Anda di halaman 1dari 130

Hamdani : Pengaruh Faktor Upaya Pengobatan Dan Pencegahan Yang Dilakukan Ibu Pada Balita Dengan Penyakit

Diare Di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie J aya Tahun 2008, 2009
PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU
KABUPATEN PIDIE JAYA
TAHUN 2008



TESIS



Oleh

HAMDANI
057023005/AKK

















SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
S
E
K
O L
A
H
P
A
S
C
A
S
A R
J
A
N
A


PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU
KABUPATEN PIDIE JAYA
TAHUN 2008



TESIS




Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara




Oleh

HAMDANI
057023005/AKK











SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009


Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN
PENCEGAHAN YANG DILAKUKAN IBU PADA
BALITA DENGAN PENYAKIT DIARE
DI PUSKESMAS BANDAR BARU KABUPATEN PIDIE
JAYA TAHUN 2008
Nama Mahasiswa : Hamdani
Nomor Pokok : 057023005
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi



Menyetujui
Komisi Pembimbing




(Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)) (drh. Hiswani, M.Kes)
Ketua Anggota



Ketua Program Studi, Direktur,



(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)




Tanggal lulus: 30 Juni 2009


Telah diuji pada
Tanggal 30 Juni 2009





















PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)
Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes
2. dr. Halinda Sari Lubis, M.Kes
3. Ir. Indra Chahaya S, M.Si


PERNYATAAN


PENGARUH FAKTOR UPAYA PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
YANG DILAKUKAN IBU PADA BALITA DENGAN PENYAKIT
DIARE DI PUSKESMAS BANDAR BARU
KABUPATEN PIDIE JAYA
TAHUN 2008


TESIS


Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini disebut dalam daftar pustaka.



Medan, Juni 2009



(Hamdani)





ABSTRAK


Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian, Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah
geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi
penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak
balita. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka
kematian akibat diare di Indonesia mencapai 23 orang per 100 ribu penduduk untuk
dewasa dan 75 per 100 ribu balita.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional
yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor upaya pengobatan dan
pencegahan yang dilakukan ibu pada balita dengan penyakit diare di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Pengambilan sampel berjumlah 271 orang,
dengan menggunakan simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisa data yang digunakan adalah
Chi-Square Test dan Regresi Logistik.
Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang berhubungan secara bermakna
dengan kejadian diare pada balita adalah status gizi anak, sumber air bersih, tempat
pembuangan tinja, lamanya pemberian ASI, kebiasaan cuci tangan. Berdasarkan uji
multivariat ditemukan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian
diare pada balita adalah variabel status gizi anak dengan dengan nilai Exp () 5,426.
Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya agar selalu
memperhatikan program peningkatan status gizi anak dan diusahakan agar program
pemberian makanan tambahan kepada balita dapat diteruskan dalam penyusunan
rencana strategis (Renstra) pada tahun berikutnya.


Kata Kunci: Diare, Pencegahan, Pengobatan.



ABSTRACT


Up to now, diarrhea is still one of the main causes of the incident of morbidity
and mortality. The epidemiology of diarrhea can geographically be found in all areas
of the world and the cases of diarrhea can occur in all age groups but severe
diarrhea with high mortality especially occurs in the infants and children under five
years old. Based on the Household Health Survey done in 2004, in Indonesia, the
diarrhea caused mortality rate reached 23 persons out of 100 thousand adults and 75
persons out of 100 thousand children under five years old.
The purpose of this analytical study with cross-sectional design is to analyze
the influence of the treatment and prevention efforts done by mothers of children
under five years old on diarrhea in Bandar Baru Health Center, Pidie Jaya District.
The samples for this study were 271 mothers, selected through simple random
sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire
based interviews. The data obtained were analyzed through Chi-square and Logistic
Regresion tests.
The result of bivariate test shows that the variables that are significantly
related to the incident of diarrhea in the children under five years old are the
childrens nutrition status, clean water resources, human feces dumping place, length
of breasfeeding, and habit of washing hand. The result of multivariate test shows that
the most influencing variable on the incident of diarrhea in the children under five
years old is the childrens nutrition status with Exp () 5.426.
It is expected that Pidie Jaya District Health Office to pay attention to the
improvement of the childrens nutrition status and continue the program of
administrating supplementary food to the children under five years old in the
planning process of strategic plan for the coming years.


Keywords: Diarrhea, Prevention, Cure.


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan
tesis dengan judul Pengaruh Faktor Upaya Pengobatan dan Pencegahan yang
Dilakukan Ibu pada Balita dengan Penyakit Diare di Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan oleh
karena adanya arahan dan bimbingan serta dukungan dari berbagi pihak. Oleh karena
itu pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis,
DTM&H, Sp.A (K) yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada
penulis untuk menempuh pendidikan.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B, MSc, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Bapak Dr. Drs.
Surya Utama, MS yang juga telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Komisi Pembimbing, Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A(K) selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Ibu drh. Hiswani, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan yang sangat besar,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Kepada Ibu dr. Halinda Sari Lubis, M.Kes dan Ibu Ir. Indra Chahaya S, M.Si
selaku Dosen Pembanding.
6. Kepala Dinas Kesehatan Pidie Jaya yang telah memberikan izin untuk dapat
melaksanakan penelitian pada Puskesmas Bandar Baru.


7. Camat Bandar Baru yang juga telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat
melaksanakan penelitian di Puskesmas Bandar Baru.
8. Kepala Puskesmas Bandar Baru yang telah memberikan izin dan data-data yang
penulis perlukan dalam menulis tesis ini.
9. Isteri tercinta Cut Fajriah, Amd.Keb yang telah sangat banyak membantu penulis
dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
10. Ananda tercinta Hanif Fuadi, dan Syakir Afifi yang telah menjadi motivator besar
bagi penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
11. Ayahanda sekeluarga yang juga telah membantu dan mendoakan sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
12. Yusnidariyani, SKM, dr. Irawati, Alfian Helmi, S.Kep,M.Kes, Laila Kusumawati,
SKM, M.Kes dan Zulkifli, M.Kes yang juga turut membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
13. Seluruh teman-teman peminatan Epidemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih perlu perbaikan, untuk itu
penulis mengharapkan kirtik dan saran yang sifatnya membangun.

Medan, Januari 2009

Penulis



RIWAYAT HIDUP


Nama : Hamdani
Tempat/Tanggal Lahir : Pulo Pueb, 22 Januari 1975
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Jumlah Anak : 2 Orang
Alamat Kantor : AKPER Pemerintah Kabupaten Pidie Sigli

RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Tahun 1987 Lulus SD Negeri Pulo Pueb
2. Tahun 1990 Lulus SMP Negeri Lueng Putu
3. Tahun 1993 Lulus SMA Negeri Lueng Putu
4. Tahun 1996 Lulus AKPER MONA Banda Aceh
5. Tahun 1999 Lulus FKM UNMUHA Banda Aceh
6. Tahun 2005 Tugas Belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.

RIWAYAT PEKERJAAN
1. 1 Maret 2000 diangkat menjadi CPNS.
2. 1 April 2001 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
3. 2000 sampai dengan sekarang Dosen pada Akper Pemkab Pidie.





DAFTAR ISI


Halaman

ABSTRAK...........................................................................................................
ABSTRACT..........................................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................
RIWAYAT HIDUP.............................................................................................
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL...............................................................................................
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...
1.2. Permasalahan.....
1.3. Tujuan Penelitian...........
1.4. Hipotesis....
1.5. Manfaat ..

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...
2.1. Pengertian Diare....
2.2. Etiologi..................................................................
2.3. Patogenesis .......
2.4. Gejala Diare...
2.5. Epidemiologi Penyakit Diare.
2.6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pencegahan dan
Pengobatan Diare..............................................
2.7. Pencegahan Penyakit Diare....
2.8. Kerangka Teoritis..........
2.9. Kerangka Konsep Penelitian.....

BAB III. METODE PENELITIAN.
3.1. Jenis Penelitian..................
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........
3.3. Populasi dan Sampel..............
3.4. Metode Pengumpulan Data...........
3.5. Variabel dan Definisi Operasional .......
3.6. Metode Pengukuran.......................................................
3.7. Metode Analisa Data ....



i
ii
iii
v
vi
viii
xi
xii

1
1
6
6
6
7

8
8
10
19
22
24

26
37
46
47

48
48
48
49
50
52
57
58




BAB IV. HASIL PENELITIAN.....................................................................
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian .....................................................
4.2. Analisis Univariat......................................................................
4.3. Analisis Bivariat........................................................................
4.4. Analisis Multivariat ..................................................................

BAB V. PEMBAHASAN................................................................................
5.1. Karakteristik Ibu........................................................................
5.1. Karakteristik Anak.....................................................................
5.3. Upaya Pengobatan ....................................................................
5.4. Pencegahan Diare .....................................................................

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
6.1. Kesimpulan ...............................................................................
6.2. Saran .........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................





60
60
64
71
80

83
83
88
91
92

98
98
98

100




DAFTAR TABEL



Nomor Judul Halaman

2.1 Sistem Skor Dehidrasi.. 23
2.2 Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif. 28
2.3 Baku Antropometri Menurut Standar WHO NCHS.. 31
2.4 Cara Pemberian Oralit.. 33
3.1

Definisi Operasional. 53
3.2 Tabel Skor 59
4.1 Nama-Nama Desa yang Termasuk Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008. 61
4.2 Jumlah Kunjungan Menurut Bulan pada Puskesmas Bandar
Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008.. 62
4.3 Distribusi Tenaga Kesehatan Berdasarkan Jenis Pendidikan
yang Bekerja pada Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008. 63
4.4 Distribusi Sepuluh Besar Penyakit yang Dilayani di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008.................. 63
4.5 Distribusi Responden Menurut Umur, Tingkat Pendidikan,
Pengetahuan dan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008.. 65
4.6 Distribusi Balita Menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Status
Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008.. 67
4.7 Distribusi Responden Menurut Upaya Pengobatan di Wilayah
Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008 68
4.8 Distribusi Responden Menurut Sarana Air Bersih, Tempat
Pembuangan Tinja, di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008. 69





4.9 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Mencuci Tangan
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 69
4.10 Distribusi Responden Menurut Lamanya Penyapihan,
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 70
4.11 Distribusi Responden Menurut Pemberian Imunisasi
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 71
4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Umur dan Kejadian Diare
pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 72
4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu dan
Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008 72
4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan
Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008 73
4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan dan Kejadian
Diare Pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008 74
4.16 Distribusi Balita Berdasarkan Umur dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008. 74
4.17 Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008.. 75
4.18 Distribusi Balita Berdasarkan Status Gizi dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008... 76
4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Upaya Pengobatan dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 76
4.20 Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Air Bersih dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 77
4.21 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Tinja
dan Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008 78


4.22 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Pemberian ASI
dan Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008 78
4.23 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Cuci Tangan dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 79

4.24 Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian Imunisasi dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008. 80

4.25 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Resiko
Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar
Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008......................................... 81

4.26 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Resiko
Diare pada Balita Setelah Dikeluarkan Faktor Pemberian ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008...................................................................................... 82





DAFTAR GAMBAR


Nomor Judul Halaman

2.1 Model Interelasi Tumbuh Kembang Anak .................................... 46

2.2 Kerangka Konsep Penelitian........................................................... 47


DAFTAR LAMPIRAN


Nomor Judul Halaman

1. Kuisioner Penelitian . 105
2. Hasil Uji Regresi Logistik .. 111
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas. 130
4. Surat Izin Penelitian .. . 133






















BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Diare merupakan salah satu penyakit menular dengan peningkatan kasus
kesakitan dan kematian yang signifikan di beberapa daerah di Indonesia, terutama
pada golongan umur di bawah lima tahun masih merupakan masalah kesehatan yang
harus mendapat perhatian yang lebih serius dari berbagai lapisan masyarakat,
terutama pemerintah melalui bidang kesehatannya.
Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian, epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah
geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi
penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak
balita. Di negara berkembang anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali dalam
setahun, dan menjadi penyebab kematian dengan CFR 15% sampai dengan 34% dari
semua kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak (Aman, 2004).
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne
infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp,
Campylobacter jejuni, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia Coli (EHEC).


Di negara maju diperkirakan insiden diare 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200
juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya.
Berdasarkan laporan organisasi kesehatan dunia (WHO, 2000), di Bangladesh selama
kurun waktu 10 tahun (1974 - 1984) angka kejadian diare berkisar 1,93% - 4,2%, dan
di Thailand dari seluruh pasien rawat jalan anak di rumah sakit ditemukan 20%
merupakan penderita diare. Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan
kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun. Di Afrika anak-anak terserang diare
infeksi 7 kali setiap tahunnya.
Hasil Survei Depkes R.I tahun 2000 memperlihatkan angka kesakitan diare
pada semua usia mencapai 301 per 1000 penduduk. Kebanyakan kasus diare muncul
pada dua tahun pertama usia anak dan proporsi tertinggi terjadi pada kelompok usia
6-11 bulan saat dimulainya pemberian makanan pendamping ASI atau makanan
sapihan "Case fatality ratenya saat KLB mencapai 1,6%.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka
kematian akibat diare di Indonesia mencapai 23 orang per 100 ribu penduduk untuk
dewasa dan 75 per 100 ribu balita. Angka kejadian itu termasuk masih cukup tinggi
dibandingkan negara lain.
Hasil survei Depkes RI, pada 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare pada
semua usia di Indonesia adalah 423 per 1000, dan frekwensi 1-2 kali per tahun pada
anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Pada 2001, angka kematian rata-rata yang
diakibatkan diare adalah 23 per 100.000 penduduk, sedangkan angka yang lebih


tinggi terjadi pada kelompok anak berusia di bawah 5 tahun, yaitu 75 per 100.000
orang. Sementara kematian anak berusia di bawah tiga tahun akibat diare dengan
CFR 19%.
Di Indonesia angka insiden diare selama kurun waktu 4 tahun dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2003 mempunyai kecenderungan menurun dari 21,9 per 1000
pada tahun 2000 menjadi 10,6 per 1000 pada tahun 2003. Namun dalam kurun waktu
dua tahun terakhir terjadi peningkatan hampir 2 kali lipat yakni 6,7 per 1000 pada
tahun 2002 menjadi 10,6 per 1000 pada tahun 2003 (Depkes RI, 2004).
Kondisi kejadian diare pada balita di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
pada tahun 2004 sebanyak 32.466 balita, untuk tahun 2005 berjumlah 37.801 balita,
yang berarti terjadi peningkatan sebesar 16,43% pada tahun 2006 kejadian diare pada
balita berjumlah 36.960 balita. Bila dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi
penurunan sebesar 2,2% (Dinkes NAD, 2007). Namun demikian penurunan ini tidak
dapat disimpulkan insiden diare menurun, tetapi karena cakupan penerimaan laporan
juga menurun.
Dari seluruh kejadian diare pada balita di Nanggroe Aceh Darussalam pada
tahun 2006 yang berjumlah 36.960 balita, 18% di antaranya terjadi di Kabupaten
Pidie. Kontribusi ini merupakan yang tertinggi bila dibandingkan dengan kabupaten
lainnya (Dinas NAD, 2007).
Untuk Kabupaten Pidie pada tahun 2005, tercatat jumlah penderita diare pada
usia kurang dari 1 tahun sebanyak 2.794 penderita, dan untuk usia 1 sampai dengan 5


tahun berjumlah 5158. Jumlah ini mencapai 50% dari seluruh penderita diare untuk
semua golongan umur (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2005).
Pada tahun 2006, mulai bulan Januari sampai dengan bulan November 2006
tercatat jumlah penderita untuk golongan umur di bawah 5 tahun sebanyak 4.773
penderita, dari jumlah keseluruhan untuk semua golongan umur 13.677 penderita,
atau 35% penderita diare adalah golongan umur di bawah lima tahun. Bila
dibandingkan dengan penyakit lainnya dari sepuluh besar penyakit yang sering
dialami oleh balita pada tahun 2006, maka penyakit diare menduduki peringkat kedua
terbesar setelah penyakit Influenza, dengan jumlah kasus 4773 balita, atau 35%.
Sedangkan peringkat ketiga terbesar adalah kasus Pneumonia dengan jumlah
penderita 581 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2005).
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku
masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan (Depkes RI, 2000). Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya diare dapat berupa lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, sosial
ekonomi, dan faktor perilaku (www.dinkes-dki.go.id).
Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, pemerintah telah mendirikan
Rumah Sakit dan Puskesmas. Dalam sistem manajemen, kesehatan puskesmas adalah
salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Puskesmas
merupakan pelaksana pelayanan kesehatan dasar. Untuk hal tersebut dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, puskesmas harus dapat


menetapkan program, mempertahankan jangkauan dan pemerataan serta
meningkatkan mutu pelayanan (Depkes R.I, 1999).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nielsen di Pakistan tahun 2001
didapatkan bahwa persepsi ibu yang keliru tentang penyebab terjadinya diare.
Menurut ibu terjadinya diare pada balita disebabkan oleh karena terlalu banyak
mengkonsumsi cairan, tidak seimbangnya antara diet makanan panas dan dingin, ASI
ibu yang buruk, pemberian makanan pada bayi yang berusia lebih dari 6 (enam)
bulan, dan juga terjadi diare bila bayangan melewati anak (Nielsen, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh litbang Depkes RI tahun 2001 tentang
perilaku ibu untuk mengobati anaknya yang menderita diare adalah pernah mengobati
sendiri sebesar 46,6%, berobat ke dukun/tabib sebesar 0,9%, sedangkan yang berobat
ke tenaga kesehatan sebesar 52,5%. Dari keseluruhan ibu yang membawa anaknya
berobat ke pelayanan kesehatan, 29% dibawa ke Puskesmas dan pustu, praktek
petugas kesehatan 16,7% dan praktek dokter 6,8%.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan di Kabupaten Pidie masih rendah, angka
kunjungan ke pelayanan kesehatan hanya sebasar 30%, selebihnya tidak
menggunakan pelayanan kesehatan (Surkesda Kab. Pidie, 2006).
Berdasarkan data-data di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang
dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya.



1.2. Permasalahan
Diare pada anak balita masih merupakan permasalahan kesehatan yang
penting mengingat angka kesakitan dan kematian yang relatif masih tinggi, dan diare
pada balita dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Selain itu adanya kenyataan dalam masyarakat di mana upaya
mencari pelayanan kesehatan di saat kondisi anak sudah dalam keadaan parah dan
persepsi masyarakat tentang pelayaan kesehatan yang kurang memuaskan. Maka
dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah Apakah ada pengaruh faktor upaya
pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya?.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor upaya pengobatan
dan pencegahan yang dilakukan ibu pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya.

1.4. Hipotesis
Ada pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu
pada balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya.





1.5. Manfaat
1. Manfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan dapat
memberikan informasi tentang pengaruh antara faktor upaya pengobatan dan
pencegahan yang dilakukan ibu terhadap balita terhadap penyakit diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan untuk
pencegahan dan penanganan kejadian diare.
2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, memberikan informasi baru tentang ada
pengaruh faktor upaya pengobatan dan pencegahan yang dilakukan ibu pada
balita terhadap penyakit diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie
Jaya yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian dimasa yang akan datang.
.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Diare
Suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi
dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih
dari biasanya 3 kali atau lebih dalam 1 hari (Depkes RI, 2005). Dikatakan diare
apabila tinja mengandung lebih banyak air dibandingkan dengan yang normal.
Mengeluarkan tinja normal secara berulang tidak disebut diare (Andrianto, 1995).
Diare Akut adalah kondisi buang air besar dengan frekuensi yang meningkat
dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya,
dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 (dua) minggu (Suharyono, 2008).
Di samping itu ada juga klasifikasi yang lain berdasarkan organ yang terkena
infeksi yaitu:
a. Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus, parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (Otitis media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan lainnya) (Suharyono, 2008).
Menurut Depkes RI (1996), diare merupakan penyakit gastroenteritis yang
ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja menjadi lembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya, lazimnya tiga kali
atau lebih dalam sehari. Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan
sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga


kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau
tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut,
disentri, dan diare persisten. Menurut Depkes RI (2000), secara operasional
didefinisikan bahwa diare adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air
saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam
sehari).
Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi 4
kelompok yaitu:
1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari),
2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus,
4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya.
Suharyono (1991), menjelaskan bahwa diare adalah buang air besar dengan
frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau
cair.
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan,
atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif
terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu


minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan
diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi
buang air besar lebih dari tiga kali sehari disertai adanya perubahan bentuk dan
konsistensi tinja penderita. Dikenal diare akut yang timbul dengan tiba-tiba dan
berlangsung beberapa hari dan diare kronis yang berlangsung lebih dari tiga minggu
bervariasi dari hari ke hari yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab
lainnya (Winardi, 1981).

2.2. Etiologi
Penyebab diare dapat berupa:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral, Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak, meliputi:
(1). Infeksi bakteri seperti Vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
(2). Infeksi virus seperti Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Polimyelitis)
Adeno-virus, Rotavirus, dan lain-lain.
(3). Infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides),
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis),
jamur (Candida albicans).


b. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti otitis
media akut (OMA), tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis,
dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur
di bawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi
(1). Malabsorbsi korbohidrat, disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Pada
bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa.
(2). Malabsorbsi lemak.
(3). Malabsorbsi protein.
3. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak
yang lebih besar) (Ngastiyah, 2005).
Etiologi diare, pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan
tetapi kini, telah lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Pada saat ini telah dapat
diidentifikasi tidak kurang dari jenis 25 jenis mikroorganisme yang dapat
menyebabkan diare pada bayi dan anak. Penyebab itu dapat digolongkan lagi ke
dalam penyakit yang ditimbulkan adanya virus, bakteri, dan parasit usus. Penyebab
utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya
ialah virus Norwalk, Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus dan virus
bulat kecil.


Di seluruh pelosok dunia diestimasikan bahwa Rotavirus menyebabkan lebih
dari 125 juta episode diare dan menjadi sebab hampir 1 juta kematian setiap tahun
pada bayi dan anak-anak. Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
adalah Aeromonas hydrophila, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium
defficile, Clostridium perfringens, E. Coli Plesiomonas, Shigelloides, Salmonella spp,
Staphylococcus aureus, Vibrio cholrae dan Yersinia enterocolitica.
Sedangkan penyebab diare oleh parasit adalah Balantidium coli, Capillaria
Philippinensis, Cryptosporodium, Entamoeba hytolitica, Giardia lamblia, Isopora
billi, Fasiolopsis buski, Sarcocytis suihominis, Strongiloides stercoralis, dan
Trichuris trichiura. Virus dapat menyebabkan 40-60% dari semua penyakit diare
pada bayi dan anak yang datang berobat ke rumah sakit, sedangkan untuk komunitas
sebesar 15%. Patogenesa terjadinya diare yang disebabkan virus (misal Rotavirus)
adalah sebagai berikut: virus masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman
setelah virus sampai ke dalam enterosit (sel epitel usus halus) akan menyebabkan
infeksi serta kerusakan jonjot-jonjot (fili) usus halus. Enterosit usus yang rusak
diganti oleh enterosit fungsinya masih belum baik. Jonjot-jonjot usus mengalami
atrofi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, cairan dan
makanan yang tidak terserap dan tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik
usus, usus meningkatkan motilitasnya (hiperperistaltik) sehingga cairan dan makanan
yang tak terserap akan didorong keluar usus melalui anus dan terjadilah apa yang
disebut diare.


Diare karena virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya beberapa hari (3-
4 hari) dapat sembuh tanpa pengobatan (self limiting disease). Penderita akan sembuh
kembali setelah enterosit usus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru dan yang
normal serta sudah matang (mature), sehingga dapat menyerap dan mencerna cairan
serta makanan dengan baik.
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah bakteri
non infasif dan bakteri infasif. Yang termasuk dalam golongan bakteri noninfasif
adalah; Vibrio chlorerae, E. Coli patogen (EPEC, ETEC, EIEC). Sedangkan
golongan bakteri infasi adalah Salmonella spp, shigella spp, E. coli infasif (EIEC), E.
coli hemorrhagic (EHEC) dan Campylobacter spp. Diare karena bakteri infasif dan
nonifasif terjadi melalui salah satu mekasnisme yang berhubungan dengan pengaturan
transport ion dalam sel-sel usus berikut ini: cAMP (Cyclic Adenosin
Monophosphate), cGMP (Cyclic Guanosin Monophosphate), Ca-dependet dan
pengaturan ulang sitokeleton.
Terjadinya diare karena bakteri non infasif (misal V. cholerae) adalah sebagai
berikut: Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan atau minuman
yang tercemar oleh bakteri tersebut. Bakteri tertelan dan masuk ke lambung, di dalam
lambung bakteri akan dibunuh oleh asam lambung, namun bila jumlah bakteri cukup
banyak maka ada yang lolos sampai ke dalam usus 12 jari (duodenum). Di dalam
duodenum bakteri akan berkembang biak sehingga jumlahnya mencapai 100 juta
koloni atau lebih per ml cairan usus halus. Dengan memproduksi enzim mucinase
bakteri berhasil mencairkan lapisan lendir yang menutupi permukaan sel epitel


usus sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membran (dinding sel epitel).
Di dalam membran bakteri mengeluarkan toksin yang disebut subunit A dan
subunit B. Subunit B akan melekat di dalam membran dari subunit A dan akan
bersentuhan dengan membran sel serta mengeluarkan cAMP (Cyclic Adenosin
Monophosphate). cAMP berkhasiat merangsang sekresi cairan usus di bagian
kripta vili dan menghambat absopsi cairan di bagian apical vili, tanpa
menimbulkan kerusakan set epitel tersebut sebagai akibat adanya rangsangan
sekresi cairan dan hambatan absorpsi cairan tersebut, volume cairan di dalam
lumen usus akan bertambah banyak. Cairan ini akan menyebabkan dinding usus
menggelembung dan tegang dan sebagai reaksi dinding usus akan mengadakan
kontraksi sehingga terjadi hipermotilitas atau hiperperistaltik untuk mengalirkan
cairan ke bawah atau ke usus besar. Dalam keadaan normal usus besar akan
meningkatkan kemampuannya untuk menyerap cairan yang bertambah banyak,
tetapi tentu saja ada batasnya. Bila jumlah cairan meningkat sampai dengan 4500
ml (4,5 liter), masih belum terjadi diare, tetapi bila jumlah tersebut melampaui
kapasitasnya untuk menyerap, maka akan terjadilah diare. Jadi diare ini
sebenarnya merupakan proses fisiologis tubuh untuk mengeluarkan cairan yang
berlebih di dalam lumen usus, sama seperti halnya dengan terjadinya proses batuk,
flatus, bersin, dan sebagainya.
Toksin V cholerae dapat bertahan di dalam tubuh sehingga 36 - 72 jam dan
masih tetap akan menyebabkan diare walaupun kumannya telah mati. Diare karena
kolera ini dapat berlangsung sangat cepat sehingga kehilangan cairan dapat


mencapai 5-10 liter sehari dan menyebabkan kematian yang cukup banyak. Kolera
biasanya terjadi dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) atau wabah, misalnya
karena banjir, adanya pengungsian besar-besaran karena bencana alam atau perang
dan sebagainya.

Patogenesis terjadinya diare oleh Salmonella, Shigella, E coli agak berbeda
dengan patogenesis diare oleh V. cholera, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya
bakteri Salmonella dan Shigella dapat mengadakan invasi (menembus) sel mukosa
usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi sistemik (demam, kram perut dan
sebagainya) toksin Shigellae spp juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak
dan juga menyebabkan kejang. Diare oleh Salmonella dan Shigella sering juga
menyebabkan adanya darah dalam tinja, suatu keadaan yang disebut disentri.
Pada Entamoeba yang bersifat enterotoksigenik selain mengeluarkan toksin
yang bersifat labil pada suhu panas, juga mengeluarkan toksin yang stabil pada
suhu panas. Toksin itu merupakan suatu peptida kecil yang dapat menstimulasi
guanyllat cyclase yang mengakibatkan peningkatan konsentrsi cGMP intra seluler,
dan sebagaimana halnya cAMP, keadaan itu menyebabkan sekresi klorida dan
diare. Fasano A, 1998 menyebutkan pula bahwa kalsium intra seluler merupakan
regulator utama dari transpot elektrolit pada mamalia, dan berperanan secara
langsung maupun tidak langsung poda regulasi tranport dari elektrolit aktif, baik
di dalam usus halus maupun usus besar. Dalam sejumlah besar studi mengenai
entrosit, suatu keadaan yang menyebabkan peningkatan kosentrasi kalsium dapat
mengakibatkan satu atau semua hal yang berhubungan dengan transpor ion yaitu


menghambat absorbsi Na dan Ca, menstimulasi sekresian ion atau memodulasi
konduksi Kapika atau basolateral membran. Dari hal-hal yang telah disebutkan itu
hasilnya adalah akumulasi cairan di dalam lumen, meskipun keadaan tersebut
efeknya lebih sedikit jika dibandingkan dengan cAMP.
Teori lain menegenai proses infasi, spreading, dan modulasi dari
permebilitas usus halus dari bakteri adalah konsep mengenai perubahan susunan
sitoskeleton dari enterosit. Perubahan susunan itu berhubungan dengan modifikasi
fungsional epitel usus halus, yaitu mempermudah "komunikasi" antara kuman-
kuman yang patogen pada usus dengan enterosit.
Lokasi dan faktor yang mempengaruhi timbulnya diare selalu saling terkait.
diare sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu: diare infeksi,
yaitu suatu diare yang disebabkan infeksi kuman-kuman seperti bakteri, virus dan
parasit, sedangkan diare non inteksi yaitu penyakit diare yang disebabkan bukan
oleh infeksi kuman apapun, tetapi disebabkan oleh karena kurang gizi, alergi
maupun intoleran makanan tertentu (misalnya: susu atau produk susu) makanan
asing terhadap individu tertentu yang pedas atau tak sesuai kondisi usus, dapat
pula disebabkan penyakit imunodefisiensi (gangguan dalam pembuatan zat anti,
keracunan makanan oleh bahan-bahan kimiawi dan faktor psikologis).
Keseimbangan mikroflora atau mikrobiota dalam saluran gastrointestinal
dapat dikatakan merupakan kunci utama untuk nutrisi dan kesehatan manusia.
Melalui proses fermentasi, mikroflora usus memetabolisir berbagai macam
substrat terutama komponen dari diet, dengan hasil akhir asam lemak rantai


pendek dan gas. Metabolisme anaerob ini akan membantu memberikan tambahan
energi terhadap pejamu. Dalam keadaan tertentu gangguan keseimbangan dapat
menyebabkan proses fermentasi menghasilkan metabolit yang tidak diinginkan
dan hal ini bisa menyebabkan gangguan gastrointestinal baik akut maupun kronis,
terutama diare.
Beberapa macam obat, terutama antibiotika, dapat juga menjadi penyebab
diare. Antibiotika agaknya membunuh flora normal usus sehingga organisme yang
tidak biasa atau yang kebal terhadap antibiotika akan berkembang bebas.
Di samping itu, sifat famakokinetika dari antibiotika itu sendiri juga memegang
peran penting. Sebagai contoh ampisilin dan klindamisin adalah antibiotik yang
dikeluarkan di dalam empedu yang merubah flora tinja secara intesig walaupun
diberikan secara parental. Antibiotik dapat pula menyebabkan malabsorbsi,
misalnya Tetrasiklin, Kanamisin, Basitrasin, Polimiksin, dan

Neomisin.
Beberapa keadaan akut bedah, misalnya invaginasi dapat menyebabkan
diare. Diare juga dapat berhubungan dengan penyakit lain, misalnya malaria,
schistosomiasis, campak, atau pada infeksi sistemik lain, misalnya peneumonia,
radang tenggorok dan otitis media serta mungkin akibat intoleransi ataupun alergi
terhadap makanan tertentu.
Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu
diare somotik dan diare sekretorik, serta diare karena gangguan motilitas usus.
Diare osmotik terjadi karena adanya bahan yang tidak dapat diabsorpsi pada
lumen usus sehingga keadaan lumen usus yang hiperosmoler ini akan


menyebabkan air dari intraseluler diikuti hiperperistaltik usus, sebagai contoh
adalah akibat defisiensi laktase atau malabsorbsi glukosa galaktosa. Pada diare
sekretonik terjadi sekresi, cairan dan elektrolit oleh mukosa akibat stimulan
primer oleh enterotoksin atau oleh neoplasma yang mengeluarkan hormon tertentu
yang mempengaruhi sekresi, sedangkan transport absorpsi dan sekretonik diatur
oleh pembawa pesan intraselular termasuk ion kalsium bebas, adenosin,
monofosfat siklik (c-AMP) dan guanosin monofosfat siklik (c-GMP), serta
sitokleton. Cara kerja enterotoksin dan toksin lain dari bakteri terutama melalui
pembawa pesan intraselular ini. Sedangkan pada diare akibat gangguan motilitas
usus terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik, misalnya diaberik
neuropati, post vagotomi, post reseksi usus serta tiroksikosis.
Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta
gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan
hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang
terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah. Hipoglikemia
akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita mulnutrisi
(Soegijanto, 2002).
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar,
tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan
keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi yang
dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio,


bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan
aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan
adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides,
Blastsistis huminis, protozoa, Entamuba histolitica, Giardia labila, Belantudium co/i
dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat disebabkan:
a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan yang dikandung dan
diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5) Imundefisiensi dan
(6) sebab-sebab lain (Widaya, 2004).

2.3. Patogenesis
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni
gangguan osmotik dan gangguan sekretorik (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI,
1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 1999).
2.3.1. Gangguan Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan
ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap.
Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan
yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila
substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik akan pindah


dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama
dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.
2.3.2. Gangguan Sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan
vili gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung
terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke
dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
1. Diare mengakibatkan terjadinya:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia.
b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi
jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat,
kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
c. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare
dan muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan
karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan
tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering
terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi
dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat


terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono,
2008).
2. Faktor penyebab diare:
a. Pengurangan atau penghambatan ion-ion.
b. Perangsangan dan sekresi aktif ion-ion pada usus (secretory diarrhea).
3. Terdapatnya zat yang sukar diabsorpsi atau cairan dengan tekanan osmotic yang
tinggi pada usus, yaitu:
a. Larutan yang sulit diserap/laksatif.
b. Penyimpangan pencernaan makanan.
c. Kegagalan pengangkutan makanan non-elektrolit yang mempunyai tekanan
osmotik yang tinggi.
4. Perubahan pergerakan dinding usus
a. Penurunan pergerakan peristaltik yang menyebabkan bertambahnya
perkembangbiakan bakteri dalam rongga usus.
b. Meningkatnya pergerakan usus yang menyebabkan kurangnya waktu kontak
antara makanan dengan permukaan usus halus, sehingga makanan cepat
masuk ke dalam lumen kolon.
c. Pengosongan kolon secara premature yang disebabkan isi kolon atau proses
peradangan kolon (sindrom irritable colon) yang mempersingkat waktu
kontak, sehingga volume dan feses akan bertambah cair (Inayah, 2004).
Menurut Hasan dkk (1985), mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya
diare adalah: 1) Gangguan osmotik. Gangguan terjadi akibat makanan atau zat


makanan tidak dapat diserap oleh organ pencernaan. Hal ini di sebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meningkat, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
di rongga usus. Akibat isi rongga usus berlebihan, merangsang usus
mengeluarkannya sehingga terjadi diare; 2) Gangguan sekresi. Diare terjadi karena
ada rangsangan zat tertentu misalnya oleh toksin. Hal ini menyebabkan dinding usus
meningkatkan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare
timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus; 3) Gangguan motilitas usus.
Hiperperitaltik usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya jika peristaltik usus
menurunkan meningkatkan bakteri tumbuh berlebihan, dan akan memicu terjadinya
diare.
2.4. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.
Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan
hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit
melampaui 15% (Soegijanto, 2002).
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4 kali atau
lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak
nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat
mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba
menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau


kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala-
gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala.
Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah
atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula
pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja
mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah
diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai
nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan
tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang
melebihi pemasukannya (Suharyono, 1986). Kehilangan cairan akibat diare
menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat. Untuk dipakai
di lapangan oleh tenaga paramedis, dibuat suatu sistem untuk menilai derajat
dehidrasi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sistem Skor Dehidrasi
Nilai Untuk Gejala yang Ditemukan Bagian Tubuh yang
Harus Diperiksa 0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, lekas marah, apatis,
ngantuk (lunglai)
Mengigau, koma atau
renjatan
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering dan membisu
Denyut nadi Normal 120 140 >140
Catatan : Jml nilai 0 2 = dehidrasi ringan
3 6 = dehidrasi sedang
7 2 = dehidrasi berat
Skor pasien = ....................
Kesimpulan :
Dehidrasi ringan/sedang/berat
Sumber: King, 1974 cit Suharyono, 1986.


2.5. Epidemiologi Penyakit Diare
Menurut WHO pada tahun 2000 memperkirakan, tidak kurang dari 1 milyar
episode diare terjadi tiap tahun di seluruh dunia, 25-35 juta di antaranya terjadi
di Indonesia (Zein, 2001). Di negara berkembang, anak mengalami episode diare
lebih dari 12 kali setiap tahun, diperkirakan 4-6 juta penderita diare meninggal setiap
tahunnya.
Di Indonesia, dari beberapa penelitian di laporkan bahwa angka kesakitan
diare bervariasi dari tahun ke tahun. Dari survei Kesehatan Rumah Tangga (SKTR)
tahun 1980 dilaporkan angka proporsi kejadian diare 28,09%, SKTR tahun 1986
menurun menjadi 20,05%. Analisis lanjut dari survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 1991 menyatakan bahwa satu dari sepuluh balita menderita
diare dalam dua Minggu terakhir. Diare juga merupakan salah satu penyebab utama
kematian anak balita. SKRT tahun 1986 di laporkan 19,6% kematian, proporsi ini
meningkat pada SKRT 1992 menjadi 23%. Sementara itu hasil survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1991 menunjukkan bahwa anak yang termasuk
kelompok umur 12-23 bulan, merupakan golongan yang paling banyak menderita
diare dibanding dengan kelompok umur lain dari anak balita (Atmojo, 1998).
Pada tahun 1992 diare tidak lagi menempati urutan pertama dari penyebab
kematian di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan karena perbaikan kesehatan
lingkungan serta perorangan dan mungkin pula karena meningkatnya penggunaan
oralit dalam penanganan penyakit diare oleh masyarakat. Bila dibandingkan dengan
25 tahun yang lalu diare di Indonesia pada saat ini boleh dikatakan tidak merupakan


masalah serius lagi. Pada tahun 1974 angka kesakitan diare 70-80%. Pada tahun 1986
angka kesakitan diare menurun dari penyebab kesakitan nomor satu menjadi nomor 9
dengan angka 5,3%. Tahun 1992 sebesar 31% dari angka kesakitan terjadi pada anak
balita (Soegijanto, 2002).
Berdasarkan SKRT (1986), menunjukkan angka kesakitan diare untuk seluruh
golongan umur 120-360 per 1000 penduduk dan untuk balita 1-2 kali episode diare
setiap tahunnya atau 60% dari semua kesakitan diare. Angka kematiannya dapat
mencapai 5 per 1000 balita atau 135.000 kematian tiap tahun yang berarti tiap 4 menit
1 balita meninggal karena diare (Sudarmo dkk, 2001).
Dari hasil survei P2 diare (2000), diketahui angka kesakitan diare masih
cukup tinggi mencapai 301 per 1000 penduduk pada semua umur, dan episode pada
balita sebesar 1,5 per tahun. Dari SKRT (1995) diketahui angka kematian karena
diare untuk semua adalah 54 per 1000 penduduk dan pada balita 2,5 per 1000 balita
(Widaya, 2004).
Selama 2001-2003, KLB diare masih sering terjadi, malah di beberapa daerah
di Indonesia terjadi peningkatan kejadian dan penderitanya, tetapi dengan case
fatality rate yang semakin menurun, seperti terjadi di Propinsi NAD, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI
Jakarta, Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, NTB,
NTT, dan Papua. KLB sering terjadi di daerah yang mengalami kekeringan, kemarau
panjang, sanitasi buruk dan rendahnya kebersihan perorangan (Depkes RI, 2004).



2.6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pencegahan dan Pengobatan Diare
2.6.1. Karakteristik Ibu
2.6.1.1.Umur
Menurut Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat
pula kedewasaan tehnisnya, demikian pula psikologis serta menunjukkan kematangan
jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, dan
bertoleransi terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan motivasinya.
2.6.1.2.Pendidikan
Pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan
sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana ia hidup,
proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau
mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimum (Ihsan, 1997).
Tingginya angka kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia disebabkan
oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan,
pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat yang secara langsung
ataupun tidak langsung mempengaruhi keadaan penyakit diare (Depkes RI., 1995).
Hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok ibu dengan tingkat pendidikan
SLTP ke atas, mempunyai kemungkinan 1,6 kali lebih baik dalam memberikan cairan


rehidrasi pada balita, bila dibandingkan dengan kelompok ibu yang tingkat
pendidikannya SD kebawah. (Erial, 1994). Penelitian Wibowo, dkk (2002)
menunjukkan bahwa 23,8% kejadian diare pada anak balita yang ibunya memiliki
tingkat pengetahuan tentang diare dengan katagori kurang. Berdasarkan tingkat
pendidikan ibu, balita yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah (SLTA kebawah)
lebih berisiko menderita diare dari pada balita dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
2.6.1.3.Pengetahuan
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor
yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh.
Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi
(Notoatmodjo, 2005). Sebelum seseorang mengadobsi perilaku baru, harus tahu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya
(Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel berikut:









Tabel 2.2. Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif
Domain Definisi
Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Memahami Kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan secara benar.
Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi riil.
Analisis Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
tersebut.
Sintesis Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Evaluasi Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau obyek.
(Notoatmodjo, 2003)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo,
2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan
kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan
tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan
sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994).
2.6.1.4.Pekerjaan
Menurut Khomsan (2004), permasalahan penyakit diawali masalah kesehatan
berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang belum membaik.
Permasalahan kesehatan dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi serta
perlakuan yang adil pada perempuan bisa menjadi salah satu kunci pemecahan
masalah kesehatan. Status sosial perempuan akan meningkat apabila mereka


mempunyai posisi ekonomi yang baik. Hal ini juga disertai dengan mendapatkan
pendidikan, kesehatan, dan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Pekerjaan ibu dapat dikatagorikan sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta
memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi bila dibandingkan dengan ibu yang bekerja
sebagai buruh atau petani. Kondisi ini mempengaruhi ibu dalam dalam mengasuh
anaknya, ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain,
sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terjadi diare (Giyantini, 2000).
2.6.2. Karakteristik Anak
2.6.2.1.Umur
Umur mempengaruhi seseorang untuk menderita suatu penyakit. Ada penyakit
yang banyak menyerang kelompok umur anak saja seperti Morbilli, Polio, Pertusis,
Diphtherie, Cacar air dan juga diare, hal ini terjadi karena anak belum mempunyai
kekebalan terhadapnya (Soemirat, 2005). Faktor umur sangat berpengaruh dalam
proses terjadinya suatu penyakit infeksi atau penyakit menular. Menurut Crofton et
al. (1992), kekuatan untuk melawan infeksi merupakan pertahanan tubuh untuk
mengatasi perkembangan infeksi, tergantung tingkat umur penderita saat terkena
infeksi. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat
perlahan-lahan sampai umur 10 tahun. Setelah puberitas, pertahanan tubuh lebih baik
dalam mencegah penyebaran infeksi.
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DepKes RI tahun 2000,
bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa
setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah


bayi dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Widjaja, 2002). Angka
kesakitan dan kematian pada anak usia 1-4 tahun dikarenakan diare sebagai akibat
pengaruh gizi buruk, anak di bawah 1 tahun rata-rata mendapat diare 1 kali dalam
setahun, sedangkan usia 1-5 tahun mendapat lebih dari 2 kali setahun terserang diare.
Sebagian besar diare terjadi pada anak di bawah umur usia 2 (dua) tahun.
Hasil analisis lanjut SDKI (1995) didapatkan bahwa umur balita 12 sampai dengan 24
bulan mempunyai risiko terjadi diare 2,23 kali dibandingkan anak umur 25 sampai
dengan 59 bulan.
2.6.2.2.Jenis kelamin
Insiden berbagai penyakit di antara jenis kelamin kebanyakan berbeda.
Perbedaan ini terutama disebabkan karena paparan terhadap agent bagi setiap jenis
kelamin berbeda, misalnya anak laki-laki lebih suka aktivitas fisik dari pada anak
perempuan, maka penyakit yang diderita akan berbeda akibat perilaku dan fungsi
sosial berbeda (Soemirat, 2005). Jenis kelamin adalah perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dan mempunyai perbedaan dalam menentukan status kesehatan (Depkes.
RI, 1994).
2.6.2.3.Status gizi
Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan
yang dikonsumsi. Penentuan status gizi anak atau seseorang didasarkan pada kategori
dan indikator yang digunakan. Di bawah ini adalah kategori dan indikator yang
digunakan dan batas-batasnya, yang merupakan hasil kesepakatan nasional pakar gizi


di Bogor bulan Januari 2000 dan di Semarang bulan Mei 2000, yang tercantum dalam
surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat No: KM.02.03.1,4,1298, tanggal 31
Juli 2000 tentang Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita, Pemantauan Status Gizi (PSG)
dan Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG). Standar antropometri untuk pengukuran
status gizi dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Baku Antropometri Menurut Standar WHO NCHS
Indikator Status Gizi Keterangan
Berat badan menurut
umur (BB/U)

Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang
Gizi Buruk
> 2 SD
-2 SD - 2 SD
< 2 SD - 3 SD
< - 3 SD
Tinggi badan
menurut umur
(TB/U)
Normal
Pendek
2 SD sampai + 2 SD
< - 2 SD
Berat badan menurut
tinggi badan
(BB/TB)
Gemuk
Normal
Kurus
Kurus sekali
> 2 SD
-2 Sd sampai+ 2 SD
< -2 SD sampai -3 SD
< -3 SD

Penilaian status gizi berguna untuk memperoleh gambaran tentang:
Status gizi anak untuk memutuskan apakah anak perlu diberikan intervensi atau tidak.
Status gizi masyarakat yang sering digambarkan dengan besaran masalah gizi
pada kelompok anak balita. Besaran masalah gizi ini biasanya disajikan dalam nilai
Prevalensi Kurang Gizi (Depkes RI, 2000).





2.6.3. Upaya Pengobatan
2.6.3.1.Rumah sakit
Fungsi rumah sakit selain yang diatas juga merupakan pusat pelayanan
rujukan medik spesialistik dan sub spesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan
Pemulihan (rehabilitasi pasien) (Depkes R.I, 1989).
Rumah sakit merupakan salah satu sistem penyelenggara pelayanan
kesehatan. Menurut Wolpen dan Pena (Azwar, 1997), rumah sakit adalah tempat
orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tindakan, penelitian
klinis untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan
lainnya diselenggarakan. Dari batasan tersebut di atas, fungsi dan kegiatan rumah
sakit saat ini mengalami berbagai perkembangan. Jika dahulu fungsi rumah sakit
hanya untuk menyembuhkan orang sakit (nasocomium/hospital), maka pada saat ini
telah berkembang menjadi tempat pendidikan.
2.6.3.2.Puskesmas
Depkes RI (1991) mendefinisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan
organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan
pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya
dalam bentuk kegiatan pokok.
Salah satu kegiatan pokok puskesmas dalam upaya pencegahan penyakit
menular, termasuk diare adalah: mengumpulkan dan menganalisa data tentang


penyakit diare, melaporkan kasus penyakit diare, menyelidiki di lapangan untuk
melihat benar atau tidaknya laporan yang masuk untuk menemukan kasus-kasus baru,
dan untuk mengetahui sumber-sumber penularan, tindakan sesegera mungkin untuk
mencegah perkembangan penyakit secara luas, mengobati penderita sehingga tidak
lagi menjadi sumber penularan penyakit, pemberian imunisasi, pemberantasan vektor,
serta memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Effendy, 1998).
Upaya pengobatan diare yang dilakukan puskesmas yaitu: Melaksanakan
diagnosa penyakit diare sedini mungkin meliputi: mengkaji riwayat penyakit,
mengadakan pemeriksaan fisik, mengadakan pemeriksaan laboratorium, menegakkan
diagnosa diare. Setelah penentuan diagnosa, maka dilakukan tindakan pengobatan
segara terhadap penderita diare. Melakukan upaya rujukan bila dianggap perlu
(Effendy, 1998).
Penanganan penderita diare dengan dehidrasi ringan atau sedang dilakukan
dengan pemberian oralit selama periode 3 (tiga) jam. Ketentuan pemberian oralit
berdasarkan usia dan berat badan.
Tabel 2.4. Cara Pemberian Oralita
Usia Barat Badan Jumlah (ml)
0 Sampai 4 bulan < 6 kg 200 400
4 sampai 12 bulan 6 s/d 10 kg 400 700
12 sampai 24 bulan 10 s/d 12 kg 700 900
2 sampai 5 tahun 12 s/d 19 kg 900 1400


Kemudian ajarkan kepada ibu cara pemberian oralit yaitu:
a. Minum sedikit-sedikit, tetapi sering.
b. Jika anak muntah, tunggu 10 menit kemudian lanjutkan lagi pemberian oralit.
c. Lanjutkan pemberian ASI selama anak mau (Sudiharto, 2007).
2.6.3.3.Dokter praktek
Dokter praktek umum adalah kontraktor independen, yang memberikan
serangkaian pelayanan medik yang menyeluruh selama 24 jam sehari dan 7 hari
dalam seminggu kepada pasien pasien praktik mereka dan pasien di luar itu yang
mengalami kedaruratan. Dokter umum ini menetapkan target tertentu untuk
Imunisasi, sitologi dan screening untuk usia lanjut dan juga menetapkan anggaran
praktik.
2.6.3.4.Biaya
Perilaku seorang ibu dalam menangani anak balita yang sakit banyak
dipengaruhi oleh sosial diantaranya adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat
jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif. Alasan
lain adalah takut kepada dokter, takut pergi ke rumah sakit, dan takut akan biaya yang
besar. Katagori penggunaan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga. Ini berarti bahwa sumber pendapatan keluarga menentukan kesanggupan
untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi anggota keluarganya (Notoatmodjo,
2003).
Pendapatan rumah tangga merupakan sumber terbesar bagi pembiayaan atau
pembayaran yang dilakukan keluarga kepada penyedia pelayanan kesehatan.


Pembayaran ini adalah setiap pembayaran yang dilakukan konsumen kepada pemberi
pelayanan kesehatan seperti pembayaran atas jasa yang dikonsumsi atau harga yang
harus dibayar untuk penggunaan barang dan peralatan fasilitas kesehatan pemerintah
mungkin saja menarik biaya kepada pengguna atas penggunaan pelayanan tertentu.
Tingkat pengeluaran rumah tangga yang ada saat ini sebagian besar akibat
dari pola pelayanan kesehatan yang ada, serta keterbatasan untuk dapat menggunakan
pelayanan kesehatan pemerintah yang gratis/murah biayanya. Masyarakat
berpendapatan rendah cenderung menunda penggunaan pelayanan kesehatan sampai
penyakitnya parah benar, sebagian dengan asumsi bahwa mereka menghindarkan
pembayaran yang tidak terjangkau (Tjiptoherijanto, 1994).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sigit diketahui bahwa tidak semua balita
dibawa berobat ke pelayanan kesehatan dan tingkat ekonomi berpengaruh dengan
pencarian pengobatan, di mana keluarga dengan tingkat ekonomi kurang berpeluang
1,42 kali, keluarga dengan tingkat ekonomi sedang berpeluang 1,65 kali, keluarga
dengan tingkat ekonomi cukup berpeluang 1,56 kali dan keluarga dengan tingkat
ekonomi tinggi berpeluang 2,09 kali untuk menggunakan pelayanan kesehatan bagi
balita (Purwatmoko, 2001).
Faktor yang mempengaruhi pencarian pengobatan pada oleh ibu balita adalah
pengaruh orang lain dan kepercayaan pengobatan. Pengaruh variabel orang lain
berpeluang mengobati anaknya ke tenaga kesehatan 6,54 kali dibandingkan dengan
ibu yang memilih upaya pencarian pengobatan dengan inisiatif sendiri (Hendarawan,
2003).


Sosial ekonomi keluarga mencerminkan singkat kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, sosial ekonomi keluarga sama dengan tingkat pendapatan yang
diterima keluarga, sosial ekonomi menggambarkan tingkat kesejahteraan anggota
keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan, begitu juga terhadap pengelolaan jamban
keluarga, membutuhkan dana dan kemampuan untuk dapat membuat jamban yang
memenuhi syarat sehat (Rahmat, 1994).
2.6.3.5.Cara pemberian obat
Diare yang diinduksi oleh virus dan bakteri biasanya hanya membutuhkan diet
cair bersih serta peningkatan asupan cairan. Terapi anti mikroba dapat diindikasikan
bila ada darah dalam tinja. Zat-zat anti diare yang menurunkan mobilitas usus
dikontra indikasikan pada penyakit infeksi parasit dan beberapa infeksi bakteri,
karena menghambat pengeluaran organisme. Diare yang diinduksi oleh obat atau
toksin paling baik diterapi dengan menghentikan zat penyebab bila memungkinkan
(Olson, 2004).
Ada tiga patokan bagi seorang ibu untuk mengobati sendiri diare yaitu:
menambah cairan, makanan bagi si anak terus diberikan, jika tidak membaik maka
anak harus segera dibawa ke petugas kesehatan (Andrianto, 1995).
Menurut penelitian LA Maiman, faktor pendapatan dan pendidikan ibu
mempengaruhi perlakuan ibu terhadap pemberian obat bagi anaknya. Selain itu
persepsi ibu tentang kerentanan anaknya terhadap penyakit tertentu dan status sosial
ekonomi juga mempengaruhi pola pemberian obat pada anaknya (Maiman, 2003).


Pemberian obat yang dilakukan oleh keluarga untuk penyembuhan penyakit,
cara pemberiannya dilakukan dengan petunjuk tenaga medis dan kebiasaan
masyarakat dalam pemberian obat jika yang dimakan obat tradisional, sedangkan
pemberian makanan pada anak balita bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang
diperlukan tubuh dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal
tubuh. Di samping itu zat gizi yang berperan dalam memelihara dan memulihkan
kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Pengasuhan merupakan serangkaian kegiatan yang intensif dilakukan oleh
orang tua dalam mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Pengasuh harus
memiliki ketrampilan dalam memberikan rangsangan dan respon kepada anak apabila
mengalami kesulitan dalam hidupnya. Pengasuh harus merespon rangsangan yang
bersumber dari anak baik dalam makanan, kebersihan dan dalam permainan anak
(Sunarti, 2004).

2.7. Pencegahan Penyakit Diare
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry
Noor, 1997).



2.7.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab,
lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar
mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi
lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi
lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat
dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi.
1. Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,
dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari
peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam
penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Sanropie, 1984).
Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan
yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa
disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari
atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat, 1994).
Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya
penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang insekta
penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang tidak


dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes sementara
penyakit (Soemirat, 1994).
Dengan memahami daur/siklus air di alam semesta ini, maka sumber air dapat
diklasifikasikan menjadi; a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti
air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga.
Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat
dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa
perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air
hujan, dan sumur artesis (Sanropie, 1984).
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber
yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang
ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus ditampung
dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan
gayung yang bersih, dan untuk minum air harus di masak. Masyarakat yang
terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil
bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air besih (Andrianto,
1995).
2. Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden
penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto,
1983).


Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus
membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara
teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh
dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang 10 meter dari sumber
air bersih (Andrianto, 1995).
Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat
kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah,
tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak
menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996).
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto (1996),
bahwa anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang
dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2%
di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1%
diare terjadi di kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga
yang mempergunakan sungai sebagi tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota
dan 12,7% di desa.




3. Status gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan
penggunaan makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat
kekurangan gizi. Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah;
1) konsumsi makanan; 2) pemeriksaan laboratorium, 3) pengukuran antropometri dan
4) pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau
kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif.
Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang
dialami. Mortalitas bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi
(KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar
timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga
kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme
berkurang (Suharyono, 1986).
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sama umur 4-6
bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan
tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.
Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI
mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat


lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare,
pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung
empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada 6 bulan pertama kehidupannya,
risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak
diberi ASI (Depkes, 2000).
Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih
rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan
ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan
pertama kehidupan (Suryono, 1988).
5. Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan
penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur fekal-oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan
perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikrooranisme
patogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang
peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman
tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia.
Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan
penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja


serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut.
Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya
mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar,
setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum
menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung
dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat
keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003).
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan
oleh Bozkurt et al (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan
mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena
diare. Heller (1998) juga mendapatkan adanya hubungan antara kebiasaan cuci tangan
ibu dengan kejadian diare pada anak di Betim-Brazil.
Anak kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak,
terutama yang sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi
penularan diare bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun tinjanya
juga dapat menjadi carier asimptomatik yang sering kurang mendapat perhatian. Oleh
karena itu cara membuang tinja anak penting sebagai upaya mencegah terjadinya
diare (Sunoto dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aulia dkk., (1994)
di Sumatera Selatan, kebiasaan ibu membuang tinja anak di tempat terbuka
merupakan faktor risiko yang besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan
kebiasaan ibu membuang tinja anak di jamban.



6. Imunisasi
Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian
imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap
penyakit campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan (Andrianto, 1995).
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita
diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping
dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan
pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan
oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan
yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi
tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau
parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang
membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan
mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan
menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit.
Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai
petunjuk dokter (Fahrial Syam, 2006).
2.7.3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare


diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat
ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari
penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi
makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan
terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut
memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain
diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan
sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.



2.8. Kerangka Teoritis
Dasar teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep UNICEF (1992),
Dampak


Penyebab
Langsung


Penyebab tidak
langsung




Pendidikan keluarga

Pokok masalah
di masyarakat





Struktur Ekonomi

Sebab dasar
(Nasional)


Sumber: UNICEF, 1992 dalam Jonsson, 1992.

Gambar 2.1. Model Interelasi Tumbuh Kembang Anak




Kecukupan Keadaan
makanan kesehatan
Asuhan
Bagi ibu dan
anak
Memadai
Sanitasi, air
bersih dan
yankes
Ketahanan
makanan
keluarga
Keberadaan dan kontrol sumber daya keluarga :
Manusia, Ekonomi dan Organisasi
Potensi Sumber Daya
Tumbuh Kembang Anak


2.9. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel bebas Variabel terikat
















Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Penyakit Diare
Karakteristik Ibu
- Umur
- Pendidikan
- Pengetahuan
- Pekerjaan
Karakteristik Anak
- Umur
- Jenis Kelamin
- Status Gizi

Upaya Pengobatan
- Rumah Sakit
- Puskesmas
- Dokter Praktek
- Biaya
- Cara Pemberian Obat

Pencegahan Diare
- Sarana air bersih
- Tempat pembuangan tinja
- Pemberian air susu ibu
(ASI)
- Kebiasaan mencuci tangan
- Imunisasi



BAB III
METODE PENELITIAN


3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasi analitik dengan desain cross-
sectional.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie
Jaya, dengan alasan berdasarkan data yang peneliti peroleh dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Pidie tahun 2008 insiden kejadian diare di wilayah tersebut merupakan
yang tertinggi di Kabupaten Pidie Jaya pada bulan Juli 2008.
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu yang diperlukan dalam penelitian selama 3 (tiga) bulan, mulai bulan
September 2008 sampai dengan Nopember 2008. Waktu yang digunakan adalah
untuk menelusuri data, uji coba instrumen, pengambilan data, pengolahan dan analisa
data serta penyusunan hasil penelitian.





3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu balita dalam wilayah Puskesmas
Bandar Baru sebanyak 834 dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
a. Bertempat tinggal di dalam wilayah Puskesmas Bandar Baru.
b. Ibu yang punya balita.
c. Bersedia ikut dalam penelitian ini.
d. Balita yang punya KMS.
3.3.2. Sampel
Pemilihan sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara simple random
sampling, dengan alasan masing-masing dari populasi dapat terpilih menjadi sampel.
Pemilihan dilakukan sedemikian rupa sehingga semua anggota dari populasi
memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih. Metode simple random sampling
dengan cara membuat daftar keluarga yang terdiri dari ibu yang mempunyai anak
balita, dengan memakai rumus (Notoadmojo, 1996):


sampel : n = N
1 + N ( d
2
)

834
n = 1 +834 ( 0, 05 )

834 834
n = 1+834 ( 0. 05 ) = 3, 085

n = 270, 34 i bu

Jadi j uml ah sampel sebanyak 271 i bu bal i t a.


3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
Jenis data ada 2 yaitu:
1) Data Primer: terdiri hasil wawancara dan menguraikan kuesioner serta observasi
tentang:
a). Karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan).
b). Karakteristik anak (umur, jenis kelamin, status gizi).
c). Upaya pengobatan (biaya, cara pemberian obat).
d). Pencegahan diare (sarana air bersih, tempat pembuangan tinja, kebiasaan cuci
tangan, imunisasi).
Untuk mengetahui kelayakan pertanyaan pada kuesioner maka terlebih dahulu
dilakukan uji coba kuesioner kepada responden yang menyerupai lokasi penelitian,
di mana tujuannya untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas.
Setelah dilakukan uji coba kuesioner diketahui bahwa item-item pertanyaan
pada variabel pengetahuan, pengobatan, sarana air bersih, tempat pembuangan tinja,
pemberian ASI didapatkan, nilai Corrected Item-Total Correlation untuk tiap-tiap
butir item variabel > dari nilai r tabel sebesar 0,361 (df = 30-2 ; 0,05), maka variabel
dinyatakan valid (Lampiran 3).
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat reliabel terhadap kuesioner, dilakukan
uji reliabilitas yang hasilnya didapatkan, nilai cronbach alpha dari masing-masing
variabel > dari nilai r tabel 0,361 (df = 30-2 ; 0,05), dengan demikian setiap butir
pertanyaan dari masing-masing kuesioner adalah reliabel.


2) Data Sekunder
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya dan data
yang diperoleh dari Puskesmas Bandar Baru.
3.4.2. Cara Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data setiap variabel penelitian adalah sebagai berikut:
a. Data karakteristik ibu yang meliputi: nama, umur, pekerjaan ibu
dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner.
b. Data karakteristik anak meliputi: nama, jenis kelamin, dikumpulkan melalui
wawancara dengan ibu balita atau keluarga apabila ibu sedang bekerja dengan
menggunakan kuesioner, sedangkan status gizi dikumpulkan dengan
mempedomani KMS, merupakan penimbangan anak balita setiap bulan
di Posyandu, dengan ketentuan status gizi mengikuti grafik yang ada pada KMS
dengan ketentuan Gizi lebih BB anak berada diselah atas Garis grafik, Gizi Baik
BB anak berada pada garis Hijau, Gizi Kurang BB Berat badan anak berada pada
garis titik sedangkan Gizi buruk BB Anak berada di bawah garis merah.
c. Data upaya pengobatan tentang tempat pengobatan berupa Rumah Sakit,
Puskesmas dan dokter praktek dikumpulkan melalui wawancara dengan ibu balita
menggunakan kuesioner. Data dikelompokkan dalam dua katagori berdasarkan
rata-rata skor, yaitu baik ( 60% dari 8 pertanyaan) dan kurang baik (< 60% dari
8 pertanyaan) skala ordinal.


d. Data tentang biaya dikumpulkan melalui wawancara dengan ibu balita
menggunakan kuesioner. Data dikelompokkan dalam dua katagori yaitu tersedia
dan tidak tersedia.
e. Data pencegahan diare meliputi sarana air bersih, tempat pembuangan tinja dan
sanitasi lingkungan tempat tinggal dikumpulkan melalui pengamatan langsung
di rumah respoden. Data dikelompok dalam 2 katagori yaitu baik ( 60% dari 10
pertanyaan) dan kurang baik (< 60% dari 10 pertanyaan) skala ordinal.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas, dan variabel terikat, secara rinci
diuraikan di bawah ini:
a. Variabel bebas : Karakteristik Ibu, Karakteristik anak, Upaya Pengobatan
dan pencegahan diare.
b. Variabel terikat : Penyakit diare.









3.5.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No.
Variabel
Definisi
Operasional
Alat Ukur
Cara
Ukur
Hasil Ukur
Skala
Ukur
1. 2 3 4 5 6 7
1.











Karakteristik
ibu
- Umur




- Pendidikan




- Pekerjaan






- Pengetahuan










Karakteristik
Anak
- Umur



Usia ibu pada saat
penelitian



Jenjang tertinggi
yang ditempu oleh
ibu balita


Kegiatan sehari
hari yang dilakukan
oleh ibu balita
untuk dapat
menghasilkan
income perkapita


Pemahaman ibu
balita dalam
pencarian
pengobatan untuk
penyembuhan
diare anak balita
yang sedang
sakit.

Usia anak pada saat
penelitian
- Bayi (0 s/d <1
thn)
- Batita (1 s/d < 3
thn)
- Balita (3 s/d < 5
thn)



Kuesioner




Kuesioner




Kuesioner






Kuesioner










Kuesioner


Wawan-
cara



Wawan-
cara



Wawan-
cara





Wawan-
cara









Wawan
Cara



- Muda (<20 )
- Paruh baya
(20 39 )
- Tua (40- 50 )

- Rendah
( SLTP )
- Tinggi
( SLTA)

- Petani
- Swasta
- Nelayan
- Buruh
- PNS


- Bai k
- Kur ang








- Bayi
- Batita
- Balita


Ordinal




Ordinal




Ordinal






Ordinal










Ordinal








Lanjutan Tabel 3.1.
No. Variabel
Definisi
operasional
Alat ukur
Cara
ukur
Hasil ukur
Skala
ukur
1. 2 3 4 5 6 7
- Jenis kelamin

Jenis kelamin
adalah perbedaan
antara laki-laki dan
perempuan
Kusioner Wawan-
cara

- Laki-laki
- Perempuan
Nomi-
nal

- Status gizi Status gizi adalah
keadaan kesehatan
anak balita umur 6
sampai 59 bulan,
diukur dengan berat
badan menurut
umur (BB/U)
KMS Wawan-
cara
- Lebih
- Baik
- Kurang
- Buruk
Ordinal

Upaya
pengobatan























Tindakan orang tua
balita dengan
menggunakan
segala kemampuan
yang ada dalam
mencari
penyembuhan
anaknya jika sakit
diare, tindakannya
berupa:
- membawa
anaknya ke
Rumah sakit
- membawa
anaknya ke
Puskesmas
- membawa
anaknya ke dokter
praktek
Dikatakan baik bila
ibu membawakan
anaknya berobat ke
pelayanan
kesehatan.
Dikatakan kurang
baik bila ibu
membawakan
anaknya berobat
bukan ke pelayanan
kesehatan.
Kuesioner


























Wawan-
cara























- Baik
- Kurang Baik























Ordinal



Lanjutan Tabel 3.1.
No. Variabel Definisi Operasional
Alat
Ukur
Cara
Ukur
Hasil Ukur
Skala
Ukur
1. 2 3 4 5 6 7
Biaya

Kemampuan keluarga dalam
bidang keuangan untuk
memenuhi kebutuhan jasa
trasportasi dan jasa lainnya
dalam rangka perawatan
anaknya yang diare.
Dikatakan tersedia bila
keluarga menyediakan
uang khusus untuk
persiapan disaat keluarga
sakit.
Dikatakan tidak tersedia
bila keluarga tidak
memiliki persediaan
khusus untuk mengobati
anaknya yang sakit
Kuesioner

Wawan-
cara

- Tersedia
- Tidak
Tersedia


Ordinal
Cara
pemberian
obat
Pemberian obat adalah
usaha keluarga dalam
rangka penyembuhan
anaknya yang menderita
diare sesuai dengan
petunjuk
Dikatakan baik bila
sesuai dengan anjuaran
dokter
Dikatakan kurang baik
bila tidak sesuai
dengan anjuran dokter
Kuesioner

Wawan-
cara

- Baik
- kurang
Ordinal

Pencega-
han diare
- Sarana
air
bersih

Penyediaan air bersih adalah
usaha keluarga dalam
menyediakan sumber air
bersih baik untuk diminum,
memasak, mandi dan
mencuci yang sumber
berasal dari air leding,
sumur pompa listrik/tangan,
sumur terlindung, sumur
tidak terlindung, mata air
terlindung, mata air tidak
terlindungi.
Ceklis

Penga-
matan

- Baik
- Tidak
Baik


Ordinal




Lanjutan Tabel 3.1.
No. Variabel Definisi Operasional Alat
Ukur
Cara
Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
1. 2 3 4 5 6 7
terlindung, air sungai dan
lain-lain
Dikatakan baik bila sarana air
bersihnya terlindungi dari
kemungkinan pencemaran
Dikatakan tidak baik bila
tidak terlindungi dari
kemungkinan pencemaran

- Tempat
pembua
ngan
tinja

Tempat pebuangan tinja
adalah berupa jamban kloset
dengan septik tank, kloset
tanpa septik tank, dan
cemplung.
Dikatakan baik bila tempat
pembuangan tinja tidak
mencemari lingkungan.
Dikatakan tidak baik bila
dapat mencemari lingkungan
Ceklis Penga-
matan

- Baik
- Tidak
Baik

Ordinal

Kebiasaan
cuci
tangan

Perilaku ibu dalam mencuci
tangan setelah melakukan
kegiatan sehari-hari sebelum
memberikan makanan kepada
anaknya.
- Dikatakan baik bila
ibu selalu melakukan
cuci tangan bila telah
melakukan kegiatan
sehari hari sebelum
memberikan makan
pada anaknya.
- Dikatakan tidak baik
bila ibu tidak/jarang
melakukan cuci
tangan setelah
melakukan kegiatan
sehari-hari sebelum
memberikan
makanan pada
anaknya.
Ceklis
Penga-
matan




Wawan-
Cara

- Baik
- Tidak
Baik

Ordinal




Lanjutan Tabel 3.1.
No. Variabel Definisi Operasional Alat
Ukur
Cara
Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Ukur
1. 2 3 4 5 6 7
- Imunisasi

Upaya yang dilakukan oleh
ibu balita untuk melakukan
imunisasi bagi anaknya
agar terlindungi dari
penyakit.
Kuesio-
ner
Wawan-
cara


- Lengkap
- Tidak
lengkap

Ordinal

2. Diare pada
balita
Terjadinya penyakit diare
pada anak usia di bawah
lima tahun.
- Dikatakan diare apa bila
dalam sebulan terakhir
pernah mengalami diare.
- Dikatakan tidak ada diare
bila dalam sebulan
terakhir tidak pernah
mengalami diare.
Kuesioner Wawan-
cara
- Diare
- Tidak
diare

Nomi-
nal

3.6. Metode Pengukuran
Dalam pengumpulan data setiap variabel penelitian adalah sebagai berikut:
a. Data karakteristik ibu yang meliputi: nama, umur, pekerjaan ibu dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner.
b. Data karakteristik anak meliputi: nama, jenis kelamin, dikumpulkan melalui
wawancara dengan ibu balita atau keluarga apabila ibu sedang bekerja dengan
menggunakan kuesioner, sedangkan status gizi dikumpulkan dengan
mempedomani KMS, merupakan penimbangan anak balita setiap bulan
di Posyandu, dengan ketentuan status gizi mengikuti grafik yang ada pada KMS
deangan ketentuan Gizi lebih BB anak berada diselah atas garis grafik, Gizi Baik
BB anak berada pada garis Hijau, Gizi Kurang BB Berat badan anak berada pada
garis titik sedangkan Gizi Buruk BB Anak berada di bawah garis merah.


c. Data Upaya pengobatan tentang tempat pengobatan berupa Rumah Sakit,
Puskesmas dan dokter praktek dikumpulkan melalui wawancara dengan ibu balita
menggunakan kuesioner. Data dikelompokkan dalam dua katagori berdasarkan
rata-rata skor, yaitu baik ( 60% dari 8 pertanyaan) dan kurang baik (< 60% dari
8 pertanyaan) skala ordinal.
d. Data tentang biaya dikumpulkan melalui wawancara dengan ibu balita
menggunakan kuesioner. Data dikelompokkan dalam dua katagori yaitu tersedia
dan tidak tersedia.
e. Data pencegahan diare meliputi sarana air bersih, tempat pembuangan tinja dan
sanitasi lingkungan tempat tinggal dikumpulkan melalui pengamatan langsung
di rumah respoden. Data dikelompok dalam 2 katagori yaitu baik ( 60% dari 10
pertanyaan) dan kurang baik (< 60% dari 10 pertanyaan) skala ordinal.

3.7. Metode Analisa Data
Untuk pengolahan data yang telah terkumpul dilaksanakan editing untuk
mengecek kelengkapan data, coding untuk memudahkan dalam proses entri data dan
tabulasi data untuk memudahkan pengolahan dan analisis data selanjutnya diolah
menggunakan program SPSS.
Analisis data meliputi analisis diskriptif untuk menggambarkan karakteristik
subjek penelitian dan analisis bivariat yaitu untuk menjelaskan hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat dengan memakai uji kai kuadrat progam SPSS.




Tabel 3. 2. Skor
Bobot Skor Rent ang No Vari abel
yang Di t el i t i
No.
Pert a-
nyaan
A/ Se-
t uj u
B/ Tdk
Set uj u
c d
1. Penget ahuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
1
1
0
1
1
0
1
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
( 0 - 9)
Bai k Ni l ai
( 5 - 9)
Kur ang Ni l ai
( 0 - 4)
2 Upaya
pengobat an
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
1
1
1
( 0 - 11)
Bai k Ni l ai
( 5 - 11)
Kur ang Ni l ai
( 0 - 4)
3. Pencegahan
di ar e
1
2
3
4
5
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0






0 - 5)
Bai k Ni l ai
( 3 - 5)
Kur ang Ni l ai
( 0 - 3)
4. ASI 1
2
3
4
1
1
1
0
0
0
0
1
( 0 - 7)
Bai k Ni l ai
( 4 - 7)
Kur ang Ni l ai
( 0 - 3)
5. Tempat
Pembuangan
Ti nj a
Di l aksanakan dengan
pengamat an l angsung
Ter sedi a
Ti dak Ter sedi a



BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian
4.1.1. Keadaan Geografis
Puskesmas Bandar Baru merupakan salah satu puskesmas di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Pidie Jaya. Sebelumnya wilayah ini termasuk dalam wilayah kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, namun pada tahun 2007 Kabupaten Pidie Jaya
dimekarkan dari Induknya Kabupaten Pidie. Wilayah Puskesmas Bandar Baru:
a. Bagian Barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Glp.Tiga.
b. Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Pante Raja.
c. Bagian Utara berbatasan dengan Selat Malaka.
d. Bagian Selatan berbatasan dengan Bukit Barisan.
Sedangkan nama-nama desa yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas
Bandar Baru seperti dalam Tabel 4.1 berikut ini:


Tabel 4.1. Nama-Nama Desa yang Termasuk Wilayah Kerja Puskesmas Bandar
Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
No Nama Desa No Nama Desa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Kuede Luengputu
Desa Siren
Pueb/Nibong
Pulo Pueb
Desa Tutong
Desa Ara
Desa Udeng Poroh
Lancok Manyang
Lancok Mesjid
Lancok Baroh
Sawang
Cut Nyong
Gampong Nyong
Baroh Nyong
Daboih Nyong
Berandeh
Kayea Raya
Pulo Rheng
Sagoe Langgen
Cut Langgen
Dayah Langgen
Cot Baroh Langgen
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
Tuwa Lada
Aluo
Ujong Leubat
Tanoh Mirah
Blg Krueng
Abah Lung
Aki Nuejoh
Sarah Panyang
Jiem-jiem
Blang Suekon
Balang Baro
Kaye Jatou
Paru Cot
Keude Paru
Lancang Paru
Musa Baroh
Musa Teungoh
Musa Bale
Dayah Nyong
Blang Dot
Blang Iboh
Sumber: Dinkes Kab. Pidie Jaya 2008
Pada Tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa jumlah desa yang termasuk
dalam wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya sebanyak 43
(empat puluh tiga) desa.
Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kepada masyarakat dalam wilayah
kerjanya, Puskesmas Bandar Baru juga dibantu oleh Puskesmas Pembantu (Pustu)
sebanyak 5 (lima) Pustu, yang terletak di masing-masing desa.
Jumlah kunjungan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan pada
Puskesmas Bandar Baru tahun 2008 terbanyak terjadi pada Juli yang berjumlah 1990


orang (10%), sedangkan pada bulan Agustus menjadi bulan terbanyak kedua dengan
jumlah pengunjung 1878 orang pengunjung (9,5%), bulan Juni menjadi bulan
terbanyak ketiga pengunjung yang berjumlah 1826 orang (9,2%). Gambaran
kunjungan masyarakat seperti dalam Tabel 4.2 berikut ini:
Tabel 4.2. Jumlah Kunjungan Menurut Bulan pada Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

No Bulan Jumlah Kunjungan %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
1435
1558
1747
1537
1667
1826
1990
1878
1537
1546
1637
1508
7,3
7,8
8,8
7,7
8,4
9,2
10
9,5
7,7
7,8
8,2
7,6
Jumlah 19.866 100
Sumber: Dinkes Pidie Jaya 2008
Tabel 4.3 berikut ini menggambarkan bahwa tenaga kesehatan yang bekerja
di Puskesmas Bandar Baru yang paling banyak adalah tenaga Bidan dengan jumlah
33 orang (52,3%), sedangkan tenaga perawat lulusan Diploma III merupakan tenaga
kesehatan terbanyak kedua dengan jumlah 9 orang (14,2%).









Tabel 4.3. Distribusi Tenaga Kesehatan Berdasarkan Jenis Pendidikan yang
Bekerja pada Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun
2008

No Jenis Pendidikan Frekwensi %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dokter
Perawat DIII
D III Laboratorium
D III Kesling
Akfar
Bidan
Perawat Gigi
SMA
SMP
2
9
1
4
3
33
3
3
5
3,2
14,2
1,6
6,3
4,8
52,4
4,8
4,8
7,9
Jumlah 63 100
Sumber: Dinkes Kab. Pidie Jaya 2008
Tabel 4.4 berikut ini menggambarkan sepuluh besar penyakit yang diderita
oleh masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru yaitu penyakit yang
paling banyak diderita adalah Common Cold dengan jumlah penderita 5066 orang
atau 25,5%, penyakit ISPA menduduki peringkat terbanyak kedua dengan jumlah
4390 orang atau 22,1%, sedangkan peringkat ketiga adalah penyakit Vertigo dengan
jumlah penderita 2801 atau 14,1%.
Tabel 4.4. Distribusi Sepuluh Besar Penyakit yang Dilayani di Puskesmas
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
No Jenis Penyakit Jumlah Penderita %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Common Cold
ISPA
Vertigo
Rematik
Tukak Lambung
Asma
Penyakit Kulit
Psikosis
Diare
KLL
5066
4390
2801
2026
1430
1053
934
815
755
596
25,5
22,1
14,1
10,2
7,2
5,3
4,7
4,1
3,8
3


Jumlah 19.866 100
4.2. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel
independen terhadap variabel dependen yaitu upaya pengobatan dan pencegahan yang
dilakukan ibu balita terhadap kejadian diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya.
4.2.1. Faktor Karakteristik Ibu
Faktor karakteristik ibu adalah distribusi frekuensi berdasarkan Umur,
Pendidikan, Pengetahuan, dan Pekerjaan ibu terdiri diri 271 responden yang memiliki
umur di bawah 20 tahun sebanyak 11 orang (4,1%), yang memiliki umur 20 sampai
dengan 39 tahun sebanyak 239 orang (88,2%) dan yang memiliki umur lebih dari 39
tahun sebanyak 21 orang (21%).
Jumlah persentase ibu yang memiliki balita di wilayah kerja puskesmas
Bandar Baru lebih besar pada kelompok ibu yang berusia 20-39 tahun, hal ini sesuai
dengan kondisi umum masyarakat Indonesia di mana umur ideal seorang wanita
untuk melahirkan adalah 20 sampai dengan 35 tahun.
Menurut tingkat pendidikan ibu, responden yang berpendidikan SLTP
kebawah (rendah) 192 orang (70,8%) dan yang berpendidikan SLTA keatas (tinggi)
sebanyak 79 orang (28,2%). Kondisi masyarakat yang masih memiliki tingkat
pendidikan rendah dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi masyarakat itu yang juga
masih rendah, hal ini terbukti dengan jenis pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat
adalah petani, swasta dan nelayan.


Responden berdasarkan pekerjaan yaitu yang bekerja sebagai petani sebanyak
191 orang (70,5%), swasta 72 orang (26,6%) nelayan 1 orang (0,4%) dan bekerja
sebagai PNS sebanyak 7 orang (2,6%). Berdasarkan tingkat pengetahuan, responden
yang memiliki tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 245 orang (90,4%) dan yang
memiliki tingkat pengetahuan baik sebanya 26 orang (9,6%). Pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan berhubungan erat dengan tingkat pendidikan
masyarakat, pendidikan yang tinggi akan meningkatkan pengetahuan masyarakat.
Hasil penelitian didapatkan umumnya tingkat pendidikan ibu rendah, sehingga
mempengaruhi tingkat pengetahuan dari ibu-ibu tersebut.
Tabel 4.5. Distribusi Responden Menurut Umur, Tingkat Pendidikan,
Pengetahuan dan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar
Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

No Variabel Frekuensi Persentase
Umur Ibu
< 20 tahun
20-39 tahun
> 39 tahun

11
239
21

4,1
88,2
7,7
1.
Jumlah 271 100,0
Tingkat Pendidikan
SLTP kebawah
SLTA keatas

192
79

70,8
29,2
2.
Jumlah 271 100,0
Pekerjaan
Petani
Swasta
Nelayan
PNS

191
72
1
7

70,5
26,6
0,4
2,6
3.
Jumlah 271 100,0
Pengetahuan
Baik
Tidak Baik

26
245

9,6
90,4
4.
Jumlah 271 100,0


4.2.2. Faktor Karakteristik Anak
Berdasarkan karakteristik anak, yang memiliki umur 1 tahun kebawah
sebanyak 42 orang (15,5%), yang berumur kurang dari 3 tahun sebanyak 158 orang
(58,3%), dan yang berumur <5 tahun sebanyak 71 (26,2%). Berdasarkan jenis
kelamin, balita yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 144 orang (53,1%), dan
yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 127 orang (46,9%). Sedangkan balita
yang berstatus gizi baik sebanyak 262 orang (96,7%) dan yang berstatus gizi tidak
baik sebanyak 9 orang (3,3%). Faktor umur sangat berpengaruh dalam proses
terjadinya suatu penyakit infeksi atau penyakit menular. Menurut Crofton et al.
(1992), kekuatan untuk melawan infeksi merupakan pertahanan tubuh untuk
mengatasi perkembangan infeksi, tergantung tingkat umur penderita saat terkena
infeksi. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat
perlahan-lahan sampai umur 10 tahun. Setelah puberitas, pertahanan tubuh lebih baik
dalam mencegah penyebaran infeksi. Angka kesakitan dan kematian pada anak usia
1-4 tahun dikarenakan diare sebagai akibat pengaruh gizi buruk, anak di bawah 1
tahun rata-rata mendapat diare 1 kali dalam setahun, sedangkan usia 1-5 tahun
mendapat lebih dari 2 kali setahun terserang diare.






Tabel 4.6. Distribusi Balita Menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Status Gizi
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008

No Variabel Frekuensi Persentase
Umur Balita
< 1 tahun
Kurang 3 tahun
< 5 tahun

42
158
71

15,5
58,3
26,2
1.
Jumlah 271 100,0
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

144
127

53,1
46,9
2.
Jumlah 271 100,0
Status Gizi
Baik
Tidak Baik

262
9

96,7
3,3
3
Jumlah 271 100,0

4.2.3. Upaya Pengobatan
Berdasarkan Tabel 4.7 menggambarkan upaya pengobatan yang dilakukan
oleh responden, responden yang memiliki upaya pengobatan yang baik berjumlah 27
orang (10%). Upaya pengobatan baik yaitu responden membawa anaknya pada
tempat pelayanan kesehatan bila menderita diare, sedangkan yang memiliki upaya
pengobatan kurang baik sebanyak 244 (90%). Artinya responden membawa anaknya
bukan pada tempat pelayanan kesehatan. Kondisi ini menunjukkan tingkat kesadaran
masyarakat untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan
sangat rendah, dan hal ini menjadi salah satu sebab tingginya angka kematian pada
balita.



Tabel 4.7. Distribusi Responden Menurut Upaya Pengobatan di Wilayah Kerja
Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

Variabel Frekuensi Persentase
Upaya Pengobatan
Baik
Kurang Baik

27
244

10
90
Jumlah 271 100,0

4.2.4. Pencegahan Diare
Dari 271 responden yang memiliki sarana air bersih memenuhi syarat
kesehatan sebanyak 125 orang (46,1%), dan yang tidak memiliki sarana yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 146 orang (53,9%). Responden yang tempat
pembuangan tinja melalui jamban yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 81
orang (29,9%), dan yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 190 orang
(70,1%). Masyarakat yang menggunakan air bersih tidak memenuhi syarat kesehatan
umumnya menggunakan sumber air minum dari sumur yang tidak menggunakan
cicin, sehingga mudah terkontaminasinya air minum tersebut. Sedangkan masyarakat
yang menggunakan tempat pembuangan tinja tidak memenuhi syarat kesehatan
karena masyarakat melakukan pembuangan tinja tidak pada jamban melainkan
langsung kedalam sungai, sehingga bisa mempengaruhi sumber air bersih. Air dapat
juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya penyakit
menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang insekta
penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang tidak
dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes sementara
penyakit (Soemirat, 1994).


Tabel 4.8. Distribusi Responden Menurut Sarana Air Bersih, Tempat
Pembuangan Tinja, di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

No Variabel Frekuensi Persentase
Sarana Air Bersih
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat

125
146

46,1
53,9
1.
Jumlah 271 100,0
Tempat Pembuangan Tinja
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi syarat

81
190

29,9
70,1
2.
Jumlah 271 100,0

Responden yang memiliki kebiasan baik dalam mencuci tangan sebanyak 121
orang (44,6%), yaitu mereka yang dalam aktivitas sehari-hari selalu mencuci
tangannya sebelum memberikan makan kepada balitanya sedangkan yang memiliki
kebiasaan kurang baik dalam mencuci tangan sebanyak 150 orang (55,4%). Artinya
lebih banyak ibu-ibu yang memiliki balita berperilaku tidak baik dalam mencuci
tangan. Kebiasaan mencuci tangan adalah suatu perilaku kesehatan yang harus
dibudayakan mengingat dengan mencuci tangan dapat mencegah berbagai macam
penyakit terutama penyakit saluran pencernaan.
Tabel 4.9. Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Mencuci Tangan
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008

Variabel Frekuensi Persentase
Kebiasaan Cuci Tangan
Baik
Kurang baik

121
150

44,6
55,4
Jumlah 271 100,0



Menurut lamanya masa pemberian ASI, responden yang melakukan
penyapihan > 2 tahun sebanyak 129 orang (47,6%), yang melakukan penyapihan < 2
tahun sebanyak 142 orang (52,4%). Artinya banyak ibu-ibu yang melakukan
penyapihan anaknya sebelum usia anaknya 2 tahun, kondisi ini berpengaruh bagi
tumbuh kembang balita. ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Pemberian ASI
dianjurkan sampai dengan dua tahun. Pemberian ASI yang baik akan meningkatkan
kekebalan pada balita sehingga tidak mudah diserang penyakit termasuk penyakit
diare.
Tabel 4.10. Distribusi Responden Menurut Lamanya Penyapihan, di Wilayah
Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

Variabel Frekuensi Persentase
Pemberian ASI
> 2 tahun
< 2 tahun

129
142

47,6
52,4
Jumlah 271 100,0

Berdasarkan Tabel 4.11 menggambarkan responden yang melakukan
imunisasi yang lengkap sebanyak 180 orang (66,4%), dan yang tidak mengimunisasi
anaknya secara lengkap sebanyak 91 orang (33,6%). Walaupun secara persentase
lebih banyak ibu yang melakukan imunisasi secara lengkap, akan tetapi persentase
ibu yang belum melakukan imunisasi secara tidak lengkap merupakan keadaan yang
sangat merugikan kesehatan balita.




Tabel 4.11. Distribusi Responden Menurut Pemberian Imunisasi di wilayah
Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

Variabel Frekuensi Persentase
Imunisasi
Lengkap
Tidak Lengkap

180
91

66,4
33,6
Jumlah 271 100,0

4.3. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mencari hubungan variabel independen
dengan variabel dependen. Pengujian analisis bivariat dilakukan dengan
menggunakan Uji Chi Square. Analisis ini dikatakan bermakna bila hasil analisis
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (signifikan) secara statistik antara
variabel, yaitu dengan nilai p< 0,05.
4.3.1. Karakteristik Ibu
a. Hubungan Umur Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.12 menggambarkan dari 11 responden yang berusia < 20 tahun
terdapat 3 orang (27%) memiliki balita menderita diare dalam sebulan terakhir. Dari
239 responden yang berusia 20-39 tahun terdapat 67 orang (28%) memiliki balita
menderita diare. Dari 21 responden yang berusia > 39 tahun terdapat 8 orang (38,1%)
memiliki balita yang menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value = 0,617
berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara umur ibu dengan kejadian diare pada balita.



Tabel 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Umur dan Kejadian Diare pada
Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun
2008

Status Diare
Tidak
Ya
Total P value
Umur Ibu
Balita
N %
N %
N %
< 20 Tahun
20-39 Tahun
>39 Tahun
8
172
13
72,7
72
61,9
3
67
8
27,3
28
38,1
11
239
21
100,0
100,0
100,0
0,617
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0

b. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita
Dari Tabel 4.13 menggambarkan bahwa dari 192 responden yang
berpendidikan SLTP kebawah, terdapat 61 orang (31,8%) memiliki balita menderita
diare. Dari 79 responden yang berpendidikan SLTA keatas, terdapat 17 orang
(21,5%) memiliki balita yang menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value
= 0,090 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita, dan
RP diperoleh 0,89 dengan (CI 95% ; 0,917- 3,146).
Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu dan
Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya Tahun 2008

Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Tingkat
Pendidikan Ibu
N %
N %
N %
SLTP kebawah

SLTA keatas
131

62
68,2

78,5
61

17
31,8

21,5
192

79
100,0
100,0
100,0
0,090
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
0,89
(0,917-3,146)

c. Hubungan Pengetahuan Ibu Kejadian Diare pada Balita


Dari Tabel 4.14 dapat disimpulkan bahwa dari 26 responden yang
berpengetahuan baik terdapat 5 orang (19,2%) memiliki balita menderita diare. Dari
245 responden yang memiliki pengetahuan kurang, terdapat 73 orang (29,8%)
memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value = 0,258
berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada balita, dan RP
diperoleh 1,16 dengan (CI 95% ; 0,647-4,909).
Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan
Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Pengetahuan
Ibu
N %
N %
N %
Baik

Kurang
21

172
80,8

70,2
5

73
19,2

29,8
26

245
100,0
100,0
100,0
0,258
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
1,16
(0,647-4,909)

d. Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.15 menggambarkan bahwa dari 191 responden yang bekerja sebagai
petani terdapat 48 orang (25,1%) memiliki balita menderita diare. Dari 72 responden
yang bekerja sebagai swasta terdapat 27 orang (37,5%) memiliki balita menderita
diare, dari 1 responden yang bekerja sebagai nelayan ternyata tidak ada ibu yang
memiliki balita menderita diare. Sedangkan dari 7 responden yang bekerja sebagai
PNS terdapat 3 orang (42,9%) memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square


diperoleh p value = 0,172 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada balita.
Tabel 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan dan Kejadian Diare
pada Balita di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total P value
Pekerjaan
N %
N %
N %
Petani
Swasta
Nelayan
PNS
143
45
1
4
74,9
62,5
100
57,1
48
27
0
3
25,1
37,5
0
42,9
191
72
1
7
100,0
100,0
100,0
100,0
0,172
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0

e. Hubungan Umur Anak dengan Kejadian Diare pada Balita
Dari Tabel 4.16 menggambarkan dari 42 balita yang berumur kurang dari 1
tahun ternyata 11 balita menderita diare. Dari 158 balita yang berumur kurang dari 3
tahun terdapat 51 balita menderita diare, dan dari 71 balita yang berumur kurang dari
5 tahun terdapat 16 balita menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value =
0,296 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara umur anak dengan kejadian diare pada balita.
Tabel 4.16. Distribusi Balita Berdasarkan Umur dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total P value
Umur Balita
N %
N %
N %
< 1 tahun
< 3 tahun
< 5 tahun
31
107
55
73,8
67,7
77,5
11
51
16
26,2
32,3
22,5
42
158
71
100,0
100,0
100,0
O,296
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0


f. Hubungan Jenis Kelamin Anak dengan Kejadian Diare pada Balita
Dari Tabel 4.17 menggambarkan dari 144 balita yang berjenis kelamin laki-
laki, terdapat 46 orang (32%) menderita diare. Dari 127 balita yang berjenis kelamin
perempuan terdapat 32 orang (25,2%) menderita diare. Hasil uji Chi Square
diperoleh p value = 0,221 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin anak dengan kejadian diare pada
balita dan RP diperoleh 0,91 dengan (CI 95% ; 0,421-1,222).
Tabel 4.17. Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Jenis Kelamin
N %
N %
N %
Laki-laki
Perempuan
98
95
68
74,8
46
32
32
25,2
144
127
100,0
100,0
0,221
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
0,91
(0,421-1,222)

g. Hubungan Status Gizi Anak dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.18 menggambarkan dari 262 balita yang berstatus gizi baik, terdapat
72 orang (27,5%) menderita diare. Dari 9 balita yang status gizi tidak baik terdapat 6
orang (66,7%) menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value = 0,011
berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara status gizi anak dengan kejadian diare pada balita dan RP
diperoleh 2,21 dengan (CI 95% ; 1.286-21,665).




Tabel 4.18. Distribusi Balita Berdasarkan Status Gizi dan Kejadian Diare
di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Status Gizi
N %
N %
N %
Baik
Tidak Baik
190
3
72,5
33,3
72
6
27,5
66,7
262
9
100,0
100,0
0,011
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
2,21
(1,286-21,665)

h. Hubungan Upaya Pengobatan dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.19 menggambarkan dari 27 responden yang melakukan upaya
pengobatan yang baik terdapat 7 orang (26%) memiliki balita menderita diare. Dari
244 responden yang melakukan upaya pengobatan kurang baik terdapat 71 orang
(29,1%) memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value =
0,730 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada
hubungan yang bermakna antara upaya pengobatan dengan kejadian diare pada balita
dan RP diperoleh 1,04 dengan (CI 95% ; 0,475-2,896).
Tabel 4.19. Distribusi Responden Berdasarkan Upaya Pengobatan dan Kejadian
Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Upaya
Pengobatan
N %
N %
N %
Baik
Kurang
20
173
74
70,9
7
71
26
29,1
27
244
100,0
100,0
0,730
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
1,04
(0,475-2,896)

i. Hubungan Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.20 menggambarkan dari 125 responden yang memiliki sumber air
bersih yang memenuhi syarat kesehatan terdapat 23 orang (18,4%) memiliki balita


menderita diare. Dari 146 responden yang memiliki sumber air bersih tidak
memenuhi syarat kesehatan terdapat 55 orang (37,6%) memiliki balita menderita
diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value = 0,000 berarti pada = 5% (0,05) dapat
disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara sumber air
bersih dengan kejadian diare pada balita dan RP diperoleh 1,32 dengan (CI 95% ;
1,527-4.706).
Tabel 4.20. Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Air Bersih dan Kejadian
Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Air Bersih
N %
N %
N %
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi
Syarat
102
91
81,6
62,3
23
55
18,4
37,6
125
146
100,0
100,0
0,000
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
1,32
1,527-4.706)

j. Hubungan Tempat Pembuangan Tinja dengan Kejadian Diare pada
Balita
Tabel 4.21 menggambarkan dari 81 renponden yang memiliki tempat
pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan terdapat 11 orang (13,6%) yang
memiliki balita menderita diare. Dari 190 responden yang memiliki tempat
pembuangan tinja tidak memenuhi syarat kesehatan, terdapat 67 orang (35%)
memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value = 0,000
berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara tempat pembuangan tinja dengan kejadian diare pada balita.
dan RP diperoleh 1,32 dengan (CI 95 % ; 1,718-6,994).


Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Tinja dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Tempat
Pembuangan
Tinja
N %
N %
N %
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi
Syarat
70
123
86,4
64,7
11
67
13,6
35,3
81
190
100,0
100,0

0,000
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
1,32
(1,718-6,994)

k. Hubungan Lamanya Pemberian ASI dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.22 menggambarkan dari 129 responden yang menyusui anaknya 2
(dua) tahun, terdapat 27 orang (21%) yang memiliki balita menderita diare. Dari 142
responden yang menyusui anaknya kurang dari 2 tahun terdapat 51 orang (35,9%)
yang memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square diperoleh p value = 0,007
berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara tempat pembuangan tinja dengan kejadian diare pada balita.
dan RP diperoleh 1,23 dengan (CI 95% ; 1,227-3,653).
Tabel 4.22. Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Pemberian ASI dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Lama
Pemberian ASI
N %
N %
N %
2 tahun
< 2 tahun
102
91
79
64,1
27
51
21
35,9
129
142
100,0
100,0
0,007
1,23
(1,227-3,653)
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0




l. Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.23 menggambarkan bahwa dari 121 responden yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan secara baik terdapat 20 orang (16,5%) memiliki balita
menderita diare. Dari 150 responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan kurang
baik, terdapat 58 orang (38,7%) memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square
diperoleh p value = 0,000 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa
secara statistik ada hubungan yang bermakna antara kebiasan mencuci tangan dengan
kejadian diare pada balita dan RP diperoleh 1,36 dengan (CI 95% ; 1,780-5,695).
Tabel 4.23. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Cuci Tangan dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008
Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Cuci Tangan
N %
N %
N %
Baik
Kurang Baik
101
92
83,5
61,3
20
58
16,5
38,7
121
150
100,0
100,0
0,000
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
1,36
(1,780-
5,695)

m. Hubungan Imunisasi dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 4.24 menggambarkan bahwa dari 180 responden yang melakukan
imunisasi anaknya secara lengkap, terdapat 54 orang (30%) memiliki balita menderita
diare. Dari 91 responden yang melakukan imunisasi anaknya secara tidak lengkap,
terdapat 67 orang (73,6%) memiliki balita menderita diare. Hasil uji Chi Square
diperoleh p value = 0,533 berarti pada = 5% (0,05) dapat disimpulkan bahwa
secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan melakukan


imunisasi dengan kejadian diare pada balita dan RP diperoleh 0,96 dengan (CI 95% ;
0,475-1,470).
Tabel 4.24. Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian Imunisasi dan
Kejadian Diare di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008

Status Diare
Tidak
Ya
Total
P
value
RP
(CI 95%)
Imunisasi
N %
N %
N %
Lengkap
Tidak Lengkap
126
67
70
73,6
54
24
30
26,4
180
91
100,0
100,0
0,533
Jumlah 193 71,2 78 28,8 271 100,0
0,96
(0,475-1,470)

4.4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel independen yang
paling berpengaruh dengan kejadian diare pada balita. Dalam uji ini semua variabel
yang berhubungan (signifikan) pada uji bivariat = 5% (0,05) akan dimasukkan
secara bersama-sama kedalam uji multivariat, artinya setelah analisis bivariat selesai
selanjutnya secara bersama-sama akan dilakukan analisis multivariat. Uji multivariat
yang digunakan adalah Uji Regresi Logistik.
4.4.1. Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat
Dalam penelitian ini terdapat sembilan variabel independen yaitu
Karakteristik Ibu (Umur, Pendidikan, Pengetahuan, Pekerjaan), Karakteristik Anak
(Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi) Upaya Pengobatan (Rumah Sakit, Puskesmas,
Dokter Praktek, Biaya, Cara Pemberian Obat), Pencegahan Diare (Sarana air bersih,
Tempat pembuangan tinja, Pemberian air susu ibu, Kebiasaan mencuci tangan,
Imunisasi). Sebagai variabel dependen adalah Penyakit diare.


Penentuan kandidat variabel multivariat diperoleh dari hasil analisis uji
bivariat, di mana bila hasil analisis bivariat memperoleh nilai p value < 0,25 maka
variabel tersebut akan menjadi kandidat multivariat dan sebaliknya bila nilai p value
> 0,25 maka variabel itu tidak dapat dijadikan sebagai kandidat multivariat.
Berdasarkan uji bivariat di atas dapat dilihat ada 5 (lima) variabel yang
memperoleh nilai p value < 0,25 yaitu: Status gizi, air bersih, tempat pembuangan
tinja, pemberian ASI, kebiasaan cuci tangan. Tahap selanjutnya kelima variabel
tersebut dimasukkan sebagai kandidat untuk dilakukan analisis multivariabel.
Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model yang terbaik untuk
menentukan variabel dominan yang mempengaruhi kejadian diare. Dalam pemodelan
ini semua variabel dicobakan secara bersama-sama, kemudian variabel yang memiliki
nilai p value > 0,05 akan dikeluarkan secara secara berurutan dimulai dari nilai p
value terbesar, seperti terlihat pada Tabel 4.25 menunjukkan bahwa dari lima variabel
yang dilakukan pengujian ternyata variabel lama pemberian ASI memiliki nilai p =
0,952, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara lamanya pemberian ASI
terhadap kejadian diare pada balita.
Tabel 4.25. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Resiko
Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru
Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2008

Variabel B SE Wald df Sig. Exp(B)
Sumber Air Bersih 1,073 0,440 5,945 1 0,015 2,924
Tempat Pembuangan Tinja 1,109 0,403 7,568 1 0,006 3,030
Kebiasaan Cuci Tangan 0,723 0,328 4,862 1 0,027 2,061
Lama Pemberian ASI 0,026 0,430 0,004 1 0,952* 1,026
Status Gizi 1,691 0,791 4,569 1 0,033 5,426


Constant -2,915 0,440 43,850 1 0,000 0,054
Selanjutnya variabel yang diberi tanda bintang merupakan variabel yang
tidak bermakna dan dikeluarkan dari pengujian, sehingga variabel yang diuji menjadi
variabel sumber air bersih, tempat pembuangan tinja, kebiasaan mencuci tangan, dan
status gizi.
Setelah dilakukan pengujian maka didapatkan hasil seperti dalam Tabel 4.26
di mana kelima variabel tersebut memiliki nilai p < 0,05, sehingga dapat disimpulkan
bahwa kelima variabel tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian diare pada balita, dari kelima faktor tersebut yang merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita adalah Status Gizi dengan
alasan variabel ini yang memiliki nilai Exp (B) 5,426.
Tabel 4.26. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Resiko
Diare pada Balita Setelah Dikeluarkan Faktor Pemberian ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya
Tahun 2008

Variabel B SE Wald df Sig. Exp(B)
Tempat Pembuangan
Tinja
1,109 0,403 7,572 1 0,006 3,030
Sumber Air Bersih 1,092 0,305 12,822 1 0,000 2,980
Kebiasaan Cuci Tangan 0,723 0,328 4,860 1 0,027 2,061
Status Gizi 1,691 0,791 4,572 1 0,033 5,426
Constant -2,911 0,436 44,646 1 0,000 0,054




BAB V
PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Ibu
a. Umur Ibu
Hasil uji statistik chi-square dengan nilai p = 0,617 artinya bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara umur ibu dengan kejadian diare pada balita. Namun
demikian bila kita lihat persentase jumlah balita yang menderita diare lebih banyak
pada ibu dengan kelompok umur antara 20 sampai dengan 39 tahun. Hal ini terjadi
karena jumlah responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini lebih banyak
pada kelompok umur tersebut yakni mencapai 239 responden atau 88,2% dari seluruh
responden yang mencapai 271 orang. Untuk kelompok umur ibu di atas 39 tahun
jumlah balita yang menderita diare sebanyak 10,3%, hal ini juga disebabkan jumlah
responden untuk kelompok umur ini berjumlah 21 orang dan merupakan terbanyak
kedua bila dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Sedangkan kelompok
umur ibu yang paling rendah balitanya menderita diare adalah umur ibu kurang dari
20 tahun yakni 3,8%.
Menurut Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat
pula kedewasaan tehnisnya, demikian pula psikologis serta menunjukkan kematangan
jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, dan


bertoleransi terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan motivasinya.
b. Pendidikan Ibu
Hasil uji statistik chi-square dengan nilai p = 0,90 artinya bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita dengan
RP = 0,89, artinya anak balita yang menderita diare 0,89 kali prevalennya pendidikan
ibunya rendah bila dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita diare. Hal
ini dimungkinkan karena ada variabel lain yang mempengaruhi terjadinya diare,
namun demikian bila dilihat dari jumlah ibu yang memiliki balita yang menderita
diare lebih banyak pada kelompok ibu dengan pendidikan SLTP kebawah bila
dibandingkan dengan ibu berpendidikan SLTA keatas, di mana balita yang ibunya
berpendidikan rendah yakni tamat SLTP kebawahsebagian besar menderita diare
yaitu 78,2%, sedangkan ibu yang berpendidikan SLTA keatas memiliki anak balita
menderita diare 21,8%.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pendidikan adalah suatu
proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan dan
perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik, dan matang
pada diri individu, kelompok dan masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Bila dibandingkan pendidikan ibu yang menjadi responden ternyata
didapatkan banyak ibu yang berpendidikan rendah yakni 70,8% berpendidikan SLTP


kebawah, kondisi ini mempengaruhi ibu dalam mengambil keputusan untuk
berperilaku kesehatan yang baik. Perubahan perilaku masyarakat yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan menjadi perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan, perilaku yang merugikan kesehatan harus diubah.
Hasil penelitian ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Meiyati Simatupang
tahun 2004 menyimpulkan bahwa risiko terjadinya diare pada anak dengan ibu
berpendidikan rendah 1,8 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak dengan ibu
yang berpendidikan tinggi dan secara statistik bermakna (p = 0,023). Perbedaan ini
dapat disebabkan oleh perbedaan tempat dan waktu penelitian.
c. Pengetahuan Ibu
Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,258 artinya tidak ada hubungan antara
pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada anak balita dengan RP 1,16 kali, artinya
anak balita yang menderita diare kemungkinan besar 1,16 kali pengetahuan ibunya
rendah tentang diare bila dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita
diare.
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang
sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh.
Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi
(Notoatmodjo, 2005). Sebelum seseorang mengadobsi perilaku baru, harus tahu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya
(Notoatmodjo, 2003).


Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra
pendengaran dan indera penglihatan. Pengetahuan seseorang terhadap objek
mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan berhubungan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat,
pendidikan yang tinggi akan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Hasil penelitian
didapatkan umumnya tingkat pendidikan ibu rendah, sehingga mempengaruhi tingkat
pengetahuan dari ibu-ibu tersebut.
d. Pekerjaan Ibu
Hasil penelitian didapatkan p = 0,172, artinya tidak ada hubungan antara
pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada balita. Namun demikian penderita diare
banyak terjadi pada anak yang ibunya bekerja sebagai petani yakni sebesar 61,5%
kemudian kejadian diare terbanyak kedua terjadi pada ibu yang bekerja sebagai
swasta yakni 34,6%, sedangkan ibu yang bekerja sebagai PNS 3,8% memiliki anak
balita yang menderita diare.
Menurut Khomsan (2004), permasalahan penyakit diawali masalah kesehatan
berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang belum membaik.
Permasalahan kesehatan dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi serta
perlakuan yang adil pada perempuan bisa menjadi salah satu kunci pemecahan


masalah kesehatan. Status sosial perempuan akan meningkat apabila mereka
mempunyai posisi ekonomi yang baik. Hal ini juga disertai dengan mendapatkan
pendidikan, kesehatan, dan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Pekerjaan ibu dapat dikatagorikan sebagai pegawai negeri dan pegawai
swasta memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi bila dibandingkan dengan ibu yang
bekerja sebagai buruh atau petani. Kondisi ini mempengaruhi ibu dalam dalam
mengasuh anaknya, ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang
lain, sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terjadi diare (Giyantini, 2000).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiyati
Simatupang tahun 2004 di mana didapatkan p = 0,063 yang berarti tidak ada
hubungan bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada balita.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Giyantini (2002) yang
melaporkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian
diare pada balita. Hal ini disebabkan karena walaupun ibu bekerja dalam aktivitasnya
sehari-hari, tetapi ibu tetap mengasuh anaknya dan memperhatikan pola makanya
sehari-hari.
Jika dilihat dari pekerjaan ibu, umumnya ibu bekerja sebagai petani, hal ini
akan mempengaruhi tingkat pendapatan dari ibu yang dapat berdampak pada daya
beli yang rendah untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, peningkatan
kesehatan lingkungan seperti air bersih, jamban, akan sangat sulit dipenuhi.

5.2. Karakteristik Anak


a. Umur Anak
Hasil penelitian didapatkan p = 0,296, artinya tidak ada hubungan bermakna
antara umur anak balita dengan kejadian diare pada balita. Namun demikian bila kita
lihat proporsi kejadian diare lebih banyak pada anak yang berumur kurang dari tiga
tahun yakni 65,4%, sedangkan anak yang berumur di bawah lima tahun terdapat
20,5% menderita diare, untuk anak yang berumur kurang dari satu tahun proporsi
kejadian diare hanya 14,1%.
Umur mempengaruhi seseorang untuk menderita suatu penyakit. Ada penyakit
yang banyak menyerang kelompok umur anak saja seperti Morbilli, Polio, Pertusis,
Diphtherie, Cacar air dan juga diare, hal ini terjadi karena anak belum mempunyai
kekebalan terhadapnya (Soemirat, 2005). Faktor umur sangat berpengaruh dalam
proses terjadinya suatu penyakit infeksi atau penyakit menular. Menurut Crofton et
al. (1992), kekuatan untuk melawan infeksi merupakan pertahanan tubuh untuk
mengatasi perkembangan infeksi, tergantung tingkat umur penderita saat terkena
infeksi. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat
perlahan-lahan sampai umur 10 tahun. Setelah puberitas, pertahanan tubuh lebih baik
dalam mencegah penyebaran infeksi. Anak balita masih sangat tergantung pada
ibunya dalam mengkonsumsi makanan, umumnya balita selalu disediakan makanan
oleh ibunya, sehingga kemungkinan untuk terjadinya penyakit lebih besar
berhubungan dengan perilaku ibu dalam mengolah makanannya. Bila ibu balita
memiliki perilaku sehat, maka balita akan tumbuh sehat, sebaliknya bila perilaku ibu


kurang baik dalam kesehatan, maka kemungkinan balita akan lebih besar untuk
terinfeksi penyakit.
b. Jenis Kelamin Anak
Hasil penelitian didapatkan p = 0,221, artinya tidak ada hubungan bermakna
antara jenis kelamin anak dengan kejadian diare pada balita. Namun demikian bila
dilihat proporsi kejadiannya, maka dapat disimpulkan bahwa angka kejadian diare
pada anak yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar yakni 59% dari pada anak yang
berjenis kelamin perempuan yang hanya menderita diare sebesar 41%.
Umur mempengaruhi seseorang untuk menderita suatu penyakit. Ada penyakit
yang banyak menyerang kelompok umur anak saja seperti Morbilli, Polio, Pertusis,
Diphtherie, Cacar air dan juga diare, hal ini terjadi karena anak belum mempunyai
kekebalan terhadapnya (Soemirat, 2005). Faktor umur sangat berpengaruh dalam
proses terjadinya suatu penyakit infeksi atau penyakit menular. Menurut Crofton et
al. (1992), kekuatan untuk melawan infeksi merupakan pertahanan tubuh untuk
mengatasi perkembangan infeksi, tergantung tingkat umur penderita saat terkena
infeksi. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat
perlahan-lahan sampai umur 10 tahun. Setelah puberitas, pertahanan tubuh lebih baik
dalam mencegah penyebaran infeksi. Jenis kelamin balita bukan merupakan faktor
yang menentukan terjadinya diare pada balita, hal ini disebabkan perilaku balita
terutama dalam bermain tidak ada perbedaan baik bentuk maupun jenis permainan
yang ditekuni balita, sehingga balita yang jenis kelamin perempuan dan balita laki-
laki berkesempatan sama dalam hal terpapar dengan faktor penyebab penyakit.


c. Status Gizi Anak
Hasil penelitian didapatkan bahwa p = 0,011, artinya terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi anak dengan kejadian diare pada balita, dengan RP = 2,2,
artinya anak balita yang status gizinya tidak baik memiliki prevalensi 2,2 kali lebih
besar terjadinya diare bila dibandingkan dengan anak balita yang berstatus gizi baik.
Pada anak dengan kondisi gizinya kurang baik kelenjar timusnya mengecil
dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk
mengadakan kekebalan non-spesifik terhadap kelompok organisme berkurang. Dalam
keadaan normal dinding usus mempunyai mekanisme pertahanan yang baik, tetapi
pada kondisi malnutrisi dapat menyebabkan tubuh tidak mampu mengatasi infeksi
dan infestasi parasit dalam usus. Hal ini mengakibatkan bakteri, virus, parasit dan
jamur yang masuk dalam usus tersebut akan berkembang biak dengan leluasa dan
berakibat lebih lanjut berupa diare. Saluran pencernaan pada anak akan mengalami
perubahan-perubahan terutama pada usus halus yang menjurus ke defisiensi enzim
dan menyebabkan absobsi yang tidak adekuat (Suharyono, 1986).
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjitra
(1994) yang menyimpulkan bahwa risiko terjadi diare pada anak dengan status gizi
kurang 1,7 kali lebih besar dibandingkan anak dengan status gizi baik dan secara
statistik bermakna (p =0,01) akan tetapi penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Zubir tahun 2005, di mana didapatkan RP = 4,19, artinya risiko
kemungkinan anak dengan status gizi buruk untuk terjadi diare 4,19 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang status gizinya baik, namun secara statistik tidak


bermakna. Gizi merupakan hal yang sangat pengting dalam menjaga kesehatan
seseorang terutama balita. Gizi selain diperlukan untuk tumbuh kembang balita, juga
sangat berpengaruh dalam membentuk daya tahan tubuh balita. Kondisi ekonomi
keluarga yang kurang baik mempengaruhi kecukupan gizi balita, sehingga balita akan
mudah terkena penyakit terutama penyakit diare.

5.3. Upaya Pengobatan
Hasil penelitian didapatkan bahwa p = 0,730, artinya tidak ada hubungan
bermakna antara upaya pengobatan dengan kejadian diare pada balita, namun
demikian bila dilihat dari proporsi kejadian diare antara yang upaya pengobatannya
kurang baik mencapai 91% bila dibandingkan dengan yang upaya pengobatannya
baik.
Upaya pengobatan diare yang dilakukan puskesmas yaitu: Melaksanakan
diagnosa penyakit diare sedini mungkin meliputi: mengkaji riwayat penyakit,
mengadakan pemeriksaan fisik, mengadakan pemeriksaan laboratorium, menegakkan
diagnosa diare. Setelah penentuan diagnosa, maka dilakukan tindakan pengobatan
segera terhadap penderita diare. Melakukan upaya rujukan bila dianggap perlu
(Effendy, 1998).






5.4. Pencegahan Diare
a. Sumber Air Bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,
dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari
peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam
penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Sanropie, 1984).
Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya
penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang insekta
penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang tidak
dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes sementara
penyakit (Soemirat, 1994).
Hasil penelitian didapatkan p = 0,000, artinya terdapat hubungan yang
bermakna antara sumber air bersih dengan kejadian diare pada balita, dengan RP =
1,32, artinya bahwa keluarga yang menggunakan air minum yang berasal dari sumber
yang tidak terlindungi akan meningkat prevalensi terjadinya diare pada anak sebesar
1,32 kali lebih besar bila dibandingkan dengan keluarga yang menggunakan aiar
minum dari sumber yang terlindungi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zubir tahun 2005
yang menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara sumber air minum
dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p= <0,05 dan RP 3,1. Penelitian ini


juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2004) yang
menyimpulkan bahwa sumber air minum yang tidak terlindungi bermakna secara
statistik dengan RP 1,24. Air merupakan media yang baik dalam berkembang biak
kuman. Bila sumber air tidak bersih maka akan memudahkan terjadi ibu balita
serininya penyakit. Dalam penelitian ini ibu balita umumnya menggunakan sumber
air yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sehingga menyebabkan balita banyak
menderita diare. Kondisi ini perlu dilakukan hal-hal untuk mendorong ibu agar
menggunakan air bersih atau memperbaiki fasilitas air bersihnya.
b. Tempat Pembuangan Tinja
Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat
kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah,
tidak mengotori air permukaan, tidak dapat dijangkau oleh serangga, tidak
menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996).
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto (1996),
bahwa anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang
dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2%
di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1%
diare terjadi di kota dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga


yang mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota
dan 12,7% di desa.
Pada penelitian ini didapatkan hasil p = 0,000, artinya ada hubungan
bermakna antara tempat pembuangan tinja dengan kejadian diare pada balita, dengan
RP 1,32, artinya keluarga yang tidak menggunakan jamban sebagai tempat
pembuangan tinja akan meningkat prevalensi terjadinya diare pada balita sebesar 1,32
kali lebih besar bila dibandingkan dengan keluarga yang menggunakan jamban.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zubir tahun 2004
di mana disimpulkan bahwa risiko anak yang berasal dari keluarga yang tempat
pembuangan tinjanya tidak memenuhi syarat kesehatan 2,71 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tempat pembuangan tinjanya
memenuhi syarat kesehatan.
Masyarakat memiliki kebiasaan membuang tinja kedalam sungai, hal ini
menyebabkan terkontaminasinya sumber air bersih. Penggunaan jamban semestinya
dapat mengurangi terjadinya diare, sehingga perlu dilakukan upaya untuk perbaikan
dan perobahan perilaku masyarakat dalam menggunakan jamban.
c. Lamanya Pemberian ASI
Berbagai penelitian dengan berbagai macam desain telah membuktikan
hubungan pemberian ASI terhadap penurunan proporsi kejadian penyakit diantaranya
penyakit diare. Pemberhentian pemberian ASI terlalu dini atau tidak memberikan ASI
sampai umur 2 tahun merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diare (Depkes,
2005).


ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sama umur 4-6
bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan
tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.
Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI
mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat
lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare,
pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung
empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada 6 bulan pertama kehidupannya,
risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak
diberi ASI (Depkes, 2000).
Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih
rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan
ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan
pertama kehidupan (Suryono, 1988).
Pada penelitian ini didapatkan p = 0,007, artinya ada hubungan bermakna
antara lamanya menyusui dengan kejadian diare pada balita, dengan RP 1,23, artinya
ibu yang tidak memberikan ASI sampai dengan 2 tahun akan mengalami prevalensi


terjadinya diare pada anaknya sebesar 1,23 kali lebih besar bila dibandingkan dengan
anak yang mendapatkan ASI sampai dengan 2 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiyati
Simatupang tahun 2004 yang menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara
pemberian ASI dengan kejadian diare dengan p = 0,000 dan RP 2,4, artinya anak
yang diberikan ASI kurang dari 2 tahun berisiko terjadi diare sebesar 2,4 kali lebih
besar bila dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI sampai dengan 2 tahun.
d. Kebiasaan Cuci Tangan
Kebiasaan cuci tangan merupakan salah satu faktor yang yang berhubungan
dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,000 dan besarnya RP 1,36,
artinya anak balita yang ibunya punya kebiasan tidak baik dalam mencuci tangan
prevalensi1, 36 kali lebih besar terhadap kejadian penyakit diare bila dibandingkan
dengan balita yang ibunya punya kebiasaan baik dalam mencuci tangan.
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan
oleh Bozkurt et al, (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan
mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena
diare (Heller, 1998) juga mendapatkan adanya hubungan antara kebiasaan cuci tangan
ibu dengan kejadian diare pada anak di Betim-Brazil.
Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zubir
tahun 2004 yang menyimpulkan bahwa kebiasaan mencuci tangan sesudah buang air
besar (BAB) dan sebelum menyuapi anak merupakan prilaku yang mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya diare pada anak dengan p = 0,01, dan RP sebesar 2,78.


Hasil penelitian Luby et.al (2005), tentang efek cuci tangan untuk kesehatan
anak, menyimpulkan bahwa rumah tangga pada anak di bawah 15 tahun yang
menerima paket promosi pencucian tangan dan sabun biasa, insiden diare 53% lebih
rendah dibandingkan dengan control. Sedangkan rumah tangga yang menerima paket
promosi dan sabun antibacterial 1-2% triclocarban, insiden diare pada anak tidak
terdapat perbedaan yang signifikan.
e. Imunisasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian imunisasi secara lengkap
tidak berhubungan secara bermana terhadap kejadian diare pada balita, bila
dibandingkan dengan kejadian diare pada balita yang diberi imunisasi tidak lengkap.
Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian
imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap
penyakit campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan (Andrianto, 1995).


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil uji bivariat ditemukan bahwa semua variabel yang
berhubungan secara signifikan terhadap kejadian diare pada balita yaitu status
gizi anak (P= 0,011, RP = 2,21), sumber air bersih (p=0,000, RP 1.32), tempat
pembuangan tinja (p = 0,000, RP = 3,466), lamanya pemberian ASI (p =
0,007, RP = 1,23), kebiasaan cuci tangan (p = 0,000, RP = 1,36).
2. Hasil uji multivariat ditemukan empat variabel yang berpengaruh terhadap
kejadian diare pada balita yaitu sumber air bersih (p = 0,000, Exp (B) =
2,294), tempat pembuangan tinja (p = 0,006, Exp (B) = 3,030) kebiasaan cuci
tangan (p = 0,027, Exp (B) = 2,061), dan status gizi anak (p = 0,033 Exp (B) =
5,426).
3. Berdasarkan uji regresi logistik ditemukan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita adalah variabel status gizi
anak dengan nilai Exp (B) 5,426.

6.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperolah pada penelitian ini, dapat
disampaikan beberapa saran yang dapat diterapkan dan digunakan dalam


menjalankan program penanggulangan penyakit diare terutama yang terjadi pada
balita sebagai berikut:
1. Kepada ibu yang memiliki balita agar dapat selalu memperhatikan pemenuhan
kebutuhan gizi balitanya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kepada keluarga agar dapat menyediakan air bersih, tempat pembuangan tinja
yang memenuhi syarat kesehatan dan membiasakan kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan.
3. Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya agar dapat
melanjutkan program pemberian makanan tambahan dalam menyusun rencana
strategis kedepan, mengingat status gizi balita menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi terhadap kejadian diare pada balita.
4. Kepada Puskesmas agar mengaktifkan kegiatan pada Posyandu guna
memantau pertumbuhan balita, meningkatkan pemantauan dan penyuluhan
kesehatan terutama tentang pentingnya gizi, penggunaan sumber air bersih
yang memenuhi syarat kesehatan, tempat pembuangan tinja yang memenuhi
syarat kesehatan, serta perlunya membudayakan kebiasaan mencuci tangan
dengan menggunakan sabun.
5. Memberikan perhatian lebih dalam menangani kejadian diare melalui kerja
sama lintas program dan lintas sektoral seperti dalam upaya menjaga
kebersihan lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA


Aman, A.T., (2004), Perkembangan Terkini Vaksin terhadap Diare, disampaikan
dalam Seminar Nasional Diare Perkembangan Terkini dan Permasalahannya,
Yogyakarta.

Amiruddin R., (2007), Current Issue Kematian Anak (Penyakit Diare), Universitas
Hasanuddin, Makassar.

Andrianto, P., (1995), Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, EGC, Jakarta.

Azwar, A., (1997), Puskesmas dan Usaha Kesehatan Pokok, Akodoma, Jakarta.

Babar, T.,S., & Hatcher, J., Health Seeking Behaviour and Health Service Utilization
in Pakistan: Challenging The Policy Makers, Journal of Public Health VoI.
27, No. 1, pp. 4954.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 1. Infomedika
Jakarta, 1998. 283-288.
Crofton, J., dkk, (1992), Tuberkolosis Klinik (Terjemahan), Widya Medika, Jakarta.

Depkes RI., (1994), Pemantauan Status Gizi Anak Balita Melalui Posyandu, Jakarta.

_________, (1995), Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, Departemen
Kesehatan RI., Jakarta.

_________, (2000), Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit
Diare, Ditjen PPM & PLP, Jakarta.

_________, (2004), Data Surveilans 2000-2003, Ditjen dan PL, Jakarta.

_________, (2004), Sanitasi Makanan dan Minuman. Dep.Kes. R.I, Jakarta.

_________, (2005), Tatalaksana Penderita Diare, www.Depkes.go.id.
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman. Buku Ajar Diare. Depkes RI, 1999. 3-11, 53-59, 71-80, Jakarta.


Effendy, N., (1998), Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, EGC,
Jakarta.

Erial, B., Rusdi, I., Hendarmin,A., Surya,c,s., Tri Agus, (1994), Hubungan antara
Penangan Feses Anak dan Kejadian Diare Anak Balita di Pedesaan Dataran
Rendah Berawa Kecamatan Rambutan Sumatera Selatan, PUSKA UI,
Jakarta.

Fahrial Syam, A, (2006), Pengobatan Diare yang Tepat. http: //www.
Medicastore.Com.

Giyantini, T., (2000), Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Diare pada Balita,
IKMUI, Depok.

Hasan, R., Latief, A., Napitupulu, P.M., Pudjiadi, A., Ghazali, M.V., & Putra, S.T.,
(1985). Diare pada Bayi dan Anak, Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak.
Infomedika, Jakarta.

Haryoto, K., (1983) Kesehatan Lingkungan, Depkes RI., Jakarta, 10-12.

Hiswani, (2003), Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan Masyarakat yang
Kejadiannya Sangat Erat dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan, USU,
Medan.

Howard, G., & Bartram J., (2003), Domestic Water Quantity, Service Level and
Health. Web site; http://www.who.int/water sanitation_health/document.pdf.

Ihsan, H, F, (1997), Dasar-dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta.

Irianto, J. Dkk, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita,
Buletin Penelitian Kesehatan, Th 1996, No. 24: 494-499.

Ismail, R., (1999), Membawa Ilmu untuk Mereka yang Membutuhkan Suatu Refleksi
Berdasarkan Keterlibatan dalam Kegiatan Penanggulangan Diare, Majalah
Kedokteran Sriwijaya, TH 31, Vol. 32: 494-499.

Inayah, I, (2004), Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan System
Pencernaan, Salemba Medika, Jakarta.

Khomsan, A. (2004), Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. PT. Jasindo,
Jakarta.



Mukono, J.H. (2000), Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University
Press, Surabaya.

Nasry Noor, N, (1997), Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, Rineka Cipta,
Jakarta.

Ngastiyah, (2005), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Renika Cipta, Jakarta.

________, (1996), Ilmu Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta.

Olson, J. (2004), Belajar Mudah Farmakologi, EGC, Jakarta.

Tjiptoherijanto, P. & Soesetyo B, (1994), Ekonomi Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Pengobatan Diare yang Tepat, http : // www.medicastore.com/med/index.php.

Rahmat, (1994), Sistem Penataan Lingkungan, Suara Karya, Jakarta.

Rusli, S., (2001), Tatalaksana Diare Berdarah Pasien Dewasa, Majalah Penyakit
Infeksi Indonesia, Th 1, No 1:8-12.

Penuntun Diit Anak, RSCM dan Persatuan Ahli Gizi Indonedia, Gramedia, Jakarta.

Slamet.S. (1996), Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Suandi, (1999), Diit pada Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Sudarmo,S., Suparto, P., Saharno,D., Ontosento, T., (2000), Tindakan Ibu terhadap
Anaknya yang Menderita Gastroenteritis Akut (Diare Akut), Buletin Ilmu
Kesehatan Anak, Tahun XXX, No 2 April 2000: 73-91.

Sudigdo, S. Sofyan Ismail (1995), Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kesehatan,
Binarupa Aksara, Jakarta.

Sudiharto, (2007), Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan
Transkultural, EGC, Jakarta.

Suharyono, (1989), Diare Akut, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.

Soemirat, J. (1996), Kesehatan Lingkungan, UGM, Yogyakarta.


_________, (2005) Epidemiologi Lingkungan, UGM, Yogyakarta.

Sunarti. E, (2004), Mengasuh dengan Hati Tantangan yang Menyenangkan, Media
Komputindo, Jakarta.
Slamet SJ, (1994), Kesehatan Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Unicef, (2002). Perilaku Hidup Sehat, Dep.Kes. R.I, Jakarta.

Wibowo, dkk, (2002), Faktor Resiko Kejadian Diare Berdarah pada Balita
di Kabupaten Sleman, Tesis, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Widaya, W., (2004), Permasalahan dan Kebijakan Pemerintah untuk
Penanggulangan Diare, disampaikan dalam Seminar Nasional Diare
Perkembangan Terkini dan Permasalahannya, Yogyakarta.

Widjaja, M.C. (2002). Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita, Kawan Pustaka,
Jakarta.

Winardi, B, (1981), Diare dan Upaya Pemberantasannya, Dit. Jen. P3M, Dep.Kes.
RI, Jakarta.

WHO, (1999), WHO Recommended Surveillance Standards, Second edition, Genewa.

Sanropie, D.,AR., Sumini, Margono, Sugiharto, Purwanto, S., Ristanto, B., (1983).
Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih APK-TS, Pusdiklat Depkes RI.,
Jakarta: 1-347.

Suharyono, (1986), Diare Akut, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.

_________, (2008), Diare Akut Klinik dan Laboratorik, Renika Cipta, Jakarta.

Suryono, A., (1988). Isu Penelitian pada Peningkatan pada Pola Pemberian
Makanan Bayi untuk Penanggulangan Diare, BKM, IV (11) : 327-333.

Sunoto, Suparto, P., Soenarto, Y., Ismail, R., Sanusi, R., & Northrup, R., (1990).
Buku Ajar Diare, Depkes RI, Jakarta.



Wibowo, T.A, Sunarto,S.S., Pramono,D., (2004). Faktor-faktor Resiko Kejadian
Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman, BKM/XX/01/1-48.



Lampiran 1.

KUESIONER

Nomor identitas


l. Krakteristik ibu balita
1 . Nama Ibu
2. Tempat / tanggal lahir (sesuai
dengan KTP )

3. A l a m a t
4. Umur Ibu balita .......................... tahun
5. Pendidikan ibu 1. [ ] Tidak sekolah
2. [ ] Tidak lulus SD
3. [ ] Lulus SD
4. [ ] Lulus SLTP
5. [ ] Lulus SLTA
6. [ ] Lulus D3 / S1

6. Pengetahuan ibu 1. [ ] baik
2. [ ] kurang baik
6. Pekerjaan Ibu





7. berapa penghasil ibu dalam sebulan
1. [ ] Petani
2. [ ] Swasta
3. [ ] Nelayan
4. [ ] Buruh
5. [ ] PNS

1. [ ] Rp < 1.200.000
2. [ ] Rp 1.200.000










Pengetahuan

Pertanyaan


Ya

Tidak


Skor
1 2 3 4
1. Apakah ibu tahu apa itu penyakit diare?
2. Jika YA apakah ibu tahu gejala diare?
3 Apakah ibu tahu tentang oralit?
4. Apakah ibu tahu cara pembuatan air Gula garam?
5. Jika anak mengalami penyakit Diare apakah ibu
mengerti bahayanya
6. Menurut Ibu , apakah perlu berobat jika sakit ?
7. Apakah saudara yakin , pengobatan penyakit pada
tempat pelayanan kesehatan lebih cepat sembuh ?
8. Menurut saudara, pada tahap manakah suatu penyakit
harus diobati ke tempat pelayanan kesehatan ?
a. Pada awal gejala penyakit.
b. Pada saat terasa sakit
c. Pada saat penyakit sudah parah.
d. Tidak tahu.
9. . Menurut saudara, apa tujuan saudara mencari
pengobatan ?
a. Untuk menyumbuhkan penyakit sampai sembuh.
b.Hanmya untuk menyumbuhkan penyakit pada saat
kambuh
c. Sekedar menghilangkan rasa sakit
d. Tidak tahu




II. Krakteristik Anak
1. N a m a anak balita

2. Jenis kelamin 1. [ ] Laki-laki. 2. [ ] perempuan
3. Umur anak 6 60 bulan bulan.
4. Apakah anak ibu menderita diare
dalam sebulan ini ?.
[ ] ya [ ] Tidak
5. Berat badan anak bulan yang lalu ......................... BB
6. Status gizi berdasarkan KMS 1 .[ ] Lebih 2 . [ ] Baik.
3 .[ ] Kurang . 4 . [ ] Buruk


III. Upaya pengobatan

Pertanyaan


Ya

Tidak


Skor
1 2 3 4
1. Apakah dalam sebulan terakhir ini anak ibu
menderita sakit diare, ?

2. Jika jawaban YA Apakah ibu segera membawa ke
Puskesmas/Pustu untuk berobat ?.



3. Jika jawaban tidak apakah ibu membawanya ke
dokter praktek?

4. Jika jawaban tidak Apakah ibu mengobati sendiri
dirumah ?

5. Jika jawaban ya apakah ibu membeli obat yang
dijual bebas di pasar ?

6. Jika tidak apakah ibu mengobati sendiri dengan
obat tradisional ?

7. Apakah keluarga saudara mendukung dalam
pencarian tempat pengobatan karena anak saudara
sakit diare ?.

8. Apakah ibu merasa sulit untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan?

9. Jika tempat saudara jauh dari tempat pelayanan
kesehatan, apakah saudara berusaha membawanya ?

10 Jika anak ibu diare apakah ada pantangan makanan
tertentu?

11. Jika anak ibu diare apakah ibu tersedia biaya untuk
pengobatan ?


IV. Pencegahan Diare
Sarana Air Bersih
Pertanyaan Ya Tidak Skor
1 2 3 4
1. Apakah ibu selalu menyediakan air bersih untuk
keluarga?

2. Dari manakah sumber air yang digunakan untuk
keperluan minum dan memasak?
a. Sumur
b. PAM
c. Sungai
d. Air isi ulang



3. Dari manakah sumber air yang digunakan untuk
keperluan cuci piring, pakaian dan peralatan
lainnya?
a. Sumur
b. PAM
c. Sungai

4. Dari manakan sumber air yang digunakan untuk
keperluan mandi?
a. Sumur
b. PAM
c. Sungai

5. Apakah ibu menyediakan air minum untuk keluarga
yang sudah dimasak?

6. Bila sumber air bersih jauh dari rumah ibu, apakah
ibu berusaha untuk memperolehnya?


Tempat Pembuanga Tinja

Pertanyaan


Ya

Tidak

Skor
1 2 3 4
1. Dimanakah keluarga ibu biasanya buang air besar ?
a. Jamban/WC
b. Sawah
c. Sungai
d. Semak-semak

2. Jika jawabannya poin a apakah
jamban/WCmempunyai lantai ?


3. Apakah jarak jamban/WC dengan sumber air
minum lebih dari 10 m?

4. Bagaimana keadaan Jamban/WC?
a. Bersih
b. Kotor











Pemberian ASI
Pertanyaan Ya Tidak Skor
1. Apakah ibu memberikan ASI kepada anak ibu?
2. Jika YA Apakah ibu memberikan ASI Eklusive pada
anak ibu sampai umu r anak 6 bulan ?

3. Apakah ibu memberikan susu buatan untuk anak ibu?
4. Apakah untuk pemberian susu buatan menggunakan
dot?

5. Jika YA Apakah dot selalu dicuci sebelum
digunakan?

6. Apakah ibu menyusui anak ibu sampai umur 2 tahun?

7. Apakah selama ibu memberikan ASI ada pantangan
makanan tertentu ?


Kebiasaan mencuci tangan

Pertanyaan Ya Tidak Skor
1. Apakah ibu selalu mencuci tangan sebelum
memberikan makanan anak ?

2 Apakah ibu selalu mencuci tangan setelah
membersihkan buang air besar ?

3. Jika Ya apakah ibu memakai sabun ?
4. Apakah ibu selalu mencuci tangan sebelum menyuapi
anak?

5. Jika tangan ibu kotor karena bekerja, sedangkan
anak ibu menangis minta ASI, apakah ibu segera
mencuci tangan ?

6. Apakah ibu mengajarkan anak ibu mencuci tangan
sebelum makan ?














Imunisasi


Pertanyaan


Ya

Tidak

Skor
1 2 3 4
1. Apakah ibu tahu tentang imunisasi?
2. Apakah anak ibu mendapat imunisasi secara
lengkap?

. 3. Dimana anak ibu di imunisasi?
a. Posyandu
b. Puskesmas
c. Dokter praktek
4. Apakah keluarga ibu mendukung agar anak ibu di
imunisasi?

5. Apakah anak ibu mendapatkan imunisasi campak?
6. jika jawaban tidak mengapa?
a. Tidak tahu
b. Jauh dari pelayanan kesehatan
. c. Takut anak SAKIT
........................................2008
Pengumpul data


_________________


Lampiran 3

Uji Kualitas Data
Pengujian
Hasil Uji Validitas
Variabel Butir CITC Status
Pengetahuan
Pengetahuan1 1 0,480 Valid
Pengetahuan2 2 0,659 Valid
Pengetahuan3 3 0,543 Valid
Pengetahuan4 4 0,503 Valid
Pengetahuan5 5 0,760 Valid
Pengetahuan6 6 0,787 Valid
Pengetahuan7 7 0,484 Valid
Pengetahuan8 8 0,738 Valid
Pengetahuan9 9 0,672 Valid

Pengobatan
Pengobatan 1 0,639 Valid
Pengobatan 2 0,451 Valid
Pengobatan 3 0,559 Valid
Pengobatan 4 0,507 Valid
Pengobatan 5 0,720 Valid
Pengobatan 6 0,457 Valid
Pengobatan 7 0,366 Valid
Pengobatan 8 0,639 Valid
Pengobatan 9 0,451 Valid
Pengobatan 10 0,559 Valid
Pengobatan 11 0,461 Valid

Sarana
Sarana1 1 0,610 Valid
Sarana2 2 0,554 Valid
Sarana3 3 0,420 Valid
Sarana4 4 0,692 Valid
Sarana5 5 0,562 Valid
Sarana6 6 0,768 Valid



Pembuangan
Pembuangan 1 0,427 Valid
Pembuangan 2 0.390 Valid
Pembuangan 3 0,491 Valid
Pembuangan 4 0,379 Valid
Valid

ASI

ASI1 1 0,579 Valid
ASI2 2 0,477 Valid
ASI3 3 0,489 Valid
ASI4 4 0,526 Valid
ASI5 5 0,603 Valid
ASI6 6 0,661 Valid
ASI7 7 0,469 Valid


Pengujian
Berdasarkan tabel diatas, nilai Corrected Item-Total Correlation untuk tiap- tiap butir
item variabel > dari nilai r tabel sebesar 0,361 (df = 30-2 ; 0,05 ), maka variabel
dinyatakan valid.

2. Uji Reliabilitas
Variabel Butir Cronbach Alpha
( r hasil )
r tabel
Pengetahuan
Pengetahuan1 1 0,879 0,361
Pengetahuan2 2 0,865 0,361
Pengetahuan3 3 0,875 0,361
Pengetahuan4 4 0,878 0,361
Pengetahuan5 5 0,856 0,361
Pengetahuan6 6 0,853 0,361
Pengetahuan7 7 0,879 0,361
Pengetahuan8 8 0,858 0,361
Pengetahuan9 9 0,864 0,361

Pengobatan
Pengobatan 1 0,822 0,361


Pengobatan 2 0,838 0,361
Pengobatan 3 0,829 0,361
Pengobatan 4 0,833 0,361
Pengobatan 5 0,816 0,361
Pengobatan 6 0,837 0,361
Pengobatan 7 0,845 0,361
Pengobatan 8 0,822 0,361
Pengobatan 9 0,838 0,361
Pengobatan 10 0,829 0,361
Pengobatan 11 0,837 0,361

Sarana
Sarana1 1 0,799 0,361
Sarana2 2 0,810 0,361
Sarana3 3 0,838 0,361
Sarana4 4 0,781 0,361
Sarana5 5 0,809 0,361
Sarana6 6 0,763 0,361

Pembuangan
Pembuangan 1 0,568 0,361
Pembuangan 2 0,594 0,361
Pembuangan 3 0,519 0,361
Pembuangan 4 0,601 0,361

ASI
ASI1 1 0,775 0,361
ASI2 2 0,794 0,361
ASI3 3 0,792 0,361
ASI4 4 0,785 0,361
ASI5 5 0,771 0,361
ASI6 6 0,760 0,361
ASI7 7 0,795 0,361


Berdasarkan dari tabel diatas, nilai cronbach alpha dari masing-masing variabel >
dari nilai r tabel 0,361 ( df = 30-2 ; 0,05 ), dengan demikian setiap butir
pertanyaan dari masing-masing kuisioner adalah reliabel.

Anda mungkin juga menyukai