Anda di halaman 1dari 2

Bersyukur

Rate This

Seorang kerabat pernah bercerita kepada saya (berkeluh kesah, tepatnya) tentang
kehidupan pribadinya. Dulu beliau adalah seorang yang bisa dikatakan sukses dalam dalam
kariernya. Beliau telah menduduki jabatan sebagai seorang manager diusianya yang baru
menginjak 24 tahun. Ia pun sudah mendapatkan apa yang ia inginkan (secara materi) dari
jabatan yang embannya.

Tentu prestasi yang luar biasa. Namun, kebahagiaan/ kesuksesan tersebut tidak bertahan lama
cuma dipegangnya beberapa tahun saja. Sekarang di usianya yang sudah menginjak 42 tahun
kehidupannya berbalik. Sekarang kehidupannya tidak sedikitpun menampakan bekas
kesuksesannya pada waktu dulu.

Dia pun berujar “Tuhan sudah tidak sayang lagi kepada saya”. Ucapan yang membuat saya
terkejut. Benarkah Tuhan sudah tidak lagi sayang lagi dengan dia? Tentu tidak! Tuhan sayang
sama siapa saja, dan Tuhan untuk siapa saja. Dari ucapan seorang teman tersebut saya jadi
teringat satu kata yang sering kita lupakan dalam kehidupan kita yaitu “bersyukur”. Kita
sering kali merasa berbangga, congkak, takabur, sombong, ‘adigung-adiguna’,ujub, ria, dan
berbagai kata-kata yang menggambarkan kesombongan kita saat kita berada dalam posisi
yang baik (berhasil). Kita pun kadang lupa untuk bersyukur atas nikmat kesuksesan tersebut,
merasa semua yang kita capai adalah semata karena kita. Bukan karena bantuan dari Allah
SWT. Itulah kita mahluk kecil yang merasa besar.

Kadang ditengah-tengah kesuksesan kita tidak sama sekali lupa untuk bersyukur, biasanya
budaya di kita bersyukur diidentikan dengan ‘numpeng’ ini memang tidak salah. Namun
bersyukur yang sesungguhnya bukanlah acara ceremonial seperti itu. Bersyukur yang
sesungguhnya adalah dengan kita tidak sombong, tidak takabur, tidak ujub, atas nikmat yang
telah Allah SWT berikan kepada kita. Mendermakan sebagian hak orang lain yang
merupakan kewajiban kita (zakat).

Yang saya tangkap dari ‘curhatan’ teman saya ini adalah bahwa ia merasa dulu kesuksesan
yang ia raih adalah sekonyong-konyong karena kemampuan dia, karena usaha dia dengan
mengesampingkan peran Tuhan. Disinilah akhirnya dia lupa untuk mensyukuri nikmat atas
kesuksesannya. Dia pun terlena, dan akhirnya terpuruk.

Dimasa-masa keterpurukannya ia pun lupa bahwa dalam hidup kadang kita mengalami
perputaran nasib. Kadang di atas, kadang di bawah. Inilah yang tidak ia sadari, hingga ia
berkata ‘Tuhan sudah tidak sayang lagi keapada saya’. Sebuah kenaifan yang luar biasa.

Semestinya, ketika ia ditimpa kesulitan dan kesusahan ia kembali mengingat kesalah apa
yang telah diperbuatnya hingga ia bisa terpuruk seperti sekarang. Kembali mengingat Tuhan
(Allah SWT) yang sempat dilupakannya saat mengecap nikmatnya kesuksesan, dan berjanji
untuk tidak melupakannya kembali. Bukan malah menyalahkan orang lain atas keterpurukan
yang dialaminya apalagi menyalahkan Allah SWT.

Bukankah kebahagiaan yang hakiki akan datang saat kita bisa mensyukuri nikmat yang telah
diberikan-Nya? Allah SWT mengingatkan : “Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami,
akan Kami lalaikan mereka dengan kesenangan-kesenangan dari arah yang mereka tidak
ketahuinya” (Al A’raaf : 182). Orang seperti ini selalu dicoba Allah akan “kebahagiaan” atas
harta yang dimilikinya yaitu merasa kurang atas harta yang dimilikinya.

Anda mungkin juga menyukai