Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup
penting bagi perekonomian nasional dengan sebaran sentra penanaman yang cukup
banyak dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Kakao juga telah lama menjadi salah satu
komoditi ekspor unggulan Indonesia yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam
menghasilkan devisa negara. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong
pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia
apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan
agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki
prospek yang sangat besar untuk pengembangan kakao baik dari tingkat hulu sampai
dengan hilir.

B. Rumusan Masalah
a. Apa bentuk pasar, performa pasar (SCP), dan iklim persaingan usaha dalam
komoditas kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara?
b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao di Sulawesi?
c. Bagaimana pasar input kokoa di Sulawesi?
d. Bagaimana peran pemerintah, kegagalan pasar, dan perlindungan konsumen
dalam industri kakao?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui bentuk dan performa pasar (SCP) komoditas kakao di Kolaka,
Sulawesi Tenggara
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao dan pasar input, peran
pemerintah, kegagalan pasar, perlindungan konsumen, dan Iklim persaingan
usaha terhadap komoditas kakao
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Bentuk Pasar Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara
Berdasarkan teori, Oligopsoni adalah keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa
dalam suatu pasar komoditas. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa Oligospsoni
merupakan pasar yang dikuasai oleh beberapa pembeli yang mempunyai kemampuan
mempengaruhi harga pasar.
Dalam kasus ini, yaitu Industri komoditas kakao di kabupaten kolaka utara
mempunyai bentuk pasar Oligopsoni, karena pabrik kakao yang terletak di Industri
Makasar menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal dari beberapa
rantai pemasaran pada komoditas coklat.
Di Indonesia, ada beberapa kasus lain Oligopsoni dalam komoditas coklat yaitu
pembeli coklat (kakao) yang dilakukan oleh satu asosiasi pembeli kakao yaitu ASKINDO
(Asosiasi Kakao Indonesia).

B. Performa Pasar (SCP) Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara

B.1 Sekilas Tentang Kakao Indonesia
Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar ketiga di dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana. Sumbangan devisa dari eksport kakao tahun 2002 adalah sebesar US$
701 Juta, terbesar ketiga dari sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit.
Perkebunan kakao telah menyerap tenaga kerja sebanyak 900 ribu kepala keluarga
petani yang kebanyakan berada di kawasan Timur Indonesia (KTI). Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai daerah penghasil cokelat terbesar di Indonesia, menyumbang sebanyak
201.851,29 ton, atau senilai US$ 283.830. 683,413.
Areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2002 tercatat seluas 914.051 hektar
(ha). Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan
selebihnya 6,0% dikelola perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta.
3

Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan
sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao
Ghana. Kelebihan utama kakao Indonesia adalah titik lelehnya yang tinggi sehingga
cocok untuk blending. Sekitar 80% produksi kakao Indonesia diperuntukkan untuk
eksport, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri cokelat dalam negeri.
Kakao umumnya dieksport dalam bentuk biji yang belum difermentasikan.

B.2 Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara
Salah satu sentra penghasil kakao di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten
Kolaka. Kegiatan penanaman komoditas eksport tersebut telah dimulai di Kabupaten
Kolaka sejak tahun 1970-an. Luas areal kakao di Kabupaten Kolaka pada kurun waktu
lima tahun belakangan ini memperlihatkan terjadinya penambahan luas sebesar 6,31
persen pertahun atau rata-rata areal tanamnya 71.767 ha/tahun. Peningkatan ini juga
terjadi pada produksinya, yaitu dari 59.899 ton pada tahun 1998 menjadi 74.614 ton pada
tahun 2002. Pada tahun 2006 areal kakao semakin bertambah luas menjadi 81.236 ha,
namun dari sisi produksi mengalami penurunan yang signifikan sebagai dampak dari
serangan hama yang cukup hebat terhadap tanaman kakao. Produksi kakao Kabupaten
Kolaka tahun 2006 hanya sebesar 49.807 ton, di bawah produksi kakao Kabupaten
Kolaka Utara.


4

B.2.1 Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kakao di Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 1990 2006


B.2.2 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kakao Rakyat di Kabupaten Kolaka,
Sulawesi Tenggara



5

B.2.3 Alur Pasar Kakao di Kabupaten Kolaka


B.2.3.1 Petani
Walaupun para petani tersebut bebas menjual ke pedagang pengumpul tersebut, tetapi dari
segi jumlah sebenarnya pedagang pengumpul yang mencari kakao di desa ini jumlahnya
tetap. Pernah ada pedagang pengumpul lainnya yang ingin mencari biji kakao di desa ini,
tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Pedagang pengumpul baru tersebut berani membeli
dengan harga yang lebih tinggi, sehingga para petani banyak menjual kepadanya. Dengan
melihat kondisi tersebut menyebabkan para pedagang pengumpul yang lama bersatu dan
membuat kesepakatan untuk mencegah pedagang pengumpul baru tersebut, caranya dengan
mencegat di tengah jalan dan memberikan sedikit ancaman.


6

B.2.3.2 Bakul
Bakul adalah sebutan untuk pedagang yang mengumpulkan biji kakao dari petani dan
biasanya mereka hanya mengumpulkan dalam areal yang lebih sempit dibandingkan
pedagang pengumpul. Umumnya mereka mengumpulkan dalam jumlah yang kecil dan
ukuran yang biasa dipergunakan adalah liter. Dalam menjualpun tidak setiap hari, mereka
mengumpulkan biji kakao tersebut di rumah dan menjual ke pasar terdekat pada hari pasar
atau ke pedagang pengumpul yang ada di desa. Untuk pasar kecamatan, hari pasaran yang
ramai pada hari Rabu dan Minggu, kemudian diikuti pasar pada desa-desa lainnya. Sehingga
secara keseluruhan setiap hari ada pasar di Kecamatan Ladonge.

B.2.3.3 Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul di kecamatan ini sangat banyak dan sangat beragam kemampuannya
dalam pengadaan kakao. Ada beberapa cara yang dijalankan oleh para pedagang dalam
mengumpulkan kakao tersebut, antara lain mengambil langsung ke rumah-rumah petani,
melalui pedagang bakul yang ada di desa dan melalui pedagang yang mengumpulkan kakao
di pasar kecamatan dan di pasar desa. Biji kakao yang sudah terkumpul tersebut kemudian
diambil oleh pedagang antar pulau. Untuk menjamin adanya pasokan kakao, para pedagang
pengumpul mengambil cara dengan memberikan bantuan atau pinjaman sarana produksi
maupun dana segar ke petani kakao yang membutuhkan.

B.2.3.4 Pedagang Antar Pulau
Pedagang antar pulau mendapatkan biji kakao paling banyak dari pedagang pengumpul dan
sekali-kali dari para bakul. Pedagang pengumpul itu ada yang bebas dan ada juga yang
terikat. Keterikatan itu terjadi apabila pedagang antar pulau meminjamkan dana untuk
pembelian kakao dan umumnya harga sudah ditentukan, apabila ada kenaikan harga
pedagang pengumpul tersebut tidak bisa menjual ke pedagang antar pulau yang lainnya.
Pedagang ini ada yang tinggal di kecamatan dan sebagian ada juga yang tinggal di kota
Kolaka. Ciri-ciri umum untuk pedagang antar pulau di desa ini, yaitu mereka sudah
mempunyai truk-truk dengan muatan besar. Sedangkan pedagang pengumpul hanya
mempunyai mobil angkutan yang kecil, karena jarak dan tonasenya tidak terlalu besar.
7

Tujuan terakhir dari kakao yang ada di Kabupaten Kolaka ini adalah pabrik kakao yang ada
di Kawasan Industri Makasar (KIMA).

B.2.3.5 Marjin Pemasaran
Harga perkilonya menurut petani bisa berubah setiap harinya dan harga tersebut biasanya
ditentukan oleh para pedagang. Menurut petani para pedagang mengambil keuntungan dari
berat timbangan yang tidak semestinya dan penentuan kadar air yang hanya mempergunakan
tangan (bukan dengan tester). Timbangan yang dipergunakan harus timbangan milik para
pedagang, timbangan petani tidak diakui kebenarannya.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Kakao di Sulawesi
Berdasarkan uji individual, dua variabel yang dianalisis yaitu konsumsi kakao
dunia dan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memiliki signifikan pada taraf
nyata 95 persen. Penolakan hipotesis nol dalam uji ini menunjukkan ketiga faktor-faktor
tersebut berpengaruh signifikan terhadap harga kakao Indonesia. Harga kakao di NYBOT
(New York Board of Trade) memiliki nilai p sebesar 0,068, yang berarti variabel ini dapat
dipercaya berpengaruh nyata pada harga kakao Indonesia sampai 94,2 persen. Dua
variabel lain yaitu impor Amerika Serikat dan lag produksi kakao tidak mengindikasikan
pengaruh yang signifikan terhadap harga kakao Indonesia. Berikut penjelasan hasil
analisis model faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao Indonesia.

Harga Kakao NYBOT
Harga kakao di bursa NYBOT berpengaruh positif dan nyata terhadap harga kakao yang
terjadi di bursa berjangka NYBOT, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan harga
yang terjadi di bursa NYBOT menyebabkan harga kakao di Indonesia naik. Koefisien
harga kakao NYBOT sebesar 0,39 berarti bahwa setiap kenaikan harga kakao di bursa
NYBOT sepuluh persen akan menyebabkan harga kakao Indonesia naik sebesar 3,9. Dari
besaran tersebut, terlihat bahwa respon harga kakao Indonesia bersifat inelastis terhadap
perubahan harga kakao di bursa NYBOT.

8

Konsumsi Dunia
Konsumsi kakao dunia berpengaruh positif terhadap harga kakao Indonesia. Jika
konsumsi dunia meningkat, maka harga kakao Indonesia akan meningkat. Konsumsi
kakao dunia berpengaruh nyata terhadap harga kakao di Indonesia pada taraf nyata 5
persen. Koefisien konsumsi kakao dunia yang diperoleh sebesar 0,69. Ini berarti untuk
setiap kenaikan konsumsi dunia sebesar 10 persen, akan menyebabkan penurunan harga
kakao Indonesia sebesar 6,9 persen. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis
yang dikemukakan. Ketidkasesuaian ini diduga karena ekspor kakao Indonesia sebagian
besar ke satu negara tujuan yaitu AS. Kakao Indonesia yang diekspor kebanyakan adalah
kakao dengan kualitas yang lebih rendah, karena kebanyakan tidak difermentasi.
Sedangkan konsumsi dunia lebih banyak untuk kakao yang difermentasi. Sehingga
peningkatan konsumsi dunia berdampak pada permintaan kakao yang difermentasi,
bukan pada permintaan kakao Indonesia.

Impor Amerika Serikat (AS)
Impor kakao AS diduga berpengaruh terhadap harga kakao Indonesia karena AS adalah
negara tujuan utama ekspor Indonesia. Impor kakao AS diduga berpengaruh positif,
artinya apabila terjadi kenaikan impor Amerika Serikat, maka harga kakao Indonesia
akan cenderung meningkat.

Kurs Rp/US $
Kurs rupiah (Rp) terhadap dollar Amerika Serikat (US $) diduga berpengaruh positif
terhadap harga kakao Indonesia. Kenaikan nilai Rp/US $ akan menyebabkan kenaikan
permintaan kakao AS. Akibatnya harga kakao Indonesia akan meningkat.

Lag Produksi Dunia
Produksi kakao dunia pada kurun waktu sebelumnya diduga berpengaruh negatif
terhadap harga kakao Indonesia. Jika produksi kakao secara global turun, maka harga
kakao dunia termasuk di Indonesia akan meningkat.


9

D. Pasar Input Kakao di Sulawesi

D.1 Lahan
Jenis tanaman kakao di Indonesia umumnya adalah kakao jenis lindak dengan
sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa
Timur dan Jawa Tengah.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun
waktu 20 tahun terakhir. Pada tahun 2006 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat
seluas 1.191.800 ha, dimana 1.105.700 (93%) diantaranya merupakan perkebunan rakyat
sedangkan sisanya sebesar 38.500 ha (3%) merupakan Perkebunan Milik Negara dan
47.600 ha (4%) merupakan perkebunan swasta. Namun dari total luas areal tersebut,
hanya 839.300 ha (70%) yang merupakan perkebunan yang menghasilkan. Sisanya
merupakan areal perkebunan baru ataupun areal tanaman rusak.
Sulawesi merupakan penghasil utama kakao di Indonesia, dengan produsen
terbesar kakao di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Pada awalnya Provinsi Sulawesi Selatan adalah produsen terbesar kedua setelah Sulawesi
Tengah, namun sejak pemekaran wilayah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2003 areal
perkebunan kakao Sulawesi Selatan menurun dari 296.039 ha menjadi 217.399 ha.
Akibatnya produksi kakao Sulawesi Selatan pun ikut menurun, dari 282.692 ton pada
tahun 2003, menjadi 153.122 ton pada tahun 2004.
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu penghasil kakao terbesar di
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Areal perkebunan kakao di Sulawesi Tengah
menunjukkan pertumbuhan pesat. Pada tahun 1990 areal kakao hanya sekitar 15.169
hektar. Satu dasawarsa kemudian luas areal perkebunan kakao telah meningkat sebesar
450% menjadi 83.462 hektar. Tahun 2006 areal perkebunan kakao berkembang semakin
pesat menjadi 1,2 kali dari luas areal tahun 2000 atau seluas 180.873 hektar.
Sentra produksi kakao di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi beberapa daerah
seperti Kabupaten Donggala, Kab. Parigi Moutong dan Kab. Poso. Berdasarkan data
Statistik Perkebunan Indonesia dari Departemen Pertanian, pada tahun 2001 luas areal
perkebunan kakao terbesar terdapat di Kab. Donggala sebesar 42.545 hektar, diikuti oleh
10

Kab. Buol Toli-Toli seluas 10.090 hektar, Kab. Buol 8.180 hektar, Kab. Poso 7.382
hektar, Kab. Banggai 5.319 hektar dan Kab. Morowali seluas 3.892 hektar. Pada tahun
2002 luas areal perkebunan kakao di Sulawesi Tengah meningkat. Kab. Donggala masih
menjadi daerah dengan areal perkebunan kakao terluas, meskipun turun sebesar 2%
menjadi 41.696 hektar. Luas areal perkebunan kakao di Kab. Poso menunjukkan
perkembangan yang pesat. Tahun 2002 areal kakao di Kab. Poso mencapai 27.228 hektar.
Pertumbuhan yang signifikan juga dialami oleh Kab. Morowali sehingga luas areal yang
ditanami kakao berkembang menjadi 14.632 hektar. Kab. Buol, Kab. Buol Toli-Toli dan
Kab. Banggai masih menjadi daerah sentra produksi kakao di Sulawesi Tengah dengan
luas areal masing-masing sebesar 10.791 hektar, 10.030 hektar, dan 5.902 hektar.
Pada tahun 2006 tercatat bahwa Kab. Parigi Moutong merupakan daerah
penghasil kakao dengan luas areal terbesar di Sulawesi Tengah yaitu 61.780 hektar. Kab.
Donggala menempati peringkat kedua dengan areal kakao 48.007 hektar, diikuti Kab.
Poso seluas 40.354 hektar, Kab. 17.314 hektar, Kab. Banggai 17.314 hektar dan Kab.
Morowali 16.245 hektar. Semantara itu dari sisi produksi, Kab. Donggala merupakan
daerah produsen kakao terbesar dengan jumlah produksi 44.197 ton. Kab. Parigi
Moutong yang memiliki luas areal terbesar memproduksi kakao sebanyak 28.564 ton.
Salah satu sentra penghasil kakao di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten
Kolaka. Kegiatan penanaman komoditas eksport tersebut telah dimulai di Kabupaten
Kolaka sejak tahun 1970-an. Luas areal kakao di Kabupaten Kolaka pada kurun waktu
lima tahun belakangan ini memperlihatkan terjadinya penambahan luas sebesar 6,31
persen pertahun atau rata-rata areal tanamnya 71.767. Selain Kab. Kolaka, beberapa
daerah lain di Sulawesi Tenggara merupakan daerah sentra produksi kakao. Sebagaimana
disebutkan di atas, pada tahun 2006, Kab. Kolaka Utara mempunyai areal perkebunan
kakao seluas 61.985 ha dengan produksi sebesar 51.299 ton. Kab. Konawe Selatan juga
memproduksi kakao dengan jumlah produksi 8.334 ton dan luas areal perkebunan kakao
17.287 ha, Kab. Bombana dengan luas areal kakao 8.858 ha mampu menghasilkan kakao
sebesar 4.269 ton, dan Kab. Muna seluas 7.502 ha memproduksi kakao sebanyak 2.992
ton.ha/tahun.


11

E. Peranan Pemerintah dalam Industri Kakao
Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun 2009
melaksanakan program Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Nasional
(Gernas kakao) yang merupakan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman
dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan dan sumberdaya yang ada secara optimal.
Gernas kakao tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 2011 di 9
provinsi dan 40 kabupaten dengan sasaran sebagai berikut: (i) perbaikan tanaman kakao
rakyat seluas 450.000 ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70.000 ha, rehabilitasi
235.000 ha dan intensifikasi seluas 145.000 ha; (ii) pemberdayaan petani melalui
pelatihan dan pendampingan kepada 450.000 petani; (iii) pengendalian hama dan
penyakit tanaman seluas 450.000 ha; dan (iv) perbaikan mutu kakao sesuai dengan
standar nasional Indonesia (SNI). Beberapa target yang ingin dicapai melalui pelaksanaan
kebijakan ini adalah: (i) peningkatan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660
kg/ha/tahun menjadi 1.500 kg/ha/tahun pada tahun 2013; (ii) peningkatan produksi kakao
di lokasi gerakan dari 297.000 ton/tahun menjadi 675.000 ton/tahun; (iii) meningkatnya
pendapatan petani dari Rp. 13.200.000/ha/tahun (2009) menjadi Rp. 30.000.000/ha/tahun
(2013); (iv) meningkatnya devisa negara dari US$ 494 juta (2009) menjadi US$ 1.485
juta (2013). Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari target kebijakan pemerintah.
Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi
industri dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk ekspor biji
kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea keluar ekspor biji
kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga rata-rata internasional yang
berpedoman pada harga rata-rata CIF New York Board of Trade (NYBOT). Tarif bea
keluar biji kakao adalah sebagai berikut: (i) untuk harga referensi sampai dengan USD
2.000, tarif sebesar nol persen; (ii) harga referensi USD 2.000 2.750, tarif sebesar 5
persen; (iii) harga referensi USD 2.750 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan (iv) harga
referensi lebih dari USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah
juga menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN
bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk olahan kakao
dikenakan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan untuk negara-negara yang termasuk dalam
12

perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEANCHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya
sudah dihapuskan.
Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah berupa
insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao kering baik
yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang hasil pertanian yang
bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai

F. Kegagalan Pasar dalam Industri Kakao
Dalam hal pemasaran dan penguasaan pangsa pasar internasional, komoditas
perkebunan dan pertanian umumnya menderita gejala struktur pasar yang sangaat
asimetris antara pasar internasional dan pasar domestik. Gejala asimetris tersebut sering
dianalogikan dengan fenomena serupa pada hubungan antara petani produsen dan
pedagang atau konsumen, karena produsen komoditas perkebunan sebagian besar berada
di negara-negara berkembang sementara konsumen produk hilir perkebunan berada di
negara-negara maju. Bagi negara-negara berkembang yang lebih banyak mengandalkan
ekspor komoditas pertanian dan agroindustri, struktur pasar yang asimetris jelas
merupakan ancaman serius bagi peningkatan produksi, produktivitas dan ekspor
komoditas.
Hal terpenting yang menentukan tingkat harga di pasar internasional adalah mutu
biji kakao. Oleh karenanya perhatian produsen kakao Indonesia terhadap kualitas biji
kakao yang diekspor sangat penting. Namun harga biji kakao di tingkat internasional
sering mendapat potongan sampai 15 persen karena persyaratan standar mutu biji dan
persyaratan fermentasi kakao yang relatif rendah bila dibandingkan dengan harga produk
yang sama dari negara produsen lain. Rendahnya nilai mutu biji kakao disebabkan karena
hama dan umur tanaman yang sudah tua juga mutu kakao mengandung keasaman yang
tinggi, rendahnya senyawa prekusor flavor, dan rendahnya kadar lemak.
Selain dari itu, jumlah dan kualitas sarana gudang dan pelabuhan kurang
memenuhi syarat untuk menjangkau sentra-sentra produksi kakao. Kondisi ini menjadi
kendala bagi pengembangan agribisnis kakao khususnya pada sentra produksi yang
belum memiliki pelabuhan ekspor. Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan
agribisnis kakao adalah masih lambatnya penyebarluasan teknologi maju hasil penelitian
13


G. Perlindungan Konsumen dalam Industri Kakao
Bursa Kakao Indonesia menjadi Acuan Harga Kakao Nasional sudah berjalan
selama 16 bulan. Setelah Kontrak Berjangka Kakao diperdagangkan di Bursa Berjangka
Jakarta, 80% produksi biji kakao lokal telah diserap seluruhnya oleh industri pengolahan
kakao dalam negeri. Ini adalah suatu revolusi industri bagi Indonesia, bahwa kakao
adalah satu-satunya komoditas yang telah banyak diekspor dalam keadaan setengah jadi ,
atau telah diproses menjadi bubuk coklat dan butter.
Dengan adanya patokan harga nasional, maka harga yang akan diterima petani di
bursa produsen seperti Indonesia tentunya lebih tinggi daripada harga dari bursa
konsumen (New York dan London). Sudah saatnya petani Indonesia menggunakan acuan
harga kakao di Jakarta Futures Exchange, sebagai price-maker yang mewakili
kepentingan para produsen (sellers market), bukannya harga New York yang mewakili
kepentingan konsumen (buyers market). JFX mengadakan sosialiasi perdagangan
berjangka kepada para pemain komoditas kakao di Makassar, serta memberikan pelatihan
intensif kepada para pialang agar semakin meramaikan transaksi komoditas kakao di
Jakarta Futures Exchange.

H. Iklim Persaingan Usaha Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara
Kakao di tingkat petani umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul, pedagang
antar kota, atau pedagang perantara. Para pedagang ini berfungsi sebagai perantara antara
petani dengan pabrik cokelat atau eksportir cokelat.
14



Untuk daerah Sulawesi, seperti di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara,
terdapat permasalahan dalam tata niaga kakao, dimana walaupun para petani tersebut bebas
menjual ke pedagang pengumpul, tetapi dari segi jumlah sebenarnya pedagang pengumpul yang
mencari kakao di desa ini jumlahnya tetap. Bila ada pedagang pengumpul baru yang masuk ke
wilayah tersebut dan berani membeli dengan harga yang lebih tinggi, para pedagang pengumpul
yang lama bersatu dan membuat kesepakatan untuk mencegah pedagang pengumpul baru
tersebut. Selain itu harga ditentukan oleh pedagang pengumpul. Patokan harga di setiap level tata
niaga semuanya mengacu kepada harga yang berlaku di Kawasan Industri Makasar (KIMA)
yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan. Apabila ada penurunan harga di KIMA maka semua
pemain di rantai tata niaga ini akan mengikutinya serta informasi tersebut akan cepat sampai ke
tangan petani. Sebaliknya, apabila ada kenaikan harga, maka informasi itu sampai ke tangan
petani tidak secepat bila terjadi penurunan harga. Melihat hal ini KPPU perlu melakukan kajian
komprehensif tentang sektor unggulan kakao di Sulawesi, mengingat besarnya peluang kakao
Sulawesi untuk menjadi komoditas unggulan Indonesia di pasar dunia, dan adanya beberapa
hambatan dalam tata niaga kakao yang mengarah ke persaingan tidak sehat.
15

Terdapat perbedaan dalam perilaku penjualan antara desa yang dekat dengan pasar
kecamatan dengan desa yang jauh dari pasar kecamatan. Di desa yang dekat dengan pasar
kecamatan, petani menjual hasil biji kakaonya kepada pedagang pengumpul yang umumnya
langsung datang ke rumah petani dan pedagang tersebut bebas menjual kepada siapa saja.
Sedangkan di desa yang lokasinya jauh dari pasar kecamatan, pedagang pengumpul mempunyai
cara tersendiri dalam mempertahankan eksistensinya membeli kakao di tingkat petani. Walaupun
para petani bebas menjual kepada pedagang pengumpul, tetapi dari segi jumlah sebenarnya
pedagang pengumpul yang mencari kakao di desa tersebut jumlahnya tetap. Jika ada pedagang
pengumpul lain ingin mencari biji kakao di desa tersebut, maka hal ini tidak akan berlangsung
lama. Apalagi jika pedagang pengumpul baru (new entrant) tersebut berani membeli dengan
harga yang lebih tinggi, sehingga petani banyak yang menjual kepadanya. Kondisi ini
menyebabkan para pedagang pengumpul lama (incumbent) bersatu dan membuat kesepakatan
untuk mencegah masuknya pedagang pengumpul baru tersebut, caranya dengan mencegat di
tengah jalan dan memberikan sedikit ancaman.
Selain itu, petani juga dapat menjual langsung kepada pedagang pengumpul yang sudah
menjadi langganan. Disebut langganan karena kondisi petani yang menggantungkan segala
keperluan rumah tangga dan budidaya kakaonya kepada pedagang pengumpul tersebut dan
pembayarannya dilakukan setiap kali panen dalm bentuk biji kakao. Selain biji kakao tersebut,
petani juga diwajibkan membayar bunga. Bagi petani yang sudah terikat dengan satu pedagang
pengumpul, mereka tidak boleh meminjam atau menjual kepada pedagang pengumpul lainnya.
Pedagang pengumpul di kecamatan jumlahnya sangat banyak dan beragam kemampuannya
dalam pengadaan kakao. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para pedagang dalam
mengumpulkan kakao, antara lain mengambil langsung ke rumah petani, melalui pedagang
pengumpul yang ada di desa (bakul), dan melalui pedagang yang mengumpulkan kakao di pasar
kecamatan dan di pasar desa. Biji kakao yang sudah terkumpul tersebut kemudian diambil oleh
pedagang besar. Untuk menjamin adanya pasokan kakao, para pedagang pengumpul mengambil
cara dengan memberikan bantuan atau pinjaman sarana produksi maupun dana segar ke petani
kakao yang membutuhkan.
Pedagang besar kakao di Ladongi-Kolaka jumlahnya mencapai sekitar 10-15 pedagang.
Rata-rata volume kakao yang diperdagangkan dapat mencapai antara 290-500 ton/tahun.
Menurut pedagang besar, dalam 2 tahun terakhir volume kakao yang diperdagangkan cenderung
16

kecil. Hal ini disebabkan oleh bermunculannya eksportir kakao yang diantaranya memiliki
gudang penampungan. Pembelian kakao yang dilakukan oleh eksportir bisa langsung ke
pedagang pengumpul ataupun membeli dari pedagang besar.
Pedagang besar kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara bisa mendapatkan pasokan kakao
dari pedagang pengumpul desa atau bahkan dari petani. Pada kegiatan transaksi pembelian ini,
pedagang besar akan menjalin kerjasama secara erat dengan pedagang pengumpul sehingga
pedagang besar akan menjadi langganan tujuan pemasaran pedagang pengumpul. Para pedagang
besar umumnya memiliki modal yang kuat dan sarana transportasi sendiri untuk memudahkan
mobilitas pembelian dan penjualan kakao. Dalam kegiatan pembelian, pedagang besar umumnya
akan membayar kakao yang diterimanya secara tunai. Pedagang besar mengikat pedagang
pengumpul dengan meminjamkan dana untuk pembelian kakao. Umumnya harga sudah
ditentukan sehingga bila ada kenaikan harga, pedagang pengumpul tersebut tidak dapat menjual
kepada pedagang besar lainnya.
Komoditas kakao yang telah ditampung pedagang besar selanjutnya akan dijual kepada
eksportir yang ada di Kolaka atau dijual kepada eksportir yang berada di Makassar. Sistem
pembayaran yang diterima juga tunai. Dalam penjualan kakao ke eksportir, standar ukuran biji
ditetapkan, yaitu setiap 100 gram biji kakao terdiri dari 95 110 biji. Ukuran ini dapat tercapai
terutama saat musim panen, sedangkan pada saat bukan musim panen ukurannya lebih kecil
sehingga dalam 100 garam biji kakao jumlahnya dapat mencapai 160 biji. Pemasaran tujuan
Makassar membutuhkan biaya transportasi yang lebih tinggi daripada bila menjual kepada
eskportir di Kolaka. Biaya transportasi bila dipasarkan ke Makassar sebesar Rp. 300,-/kg,
sedangkan bila dipasarkan melalui eksportir di Kolaka hanya Rp. 150,-/kg. Menurut pedagang
besar, secara umum mereka telah menjalin kerjasama yang relatif lama dengan eksportir di
Makassar, sementara eksportir di Kolaka baru mulai muncul tahun 2003. Perlakuan terhadap
komoditas kakao sebelum dipasarkan ke eksportir mencakup kegiatan sortasi, pembersihan dan
pengeringan kembali biji kakao. Sementara itu, dalam hal perolehan harga jual terdapat potongan
harga rata-rata 10-15 % dari harga standar (kualitas baik), karena batas toleransi dari keempat
standar di atas terlampaui.
Para eksportir di Kab. Kolaka baru muncul sekitar tahun 2003. Pada saat itu hanya
terdapat 2 eksportir, yaitu PT Komekstra dan PT Mega. Pada tahun 2004, kedua eksportir
tersebut masih berjalan dengan baik, namun pada tahun 2005 PT Mega tidak beroperasi lagi dan
17

muncul eksportir baru, yaitu PT Hakiwa. Para eksportir di Kolaka mengeksport kakao ke
Malaysia dan Amerika Serikat (AS). Volume eksport kakao dari Kab. Kolaka tahun 2005
berkisar antara 5.400 7.100 ton.





18

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar ketiga di dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana. Sumbangan devisa dari eksport kakao tahun 2002 adalah sebesar US$
701 Juta, terbesar ketiga dari sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit. Bursa
Kakao Indonesia menjadi Acuan Harga Kakao Nasional sudah berjalan selama 16 bulan.
Sedangkan dari sisi industri (word cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh
dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Ini adalah
suatu revolusi industri bagi Indonesia, bahwa kakao adalah satu-satunya komoditas yang
telah banyak diekspor.
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana
bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao
yang berasal dari Ghana. Kelebihan kakao Indonesia antara lain adalah kakao Indonesia
tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan
keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun
kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao
sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.
1.2 Saran
Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara industri.
Namun, kedepan Indonesia akan mengarah kesana, agar para petani dan industri
pengolahan cokelat di Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah. Sementara itu, agar
mutu kakao Indonesia lebih terjaga, Seharusnya pemerintah merencanakan untuk
menerapkan sertifikasi kakao sehingga dapat meyakinkan konsumen atas sustainability
kakao Indonesia.
19

DAFTAR PUSTAKA

http://bbj-jfx.com/detail-artikel-berita-informasi-jakarta-futures-exchanges-100-cocoa-gathering-
makassar.html
http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_kakao.pdf.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/download/4098/3085.
Anonim.http://www.pasarkakaojatim.com (diakses pada tanggal 18 Mei 2013)
Maswadi. 2011. Agribisnis Kakao Dan Produk Olahannya Berkaitan Dengan Kebijakatan Tarif
Pajak Di Indonesia. Perkebunan dan Lahan Tropika J. Tek. Perkebunan & PSDL. Vol 1, No 2,
Desember 2011, hal 23-30
Copal Cocoa Info. (2011). Issue No. 424. 24th 28th January 2011.

Cocoa Report Annual. (2012). Global Agricultural Network. 15 Maret 2012.

Daryanto. (2007). The Analysis of the Competitivenes of Indonesia Cocoa in the International
Market. These MBIPB, tidak diterbitkan.

Dewan kakao Indonesia. (2011). Strategi Pengembangan Agribisnis Perkakaoan Nasional,
disampaikan dalam Focus Group Discussion pada Badan Kebijakan Fiskal, 5 Mei 2011.

Anda mungkin juga menyukai