Anda di halaman 1dari 8

Kasihkembali

Ryo bukan berasal dari rahim seorang ibu, sekiranya itulah yang Arya tahu dari
penuturan Ryo sendiri. Jalanan, aspal, trotoar, lampu merah, dan angkutan umumlah
yang merawatnya sejak bayi. Selagi ia bertumbuh, dari tangan ke tangan preman ia
diperbudak. Sampai pada saat terjadi razia, diwaktu itulah ia merasa bebas luar biasa
walau ditempatkan dalam kurungan. Menurutnya itu jauh terasa lebih baik, tak ada
siksaan, paksaan, makian, atau puluhan hantaman baik dari kepalan tangan maupun
benda tumpul. Disaat itu Arya hanyalah anak sekolah menengah pertama yang
datang untuk mengantarkan bekal dijam kerja ayahnya menjaga penjara.
Ia menanyai perihal dimana ayahnya kepada polisi dari meja bagian informasi dan
pengaduan. Tatapan beliau sedikitpun tak lepas dari gunung tumpukan berkas,
meskipun Arya sudah dengan lekat menatap kedua matanya. Pengecekan penjara
remaja. jawab laki-laki itu ketus karena merasa terganggu, sepertinya diakibatkan
oleh kedatangan Arya yang mendadak. Arya langsung saja berlalu dari sana untuk
mencegah timbulnya bala. Ia melangkah dengan perlahan dan penuh kehati-hatian
agar tak menimbulkan keributan disepanjang koridor, melewati beberapa sel yang
berkarat dan terlihat sedikit tak terawat. Wajah-wajah para kriminal yang mulai dari
seumurannya hingga lanjut usia terlihat datar saat ia berlalu.
Akhirnya, sang ayah ditemukan berada diujung koridor. Beliau sedang tak seorang
diri, berdiri seorang anak tepat disebelahnya. Anak itu tampak sedang dimarahi.
Mungkin karena tingkahnya yang nakal, Arya hanya menerka-nerka. Lalu pelan-
pelan Arya mendekat dan mencoba dapat mengurangi jarak dengan ayahnya. Ketika
sedikit lagi ia berhasil, secara spontan ia terdiam karena matanya bertemu pandang
dengan mata anak yang sedang diceramahi oleh ayahnya ini. Lelaki sebaya yang
tersenyum lebar memamerkan sebaris gigi yang rapi dan luka lebam disudut bibir
kiri serta memar pada pelipis atas kanannya. Tanpa mengindahkan ocehan ayah
Arya, ia mengulurkan tangan kearah Arya dan berkata, Hai! Gwa Ryo. Kita
sahabatan yok!
Ditempat yang penuh ketenangan ini, rutinitas alam ketika beranjak malam
berlangsung. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan, menggugurkan
dedaunan, dan membawa suhu hangat ke atmosfir. Sinkronisasinya membuat hawa
dingin menyebar setelah rona merah sinar mentari menghilang dalam kurun waktu
sebentar lagi.
Arya menggigil, suasana seperti ini yang membekukannya dan hening yang merebak
menghanyutkan ia ke duka yang lebih mendalam lagi. Ia tak suka kesunyian, apalagi
orang yang sedang dikunjunginya. Orang yang dulunya dikenal tak punya batasan
stok tawa, berton-ton rasa bahagia, dan ekspresi abadi cerianya. Sekarang semua
terasa aneh tanpanya disisi Arya. Arya kembali mengelus nisan yang mulai
diselimuti lumut dan jamur-jamur kecil, masih belum cukup banyak untuk menutupi
pahatan nama yang tertera disana. Sehingga ia juga masih dapat dengan jelas
membaca siapa tepatnya yang berbaring dua meter di bawah pijakan kakinya berada.
Angin berhembus kembali, kali ini lebih kuat dan kencang. Udaranya menyusup
masuk ke tiap inci rongga dada Arya, membiusnya dan memanggil masa-masa
silam, serta menjamah jauh tahun-tahun yang lampau. Gambaran pertama yang
langsung terproyeksi dari kenangannya berupa sebuah manekin perempuan yang
didandani punk ala rocker.
Kece gak Ya? Gwa yang ngepermak ni cewe jadi kayak gini. dengan bangga Ryo
mengangkat jempol tanda kepuasannya akan kesuksesan yang telah ia capai.
Kemaren gwa liat ni cewe cupu banget di toko baju perempatan jalan. Gwa pinjam
bentar. Dah ntu, taraa! Jadi cantik. Ntar gwa pengen nyari pacar seperpek ni dah!
Gak ada cewe yang secantik ni, satu-satunya di jagat raya, dan cuma milik gwa. Lo
pasti bakalan ngiri! tanpa menunggu pendapat dari si lawan bicara alias teman Ryo
satu-satunya, kata-kata narsis, bualan, harapan palsu, dan bahasa inggris yang
sekenanya sudah keburu beruntun keluar dari mulut Ryo.
Hanya dua logika yang ada di dalam pemikiran Arya. Satu, adalah lumrah kalau
manekin ini cantik menurut Ryo. Baginya, tak akan cantik seorang wanita kalau tak
punya tato minimal 15 buah tersebar di seluruh tubuh dan tindikan menggantung
dimana-mana. Dua, fakta yang menyatakan wanita ini hanya satu-satunya sejagat
raya bisa dikategorikan 99,99% benar absolut, yaitu tak lain adalah manekin itu
sendiri. Jikalaupun ada yang mampu menyaingi rupa manekin ini dalam bentukan
manusia asli, hidup, dan sungguhan. Arya yakin manusia itu akan diburu oleh Ryo
hingga akhir zaman atau mesti mengobrak-abrik matahari sekalipun untuk
menangkapnya.
Tanpa memperdulikan Arya yang mematung layaknya manekin juga, Ryo memeluk
erat sang wanita idaman sembari berlinangan air mata penuh haru. Seakan benar-
benar menemukan belahan jiwanya setelah jatuh bangun dalam usaha permutasian
beberapa manekin sebelumnya. Arya sendiri sebenarnya langsung merasa mual
sekaligus mendapati hasrat untuk buang hajat seketika ia melihat manekin tersebut.
Beda dampak pada orang lansia yang mungkin rentan jantungnya, dapat dipastikan
mengalami kejang-kejang dan mengeluarkan buih bukan hanya dari mulut, tapi juga
lubang-lubang disekitarnya. Gejala selanjutnya dapat mengantar mereka ke UGD
atau hal terburuk lain, apabila melihat penampakan karya seni fenomenal ini lebih
khidmat lagi.
Sebenarnya, sepulang dari sekolah tadi. Ryo yang baru saja habis dari mengamen
langsung menghampiri Arya. Dengan satu jam nonstop manekin bersangkutan
dideskripsikan oleh pemiliknya Ryo, yang mana membuat telinga Arya kembang-
kempis dan benar-benar berhasil memberi syok akut. Suatu hal yang berada diluar
bayangan Arya, dimana sesungguhnya benda ini tampak jauh lebih cacat dari tiap
pujian di dalam cerita Ryo. Anggap saja terlebih karena sang pencerita sendiri tak
pandai dalam menjabarkan gambaran si manekin dari sisi manusiawi.
Tepat digenap lima menit berikutnya, otak Arya disesaki oleh formula-formula
logika dan sekarang untuk kali pertamanya, nalar Arya tak sampai untuk menerima
eksistensi wanita jadi-jadian dihadapannya ini. Jantungnya meloncat-loncat, napas
memburu, keringat dingin mengucur deras, dan dalam sekejap wajahnya menjadi
pucat pasi. Arya hilang kontrol akan kesadarannya dan jatuh pasrah layaknya sebuah
manekin, tetap kaku saat terhempas ke lantai.
Siluet senja mewarnai langit sore hari ini, tampak burung wallet berkeliaran mencari
ranting atau gedung yang tinggi untuk bersarang atau sekedar singgah untuk
bermalam. Tidak seorangpun masih sanggup menetap di pemakaman umum itu pada
jam-jam menjelang adzan magrib seperti ini, tapi nyatanya tidak dengan Arya.
Kelaziman akan standar jam berziarah tak digubrisnya, meski penjaga kuburan juga
sudah mengingatkannya untuk puluhan kali. Ia masih mau berlama-lama melepas
rasa rindunya, memanjatkan banyak doa, dan terutama untuk mengucapkan selamat
tinggal dipenghujung hari berziarah. Selama ini kata itu tercekat ditenggorokannya
dan tak mau keluar. Saat dicoba, mulutnya bergerak tapi tak dapat bersuara, karena
meski kemauannya berkehendak, hatinya dengan tegas menolak. Sekarang ia
tersenyum pilu, menyadari bahwa sosok yang ditimbun tanah ini hingga akhir
hayatnya tetap tak mampu menemukan wanita idaman seperti si manekin pujaan.
Andai saja saat itu ia tak pingsan, Ryo mungkin tak harus mengembalikan si
manekin.
Disaat Ryo menyadari bahwa Arya pingsan, ia tersenyum geli. Dilihatnya sahabat
yang sudah dianggapnya adik sendiri ini terkapar hanya karena manekin iseng-
isengnya. Ia juga sebenarnya lebih bergidik menatap manekin ini, tapi tak elak ia
merasa sangat bersalah pula. Diangkat, digendong, dan ditidurkannya Arya diatas
kasur busa yang banyak dipenuh lubang karena digerogoti mahluk pengerat. Satu-
satunya properti yang ada digubuk miliknya selain si manekin. Ia mencoba
membangunkan Arya, tapi teringat akan manekin yang masih bergaya di sudut
ruangan itu. Ia berpikir sebaiknya untuk mengembalikan terlebih dahulu benda
tersebut ke empunya. Sekalian mencegah pingsannya Arya untuk kali kedua.
Ryo berlari menuju toko baju perempatan jalan, tempat dimana ia meminjam tanpa
izin manekin ini karena sang pemilik sedang pergi disaat Ryo bertamu kesana. Tak
ada niatnya untuk mencuri. Maksudnya tak lain hanya untuk bersenang-senang
dengan memberi kejutan sebenarnya kepada Arya, yaitu sebuah hadiah cincin
persahabatan berukir kata, Terimakasih. Ia tahu kalau dirinya bukanlah tipe yang
sanggup menyatakan ucapan tersebut secara lisan langsung ke Arya. Jadi ia mencari
cara lain, dengan membeli cincin yang telah diperjuangkan selama ini melalui jerih
payah mengamen dijalan.
Ryo berlari secepat yang ia bisa, dengan muka bahagia tapi rasa cemas terhadap
Arya. Tak disadarinya sekumpulan massa telah menunggu kedatangan dari sang
pencuri manekin dipersembunyian mereka, mengepung Ryo disekeliling toko baju.
Ia terkesiap ketika derap langkah puluhan warga mengejarnya, lalu diikuti bunyi
pentungan, tinju, tendangan, dan sayatan oleh benda tajam. Erangan pelan dari
mulutnya yang sobek terdengar lirih tapi ia tetap tak mau melawan. Ia malah
meringkuk menjaga hadiah untuk Arya dalam genggaman kedua tangannya.
Sebagian warga berniat membakar gubuk barunya, sebelum salah seorang dari
mereka yang menggeledah ruangan itu berteriak ada anak laki-laki tertidur didalam
sana. Mereka mencoba membangunkan Arya dan dengan sedikit memaksa bertanya
tentang apa yang terjadi setelah ia kembali terjaga. Ia yang bingung menjawab kalau
ia tadi pingsan akibat sebuah manekin. Amarah para warga kembali membuncah,
kesalahpahaman mereka membawa hal yang tak diinginkan berlanjut ketahap yang
lebih kritis antara Ryo dan Arya.
Arya masih menatap kosong gundukan tanah yang ditanami rerumputan kerdil,
memindahkan satu-persatu kerikil yang berserakan diatasnya. Ia berhitung dengan
mengingat berapa hari Ryo ditahan dalam ruangan petak bertembok beton dan
berjendela terali besi dimasa lalu. Ia menyalahkan dirinya, karena memang semua
salahnya. Kalau saja ia tidak diikutsertakan pada detik itu, mungkin Ryo tak akan
kembali dimasukkan ke kurungan. Dikarenakan olehnya, kekeliruan terbesar
muncul. Semua warga membenci si mantan anak didik preman yang kembali
berulah. Ayah Arya, seorang polisi yang sebelumnya selalu membela Ryo sudah
angkat tangan menyerah setelah mendengar penuturan warga, dan semuanya
mengungkit pingsannya ia adalah karena ia diperlakukan sadis oleh Ryo. Diatas
segalanya, kesaksian Arya mengunci ketukan palu dan menentukan vonis hukuman
kepada sahabat tercinta.
Sesadarnya Arya dari pingsan, ia dipaksa menjadi saksi oleh beberapa pihak
dipengadilan. Ketersudutannya sebagai salah satu saksi memaksa dirinya meng-iya-
kan tiap pertanyaan dari hakim dan pengacara si pemilik manekin. Kesaksiannya
memukul telak perasaan Ryo, membuat Ryo hanya mampu meringis dengan mulut
terbungkam. Bukan karena luka lebam dan kulit yang tergores benda tajam disana-
sini, tapi terlebih karena satu-satunya orang yang ia punya telah menghianatinya,
melegalisasi hukuman dengan perkataan penuh kepalsuan, dan menjebloskannya ke
dalam penjara untuk kurun waktu cukup lama. Dipengadilan itu Arya menyesal
dengan penuh sangat, ia tak bisa berbuat apa-apa selain berkata bohong dengan
todongan dan ancaman dari seluruh warga.
Lama waktu berlalu, hukuman Ryo berupa pengasingan dari kota tersebut, ia harus
dikurung dalam penjara yang berada jauh ditepi peradaban. Lalu perlahan tapi pasti,
Arya mulai melupakannya karena sibuk dikerubungi pekerjaan sebagai polisi baru.
Tak terdapat pertanyaan dalam benaknya akan keadaan atau kabar dari Ryo. Sampai
keperduliannya terhadap Ryo seakan pupus, terkikis menjadi debu dan terbawa oleh
angin melayang jauh.
Genap sudah dua tahun ia menjadi polisi, banyak kasus sudah dipecahkannya.
Sampai suatu hari ia mesti menghentikan tawuran yang mulai merambah ke kota.
Ketika tawuran itu terjadi, semua warga mengungsi, blokade pertahanan polisi
dirusak, dan korban berjatuhan bersama porak porandanya kota itu.
Pada peristiwa tawuran kedua yang sedang terjadi, ia terdesak ke dalam kerumunan,
terjebak diantara perkelahian dan bom asap air mata. Seseorang menariknya dari
sana dan membawanya menjauhi lokasi kejadian di balik puing-puing rumah yang
runtuh. Ia tak yakin jikalau ia mengenalnya, karena bom asap itu berhasil
mengaburkan pandangannya. Tapi suaranya hanya memberi satu pilihan dan nama
yang muncul untuk orang yang telah menyelamatkan dirinya adalah Ryo.
Ia tertegun sembari Ryo mengelapkan semacam kain basah ke kedua matanya. Tak
ada yang salah dengan pandangannya sekarang, matanya tak lagi pedih ataupun
berair. Lelaki dihadapannya kinipun terlihat jelas, sosok periang yang lama tak
berjumpa dengannya.
Lo nggak papa khan Ya? Ryo bertanya sembari mengecek apa ada yang salah
ditiap inci tubuh Arya. Orang yang ditanya hanya mampu menggeleng pelan.
Syukur kalo lo nggak pa-pa. Jujur gwa seneng banget ngeliat lo Ya. Apalagi
sekarang lo dah jadi polisi. Gwa nggak da kemajuannya, cuma bisa ngamen ama
tinggal disana-sini. Maksud gwa mau ngunjungin elo, eh, taunya da tawuran. Mana
elo sok eksis juga noh ditengah-tengah sana tadi. Mending tadi lo lari ja, ngelapor
ama gwa. Gwa tepokin noh atu-atu, beres deh. Lo ingat khan pamor gwa sebagai
preman cap ajib, hahaha. Ryo yang sama masih ada disini, dengan canda dan tawa
renyahnya selalu menenangkan di dalam kondisi mencekam seperti apapun. Arya
sadar selama ini ia hanya bersembunyi untuk membendung kerinduannya terhadap
Ryo dan sekarang rasa yang membeludak itu menyembur keluar dari
persembunyiannya. Ia terisak sedih penuh haru dalam perasaan bersalah dan campur
aduk, sedangkan Ryo hanya tersenyum geli melihatnya. Sayang disaat momen yang
ditunggu sedang berlangsung, bunyi keras letupan bom asap mengganggu dan
membuat para kerumunan berlari tunggang langgang kearah mereka berdua. Massa
yang kontra terhadap polisi tak sengaja melihat keberadaan Arya, mereka
mengacungkan senjata tinggi-tinggi dan berlari menuju Arya untuk dijadikan
sasaran amukan.
Ryo mengerti betul kondisi Arya yang hampir tak akan mampu mempertahankan
dirinya karena luka yang ada disekujur tubuh. Ini kesempatan terakhir, setidaknya
kali ini ia akan bertindak benar demi adiknya.
Ya, gwa cuma pengen lo tau kalo gwa dah nganggap lo kayak saudara gwa, adek
gwa sendiri. Gwa sayang sama lo. Ini yang sebenarnya gwa mau kasih ama lo waktu
gwa bilang ada kejutan lima tahun yang lalu bukan manekin yang aneh itu, hehe. Lo
jaga baek-baek sebagai kenangan dari gwa ya. Arya masih terdiam, mencoba
menelaah perkataan Ryo. Ia tahu makna dibalik kalimat tersebut, tapi apa maksud
Ryo mengatakannya dikondisi seperti sekarang.
Sebuah cincin Ryo pindah tangankan, lalu ia melihat kesekeliling mencari sesuatu.
Sepersekian detik selanjutnya, semua fragmen dipenglihatan Arya terjadi begitu
cepat. Ia merasakan sebuah pelukan, kecupan dikening, dan hangatnya air mata Ryo
yang menetes di pipinya secara berurutan. Lalu Ryo sudah menggenggam sebuah
balok kayu yang entah didapatnya dari mana. Ia berlari menerjang kerumunan massa
dan berteriak, ARYA, CEPAT LARI! LARI!
Kesadaran Arya kembali ketika sore mulai padam. Memori akhirnya menyimpulkan
bahwa jikalau bukan oleh kakaknya, ia tak mungkin masih bernapas hingga saat ini.
Akan tetapi tindakan Arya yang menuruti perintah sang kakak untuk lari dan pergi
meninggalkan ia berjuang sendiri, tak dapat henti-hentinya disesali.
Kak, adek gak mau bilang selamat tinggal, karena nggak ada kata berpisah buat
sahabat khan? Adek mau nebus kesalahan dengan cara yang sama saat kita pertama
ketemu. Sebuah jabat tangan pertemanan buat setiap Ryo yang ada diluar sana.
Semoga itu bisa ngebayar hutang ad dek sam ma ka kak. Arya mulai sesenggukan.
Setelah ia mencoba mengatur napas dan merasa sedikit lebih tenang. Ia kembali
berucap, Kak, adek yakin ntar kita bisa ketemu lagi, karena kita khan keluarga.
diciumnya nisan Ryo, lalu ia melangkah pergi dari sana. Setelah dibukanya pintu
mobil, sekilas ia menengok kebelakang sambil memutar sebuah cincin di jari
manisnya. Terimakasih kak. bisiknya disela isak tangis dan derai air mata. Semilir
angin menyentuh wajahnya, seakan itulah ucapan balasan dari Ryo. Lalu ia masuk
ke dalam mobil untuk menuju yayasan pengayoman anak jalanan miliknya.
Senyumnya sekarang mengembang, mengetahui pasti disurga kakaknya
menyampaikan perkataan, Kembali kasih.










January 17th, 2014 (02.00 pm)
Palembang, Unsri Bukit, Perpustakaan.

Anda mungkin juga menyukai