Anda di halaman 1dari 14

Minahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang
terpercaya.
Untuk kegunaan lain dari Minahasa, lihat Minahasa (disambiguasi).


Tari Maengket


Tari Kabasaran
Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di
provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi,
yang mencakup luas 27.515 km persegi, dan terdiri dari empat daerah, yaitu: Bolaang
Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk
berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan
seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran.
Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus,
Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).
Daftar isi
1 Etimology Minahasa
2 Huruf
3 Kerajaan dan Pemerintahan
4 Etimologi
5 Asal Usul Orang Minahasa
o 5.1 Kependudukan
6 Taman Laut Bunaken
7 Sejarah
8 Prasasti Pinawetengan
9 Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahn
10 Pengembangan Suku {Pemekaran}
11 Sistem Pemerintahan
12 Pergerakan Mengusir Penjajahan
o 12.1 Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Spanyol
o 12.2 Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Kompeni Belanda dengan VOC
o 12.3 Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang
o 12.4 Pergerakan Mengusir Penjajahan Era Kemerdekaan
13 Lihat pula
14 Pranala luar
Etimology Minahasa
Nama dari tanah Minahasa telah diubah beberapa kali: Batacina-Malesung-Minaesa dan
akhirnya nama saat Minahasa yang artinya "menjadi satu kesatuan". Nama ini berasal dari
perang melawan Kerajaan Bolaang Mangondow selatan. Namun, sumber lain menyebutkan
bahwa nama asli Minahasa Malesung, yang berarti "padi berputar", kemudian diubah menjadi
Se Mahasa, yang berarti "mereka yang menyatukan," dan akhirnya Minahasa, artinya [3]
"menjadi satu kesatuan."
Huruf
Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di
antaranya berada di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang
hingga kini masih sulit diterjemahkan.
Kerajaan dan Pemerintahan
Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki
pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang
berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang
dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara
merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh
luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan
pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13,
yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan
campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan
kerajaan dan terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS
Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.
Etimologi


Prajurit Minahasa
Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti
jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-
etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano),
Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah
menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa
pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen
Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa"
dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau
juga "Dewan Daerah".
Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu
Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda
pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu
tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu
(Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri
dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten
Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour
(meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku
Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa),
anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota
Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan
(meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai
wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas,
Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey,
Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara).
Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda
namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua
yang artinya sama asal kampung.
Asal Usul Orang Minahasa
Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia
dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China
selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan
ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. [7]
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya,
keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh),
Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan
dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka
bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka
bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-
nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan
bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan
sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini
berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian
dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah
utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera
beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa
dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di
daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau
besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air).
Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju
dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari
Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic
Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek
moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian
menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah
Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang.
Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada
1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat
pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mangondow- dan akhirnya ke tempat
Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik
subethnic.
Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan),
Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa Bolaang Mangondow berperang
melawan. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Mangondow Bolaang
adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang),
Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan
Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay).
Kependudukan
Kebanyakan penduduk Minahasa beragama Kristen, dan juga merupakan salah satu suku-
bangsa yang paling dekat hubungannya dengan negara barat. Hubungan pertama dengan
orang Eropa terjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba,
agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang
Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-
patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
Taman Laut Bunaken
Di depan pantai kota Manado berada pulau Manado Tua dengan daerah selam yang sangat
indah dimana pulau Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.
Sejarah


Tari Kabasaran
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut sekitar abad 1 (pertama)
pemukiman leluhur terlebih dulu berdiam di sekitar pesisir Likupang, lalu berpindah ke
pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan
berpindah ke Nieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Pada masa ini pemerintahan
menggunakan sistem kerajaan. Seorang raja bertahta berdasarkan garis keturunan.
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini
sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr.
JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur
orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan
cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari
Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut
Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi
ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) :
para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan
Telu (9x7) : Rakyat
Pembagian golongan berdasarkan keturunan darah. Ketika hadir pemimpin yang semakin
lama pemerintahan semakin korup dan sewenang-wenang, maka terjadilah revolusi rakyat
yang menggulingkan pemerintahan monarki.
Prasasti Pinawetengan


Prasasti Pinawetengan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Watu Pinawetengan
Batu Pinawetengan terletak didesa Tompaso. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis
dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu
ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi
tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut
Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David
DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti
Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah
Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.
Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahn
Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka
mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut
Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko
Muntu-untu I(tua/pertama).
Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang
mendeklarasikan sistem pemilihan




Sejarah dan Perkembangan dari Masa ke Masa
Rumah adat tradisional Minahasa yang dikenal dengan sebutan Wale atau Bale, yang artinya
tempat melakukan aktivitas dalam kehidupan berkeluarga. Berlandaskan filosofi masyarakat
Minahasa, Rumah Panggung Manado atau Rumah Minahasa yang berasal dari Desa Woloan,
memiliki dua tangga di serambi depan. Tangga di kiri dan kanan bagian depan rumah itu
berperan khusus saat terjadi pinangan secara adat. Pihak lelaki yang hendak meminang si
gadis yang tinggal di rumah itu, harus masuk ke rumah dengan menaiki tangga yang kiri.
Jika kita melihat keluarga si lelaki keluar dari rumah dengan menuruni tangga yang kanan,
itu artinya pinangan mereka diterima oleh tuan rumah. Sebaliknya, jika mereka turun
melewati tangga yang kiri lagi, yang mereka pakai untuk naik ke rumah panggung itu,
artinya pinangan mereka ditolak pihak tuan rumah.
Ciri utama rumah tradisional ini berupa Rumah Panggung dengan 16 sampai 18 tiang
penyangga. Beberapa abad lalu terdapat rumah tradisional keluarga besar yang dihuni oleh
enam sampai sembilan keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga
tersendiri dan mempunyai dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga sendiri. Kini, jarang
ditemui rumah adat besar seperti ini. Pada umumnya susunan rumah terdiri atas emperan
(setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling
depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga,
juga tempat makan tamu.
Sementara itu, di bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai
tempat menyimpan alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Bagian atas rumah
atau loteng (soldor) berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi
dan hasil lainnya. Bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat
menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan peliharaan.
Uniknya, rumah warga di Minahasa tak beratapkan genteng. Karena folosofi yang dianut
adalah tak baik jika hidup di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah). Rata-rata rumah
mereka beratapkan seng, daun, atau elemen besi lainnya. Mereka beranggapan hanya
orang meninggal saja yang bertempat tinggal di bawah tanah. Sekali pun ada yang
beratapkan genteng, umumnya rumah tersebut milik kaum pendatang. Meskipun demikian,
banyak juga rumah orang Minahasa yang beratapkan seng namun didesain seperti genteng.
Yang pertama kali mempoluperkan rumah panggung Minahasa yang memakai sistem
bongkar pasang (knock down system) adalah Paulus Tiow, warga Woloan, tahun 1942
silam. Ide membuat rumah ini terurai setelah rumah adat Minahasa miliknya dibeli oleh
seorang serdadu Jepang. Sejak saat itu Paulus mulai memproduksi rumah adat Minahasa
untuk dijual. Jejak Paulus kemudian diikuti oleh Beting Motulo.
Pemasaran rumah adat ini berkembang antara tahun 1960 sampai dengan 1980, tapi masih
sebatas daerah Minahasa saja. Baru setelah di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta berdiri
rumah adat Minahasa pada tahun 1980an, pesanan dari beberapa orang dari pulau Jawa
dan luar negeri mulai berdatangan. Bahan baku utama dari Rumah Adat ini terdiri atas,
kayu besi untuk rangka, kayu nyantoh untuk lantai, plafon dan kayu cempaka untuk dinding.
Saat ini pesanan rumah kayu panggung Manado datang dari berbagai daerah di Indonesia
dan mancanegara. Rumah Panggung kayu Manado dewasa ini bisa berfungsi sebagai
tempat tinggal, sebagai villa, cottage, gazebo, restaurant. Anda juga bisa memberikan
rumah ini sebagai hadiah kepada orang yang anda cintai, apakah itu dalam bentuk Gazebo,
Rumah Panggung, Cottage, Bungalow atau Rumah Villa melalui paket peti kemas yang
dikirimkan dari desa Woloan, Kabupaten Minahasa sebagai daerah asal rumah adat Rumah
Panggung Manado.
Sebagai penerus warisan budaya leluhur Orang Minahasa, kami berusaha melestarikan
budaya peninggalan nenek moyang Tou Minahasa melalui usaha pembuatan Rumah Kayu
Knock- Down Minahasa agar supaya warisan budaya ini tidak hilang ditelan zaman dan
masih bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.


Kawangkoan dikenal sebagai kota yang menjunjung tinggi persaudaraan
sebagaimana yang dicanangkan oleh Gubernur A.E.Mangindaan TORANG
SAMUA BASUDARA

Rasa persaudaraan terjalin dengan baik diantara pemeluk Agama yang ada
baik yang ada di Kota Kawangkoan maupun Minahasa bahkan Sulawesi Utara
pada Umumnya.

Kawangkoan dikenal sebagai kumpulan orang-orang bisnis yang ulung : Tibo,
Tukang, Tukang potong boke, pencari besi bekas, pencari botol

Selain itu dalam hal hubungan sosial antar sesama : Misalnya kedukaan, ada
yang dikenal dengan URUNAN PINAESAAN dimana tanpa di komado secara
spontan anggota masyarakat segra berkumpul untuk mendirikan bangsal.
Selain itu dikenal juga acara yang dinamakan BRANTANG. Dulunya acara
brantang hanya ada di Kota Kawangkoan tapi saat ini telah berkembang
sampai di desa-desa Kecamatan Kawangkoan.
Acara brantang ini dilaksanakan satu hari setelah penguburan di sponsori
langsung oleh Pemerintah Lingkungan(kalau desa disebut jaga) dimana
kedukaan itu terjadi. Brantang dilaksanakan satu hari penuh dimulai pagi hari
sampai malam hari. Semua masyarakat yang merasa ada ikatan dengan
keluarga berupa : tetangga, kenalan, saudara, bahkan tidak ada hubungan
keluarga sekalipun dari mana saja dapat mengambil bagian untuk makan
bersama dengan keluarga tapi dengan membayar uang brantang sebesar Rp
6000 (enam ribu rupiah) makan sepuasnya.
Ketika hari minggu tiba (Mingguan) maka melalui keluarga mengundang
masyarakat, Jemaat, tetangga dan handai taulan untuk bersama-sama untuk
beribadah dirumah ibadah dan selanjutnya bersama keluarga untuk makan
bersama,

Rumah Adat Minahasa
- Asal Usul Suku Minahasa
Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala. Di tanah
Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis (berambut
keriting),Kaum Lawangirung (berhidung pesek) dan Kaum Malesung/ Minahasa yang
menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Bantenan
(Pasan,Ratahan),Tonsawang, Bantik (sekitar tahun 1590).
Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan
Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam
bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll.
-Tingkatan atau status social
Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas) hingga saat ini istilah
yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa
dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan Golongan
Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patuan atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa
dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)
Golongan Makasiow Telu 9 x 9
Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas,
maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan
taranak mereka serta Golongan Pasiyowan Telu (rakyat).
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja
sebagai kepala pemerintahan
Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tua atau Patuan
yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua.
-Sistem kekerabatan suku minahasa (kota Manado)
Kota Manado secara hukum adat merupakan wilayah dari Tanah Minahasa, dimana
masyarakatnya sebagian besar berasal dari Suku Minahasa yakni Sub Suku Tombulu, Tonsea,
Tontemboan atau Tompakewa, Toulour, Tonsawang, Pasan atau Ratahan, Ponosakan, dan
Bantik. Ada juga masyarakat pendatang dari luar negeri, seperti Bangsa Cina yang telah
kawin mawin dengan orang Manado-Minahasa dan keturunannya disebut Cina Manado,
Bangsa Portugis dan Spanyol yang keturunannya disebut Orang Borgo Manado, Bangsa
Belanda yang keturunannya disebut Endo Manado serta Bangsa Arab, Jepang, dan India
dimana perkawinan mereka bersifat endogam.
Disamping itu, ada pula penduduk Kota Manado yang berasal dari Suku Sangihe Talaud,
Bolaang Mongondouw, Gorontalo serta daerah lainnya dari seluruh Indonesia yang telah
sekian lama menetap.
-Sistem mata pencaharian
Seperti perikanan darat dan laut, pertanian, peternakan, dan kerajinan. Namun rata-rata
masyarakat Kota Manado mempunyai profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota
TNI dan POLRI, Pengusaha dan Karyawan, Buruh, Sopir, Tukang, dan Pembantu.
-Sistem Kepercayaan
Masyarakat Kota Manado masih memiliki kepercayaan lama, yakni kepercayaan kepada
dewa-dewa yang menghuni alam sekitar, seperti Opo Empung (Tuhan), Opo nenek moyang,
Opo kerabat, mahluk-mahluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, bawah tanah, pantai
dan laut, hujan, dan mata amgin.
Selain itu ada juga kepercayaan yang berhubungan dengan mahluk halus lainnya, seperti
mukur, pontianak, setang mangiung-ngiung, pok-pok, panunggu, jin, dan lulu.
-Perkampungan
Pola perkampungan dari tiap-tiap kelurahan di wilayah Kota Manado pada umumnya terletak
diatas tanah dataran, baik dataran tinggi maupun dataran rendah secara berkelompok padat.
Kelurahan yang satu dengan kelurahan yang lainnya sambung-menyambung menjadi satu
kesatuan mengikuti jalan raya maupun memanjang mengikuti jalan-jalan kecil dan juga
lorong-lorong.
-Letak & Orientasi
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai
Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai
Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan
Bolaang Mongondow.
-Pengaruh system kekerabatan&kepercayaan pada rumah adat minahasa
Rumah tradisional Minahasa berbentuk rumah panggung atau rumah kolong.
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan
rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut
dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh
jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
-Konsep ruang dalam arsitektur tradisional
Bahan material yang dipergunakan umumnya adalah kayu dari jenis pohon yang diambil dari
hutan, yaitu kayu besi, linggua, jenis kayu cempaka utan atau pohon wasian, jenis kayu
nantu, dan kayu maumbi. Kayu besi digunakan untuk tiang, kayu cempaka untuk dinding dan
lantai rumah, kayu nantu untuk rangka atap. Bagi masyarakat strata ekonomi rendah
menggunakan bambu petung/ bulu jawa untuk tiang, rangka atap dan nibong untuk lantai
rumah, untuk dinding dipakai bambu yang dipecah.
Arsitektur rumah tradisional Minahasa dapat dibagi dalam periode sebelum gempa bumi
tahun 1845 dan periode pasca gempa bumi 1845-1945.
Karakteristik ruang dalam rumah, hanya terdapat satu ruang bangsal untuk semua kegiatan
penghuninya. Pembatas territorial adalah dengan merentangkan rotan atau tali ijuk dan
menggantungkan tikar. Orientasi rumah menghadap ke arah yang
ditentukan oleh Tonaas yang memperoleh petunjuk dari Empung Walian Wangko (Tuhan).
Karakteristik ruang dalam rumah masa 1845-1945 berbeda dengan sebe
lumnya, karena sudah terdapat beberapa kamar, seperti badan rumah terdepan berfungsi
sebagai ruang tamu/ ruang setup emperan, ruang tengah/ pores difungsikan untuk menerima
kerabat dekat, dan ruang tidur untuk orang tua dan anak perempuan, ruang tengah belakang
tempat lumbung padi (sangkor). Ruang masak terpisah p
ada bangunan lainnya. Fungsi loteng/ soldor adalah sama dengan masa sebelumnya yang
diperuntukkan menyimpan hasil panen (gambar 3 dan gambar 4).
Karakteristik konstruksinya:
Atap:
- rangka atapnya adalah gabungan bentuk pelana dan limas.
- Atapnya berupa konstruksi kayu/ bambu batangan yang diikat dengan tali ijuk pada usuk
dari bambu.
- badan bangunan menggunakan konstruksi kayu dan sistem sambungan pen.
Tiang:
- kolong bangunan terdiri dari 16-18 tiang penyangga.
- ukuran 80-200 cm (ukuran dapat dipeluk oleh dua orang dewasa).
- Tinggi tiangnya 3-5 cm.
- Tiang tangga terbuat dari akar pohon besar atau bambu.
Tiang (thn 1845-1945)
- tiang penyanggah berukuran lebih kecil dan lebih pendek, , yaitu sebesar 30/30 cm atau
40/40 cm.
- Tinggi 1,5-2,5 meter
Perubahan Fisik Rumah Tradisional Minahasa
Perubahan fisik rumah tradisional Minahasa nampak pada perubahan konstruksi dan material,
sebagai berikut:
1) Perubahan konstruksi atap kasau di Desa Tonsealama menjadi konstruksi atap peran
dengan kuda kuda berdiri, perubahan dilakukan setelah 30-40 tahun pembangunan ( pada
waktu daya tahan kayu menurun sesuai dengan umur konstruksi kayu).
Di Desa Rurukan, masyarakat tetap mempertahankan konstruksi atap rumahnya, baik dalam
bentuk konstruksi atap kasau ataupun atap peran.
Rangka badan rumah tetap, tetapi perubahan nampak pada pengisi konstruksi dinding dan
konstruksi jendela. Perubahan konstruksi dinding terjadi setelah bangunan rumah berumur 70
tahun. Material konstruksi dinding terpasang horisontal dirubah dengan memasang secara
vertikal
(khususnya di Desa Tonsealama). Konstruksi jendela 2 sayap diubah menjadi jendela kaca
nako/ jalusi (di Desa Tonsealama dan Desa Rurukan).
material konstruksi atap rumbia diganti dengan atap seng. Perubahan material konstruksi atap
di Desa Tonsealama, dilakukan sejak tahun 1920 sampai saat ini, dan di Desa Rurukan
perubahan dilakukan sejak 1932 sampai saat ini. Sesuai penuturan penghuni rumah, umur
atap rumbia adalah 10-15 tahun, dan saat ini material atap rumbia sulit diperoleh dan
kualitasnya menurun karena masa pakainya hanya 1-3 tahun.
Ciri Khas Dalam Rumah Panggung Adat
Minahasa






Rumah Kayu Minahasa - Indonesia mempunyai sumber kayu yang sangat
melimpah, tak hayal pada zaman dahulu kala banyak rumah yang dibangun
berbahan kayu, salah satu adalah rumah kayu minahasa. Rumah kayu Minahasa
yang dikenal dengan sebutan Wale atau Bale.

Ciri khas yang paling menonjol dari rumah kayu minahasa ini adalah Rumah
Panggung dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Pada zaman dahulu ada
rumah tradisional keluarga besar yang dihuni oleh enam sampai sembilan
keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga tersendiri dan
mempunyai dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga sendiri.

Namun Kini, jarang dijumpai rumah kayu minahasa dengan adat ini. Secara
garis besar rangakaian rumah kayu minahasa ini terdiri atas emperan (setup),
ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling
depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara
keluarga, juga tempat makan tamu.

Disamping itu, pada bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi
sebagai tempat menaruh alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Di
sisi atas rumah atau loteng (soldor) yang berguna sebagai tempat menyimpan
hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya. Di bagian bawah rumah
(kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok,
kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan peliharaan.

Yang unik adalah, rumah kayu di warga di Minahasa tidak beratapkan genteng.
Karena folosofi yang dianut adalah tak baik jika hidup di bawah tanah (genteng
terbuat dari tanah). Rata-rata rumah mereka beratapkan seng, daun, atau
elemen besi lainnya. Mereka beranggapan hanya orang meninggal saja yang
bertempat tinggal di bawah tanah. Sekali pun ada yang beratapkan genteng,
umumnya rumah tersebut milik kaum pendatang. Meskipun demikian, banyak
juga rumah orang Minahasa yang beratapkan seng namun didesain seperti
genteng.

Sumber: rumahkayumanado.com

Anda mungkin juga menyukai