PASIEN KEBIDANAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAMPUNG
PAPER
(sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Teori Hukum)
Oleh : SRI SURYANA No. Mahasiswa : 13/356368/PHK/7944
PRODI HUKUM KESEHATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
SUMMARY SRI SURYANA KELALAIAN TENAGA KESEHATAN DALAM PENANGANAN PASIEN KEBIDANAN (LEGAL OPINI KASUS MALPRACTICE DI SEBUAH RUMAH SAKIT) iii+ 12 halaman
Pada hari Senin tanggal 03 Juni 2013 jam 10.00 WIB ada seorang ibu hamil bernama Ny.Mr, usia 29 th, dengan usia kandungan yang sudah cukup (sudah saatnya melahirkan) datang ke sebuah rumah sakit X di antar oleh sang suami bernama Tn.S dengan maksud untuk memastikan kondisi kehamilannya yang memang sudah di jadwalkan untuk melakukan proses kelahiran dengan cara Operasi Caesar karna dari hasil pemeriksaan rutin si ibu sudah diketahui bahwa dalam kandungannya terdapat 2 janin (kembar). Pagi itu Ny. Mr datang ke rumah sakit umum X. Dari uraian kasus tersebut diperoleh fakta hukum: Dokter tidak memberikan informasi tentang kondisi bayi kedua saat masih di dalam kandungan Ny.MR,dokter tidak melakukan pengecekan kembali terhadap kondisi ibu setelah melahirkan bayi pertama/ sebelum dilakukan Operasi Caesar,Tenaga kesehatan di ruang operasi belum siap saat mau dilakukan Operasi Caesar. Sumber hukum yang digunakan dalam kasus ini adalah ; UUD 1945, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Metode penafsiran yang digunakan dalam penemuan hukum pada kasus ini adalah Metode Interpretasi Gramatikal dan Metode Argumentum Per Analogiam. Dari analisa kasus di atas dapat disimpulkan bahwa kelalaian/kecerobohan tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit terhadap penanganan pasien dapat dikatakan sebagai perbuatan pelanggaran terhadap hukum. Pelanggaran terhadap hukum itu dapat digugat oleh pasien secara perdata yaitu tanggung gugat berdasarkan : Wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata) dimana dalam hal ini dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual), selain itu dokter juga telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) (pasal 1365 KUH Perdata) dimana tindakan dokter bertentangan dengan azaz kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan daripadanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat (tanggung jawab berdasarkan undang-undang).Selain tanggung gugat berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, tenaga kesehatan juga dapat di gugat secara pidana (pasal 79 huruf c).Selain tenaga kesehatan secara pribadi, rumah sakit sebagai instansi tempat dimana tenaga kesehatan itu bekerja juga terkena tanggung gugat yaitu sanksi Administratrif sesuai pasal 29 ayat (2) UU no 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, serta berlaku pula ketentuan pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Kata kunci : Kelalaian tenaga kesehatan Kepustakaan : 7, 1996-2013
LEGAL OPINI
KELALAIAN TENAGA KESEHATAN DALAM PENANGANAN PASIEN KEBIDANAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAMPUNG
I. KASUS POSISI Pada hari Senin tanggal 03 Juni 2013 jam 10.00 WIB ada seorang ibu hamil bernama Ny.Mr, usia 29 th, dengan usia kandungan yang sudah cukup (sudah saatnya melahirkan) datang ke sebuah rumah sakit X di antar oleh sang suami bernama Tn.S dengan maksud untuk memastikan kondisi kehamilannya yang memang sudah di jadwalkan untuk melakukan proses kelahiran dengan cara Operasi Caesar karna dari hasil pemeriksaan rutin Ny.Mr sudah diketahui bahwa dalam kandungannya terdapat 2 janin (kembar). Pagi itu Ny. Mr datang ke rumah sakit umum X, pertama- tama dilakukan pengecekan kondisi Ny. Mr dimana tensi normal 110/80, berat badan 61 Kg, tetapi beberapa jam kemudian dicek lagi tensi Ny.Mr naik menjadi 150/100 dan urine protein +3. Akhirnya pihak rumah sakit memutuskan Ny.Mr beristirahat di rumah sakit untuk pemulihan kondisi guna persiapan Operasi Caesar yang akan dilakukan esok harinya. Malam hari sekitar jam 21.00 Ny. Mr merasakan adanya kontraksi (mules sering) dan terasa air ketuban sudah pecah, kemudian diperiksa oleh seorang petugas rumah sakit (bidan) dan diketahui kalau Ny.Mr sudah dalam pembukaan 4 kemudian Ny. Mr di pindahkan ke ruang khusus untuk melahirkan. Oleh karena pembukaan terus mengalami kemajuan, maka dr.L menyarankan kepada pasien untuk di coba dilakukan proses kelahiran normal. Proses kelahiran normal ditangani oleh dr.L dan dibantu oleh 4 orang bidan. Sekitar pukul 01.00 WIB lahir seorang bayi pertama berjenis kelamin laki-laki dengan berat 3,1 Kg. Setelah di tunggu beberapa saat bayi kedua tidak juga keluar, kemudian bidan mencoba melakukan pemutaran posisi bayi yang disebutkan dalam posisi melintang. Saat itu dokter Obgyn tidak ada di tempat, proses persalinan hanya dilakukan oleh seorang dokter umum dan didampingi oleh seorang bidan. Disela-sela dokter melakukan pertolongan persalinan itu, perlahan Ny. Mr mendengar ucapan dokter L kepada bidan yang membantunya, intinya bahwa bayi kedua yang masih ada di dalam kandungan Ny.Mr sudah makin melemah, tetapi dokter L hanya mengatakannya kepada bidannya saja, dan hal tersebut tidak disampaikan kepada Ny.Mr atau kepada suami Ny.Mr yaitu Tn.S yang saat itu menunggu di luar ruang persalinan. Kondisi Ny.Mr saat itu memang sangat lemah tetapi ia masih bisa mendengar. Ny. Mr juga sempat merasa pergerakan bayi yang ada dalam kandungannya saat itu tidak dirasakannya lagi. Tapi ia berfikir mungkin karna bayi pertama sudah keluar maka tempatnya menjadi luas untuk bayi kedua. Setelah proses persakinan Ny. Mr dalam keadaan sangat lemah, tetapi saat itu tidak dilakukan pengecekan kembali oleh dokter terhadap kondisi ny.Mr. Oleh karena bayi kedua tidak juga keluar maka diputuskan untuk dilakukan Operasi Caesar, dan kemudian Ny.Mr dipindahkan ke kamar operasi, dimana dalam menunggu persiapan kamar operasi hingga pasien harus menunggu lebih dari 2 jam dengan alasan petugas di kamar operasi belum ada di tempat dan harus dihubungi melalui pesawat telephone, begitu juga dengan dokter obgynnya, petugas mengatakan waktu itu karena masih malam jadi dokternya masih tidur dan akhirnya dilakukan operasi sekitar jam 03.30 WIB subuh dan bayi kedua berjenis kelamin perempuan dengan berat 2,7 Kg berhasil dikeluarkan namun sudah dalam keadaan meninggal. Menurut pengakuan pasien, pasien mendengar dokter umum yang bernama dr.L berbicara dengan bidan bahwa sebelum masuk ruang operasi kondisi bayi sudah melemah, dan pasien pun merasakan sudah tidak ada gerakan lagi di dalam perutnya. Tetapi hal itu tidak disampaikan oleh dokter kepada pasiennya hingga dilakukan Operasi Caesar.
II. FAKTA HUKUM 1. Dokter tidak memberikan informasi tentang kondisi bayi kedua saat masih di dalam kandungan Ny.MR. 2. Dokter tidak melakukan pengecekan kembali terhadap kondisi ibu setelah melahirkan bayi pertama/ sebelum dilakukan Operasi Caesar. 3. Tenaga kesehatan di ruang operasi belum siap saat mau dilakukan Operasi Caesar
III. ISU HUKUM (LEGAL ISSUE) 1. Apakah sikap dokter tidak memberikan informasi tentang kondisi yang sebenarnya tentang keadaan pasien adalah wajar secara hukum? 2. Apakah tindakan dokter tidak melakukan pengecekan ulang terhadap pasien setelah proses persalinan di anggap wajar secara hukum? 3. Apakah ketidak siapan tenaga kesehatan (dokter Obgyn) dalam penaganan Operasi Caesar adalah sebuah perbuatan melawan hukum? 4. Siapakah yang bertanggung jawab atas kasus tersebut?
IV. SUMBER HUKUM 1. UUD 1945 2. UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran 3. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 4. UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
V. ANALISA ISU HUKUM 1. Sikap Dokter Yang Tidak Memberi Informasi Tentang Kondisi Kesehatan pasien Dalam hal hubungan dokter dan pasien, komunikasi memegang peranan penting dalam melakukan perawatan terhadap pasien, di sisi lain bentuk komunikasi antara dokter dan pasien sudah di atur dalam ketentuan khusus yang yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berupa undang-undang dan permenkes. 1
(Bastian & Suryono 2011) Hubungan antara tenaga kesehatan-pasien adalah hubungan yang berlangsung antara dokter/dokter gigi dengan pasiennya selama proses pemeriksaan /pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik, rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien. Pengembangan hubungan dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerjasama antara dokter
1 Bastian I, Suryono. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. 1st ed. Jakarta: salemba Medika; 2011. Hlm.38. dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan secara verbal dan non verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatan, peluang, dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari alternative untuk mengatasi permasalahannya (Bastian & Suryono 2011) Dalam ikatan hubungan yang demikianlah masalah persetujuan tindakan medis (Informed Consent) muncul, di satu sisi tim dokter mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan medis, di sisi lain pasien atau keluarga pasien mempunyai hak mendapatkan penjelasan/informasi tentang apa yang akan dilakukan dokter. Tak selalu apa yang harus dilakukan dokter sejalan dengan keinginan pasien atau keluarga, karena pertimbangan budaya, kepercayaan, psikis, keuangan, agama, keluarga, dan lain-lain. Di Indonesia telah mempunyai kaidah-kaidah yang perlu segera dipahami, baik oleh providers ataupun recivers dalam membuat, merencanakan ataupun melaksanakan Informed Consent yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis (PTM) / Informed Consent (IC). Peraturan tersebut berisi mengenai penjelasan kepada pasien dalam rangka memperoleh izin untuk melakukan tindakan medis yang kadang kala terdapat pertimbangan demi maksud memperingan penderitaan pasien atau demi maksud tidak menakutkan perasaan pasien untuk tidak menjadi goncang, sehingga penjelasan tidak lengkap karena ada sebagian informasi yang sengaja disimpan untuk menghindari akibat buruk kepada pasien. 2
Dokter bedah perlu menyampaikan informasi kepada setiap pasien yang akan dilakukan pembedahan karena pasien harus mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan operasi sebelum ia memberikan persetujuan. Dalam upaya untuk mendapatkan persetujuan dari pasien seorang dokter bedah harus menyediakan berbagai informasi yang diperlukan oleh pasien antara lain adalah sebagai berikut : (Robert Wheller, 2006) a. Tujuan dari perawatan b. Diagnosis penyakit c. Pilihan dari perawatan dan prognosis, termasuk pilihan untuk tidak dilakukan perawatan
2 Bastian I, Suryono. Ibid. Hlm.45. d. Dokter harus menjelaskan pilihan perawatan dengan menjelaskan tingkat keberhasilan pada setiap pilihan yang disediakan. e. Dokter harus memberitahukan efek samping yang mungkin terjadi f. Dokter harus memberitahukan nama-nama dokter yang akan menangani dan yang bertanggungjawab terhadap seluruh proses. g. Dokter harus mengingatkan tentang hak pasien boleh berubah pikiran kapan saja sebelum dilakukan tindakan.(Bastian & Suryono 2011) Sebagai dokter bedah harus mampu mempertimbangkan beberapa hal yang perlu disampaikan kepada pasien, khususnya dampak yang akan merugikan dari tindakan pembedahan tersebut. Informasi yang diberikan tentunya harus yang ada relevansinya dengan kebutuhan dokter untuk mendiagnosa maupun untuk menterapi penerima pelayanan medik (pasien). Tergantung kepada tindakan untuk menentukan diagnose ataupun terapi, maka informasi yang diberikan haruslah meliputi tentang : (Bakri 1998) a. Informasi tentang keadaan pasien (hasil diagnosa) b. Informasi tentang tujuan tindakan yang akan dilakukan (the purpose of medical procedures) c. Informasi tentang pilihan-pilihan tindakan-tindakan lain yang tersedia dan resiko masing-masing pilihan (the alternative medical procedures and risk), serta d. Informasi tentang prognosis penyakit apabila tindakan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan. Informasi yang jelas dan lengkap (adequate information) harus diberikan oleh dokter langsung kepada pasien. Pada dasarnya pemberian informasi ini tidak dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan yang lain, sebab yang bertanggung jawab adalah dokter. Begitu pula informasi harus disampaikan dalam bahasa yang yang dimengerti oleh pasien. Oleh karena itu apabila pasien tidak menguasai bahasa dokter atau dokter tidak menguasai bahasa pasien maka diperlukan penterjemah agar komunikasi informasi dapat diberikan dan diterima dengan baik oleh kedua belah pihak. 3 (Bakri 1998)
3 Abdul wahab bakri, Capita Selecta Hukum Medik, Fakultas Hukum Unisba, 1998, hlm.26. Berdasarkan ketentuan pasal 52 Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak : (Anon 2011) a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3): 4
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan e. Mendapatkan isi rekam medis. Menurut Robert Wheeler ada tiga opsi yang perlu diperhatikan sebelum tindakan bedah, yaitu: a. Seorang dokter harus menyampaikan semua informasi yang ingin diketahui oleh pasien tanpa ada yang harus disembunyikan. b. Dokter bedah yang akan melakukan tindakan harus menyampaikan kepada pasien bahwa pasien boleh meminta pertimbangan dokter kedua c. Dokter yang sudah menjelaskan seluruh informasi kepada pasien sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan harus meminta persetujuan dari pasien. 5
Dari tiga hal tersebut sudah jelas bahwa pasien mempunyai hak atas informasi tentang kondisi yang sebenarnya terjadi atas diri pasien. Namun disini hak pasien ibu MR tidak terpenuhi, karena dokter tidak memberitahukan bagaimana sebenarnya kondisi bayi ke dua yang masih berada di dalam kandungannya hingga akhirnya bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan sudah meninggal dunia. Dalam kasus ini sikap dokter dianggap tidak wajar karena telah melakukan pelanggaran atas hak pasien untuk mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai kondisi kesehatan pasien. Oleh karena pelangaaran hak pasien atas informasi ini tidak terdapat dalam pasal Undang-Undang maka dalam upaya penemuan hukum kita dapat menggunakan Metode Argumentum Per Analogium,(Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo 1996) yaitu menafsiran peristiwa ini disamakan dengan tindakan Wanprestasi seperti yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata dan suatu perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.
4 Undang-undang Praktik Kedokteran, Fokusindo Mandiri,2011, hlm.27. 5 Robert Wheeler, Thomas L.Hartshorne, dan Mark T Tebeau, Sosial Fabric, Practise Hall Volume 2, 2006 2. Tindakan Tenaga Medis / Dokter Tidak Melakukan Pengecekan Ulang Terhadap Pasien Setelah Proses Persalinan Sebelum dan sesudah menjalani proses persalinan biasanya dilakukan tindakan pemeriksaan kondisi dasar terhadap pasien, misalnya tensi darah, nadi, suhu badan dan pernafasan pasien. Pasien ibu MR mengaku tidak dilakukan pengecekan lagi terhadap dirinya setelah ia melahirkan bayi pertamanya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tenaga kesehatan/dokter telah melakukan kecerobohan/ kelalaian dalam melakukan tindakan medic karena tidak sesuai dengan standar profesi yang tertuang dalam standar operasional prosedur (SOP) yang telah dibuat oleh rumah sakit tempat ia bekerja. (S.Soetrisno, SH 2010) Kesalahan dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai, atau tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya dilakukan. Kesalahan seperti ini kemungkinannya dapat terjadi karena faktor ketidaksengajaan atau kelalaian dari seorang dokter. Menurut C. Berkhouwer & L.D. Vorstman, suatu kesalahan dalam melakukan profesi bisa terjadi karena adanya tiga faktor, yaitu : 6 (Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., SM. 2013) a. Kurangnya pengetahuan, b. Kurangnya pengalaman, dan c. Kurangnya pengertian.
3. Ketidak Siapan Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan Operasi Caesar Sesuai ketentuan pasal 51 huruf (a) Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran bahwa dokter/dokter gigi mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. (Anon 2011) Tindakan keterlambatan dokter saat akan dilakukan tindakan operasi Caesar kepada pasien Ny.Mr adalah sebuah kecerobohan/kelalaian karna dokter tersebut tahu bahwa akibat buruk akan terjadi jika tindakan operasi Caesar tidak segera dilakukan terhadap Ny.Mr, tetapi dokter tetap melakukan hal tersebut. Atas dasar tersebut di atas, dengan menggunakan Metode Penafsiran Argumentasi per Analogi maka dokter obgyn dapat dikatakan telah melakukan: - Wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata)
6 Dr. Bahder Johan Nasution, SH.,SM.,M.Hum, HUkum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, 2013, hlm.50. Dalam hal ini dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) - Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) (pasal 1365 KUH Perdata) Dalam hal ini dokter telah berbuat melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan azaz kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan daripadanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat (tanggung jawab berdasarkan undang-undang). 7 (S.Soetrisno, SH 2010)
VI. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Kasus Tersebut a. Upaya penegakan hukum dalam kasus tidak memberikan informasi kepada pasien. Dalam hal ini dokter tidak memberikan hak pasien berupa informasi tentang bagaimana kondisi kesehatan pasien pada saat itu, termasuk kondisi janin yang ada dalam kandungan pasien, hal ini bertentangan dengan pasal 52 huruf (a) UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dimana dijelaskan bahwa pasien berhak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang meliputi : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternative tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Mempertimbangkan fakta di atas dokter dapat dinilai telah melakukan wanprestasi karena dokter telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan informasi kepada pasien. Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengacu pasal 1243 KUH Perdata. 8
Selain mengacu pasal 1243 KUH Perdata, juga dapat mengacu pasal 1365 KUH Perdata, 9 dimana dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum.
b. Upaya penegakan hukum pada tindakan tenaga medis/ dokter tidak melakukan pengecekan ulang kondisi pasien pasca melahirkan Pada kasus ini upaya penegakan hukum yang ditempuh berupa :
7 S.Soetrisno, SH, MH, Malpraktek Medik & Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu Indonesia, 2010, hlm. 38. 8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1432; Pengantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila siberhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya 9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 ; Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut - Sanksi Administratif Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit; Pelanggaran atas kewajiban sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa : a). teguran, b). teguran tertulis dan c). denda dan pencabutan izin rumah sakit. Dimana ayat (1) yang dimaksud disini adalah pada huruf (b) : memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. - Sanksi Pidana Pasal 79 UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran: Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang : (a) dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) ; (b) dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1); atau (c) dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e
Yang mana bunyi pasal 51 huruf a berbunyi; memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar prosedur operasional serta kebutuhan pasien.
c. Upaya penegakan hukum pada kasus ketidaksiapan tenaga kesehatan dalam penanganan Operasi Caesar Upaya hukum dapat ditempuh dengan cara : 1. Sesuai Pasal 1243 KUHPerdata : Wanprestasi Yang berbunyi Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila siberhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya. (Prof. R. Subekti & Tjitrosudibio 2008). Dalam hal ini dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual), dokter melakukan kelalaian / kecerobohan dengan tidak ada di tempat/ terlambat datang saat akan dilakukan tindakan Operasi Caesar. 2. Sesuai Pasal 1365 KUH Perdata : Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) Yang berbunyi : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam hal ini dokter telah berbuat melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang diharapkan daripadanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat (tanggungjawab berdasarkan undang-undang), akibat keterlambatan dokter obgyn sehingga menimbulkan kerugian terhadap pasien ibu MR yang kehilangan nyawa bayinya.
VII. Yang Bertanggung Jawab Terhadap Kasus Tersebut Mengenai siapa yang bertanggung jawab adalah : 1. dr. Umum Disini dokter umum bertanggung jawab atas kelalaiannya tidak memberikan informasi mengenai kondisi pasien/ bayi yang ada dalam kandungan pasien yang saat itu dalam keadaan lemah. Seperti yang tertuang dalam pasal 52 huruf (a) UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa pasien berhak Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) 10
Dokter tersebut secara hukum telah melakukan kelalaian yang disebut wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata). Selain itu, dokter juga telah melakukan perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata). 2. dr. Obgyn dr. Obgyn telah melakukan kelalaian karena dokter sudah tau bahwa akibat buruk meninggalnya bayi yang ada di dalam kandungan Ny,Mr mungkin saja terjadi tetapi dokter obgyn tersebut tidak berupaya untuk segera melakukan operasi Caesar, dokter obgyn bahkan datang terlambat padahal itu tergolong kondisi Cyto, sebagai penanggung jawab proses Operasi Caesar yang menangani proses kelahiran pasien Ny. MR. dapat dikenai sanksi :
10 Undang-undang nomor 29 tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran - Sesuai Pasal 1243 KUHPerdata : Wanprestasi - Sesuai Pasal 1365 KUH Perdata : Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) 3. Rumah Sakit Dalam hal ini hubungan dokter dan rumah sakit adalah hubungan ketenagkerjaan, yakni dokter adalah pegawai RS, dalam arti ada hubungan antara pemberi kerja & penerima kerja (istilah dahulu hubungan buruh dengan majikan). Pola hubungan hukum seperti ini, dokter disebut sebagai dokter in dari RS. Dokter yang pegawai RS, harus tunduk kepada seluruh peraturan tentang ketenagakerjaan. Hak & kewajiban yang timbal balik antara pemberi kerja & penerima kerja, selain diatur baik di dalam perundangan ketenagakerjaan, juga diatur di dalam KHUPdt. Disini , pasien dapat menggugat RS, karena berdasarkan ketentuan di dalam KHUPdt, melalui Pasal 1367, yang menentukan bahwa majikan bukan hanya bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya, tetapi juga bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Selain itu, rumah Sakit X sebagai atasan dokter/ tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit X tersebut yang menangani pasien Ny. MR., maka pihak rumah sakit X bertanggung gugat (aansparakelijk) atas perbuatan bawahannya/ pegawainya kepada pihak pasien (Ny.MR) Artinya apabila pasien menggugat, ia dapat menggugat dokter atau bidan yang telah melakukan kelalaian dan juga pihak rumah sakit X untuk memperoleh ganti rugi. Dalam hal ini pihak rumah sakit X juga dapat dikenai sanksi Administratrif sesuai pasal 29 ayat (2) UU no 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pelanggaran atas kewajiban sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa : a). teguran, b). teguran tertulis dan c). denda dan pencabutan izin rumah sakit. Dimana ayat (1) yang dimaksud disini adalah pada huruf (l) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien
VIII. KESIMPULAN Dari analisa kasus di atas dapat disimpulkan bahwa kelalaian/kecerobohan tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit terhadap penanganan pasien dapat dikatakan sebagai perbuatan pelanggaran terhadap hukum. Pelanggaran terhadap hukum itu dapat digugat oleh pasien secara perdata yaitu tanggung gugat berdasarkan : a. Wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata) Dalam hal ini dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) b. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) (pasal 1365 KUH Perdata) Dalam hal ini dokter telah berbuat melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan azaz kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan daripadanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat (tanggung jawab berdasarkan undang-undang). Selain tanggung gugat berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, tenaga kesehatan juga dapat di gugat secara pidana (pasal 79 huruf c). Bukan hanya tenaga kesehatan secara pribadi yang dapat digugat olah pasien, tetapi rumah sakit sebagai instansi tempat dimana tenaga kesehatan itu bekerja juga terkena tanggung gugat yaitu sanksi Administratrif sesuai pasal 29 ayat (2) UU no 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, serta berlaku pula ketentuan pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
DAFTAR PUSTAKA Anon, 2011. Undang-Undang Praktik Kedokteran, Bandung: Fukusindo Mandiri. Bakri, M.H.A., 1998. Capita Selecta hukum Medik, Bandung: Gakultas Hukum Unisba. Bastian, I. & Suryono, 2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan 1st ed., Jakarta: salemba Medika. Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., SM., M.H., 2013. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter 2nd ed., Jakarta: Rineka Cipta. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S., 1996. Penemuan Hukum 2nd ed., Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Prof. R. Subekti, S. & Tjitrosudibio, R., 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata 39th ed., Jakarta: PT. Pradnya Paramita. S.Soetrisno, SH, M., 2010. Malpraktek Medik & Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tangerang: PT. Telaga Ilmu Indonesia.