dapat dilakukan secara cepat.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan tingkat
produktifitas perkawinan alam dan IB
pada kambing PE di Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Malang.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian.
Penelitian dilakukan pada
bulan Agustus sampai Desember
2010 di Desa Mulyoasri, Tawang
Agung, Argoyuwono dan Wirotaman
Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Malang.
4
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah induk Kambing
PE terdiri dari 6 macam paritas
yang mempunyai catatan lengkap,
masih produktif, berumur 2 6
tahun, dengan jumlah ternak 121
ekor yang dikawinkan secara kawin
alam (campuran perkawinan IB dan
alam), 18 ekor secara IB yang
menggunakan straw yang berasal
dari Balai Besar Inseminasi Buatan
(BBIB) Singosari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Produksi Kambing PE
Berat lahir mempunyai arti
penting, karena sangat berkorelasi
dengan laju pertumbuhan, ukuran
dewasa dan daya hidup anak.
Menurut Warwick dkk. (1990)
menyatakan berat lahir memang
tidak mempunyai nilai ekonomis
yang penting akan tetapi berat lahir
dapat dijadikan kriteria untuk seleksi
dini karena ada hubungan antara
berat lahir dengan berat sapih.
Hasil penelitian diperoleh data
produksi anak kambing dari dua
macam sistem perkawinan di
Ampelgading, disajikan pada Tabel
1.
Tabel 9. Penampilan Anak Kambing PE dari Dua Sistem Perkawinan di
Ampelgading
Variabel Perkawinan Alam Perkawinan IB
Litter Size (ekor) 1,83+0,56 (121) 2,39+0,92 (18)
Berat lahir (kg) 3,48+0,52 (216) 3,13+0,65 (40)
J antan (kg) 3,58+0,54 (132) 3,23+0,70 (20)
Betina (kg) 3,31+0,44 (84) 3,03+0,60 (20)
Berat sapih (kg) 16,20+1,63 (214) 16,50+1,80 (36)
J antan (kg) 16,63+1,61 (132) 17,10+1,71 (20)
Betina (kg) 15,45+1,42 (82) 15,75+1,65 (16)
Kematian anak (%) 0,9% (2) 10% (4)
Umur Sapih (bulan) 4,03+0,60 3,94+0,41
Pertambahan Berat
Badan Harian (PBBH)
(gram)
107+17,20
114+19,83
J antan (gram) 110+17,40 117+26,00
Betina (gram) 103+16,00 111+19,64
Keterangan: ( ) =jumlah ternak
Hasil analisis statistik (Tabel.2)
menunjukkan berat lahir anak
kambing hasil perkawinan alam
memiliki berat lahir sebesar
3,48+0,52 kg dan perkawinan IB
sebesar 3,13+0,65 kg. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa sistem
perkawinan berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap berat lahir
anak. Berat lahir yang tinggi
5
Tabel 2. Penampilan Reproduksi Kambing PE dari Dua Sistem Perkawinan
di Ampelgading
Variabel Perkawinan Alam Perkawinan IB
Days Open (DO) (hari) 112,30+30,27 (91) 104,40+21,32 (18)
J arak Beranak (hari) 259+21,64 (91) 253+18,77 (18)
Nilai days open di lokasi
penelitian (Tabel 2) sebesar
112,3+30,27 hari pada perkawinan
alam dan 104,4+21,32 hari pada
perkawinan IB, sehingga rataan nilai
days open perkawinan alam lebih
panjang 7,9 hari dari perkawinan IB.
Setelah di analisis ragam
menunjukkan bahwa sistem
perkawinan tidak berpengaruh
terhadap days open kambing PE.
Hal ini ditunjukkan dengan rataan
days open antar dua sistem
perkawinan yang hampir sama
dengan perbedaan yang relatif
pendek. Days open yang hampir
sama menunjukkan bahwa
manajemen reproduksi di
Ampelgading sudah baik.
Day open yang lebih panjang
pada perkawinan alam daripada
perkawinan IB disebabkan beberapa
faktor, yaitu kegagalan IB sehingga
peternak kemudian melakukan
perkawinan alam lagi yang
menyebabkan akan memperpanjang
days open.
J arak beranak adalah jangka
waktu antara satu kelahiran dan
kelahiran berikutnya. J arak beranak
ditentukan oleh lama kebuntingan
dan lama waktu kosong. Lama
kosong menunjukkan selang waktu
antara saat beranak sampai dengan
terjadi konsepsi kembali (Hafez and
Hafez, 2008). J arak beranak adalah
karakter yang paling penting untuk
menilai produktivitas dan merupakan
indeks terbaik untuk mengevaluasi
efisiensi reproduksi pada
sekelompok ternak di lapang.
Hasil penelitian di
Ampelgading (Tabel 2) diperoleh
nilai jarak beranak sebesar
259+21,64 hari pada perkawinan
alam dan 253+18,77 hari pada
perkawinan IB. Hasil penelitian ini
lebih pendek dari jarak beranak
kambing yang dilaporkan oleh
Devendra dan Burns (1994) yaitu
327 hari (10,9 bulan), Setiadi,dkk.
(1995) yakni 10 bulan pada kambing
PE dan Odubute (1996) terhadap
kambing lokal Mootse, yakni 285
hari (9,5 bulan) dan hampir sama
dengan penelitian Atabany (2001),
bahwa selang beranak kambing PE
di peternakan Barokah sebesar
259,36 hari.
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa sistem
perkawinan tidak berpengaruh
terhadap jarak beranak kambing PE.
Hal ini ditunjukkan dengan rataan
jarak beranak antar dua sistem
perkawinan yang hampir sama.
J arak beranak yang hampir sama
menunjukkan bahwa manajemen
reproduksi di Ampelgading sudah
baik. Menurut Wijanarko (2010)
panjang pendeknya jarak beranak
dipengaruhi oleh interval antara
munculnya birahi pertama dengan
terjadinya kebuntingan, lama
kebuntingan, kegagalan perkawinan,
kematian embrio dan days open.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan perkawinan IB
berpengaruh terhadap liiter size dan
berat lahir tetapi tidak berpengaruh
terhadap berat sapih, kidding interval
8
Direktorat J enderal Peternakan.,
2010. Blue Print Swasembada
Daging 2014. Kementerian
Pertanian. J akarta.
Garantjang, S., 2004. Pertumbuhan
Anak Kambing Kacang pada
Berbagai Umur Induk yang
Dipelihara Secara Tradisional.
J urnal Sains dan Teknologi.
April 2004. Vol 4 no 1: 40-45.
Hafez, B., and E.S.E Hafez
1
., 2008.
Fertilization and Cleavage.
Reproduction in Farm Animals.
7
th
ed by B. Hafez and E.S.E.
Hafez Blackwell Publishing.
Oxford : 110125.
Harris, I., A. Dakhlan dan S.
Suharyati., 2009. Performance
of Kid Grade-1 as a Result of
Grading-up Between Local
Goat and Boer Goat. The First
International Seminar on
Animal Industry, Faculty of
Animal Husbandry, Bogor
Agricultural University,
November 23-24, 2009
Ihsan M.N., 2010. Pengembangan
Kambing Dengan Inseminasi
Buatan (Kendala dan
Solusinya). Pidato
Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang.
Ince, D., 2010. Reproduction
performance of Saanen goats
raised under extensive
conditions. African J ournal of
Biotechnology Vol. 9(48) :
8253-8256, 29 November,
2010.
Kostaman, T dan I-K. Sutama.,
2005. Laju Pertumbuhan
Kambing Anak Hasil
Persilangan antara Kambing
Boer dengan Peranakan
Etawah pada Periode Pra-
sapih. J urnal Ilmu Ternak dan
Veteriner.: 06 12.
Kurnianto, E., S. J ohari dan H.
Kurniawan., 2007. Komponen
Ragam Bobot Badan Kambing
Peranakan Ettawah di Balai
Pembibitan Ternak Kambing
Sumberrejo kabupaten Kendal.
Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro.
Semarang.
Maylinda, S., 2010. Pengantar
Pemuliaan Ternak.
Universitas Brawijaya Press.
Malang.
Rosita, Y. 2003. Produktivitas
Kambing PE yang dipelihara
secara tradisional di Desa
Bojong Kecamatan Tenjo
Kabupaten Bogor. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sodiq, A. 2004., Doe Productivity of
Kacang and Peranakan
Etawah Goats and Factors
Affecting the in Indonesia.
J ournal of Agriculture and
Rural Development in the
Tropics and Subtropics. Kassel
University Press. GmbH. http:
//dnb.ddb.de_abrufbar
Sodiq, A dan A.T.A. Sudewo., 2008.
Reproductive Performance and
Preweaning Mortality of
Peranakan Ettawah Goat
under Production System of
Goat Farming Group in
Gumelar Banyumas. Animal
Production, Mei 2008 vol 10 no
2: 67-72.
Sodiq, A., S. Adjisoedarmo dam E.S.
Tawfik., 2003. Reproduction
Rate of Kacang and
Peranakan Ettawah Goats
under Village Production
10
System in Indonesia.
International Reserach of Food
Security Natural Resource
Management and Rural
Development. Gottingen 8-10
October 2003.
Sugoro, I., 2009. Kajian Bioetika:
Pemanfaatan Inseminasi
Buatan untuk Peningkatan
Produktivitas Sapi. Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati.
Insitut Teknologi Bandung.
Bandung.
Sukendar, A.,, M. Duldjamanr dan A.
Sukmawati., 2005. Potensi
Reproduksi dan Distribusi
dalam Pengembangan
Kambing PE di Desa
Hegarmanah Kecamatan
Cicantayan Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat. Media
Peternakan April 2005 volume
28 no 1: 1-7
Susilawati, T., 2002. Optimalisasi
Inseminasi Buatan Dengan
Spermatozoa Beku Hasil
Sexing Pada Sapi Untuk
Mendapatkan Anak Dengan
Jenis Kelamin Sesuai
Harapan. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Perguruan
Tinggi. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang.
Sutama, I.K., 2004. Tantangan dan
Peluang Peningkatan
Produktivitas kambing Melalui
Inovasi Teknologi Reproduksi.
Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Balai Penelitian
Ternak, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Bogor.
Warwick, E.J ., J .M. Astuti dan W.
Hardjosubroto. 1995.
Pemuliaan Ternak. Gadjah
Mada University Press.
Yogyakarta.
Wijanarko, A.W., 2010. Kajian
Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi
Penampilan Reproduksi
Sapi Brahman Cross di
Kabupaten Ngawi.
Disertasi. Program Pasca
Sarjana Fakultas
Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang.