Anda di halaman 1dari 4

Pelajaran dari Kasus Kerja Paksa Tangerang

Oleh: Sugeng Santoso PN* & Jaka Mulyata**


Perlu tindakan preventif dan evaluatif atas semua sarana dan prasarana
pengawas ketenagakerjaan

Baru saja seluruh elemen buruh merayakan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2013
dan bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 1 Mei sebagai
hari libur nasional, ternyata ada berita menghebohkan tentang kasus kerja
paksa terhadap 34 buruh di pabrik kuali di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi,
Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang.
Pedih, pilu dan sangat aneh karena hal tersebut terjadi di negara yang telah
menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Sungguh tidak bisa
membayangkan penderitaan para buruh yang bekerja selama 18 jam sehari, tanpa gaji,
tidak bisa mandi dan bahkan disekap selama empat bulan. Perbuatan pemilik usaha
alat penggorengan dan panci itu beserta preman-premannya tersebut patut diduga
tidak hanya melanggar UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO, KUHP dan UU Perlindungan
Anak, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Penghapusan Perbudakan di Indonesia
Sejarah dunia telah mencatat bahwa penghapusan perbudakan telah dicanangkan pada
tanggal 1 Juli 1863 di Belanda. Pada masa itu Belanda sebagai salah satu negara
pedagang budak terbesar di dunia secara resmi menghapuskan perbudakan di seluruh
wilayah jajahannya.
Sejarawan Lizzy van Leeuwen dari Universitas van Amsterdam menjelaskan bahwa
penghapusan perbudakan di Oost Indie atau Indonesia secara resmi dilakukan 100
tahun yang lalu dimana pada waktu itu Belanda menghapuskan praktik perbudakan
yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa.
Sebagai negara yang telah merdeka dan juga menganut konsep pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia maka Indonesia harus melakukan prinsip-
prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia termasuk buruh.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (buruh) adalah prinsip
pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat (buruh) yang bersumber
pada Pancasila dan UUD 1945 dalam alinea ke-empat, bahwa tujuan pembentukan
Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain itu Indonesia yang juga sebagai anggota
PBB yang mengakui adanya The Universal Declaration of Human Rights seharusnya
peristiwa perbudakan di Tangerang tidak terjadi.
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus kerja paksa terjadi di Indonesia.
Pertama, Kondisi pengangguran terbuka di Indonesia sampai dengan Agustus 2011
sudahmencapai 7,7 juta. Kondisi ini memperlemah posisi angkatan kerja yang
menganggur dibandingkan dengan kondisi permintaan tenaga kerja yang ada.
Kemungkinan calon tenaga kerja menjadi pasrah dengan apapun peluang kerja yang
ada sebagaimana yang terjadi pada kasus perbudakan di Tangerang jelas
mengindikasikan hal tersebut.
Kegagalan negara dalam menciptakan banyak peluang kerja yang memadai kepada
calon tenaga kerja telah memperparah situasi ini. Kedua, kurang sadarnya sebagian
pengusaha tentang hak-hak buruh yang diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan.
Ketiga, banyaknya oknum aparat yang diindikasikan bukan melaksanakan tugas dan
tanggungjawab untuk melindungi warga negara tetapi justru menjadi pelindung bagi
pengusaha yang melakukan pelanggaran hukum khususnya di bidang ketenagakerjaan.
Negara Harus Bertanggungjawab
Sebagai negara yang telah merdeka dan juga menganut konsep pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia maka Indonesia haruslah melakukan
prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyatnya termasuk para buruh. Konsep
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan
konsep rechsstaat dan the rule of law menciptakan sarananya.
Dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan
subur dalam wadah rechsstaat dan the rule of law, sebaliknya akan gersang di
dalam negara-negara dictator atau totaliter. (Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum
Bagi Rakyat Indonesia).
Perlindungan hukum bagi para buruh oleh negara dilakukan oleh pemerintah melalui
Kemenakertrans dan jajarannya (Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan
Kabupaten/KotaSetempat) untuk melakukan pengawasan secara terus menerus
terhadap tindakan-tindakan pelanggaran di bidang ketenagakerjaan sebagaimana
ketentuan Pasal 1 angka 32 juncto pasal 176-181 UU Ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan baik pada tingkat nasional, tingkat
provinsi sampai dengan tingkat kabupaten/kota. Lebih rinci, pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan diatur dalam Perpres No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan.
Menelaah peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas sangat tidak mungkin
akan terjadi perbudakan terjadi di negeri ini. Alasan bahwa jumlah tenaga pengawas di
tingkat kabupaten/kota tidak mencukupi merupakan alasan klasik yang sering
diungkapkan oleh pejabat di Kemenakertrans. Tapi metode dan sistem pengawasan
ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Perpres No. 21 Tahun 2010 tidak
pernah dijelaskan kepada masyarakat.
Pelajaran dari kasus Tangerang
Kejadian perbudakan di Tangerang tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan
represif terhadap oknum siapapun yang bertanggungjawab. Namun perlu tindakan
preventif dan evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan
dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten/kota.
Pertama, Dinas Tenaga Kerja setempat perlu mengupayakan sistem dan metode
pengawasan terpadu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kelurahan dan atau
kecamatan untuk melakukan pengawasan secara langsung ke lapangan secara periodik.
Pengawasan yang dilakukan seharusnya tidak terbatas pada pengusahanya tetapi juga
bertemu langsung dengan tenaga kerjanya.
Kedua, model pengaduan dan informasi melalui membuka hotline, surat elektronik, sms
pengaduan, dan media informasi lainnya harus terus dikembangkan dan dikenalkan
kepada masyarakat pelaku produksi.
Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dan terstruktur tentang UU
Ketenagakerjaan dan peraturan yang berkaitan kepada semua pelaku usaha baik dalam
bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik persekutuan, milik
badan hukum, baik swasta maupun milik negara, skala kecil dan menengah.
Keempat, pemerintah harus serius melakukan upaya penghapusan biaya-biaya
siluman' (upeti) untuk berdirinya suatu usaha ataupun setelah badan usaha terbentuk
(operasional) dan membersihkan oknum-oknum aparat/pejabat di pusat dan daerah
yang meminta sumbangan atau dana dalam bentuk apapun.
Kelima, perlu dilakukan terobosan karena keterbatasan jumlah pengawas
ketenagakerjaan dengan membentuk Intel Ketenagakerjaan yang bertugas
mengumpulkan informasi dan data awal dengan tidak mengenal jam kerja
sebagaimana pegawai negeri saat ini. Antara Intel Ketenagkerjaan dan Pengawas
Ketenagakerjaan sebagai Penyidik saling berkoordinasi setiap ada temuan-temuan,
info-info, dan data-data yang ada di lapangan, sehingga laporan-laporan
ketengakerjaan yang diwajibkan selama ini mendekati akurat dan konkrit, setelah
mendapatkan keterangan awal tersebut petugas pengawas melakukan tugas
sebagaimana mestinya salah satunya pembinaan.
Semoga pemerintah melalui Kemenakertrans segera mewujudkan konsep dan sistem
yang modern dalam melakukan pengawasan dan kasus perbudakan di Tangerang
tidak terulang dan terjadi lagi.

*) Sugeng Santoso PN: Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Surabaya dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga
Surabaya,
**) Jaka Mulyata: Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Gresik

Anda mungkin juga menyukai