Anda di halaman 1dari 12

1

L. V Learning Objective
1. Apa rute pemberian obat dan sedian obat ?
2. Apakah perbedaan senyawa agonis dan antagonis ?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat ?
4. Mengapa waktu paruh setiap obat berbeda beda ?

Pembahasan Learning Objective
1. Rute pemberian obat dan sediaan obat
A. Rute pemberiaan obat
I. Oral
Sediaan untuk pemberian peroral merupakan mayoritas dari produk-produk
yang paling sering digunakan. Dalam kelompok ini, availabilitas absorbsi
biasanya ,menurun larutan > suspensi > kapsul > tablet > tablet bersalut.
II. Perenteral
Bentuk-bentuk takaran mencangkup larutan air, air organik, dan larutan
minyak, emulsi, suspensi dan bentuk padat untuk implantasi. Sediaan
perenteral harus steril dan bebas pirogen, jika mungkin mendekati pH
fisiologik normal dan isotonik dengan cairan tubuh lainnya.
Laju tergantung efektor (disintegrasi dan disolusi)
Obat larut lemak : desintegrasi lambat
Hidrofilik : desintegrasi cepat.
Sifat fisikokimiawi : menentukan tempat absorpsi (Lambung (asam) ; usus
(netral))
Mukosa lambung : permeable non ion ; impermeable ion (Blodinger, 1994).
Contoh parenteral ialah : Intravena, Intraperitoneal, dan Intramuscular.
III. Rongga tubuh
a. Rektal
Jalur ini bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik atau lokal
sebelah caudal dari organ G.I.
b. Vaginal
2

Pemberian melalui vagina berbentuk tablet-tablet bulat dan dibuat dengan
granulasi atau komprehensi. Tablet efervesens dan hancur melepaskan secara
cepat serta menjamin distribusi obat aktif untuk efek seluruh rongga. Bentuk
ini sering mengandung suatu dapar untuk mengubah atau mempertahankan pH
vagina yang diperlukan untuk flora vagina fisiologik normal.
c. Telinga
Bentuk takaran telinga demaksudkan untuk pemakaian baik telinga luar atau
telinga dalam saluran pendengaran. Mencangkup sejumlah bentuk takaran :
larytan, suspensi, salep kerucut telinga dan serbuk. Pemakaian utama adalah
untuk membersihkan lilin atau menyediakan pngobatan obat lokal.
d. Hidung
Inhalasi obat-obat sering menghasilkan permulaan kerja yang sebanding
dengan pemberian oleh injeksi i.v. tanpa banyak masalah yang berkaitan
dengn metode ini. Jika saluran pernafasan terjadi iritasi, j lan tersebut akan
berkerut dan menyebabka masalah dalam absorbsi. Vaksin dan obat diberikan
melalui intranasal secara berurutan atau stimulan. Eektivitas kerja tergantung
pada formula atau metode pemberiannya. Misal alat-alat spray digunakan
untuk penyuntikan nasal. Kedalaman penetrasi tergantung pada besarnya
partikel yang di suntikkan.
e. Mata
Sediaan berupa minyak suspensi, larutan suspensi, emulsi atau sale steril
uantuk pemakaian topikal dengan penetesan.
IV. Intra mamari
Digunakan untuk iritasi minimal pada ambing, suatu KPM yang rendah, suatu derajat
rendah dari protein-protein susu dan jaringan ambing.
V. Topikal
Sediaan topikal dapat digunakan untuk perlindungan setempat atau alasan-alasan
terapetik ( serbuk/ bedak tabur, larutan, suspensi, lotion, krim, salep, aerosol ) atau
untuk aktivitas sistemik ( Blodinger, 1994 ).

B. Sedian Obat
3


a. Padat
a) Kapsul
Merupakan bentuk takaran tunggal, tak brasa dan mudah diberikan dan
dicernakan untuk baham-bahan berlainan seperti serbuk, granul, pelet, suspensi,
emulsi, atau minyak. Kampsul bisa dibedakan menjadi 2, yaitu kapsul gelatin
keras biasanya digunakan untuk formulasi isi dan kapsul gelatin lunak untuk isi
cairan atau semisolid. Kapsul setelah berada di saluran G.I dapat membebaskan
komponen-komponen aktif dalam bentik yang lebih aktif yang lebih siap di
absobrsi.
b) Tablet dan Boli ( bolus )
Tablet memberikan pemberian yang mudah dari satu takaran akurat dan mudah
di sesuaikan dengan berbagai ukuran takaran dari bahan-bahan obat, secara
umum tablet lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem-sistem pemberian
takaran lainnya. Namun, tablet juga memberikan masalah karena hewan dengan
mudah mengeluarkan tablet bila pemilik tidak mengetahuinya. Sekalipun tablet
atau bolus telah diberikan dengan tepat, hewan-hewan pemamah biak cukup
sering memuntahkan dan hilang lagi bolusnya, karena itu pula efek terapiknya.
c) Pasta
Pemakaian formulasi pasta oral hendaknya dipertimbangkan untuk mengatasi
masalh-masalah takaran yang berkaitan dengan takaran konvensional lainnnya.
Jika pasta di formulasikan akan mejadi lengket dan enak, tidak terlalu terbuang
jika dibandingkan dengan pemberian minum cairan ( resiko kehilangan cairan
dalam mulut ) atau boli, ( muntah dan hilang seluruhnya ).
d) Serbuk dan Granul
Secara umum serbuk granul memberikan suatu lingkungan yang lebih baik untuk
mmpertahankan stabilitas bahan aktif dari pada larutan, emulsi dan suspensi.
Keuntungan penggunaan serbuk dan granul sbb :
- Formulasi atau granul halus dapat digunakan sebagai suatu pemberi minum.
- Serbuk granul dapat diberikan dengan mencampurnya dengan makanan hewan.
4

- Serbuk dapat diformulasikan sebagai suatu serbuk larut, yang dapat
dicampurkan ke air minum, atau digunakan untuk pengganti susu.
- Serbuk dapat diformulasikan sebagai suatu serbuk yang dapat terbasahi untuk
digunakan dalam pemberi minum cairan.

b. Cair
a) Larutan
Bentuk takaran ini menyajikan komponen obat dalam suatu bentuk paling sesuai
dengan absorbsi. Karena itu, jika tidak ada kompleksasi atau miselisasi dengan
komponen-komponen formula, dan jika tidak ada degradasi dalam lambung, bentuk
takaran ini akan memberikan bioavalabilitas maksimum dan suatu permulaan ( onset
)kerja yang cepat. Bentuk larutan merupakan bentuk campuran yang homogen,
sehingga bahan obat terbagi merata pada seluruh sediaan.
b) Emulsi
Merupakan satu sistem heterogen, yang secara termodinamik tidak stabil. Paling
sedikit terdiri dari satu cairan yang tidak tercampurkan yang terdispeersi secara baik
dalam cairan lainnya dalam bentuk butiran. Emulsi oral biasanya dibuat untuk
membuat fase minyak aktif lebih mudah ditangani, lebih enak, rasanya dan kadang-
kadang lebih bioavailabel. Misalnya, griseofulvin, suatu obat yang sukar larut dalam
air, menunjukkan suatu peningkatan dalam kecepatan dan besarnya absorbsi jika
terdispersi dalam minyak jagung dan kemudian di emulsikan. Senyawa-senyawa
yang sukar larut lainnya dapat dilarutkan dalam minyak-minyak ini, karena
absorbsinya mungkin di tingkatkan lagi melalui efek efeknya pada gerakan G.I dan
garam-garam empedu.
c) Suspensi
Merupakan satu sistem dua fase yang tersusun bahan padat terdispersi dalam satu
cairan. Suatu suspensi dapat di anggap sebagai bentuk takaran yang paling di
inginkan untuk suatu obat tertentu karena sejumlah alasan. Misalnya, obat-obat
tertentu secara kimia tidak stabil jika dalam larutan, tetapi stabil jika suatu garam
atau derivatnya yang sesuai, di suspensikan. Suspensi mungkin lebih disukai karena
satu bentuk takaran padat takara tunggal karena memberikan banyak keuntungan dari
5

bentuk takaran larutan : mudah ditelan, memberikan banyak kemudahan lebih besar
dalam pemberian takaran yang luar biasa besarnya dan memberikan
perubahantajaran yang tidak terbatas.
c. Gas
Sedian dalam bentuk gas dapat dipakai untk pengobatan dan anastesi. Oksigen diberikan
kepada penderita hipoksia atau melawan keracunan Karbondioksida. Karbonhidroksida
bersama dengan Oksigen digunakan melawan depresi respirasi, asfiksia, dan keracunan
karbon monoksida. Sediaan obat berbentuk gas digunakan sebagai anstetika dalam
tindakan oprasi.

2. Perbedaan Agonis dan antagonis.
A. Agonis
Agonis adalah suatu obat yang dapat terikat oleh suatu reseptor pada suatu sel dan
menyebabkan terjainya suatu respon terhadap sel tersebut. Terdapat 2 macam obat
agonis yaitu, full agonis dan partial agonis. Pada full agonis, efek maksimum yang
ditimbulkan sebanding dengan jumlah reseptor yang diikat. Sedangkan pada partial
agonis, efek meksimum yang ditimbulkan tidak sebanding dengan jumlah reseptor yang
diikat (Anief, 2007).
Menurut Anief, kompleks obat-reseptor yang terjadi akan mengadakan stimulus
yang menimbulkan suatu efek. Obat yang aktif tersebut dikatakan mempunyai aktivitas
intrinsic dan disebut agonis. Dapat juga diartikan agonis adalah obat yang mempunyai
afinitas kimia terhadap reseptor dan membentuk suatu kompleks yang dapat merubah
fungsi.
B. Antagonis
Obat yang memblokir letak reseptor terhadap agonis endogen akan bekerja
sebagai antagonis (Anief, 2007).
Antagonis obat tidak hanya penting untuk merancang obat atau dalam membuat
komposisi obat tetapi juga digunakan secara luas karena banyak aksi obat berdasarkan
antagonis dengan agonis endogen, seperti biokatalis, hormone dan neurotransmitter atau
kemungkinan bekerja sebagai antimetabolit terhadap metabolit penting pada proses
biokimia (Siswandono, 2000).
6

Contoh:
- Kurare bekerja dengan memblok reseptor dari senyawa neurotransmitter asetilkolin
pada penghubung saraf otot.
- Antihistamin bekerja dengan memblok tempat aksi histamine endogen.
Tujuan rancangan senyawa agonis dan antagonis adalah untuk mengembangkan
antagonis spesifik terhadap biokatalis utama atau metabolit endogen (Siswandono,
2000).
Contoh :
Asetilkolin dan senyawa kolinergik, histamine dan senyawa histaminergik,
norepinefrin dan senyawa -adrenergik.
Berdasarkan fasa kerja obat, senyawa antagonis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Antagonis ketersediaan farmasetik
b. Antagonis ketersediaan biologis (antagonis farmakokinetik)
c. Antagonis tingkat jaringan atau plasma dan reseptor (antagonis farmakodinamik)
d. Antagonis kompetitif
e. Antagonis non-kompetitif
f. Kombinasi antagonis kompetitif dan non-kompetitif
g. Antagonis fungsional dan fisiologik
h. Antagonis irreversible
i. Antagonis tipe kompleks

3. Mekanisme kerja obat.
A. Absorbsi
Absorbsi suatu obat adalah pengambilan obat dari permukaan tubuh (di sini
termasuk juga mukosa saluran pencernaan) atau dari tempat-tempat tertentu dalam
organ ke aliran darah atau ke dalam sistem pembuluh limfe. Absorpsi, yang merupakan
proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan.
Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan
jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang
7

diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/atau di hati pada
lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi
prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi
meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas
menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat
sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau
dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya
nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan (Anief, 2007).
Absorbsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi. Kecepatan absorbsi
dan kuosien absorbsi( hubungan bagian yang diabsorbsi terhadap jumlah yang
diberikan) bergantung pada faktor :
1. Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya
2. Besar partikel dan dengan demikian permukaan jenis.
3. Sediaan obat
4. Dosis
5. Rute pemakaian dan tempat pemberian
6. Waktu kontak dengan permukaan absorbsi
7. Besarnya luas permukaan yang mengabsorbsi
8. Nilai pH dalam darah yang mengabsorbsi
9. Integritas membran
10. Aliran darah organ yang mengabsorbsi (Mutschler, 1991).

B. Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditransport lebih lanjut
bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap
jaringan, bahan obat mencoba untuk meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi
dalam organisme secara keseluruhan. Penetrasi dari dari pembuluh darah ke dalam
jaringan dan dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorbsi, bergantung pada
banyak perubah. Khususnya ukuran molekul, ikatan pada protein plasma dan protein
8

jaringan, kelarutan dan sifat kimia. Selanjutnya bergantung pada pasokan darah dari
organ dan jaringan masing-masing, ketebalan membran, dan perbedaan pH antara
plasma dan jaringan. Bergantung pada sifat fisiko-kimianya, berdasarkan distribusi ke
dalam berbagai ruang distribusi, kita membedakan 3 jenis bahan obat :
1. Obat yang hanya terdistribusi dalam plasma.
2. Obat yang terdistribusi dalam plasma dan ruang ekstrasel sisa
3. Obat yang terdistribusi dalam ruang ekstrasel dan juga dalam ruang intrasel
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.
Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang
perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi
fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ
di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan
terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat
bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel
dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit
menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang
dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri.
Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya
defisiensi protein (Mutschler, 1991).

C. Biotransformasi
Karena senyawa lipofil sebagian besar direabsorbsi kembali dalam tubuli ginjal
setelah filtrasi glomerulus, maka senyawa ini hanya dapat diekskresi dengan lambat
melalui ginjal. Karena itu seandainya senyawa ini tidak diubah secara kimia, mungkin
berbahaya karena bahan-bahan demikian menetap dalam tubuh dan terakumulasi
terutama dalam jaringan lemak. Organisme memiliki sistem enzim yang dapat
mengubah xenobiotika lipofil menjadi bahan lebih hidrofil dan lebih mudak disekresi.
9

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak
sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi
inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi,
ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang
merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini.
Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi
sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan
letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma
halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom.
Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga
terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
1. Reaksi fase I
Reaksi biotransformasi yang mengubah molekul obat secara oksidasi, reduksi atau
hidrolisis disebut reaksi fase I. Reaksi oksidasi melibatkan oksidase,
monooksigenase dan dioksigenase. Reduksi hanya memegang peranan kecil pada
biotransformasi. Biohidrolisis terjadi pada reaksi :
a. Penguraian ester dan amida menjadi asam dan alkohol serta amina oleh esterase
(amidase)
b. Pengubahan epoksida menjadi diol berdampingan (visinal) oleh
epoksidahidratase
c. Hidrolisis asetal (glikosida) oleh glikosidase
2. Reaksi fase II
Reaksi pada fase II terjadi penggabungan molekul-molekul obat dan juga metabolit-
metabolit yang terjadi pada reaksi fase I dengan senyawa tubuh sendiri. Reaksi ini
mencangkup :
a. Reaksi antara senyawa yang mempunyai gugus hidroksil alkohol atau fenol,
gugus amino, gugus sulfhidril dan sebagian juga gugus karboksil dengan
senyawa tubuh sendiri yang kaya akan energi
10

b. Reaksi penggabungan antara senyawa asing, setelah diaktivasi dengan senyawa
tubuh sendiri (tidak teraktivasi).
Reaksi fase II terpenting adalah konjugasi dengan :
a. Asam glukuronat aktif
b. Asam amino (terutama glisin)
c. Sulfat aktif
d. S-adenosilmetionin
e. Serta pembentukan turunan asam merkapturat (Mutschler, 1991).

D. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante
dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan
rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis
perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat
dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran
efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat
tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen,
pada kedokteran forensik.
Seperti halnya biotransformasi, ekskresi suatu obat dan metabolitnya
menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi
bergantung pada sifat fisiko-kimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan uap)
senyawa yang diekskresi, melalui :
1. Ginjal (dengan urin)
2. Empedu dan usus (dengan feses)
3. Paru-paru (dengan udara ekspirasi)
11

Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya, tidak begitu penting. Sebaliknya pada ibu
yang menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan
intoksikasi yang membahayakan bagi bayi (Mutschler, 1991).

4. Waktu paruh berbeda beda karena Secara alami, kadar obat di dalam tubuh akan berkurang
dalam jangka waktu tertentu. Ada parameter penting yang berhubungan dengan kecepatan
eliminasi obat, yaitu waktu paruh.Waktu paruh yang diberi simbol T
1/2
merupakan waktu
yang diperlukan tubuh untuk mengeliminasi obat sebanyak 50% dari kadar semula. Obat
dengan T
1/2
pendek akan berada di dalam tubuh lebih singkat dibanding dengan yang
mempunyai T
1/2
panjang. Pada aplikasinya, obat dengan T
1/2
pendek perlu diberikan dengan
interval waktu lebih pendek, misalnya diberikan 2-3 kali sehari untuk mempertahankan kadar
efektif di dalam darah. Sulfadimethoxine dan sulfamonomethoxine merupakan antibiotik
dengan T
1/2
yang panjang sedangkan antibiotik lainnya seperti tetrasiklin, penisilin memiliki
T
1/2
yang pendek ( Anonim, 2009 ).














12

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Mencermati Prinsip Pengobatan. Diakses dari http://info.medion.co.id
/index.php /artikel/layer/pengobatan-a-vaksinasi/prinsip-pengobatan/2-pengobatan-a-
vaksinasi/75-artikel-prinsip-pengobatan pada tanggal 19 September 2013.
Anief, Moh. 2007. Farmasetika. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Blodinger, Jack. 1994. Formulasi Bentuk Sediaan Veteriner. Airlangga University Press:
Surabaya
Mutschler, Ernest. 1991. Dinamika Obat. Penerbit ITB: Bandung
Siswandono, Bambang Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press:
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai