Anda di halaman 1dari 11

KESALAHAN BESAR YANG MENGAKIBATKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA TENAGA KERJA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi ini, setiap orang memerlukan kerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Dewasa ini
diketahui bahwa Indonesia membutuhkan lapangan kerja yang banyak agar penduduknya banyak yang terserap
menjadi pekerja dan mengurangi pengangguran. Dengan berkurangnya pengangguran maka akan berkurang juga
tingkat kemiskinan di negara ini.
Dalam dunia kerja, setiap pekerja memiliki tujuan dan motivasi masing-masing. Tujuan dan motivasi tersebut
akan memberikan gambaran produktivitas dan kinerjanya. Dan dengan kinerja tersebut para pekerja pasti
menghadapi lika-liku proses kerja yang dapat menjerumuskan mereka dalam keputusan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK).
PHK tidak saja karena kinerja para pekerja, banyak faktor yang menentukan. Kondisi ekonomi suatu negara atau
perusahaan tersebut juga sangat mempengaruhi keputusan rasionalisasi jumlah pegawai yang berujung pada PHK
beberapa pekerja suatu perusahaan. Tahun 1998 merupakan contoh kondisi krisis ekonomi di Indonesia, dan banyak
sekali kepala keluarga yang terhenti aliran keuangan untuk keluarganya karena terkena kebijakan rasionalisasi
jumlah pekerja perusahaan tempatnya bekerja.
Selain karena kondisi ekonomi nasional maupun perusahaan yang bermasalah, ada faktor yang dapat menjadi
awal terjadinya PHK terhadap para pekerja, yaitu kesalahan berat para pekerja. Dengan diundangkannya UU
ketenagakerjaan maka para pekerja dan pengusaha harus memahaminya. Namun dalam kenyataanya banyak
pekerja yang terjebak melakukan kesalahan berat yang dapat membuatnya di-PHK. Selain itu juga banyak
pengusaha yang melakukan pelanggaran dalam memperlakukan pekerjanya yang di-PHK karena kesalahan berat ini,
dan pekerjanya pun tidak tahu harus menuntut hak apa pada pengusaha mereka. Oleh karena itu, perlu kajian lebih
lanjut tentang ketenaga kerjaan dan PHK yang dikarenakan oleh kesalahan berat.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kaitan perjanjian kerja dalam hubungan kerja dalam keputusan pemutusan hubungan kerja .
2. Apa saja jenis kesalahan berat dari pekerja yang menyebabkan keputusan pemutusan hubungan kerja oleh
pengusaha.
3. Bagaimana cara pemenuhan hak dan kewajiban pengusaha terhadap pekerja yang telah mendapatkan surat
pemutusan hubungan kerja.



1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui secara jelas pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
2. Mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
3. Mengetahui jenis-jenis kesalahan pekerja yang dapat menyebabkan adanya kebijakan Pemutusan Hubungan
Kerja pada dirinya
4. Mengetahui kesalahan-kesalahan besar yang dapat menyebabkan adanya Pemutusan Hubungan Kerja
kepada para pekerja
5. Mengetahui contoh kasus kesalahan besar pekerja yang telah dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
6. Mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan Pemutusan Hubungan Kerja yang dikarenakan
kesalahan besar para pekerja.

1.4 Manfaat
Manfaat yang ingin didapatkan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai pembelajaran mengenai teori hubungan kerja dan perjanjian kerja serta hubungannya dengan
pemutusan hubungan kerja
2. Sebagai pembelajaran tentang pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh kesalahan berat dari
pekerja
3. Penerapan analisis dan pembahasan mengenai studi kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan
oleh kesalahan berat dari pekerja
4. Pengetahuan mengenai hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja
5. Sebagai pengetahuan tentang pemaparan dasar hukum mengenai pemutusan hubungan kerja dengan
kesalahan berat pekerja.
6. Sebagai alternatif gagasan penyelesaian masalah kasus pemuutusan hubungan kerja di Indonesia


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Hubungan Kerja[1]
Sebelum membahas jauh mengenai PHK harus kita pahami terlebih dahulu mengenai hubungan
kerja, sebagai berikut:
2.1.1 Pengertian
Hubungan kerja merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan
perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada
pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk
memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dan
pengusaha merupakan bentuk perjanjian kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing
pihak.
Di dalam hubungan kerja akan terdapat tiga unsur yaitu:
a Kerja
Di dalam hubungan kerja harus ada pekerja tertentu sesuai perjanjian karena itulah hubungan ini dinamakan
hubungan kerja.


b Upah
Setiap hubungan kerja selalu menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak dengan berimbang. Dalam
hubungan kerja, upah merupakan salah satu unsur pokok yang menandai hubungan adanya hubungan kerja.
Pengusaha berkewajiban membayar upah dan pekerja berhak atas upah dari pekerjaan yang dilakukan
c Perintah
Di dalam hubungan kerja harus ada unsur perintah yang artintya yang satu pihak berhak memberikan perintah dan
pihak lain berkewajiban melaksanakan perintah.

2.1.2 Pengaturan Hubungan Kerja
Hubungan kerja diatur dalam suatu perjanjian kerja yang disetujui oleh kedua belah pihak. Perjanjian kerja tidak
harus diatur secara tertulis, artinya perjanjian juga dapat dibuat secara lisan. Namun demikian untuk perjanjian kerja
tertentu harus dibuatkan secara tertulis, yaitu:
a Perjanjian Kerja Laut (PKL)
b Perjanjian Kerja Antar Kerja Antar Negara (AKAN)
c Perjanjian Kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)
d Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak)
Perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja dengan pihak lain
dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan dan disetujui bersama.
Perjanjian kerja diadakan pada waktu hubungan kerja diadakan antara pekerja dan pengusaha. Dengan adanya
perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
Pengaturan tentang pembuatan perjanjian kerja berpedoman kepada:
a Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya buku III titel 7A
b Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) buku II
c Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 tahun 1993

Perjanjian kerja akan memuat hal-hal sebagai berikut:
a Macam pekerjaan, cara pelaksanaannya, jam kerja dan tempat kerja.
b Besarnya upah, tempat dan waktu pembayarannya dan fasilitas yang disediakan pengusaha bagi pekerja
seperti perumahan, kendaraan, transportasi dan lain-lain.
c Pengobatan pekerja berupa biaya, dokter, poliklinik, penggantian kaca mata, biaya bersalin dan lain-lain.
d Jaminan sosial seperti kecelakaan, sakit, pensiun dan lain-lain.
e Izin cuti, meninggalkan pekerjaan, hari libur, uang pesangon dan lain-lain.
2.1.3 Peraturan Perusahaan
Peraturan perusahaan merupakan peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan. Setiap perusahaan yang
mempunyai pekerja dua puluh lima orang atau lebih diwajibkan membuat peraturan perusahaan dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 2 tahun 1978 tentang Peraturan Perusahaan dibuat sepihak oleh pengusaha yang menurut
ketentuan harus dikonsultasikan juga dengan wakil pekerja.
Dikarenakan peraturan perusahaan yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha dan hanya
dikonsultasikan dengan pekerja (tidak persetujuan) maka tentu saja pengusaha akan dapat memuat hak dan
kewajiban yang tidak seimbang asalkan tidak bertentangna dengan peraturan perundangan. Walaupun peraturan
perusahaan harus dimintakan persetujuan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tetapi
pada umumnya Depnakertrans hanya melihat apakah peraturan perusahaan tersebut melanggar peraturan
perundangan atau kondisinya jauh di bawah kebiasaan yang berlaku.

2.2 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.(Pasal 1 ayat
25 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenangakerjaan).

2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)[2]
2.3.1 Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengusaha
Seorang pengusaha dalam mengembangkan usahanya selalu berkeinginan agar perusahaan yang
dimiliki dapat berjalan dengan baik dan sukses, hal ini dapat terlaksana apabila produksi barang-barang yang
dihasilkan dapat diminati dan laku terjual di pasaran dengan harga relatif murah dan kualitas baik. Salah satu
keberhasilan yang didapat adalah adanya kerjasama yang baik antara pengusaha selaku pimpinan daengan para
pekerja/buruh. Setiap orang mempunya motivasi dan tujuan yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan. Bagi
mereka yang tidak patuh atau menentang perusahaan dapat diberikan teguran atay sanksi bahkan yang lebih tegas
diputuskan hubungan kerjanya.
Secara yuridis dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh perusahaan disebabkan:
a Perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau pengurangan jumlah
pekerja/buruh. Dalam hal PHK dengan alasan rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerj dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003, pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah,
berupaya mengusahakan agar tidak terjadinya PHK. Dalam hal ini upaya tersebut telah dilakukan, tetapi PHK tidak
dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja.\
b Pekerja telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam
peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau PKB (kesalahan ringan), maupun kesalahan pidana (keasalahan berat).
Pekerja yang diputus hubungan kerjanya dapat memperoleh penggantian hak.

2.3.2 Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari Pekerja
Pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha, karena pada prinsipnya pekerja tidak
boleh dipaksakan untuk terus-menerus bekerja bila ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan demikian PHK oleh
pekerja ini, yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya adalah pekerja tersebut.
Pekerja dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI, dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan:
a Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja
b Membuujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
c Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih
d Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja
e Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan
f Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan atau kesusilaan pekerja,
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Pekerja dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakuka n pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu
meminta penetapan dari lembaga PPHI, dan kepada pekerja yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4. Selain uang penggantian hak, pekerja diberikan uang pisah yang besar dan
pelaksabaannya diatur dalam perjanjuan kerja, peraturan perusahaan atau PKB. Pekerja yang mengundurkan diri
tersebut harus memenuhi syarat:
a Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal
mulai pengunduran diri
b Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

2.3.3 Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi Hukum
Selain pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha dan pekerja, hubungan kerja dapat putus atau
berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. Pekerja tidak perlu
mendapatkan PHK dari lembaga yang berwenang.
PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal:
a Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak memperoleh uang penggantian hak dan juga
diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
b PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa mengajukan gugatan kepada
PPHI
c Perbuahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak
bersedia melanjutkan hubungan kerja
d Perusahaan tutup, perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun sehingga
perusahaan terpaksa harus ditutup atau keadaan memaksa (force majeur), pengusaha dapat melakukan PHK.
e Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan bermaksud hendak
melakukan efisiensi. Dalam hal rasionalisasi ini, pekerja yang akan diputuskan hubungan kerjanya harus
diperhatikan:\
1) Masa kerja
2) Loyalitas
3) Jumlah tanggungan keluarganya
f Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan pailit
g Dalam hal hubungan kerja berakhir, karena pekerja meninggal dunia
h Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja yang memasuki usia pensiun
i Pekerja mangkir (tidak masuk kerja) selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis yang dilengkapi bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara
patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Keterangan tertulis
dengan bukti yang sa tersebut harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja tidak masuk kerja
j PHK oleh pekerja, meskipun dalam praktik, PHK oleh pekerja sangat jarang atau bahkan tidak mungkin
ada, namun yuridis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh pekerja ini dimungkinkan.
2.4 Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dalam Hukum Perundang-undangan[3]
Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk mem-PHK Anda dengan mengacu kepada Undang-
Undang No. 13 tahun 2003.
a Pertama adalah melakukan kesalahan berat. Pasal 158, ayat (1) berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut:
1) melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
2) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
3) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
4) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
5) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan
kerja;
6) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
7) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan
yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
8) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja;
9) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara; atau
10) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih."

PHK berupa kesalahan berat yang dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti misalnya,
1) pekerja/buruh tertangkap tangan;
2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan
didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

b Kedua adalah dikarenakan ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana. Pasal 160, ayat
1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja yang
menjadi tanggungannya dengan ketentuan...."
c Ketiga adalah melakukan pelanggaran ketentuan yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja. Pasal 161, ayat 1
menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut." Bila pekerja tidak mengindahkan peraturan perusahaan dan tidak mengindahkan surat peringatan
yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja, maka ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.
d Keempat adalah pekerja tidak mau bekerja pada perusahaan oleh karena terjadi perubahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Pasal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru-bahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja, maka pekerj/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)."
e Kelima adalah perusahaan tidak bersedia menerima pekerja sebagai karyawan di perusahaan oleh karena
terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Pasal 163, ayat 2
menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan
status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya, ....."
f Keenam adalah perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus menerus selama dua dua (2 tahun). Pasal
164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun,
atau keadaan memaksa (force majeur)...." Kerugian perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
g Ketujuh adalah perusahaan melakukan efisiensi. Ini merupakan alasan PHK yang sering digunakan. Pasal 164,
ayat 3 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,..."
h Kedelapan adalah perusahaan pailit. Pasal 165 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,.."
i Kesembilan adalah pekerja memasuki usia pensiun. Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun..." Ini merupakan
alasan PHK yang normal.
j Kesepuluh adalah mangkir (tidak masuk kerja) selama lima (5) hari berturut-turut. Pasal 168, ayat 1
menyebutkan, "Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut
dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri." Perlu dicatat bahwa
keterangan tertulis dengan bukti yang sah harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk
bekerja.
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Kasus 1[4]
Anton bekerja di PT. Permai Indah di bagian produksi dengan upah perbulan satu juta. Masa kerja Anton
bekerja di PT. Permai Indah adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu, Anton tertangkap tangan telah mencuri
barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan Anton harus di PHK karena melakukan kesalahan berat.
Adapun hak yang diperoleh Anton dari PT. Permai Indah saat itu adalah uang penggantian hak yang sesuai
dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah berdasarkan ketentuan pasal 158
ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan, maka Anton berhak menerima uang pisah sebesar
Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x
Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi Anton mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan
kesalahan berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima (misalnya cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja.
Keseluruhan hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang dituduhkan
kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar. Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan
haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga
penyelesaian perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud
adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.

3.1 Kasus 2[5]
Saya adalah seorang guru di salah satu perguruan swasta di Batam yang baru-baru ini di-PHK Karena suami
saya mendadak dibawa ke rumah sakit dan dirawat disana selama 33 hari. Dan selama itu pula saya tidak bisa
menjalankan tugas karena suami saya dirawat secara intensive di RS Adam Malik Medan. Waktu saya berangkat ke
Medan dalam keadaan libur nasional (idul fitri) Jadi saya tidak melapor ke kantor karena tutup. Pada saat tiba waktu
masuk sekolah pagi harinya saya menghubungi kepala sekolah melalui HP bahwa saya tidak bisa mengajar seperti
biasa karena suami saya jatuh sakit dan dirawat intensive di RS A. Malik di Medan. Dan beliau memaklumi keadaan
itu.
Setelah dokter mengijinkan kami pulang dan pengobatan diteruskan di Batam,teman guru-guru beserta
kepala sekolah datang menjenguk suami saya yang masih sakit dan terkapar dirumah. Pada saat itu saya cerita
kepada kep.sek. bahwa saya belum bisa masuk mengajar seperti biasa dan jawabannya tidak apa-apa urus saja dulu
suamimu katanya.
Tiga hari kemudian sesudah kunjungan para guru Surat panggilan dari pengurus yayasan datang dengan
nada mengancam Tepatnya tgl 22.Oct.2010. Apabila saya tidak hadir melapor keesokan harinya maka saya dianggap
mengundurkan diri. Saya melapor keesokan harinya serta membawa surat bukti keterangan opname dari RS A.
Malik Medan. Tetapi mereka tidak mengakui surat itu. Katanya saya telah Melakukan Pelanggaran Beratmelalaikan
tanggung jawab dan tidak ada ijin tertulis. Maka saya harus dikeluarkan. Dengan uang terimakasih 3x gaji
perbulan.Dan saya menolak,saya bilang itu tidak adil saya harus bekerja seperti biasa.Tetapi kepala sekolah
keberatan katanya dia tidak saya hormati dan harga mati saya harus dikeluarkan.
Pada tanggal 16 Des 2010, saya mendapat surat PHK dengan tuduhan melakukan pelanggaran berat, dan
hanya memberikan 5 bulan gaji sebagai uang pisah. Katanya itu berdasarkan keputusan yang sudah disetujui
Disnaker Batam. Jelas saya tidak mau terima saya bilang saya mau pelajari dulu apakah sudah sesuai dengan aturan
perundang undangan yang berlaku. Dan mereka bilang boleh tapi apabila dalam 14 hari tidak ada pembelaan atau
pengajuan keberatan dianggap sudah setuju.
Saya sudah bekerja sebagai guru di yayasan tsb. Salama 25 tahun.
Suami saya masuk rumah sakit dari : Tgl 14 September 2010 s/d tgl 16 oktober 2010.
Surat PHK sudah dibuat tgl 18 November2010 dan diserahkan sebulan kemudian.
Gaji sudah tidak dibayar lagi.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
4.1 Pembahasan Kasus I
Pada kasus pertama dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan Undang-undang ketenagakerjaan, Anton sudah
terklasifikasikan dalam perilaku kesalahan berat yang berujung pada keputusan pemutusan hubungan kerja dari
pengusaha. Kasus Anton ini dapat didasarkan pada pasal 158 ayat 1 poin 1 (satu) Undang-undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
3. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
4. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan
kerja;
6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan
yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat
kerja;
9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara; atau melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Dalam kasus Anton, pengusaha tidak perlu menyiapkan barang bukti atas kesalahan pekerjanya tersebut karena
Anton tertangkap basah ketika melakukan aksi pencurian di perusahaan tersebut.

4.2 Pembahasan Kasus II
Kasus kedua ini lebih pada perbedaan persepsi antara pekerja (guru) dengan pihak yayasan sekolah serta
dinas pendidikan dan dinas tenaga kerja setempat. Pada persepsi guru tersebut, beliau diijinkan tidak menunaikan
kewajibannya mengajar dikarenakan sakit, namun di sisi lain para stake holder memiliki persepsi bahwa guru
tersebut melakukan kesalahan berat karena tidak mengajar selama lebih dari 33 hari seperti tercantum pada Pasal
168 ayat (1) Uundang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut:
"Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis
yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis
dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.".
Kasus tidak berhenti sampai di situ, perselisihan masih terjadi karena guru yang telah di-PHK tidak
mendapatkan haknya secara penuh seperti yang disebutkan pada UU ketenagakerjaan. Dalam upaya mengatasi
masalah ini, kita harus menelaah lagi sebenarnya sejak adanya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004,
no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan
secara bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke pengadilan hubungan industrial.
Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan cara
bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak
memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan
hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian
yang merupakan keputusan arbitrasi dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan pembatalannya
kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan
pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarkan ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun
2004 yaitu :
a Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau
dinyatakan palsu;
b Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak
lawan;
c Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun sejak
diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial ini akan menggantiikan kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.
Setiap pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan berat sesuai dengan ketentuan
pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti
tertangkap tangan, pengakuan dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.
Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dibenarkan oleh hukum
maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah. Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh
oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan upaya hukum meliputi upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau
ke kepadilan hubungan industrial.
BAB V
PENUTUP

5. 1 Kesimpulan
Hubungan kerja merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan
perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Dengan hubungan kerja tersebut akan membawa hak dan
kewajiban antar pengusaha dan pekerja. Hubungan kerja tersebut juga diikat dengan peraturan dan perjanjian kerja,
agar setiap pihak saling diuntungkan dan tidak membawa kerugian pada salah satu pihak. Pelanggaran terhadap
perjanjian/kontrak tersebut akan membawa salah satu pihak pada keputusan untuk mengakhiri hubungan kerja
diantara mereka.
Diakhirinya hubungan kerja tersebut dinamakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Keputusan Pemutusan
Hubungan Kerja tersebut tidak hanya dikarenakan oleh pelanggaran pada perjanjian kerja namun banyak faktor yang
mempengaruhinya, salah satunya adalah topik makalah ini, yaitu kesalahan berat dari para pekerja.
Pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh kesalahan berat dari pekerja diatur lengkap di Undang-undang
nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada payung hukum tersebut banyak menyebut tentang jenis
kesalahan berat sampai hak dan kewajiban yang harus diemban oleh pengusaha ataupun oleh pekerja yang terkena
keputusan PHK tersebut. Oleh karena itu sebagai penduduk Indonesia harus mengetahui mengetahui mengenai
payung hukum yang telah diundangkan ini.

5.2 Saran
Saran untuk pemerintah yaitu agar lebih mensosilisasikan mengenai payung hukum ketenagakerjaan kepada
masyarakat, supaya masyarakat sebagai pengusaha ataupun pekerja memahami peran, hak serta kewajibannya
dalam dunia kerja. Selain itu juga masyarakat lebih bijak dalam melakukan tindakan di dunia kerja memahami dan
senantiasa kritis terhadap keputusan dari perusahaan yang mempekerjakannya.

Anda mungkin juga menyukai