Anda di halaman 1dari 2

Komersialisasi Kemiskinan

Rate This

Kemiskinan??? Ya kemiskinan merupakan sebuah gejala dan penyakit sosial masyarakat


kita yang harus segera di obati (ditanggulangi). Dari tahun ke tahun kemiskinan selalu
menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai untuk ditanggulangi. Presiden bisa berganti,
Menteri Kordinasi Kesejahteraan Rakyat sudah beberapa kali mengalami perubahan namun
tetap saja kemiskinan merupakan dan menjadi pemandangan sehari-hari. Rasanya sangat
gampang bagi kita jika ingin melihat realita kemiskinan dinegeri ini, tak perlu pergi jauh-
jauh. Coba tengok disekitar tempat kita tinggal, kemiskinan sangat nyata.

Beberapa waktu ini saya merasa tidak nyaman dengan beberapa acara di televisi yang seolah-
olah menjadikan orang miskin sebagai objek. Disebuah statiun TV Swasta Nasional acara-
acara semacam ini sangat gencar, durasinya pun cukup panjang dan disiarkan tiap sore hari.
Kemiskinan mereka jadikan tontonan yang asyik, sang pemberi hadiah bertindak bak
malaikat, sang penerima pun menangis terisak-isak saat menerima bantuan/ hadiah.

Mungkin benar tujuan mereka mulia, semulia niat untuk menolong. Namun benarkah mereka
tulus??? Bagi saya acara-acara seperti itu tak jauh dari sekedar komersialisasi kemiskinan.
Kenapa demikian???. Saya yakin bahwa tidak semua dari kita tidak sepemahaman dengan
saya, ada yang pro dan kontra. Tak apa, itulah kehidupan, selalu ada opini yang berbeda.

Saya ambil singkatnya saja, kemiskinan tak bisa dikurangi atau ditanggulangi hanya dengan
pemberian-pemberian seperti itu. Bagi saya, ini tak lebih dengan BLT-nya pemerintah. Yang
ngasih ‘mateng’nya, alangkah bijaksananya jika warga miskin tersebut diberikan kucuran
modal segar atau umpan dan kailnya. Bukan hal-hal seperti itu, benar memberi terserah orang
mau memberi namun betapa bijaksananya jika dipikirkan kembali untuk jangka panjangnya.

Jika kita bicara tentang acara-acara komersialisasi kemiskinan tersebut kita bandingkan saja
antara pendapatan dan pengeluaran dari production house penyelenggara/ yang memproduksi
acara tersebut. Dari setengah jam durasi tayangan, berapa banyak pemasukan dari iklan???
Berapa besar uang yang dikeluarkan untuk ‘memberi’ si miskin???. Saya pun berkeyakinan
bahwa pendapatan yang diperoleh jauh berkali-kali lipat dari pengeluaran yang dikeluarkan
untuk membantu si miskin.

Benar semua perlu ongkos, perlu biaya. Itulah kenapa saya menyebut acara-acara itu sebagai
komersialisasi kemiskinan. Karena ujung-ujungnya tetap saja perhitungan laba rugi yang jadi
fokus utama, jika rating bagus acara akan dilanjutkan, sedangkan jika rating-nya jelek ya di
cut. Para pemilik PH (production house) tentu tak mau rugi, semoga santunan yang diberikan
tidaklah gratis. Harus ada timbal baliknya/ feedback berupa income yang lebih besar.

Selain acara-acara ditelevisi yang saya anggap tidak mendidik tersebut, saya pun sangat
kecewa dengan para elit politik kita yang pada saat kampanye selalu menjadikan warga
miskin sasaran janji-janji politiknya. Kita semua dapat menyaksikan betapa pada saat
kampanye kantong-kantong masyarakat miskin diserbu oleh para juru kampanye dan para elit
politik. Sampai-sampai mangadakan deklarasi di tempat sampah, dengan alasan pro rakyat.
Tapi kita lihat sekarang??? Tak ada satu pun dari mereka yang peduli apalagi mau
berkunjung lagi ke kantong-kantong warga kurang beruntung tersebut. Realita yang
menyedihkan!!

Yang ingin saya sampaikan adalah jangan jadikan warga yang kurang beruntung sebagai
objek, kemiskinan bukan untuk dipertontonkan bukan pula untuk diberi janji. Karena tanpa
dipertontonkan pun kemiskinan di negeri ini memang sudah nyata. Mari kita tanggulangi dan
kurangi angka kemiskinan dengan cara elegan dan mendidik. Tanggung jawab kita semua
sebagai warga Indonesia untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam pengurangan angka
kemiskinan tersebut. Tentunya bukan hanya angkanya saja, namun manusia miskinnya yang
paling penting untuk terus dikurangi. Dikurangi disini bukan dimusnahkan dengan cara yang
sadis (dimatikan) namun dikurangi dengan cara diberdayakan.

Anda mungkin juga menyukai