Anda di halaman 1dari 7

Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.

menulis di halaman 58:


3. Umumnya orang-orang yang shalat tarawih sebelas rakaat menggunakan Hadis Aisyah tadi
sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau konsekwen mengikuti Nabi Saw, silakan
mereka shalat sebelas rakaat itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar
Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap
malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.
Tanggapan kami:
Kalau memang seluruh ucapan harus disertai konsekwensi, maka kita bisa balik pernyataan yang
sama kepada Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dengan berkata, Anda mengatakan bahwa 11
rakaat yang dilakukan Rasulullah Saw itu adalah witir. Baik, kalau Anda mau konsekwen mengikuti
Nabi Saw, silakan Anda shalat sebelas rakaat witir itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan
maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah R.A. tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat
sebelas rakaat witir itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun selain bulan
Ramadhan.
Apakah Anda konsekwen dengan pendapat Anda sendiri? Silahkan Anda jujur.
Dari pembalikan pernyataan ini, kita bisa melihat bahwa ungkapan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
yang menuduh kebanyakan orang menggunakan Hadis Aisyah R.A. tadi sebagai dalil shalat tarawih
saja lalu menuntut konsekwensi adalah merupakan tuduhan yang subyektif dan sedikit emosional.
Lebih mendasar lagi, barangkali akan terbetik pertanyaan tentang hukum Qiyamullail dan Qiyamu
Ramadhan ini. Apakah hukumnya wajib berdasar amalan Rasulullah SAW yang melakukannya terus
menerus setiap hari sepanjang tahun? Ataukah sunnah saja?
Jawabannya bisa didapatkan dengan mengkaji asbabul wurud atau sebab disyariatkannya
Qiyamullail ini, yaitu tatkala turun fiman Allah SWT di awal surah Al-Muzammil:


Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali
sedikit (daripadanya).
Maka Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakan Amar atau perintah untuk Qiyamullail ini
setiap hari secara rutin selama 12 bulan hingga kaki mereka bengkak lalu Allah menurunkan ayat
terakhir dari surah ini yang merubah status hukum Qiyamullail dari wajib menjadi sunnah atau nafilah
saja.
Namun sudah merupakan kebiasaan Rasulullah SAW, jika sudah mulai menekuni suatu ibadah,
maka beliau memilih konsisten atau dawam dalam melaksanakannya meskipun ibadah tersebut
berhukum sunnah termasuk dalam masalah Qiyamullail ini. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan
bahwa jika beliau tertidur atau jatuh sakit sehingga tidak bisa Qiyamullail, maka beliau menggantinya
dengan shalat 12 rakaat di siang hari seperti disebutkan oleh Aisyah R.A. dalam penggalan dari satu
riwayat panjang berikut ini:


Dan Nabi Allah SAW apabila melaksanakan suatu shalat maka beliau suka untuk melakukannya
terus menerus dan apabila beliau tertidur atau jatuh sakit sehingga tidak bisa melaksanakan
Qiyamullail maka beliau shalat di siang hari 12 rakaat (H.S.R Muslim).
Disebutkan pula dalam suatu riwayat:

( :

)
Dari Aisyah RA: Bahwasannya Nabi Allah SAW melaksanakan Qiyamullail hingga kedua kakinya
pecah-pecah, maka Aisyah RA bertanya: Mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulallah padahal
Allah sudah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang? Beliau menjawab:
Apakah aku tidak suka untuk menjadi hamba yang bersyukur? (H.S.R Bukhari).
Dengan demikian, kalau memang shalat malam (baik dalam Ramadhan atau di luar Ramadhan) ini
adalah sunnah untuk kaum muslimin sesuai dengan asbabul wurud (sebab munculnya) hukum
Qiyamullail, mengapa kemudian Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. mempersilahkan kaum muslimin
shalat 11 rakaat setiap hari sepanjang tahun dengan alasan konsekwensi? Padahal sudah jelas
bahwa Qiyamullail (baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan) adalah sunnah bagi
kaum muslimin sehingga tidak mesti harus dilakukan tiap malam apalagi sampai sepanjang tahun.
Adapun sikap konsisten yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam melaksanakan Qiyamullail setiap
hari, maka itu termasuk dalam area Khushushiyyah beliau sehingga mengesankan kepada kita
bahwa Qiyamullail adalah wajib bagi Rasulullah SAW karena beliau pernah mengganti Qiyamullail
yang terlewat pada malam harinya dengan 12 rakaat di siang hari yang hal ini tentu saja tidak bisa
dilakukan oleh umatnya.
Hal ini didukung oleh teori Fiqh Islami yang memang mengenalkan adanya
area Khushushiyyah untuk Rasulullah SAW. Salah satu contohnya, kenyataan bahwa Rasulullah
SAW boleh menikah lebih dari 4 wanita sekaligus dalam satu waktu sementara umatnya tidak, juga
kenyataan bahwa Rasulullah SAW haram menerima harta zakat sementara umatnya boleh atau fakta
bahwa Rasulullah SAW boleh puasa Wishal sementara umatnya tidak dan juga masalah Qiyamullail
ini.
Dengan demikian kami bisa bertanya, apakah tepat kalau Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
kemudian menuntut konsekwensi dari kaum muslimin untuk Qiyamullail terus menerus sepanjang
tahun padahal ada perbedaan status hukum antara Rasulullah SAW dengan umatnya??
Di sisi lain, adalah suatu kemestian dalam setiap penelitian hukum syariah ataupun fiqih untuk tidak
menyimpulkan suatu perkara hanya dengan melihat apa yang diucapkan dan dilakukan khalayak
ramai yang kebetulan berseberangan, yang dalam kasus ini diwakili oleh banyaknya orang yang
menggunakan Hadis Aisyah RA sebagai dasar shalat tarawih 11 rakaat. Karena sudah jama
dimaklumi dalam prosedur penentuan hukum fiqh atau suatu perkara syari, bahwa yang boleh dilihat
dan diteliti hanyalah dalil-dalil atau nash-nash syari serta metode ijtihad dan istinbath dari fihak yang
berseberangan. Adapun ucapan dan perbuatan mereka secara pribadi, maka mau tidak mau harus
dikesampingkan karena memang tidak termasuk dalil-dalil syari.
Hadis Aisyah sebagai pembenar saja?
Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis di halaman 58:
Kenyataannya tidak demikian. Orang-orang yang shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-
nyebut Hadis Aisyah tadi pada bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis itu tidak pernah
mereka sebut-sebut. Seolah-olah Hadis tadi hanya mereka jadikan pembenar untuk shalat tarawih
mereka. Padahal ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam sampai kakinya
pecah-pecah.


Al Mughirah r.a menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai bengkak kedua tumit atau
betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, Bukankah aku ini seorang
hamba yang banyak bersyukur?
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya sebelas rakaat.
Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki beliau tidak akan pecah-pecah.
Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah
itu adalah shalat witir, bukan shalat malam secara keseluruhan.
Tanggapan kami:
Untuk masalah orang-orang yang selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah R.A pada bulan Ramadhan
saja, maka hal ini sudah kami jelaskan sebelumnya bahwa proses ijtihad untuk mencari ketetapan
hukum fiqih tidak melihat apa yang dikerjakan atau diucapkan orang-orang karena ucapan atau
perbuatan mereka memang bukan dalil syari yang bisa digunakan sebagai landasan hukum syari.
Adapun tuduhan bahwa Hadis tadi seolah-olah hanya dijadikan pembenar untuk shalat tarawih
sudah kami jawab dengan bukti-bukti bahwa banyak ulama yang menggunakan Hadis tadi untuk
menjelaskan jumlah rakaat Qiyamullail Rasulullah Saw di luar Ramadhan. Jadi, Hadis Aisyah R.A.
tersebut merupakan pembenar shalat tarawih 11 rakaat di bulan Ramadhan
sekaligus pembenar Qiyamullail 11 rakaat di luar Ramadhan.
Lalu mengapa kebanyakan orang-orang menyebutkan Hadis tersebut hanya di bulan Ramadhan?
Tentu saja karena shalat tarawih di bulan Ramadhan selalu diadakan secara umum di tiap-tiap masjid
dan dilakukan secara rutin setiap malam oleh hampir seluruh kaum muslimin, sehingga perlu dibahas
Hadis Aisyah R.A. tersebut di mimbar-mimbar dan di kajian-kajian baik di media cetak ataupun
elektronik untuk memberi bimbingan kepada kaum muslimin karena mereka sedang getol-getolnya
melaksanakan shalat tarawih.
Namun berbeda hasilnya jika dilakukan di luar Ramadhan, sebab akan menjadi sesuatu yang
menghabiskan energi kalau Hadis Aisyah R.A. tersebut dibahas setiap hari di atas mimbar atau
melalui kajian di media cetak dan elektronik di sepanjang bulan Syawal, Dzulqadah, Dzulhijjah,
Muharram dan seterusnya hingga bertemu bulan Syaban, jika kenyataannya tidak pernah diadakan
Qiyamullail secara rutin, umum dan berjamaah di tiap-tiap masjid, apalagi kenyataannya hanya
segelintir orang yang melaksanakannya.
Hal ini bisa dianalogikan dengan gambaran seorang dai yang membahas panjang lebar tentang
hukum perbudakan dalam Islam, tata cara shalat, pernikahan, hukum jual beli dan warisannya
sementara pada kenyataannya tidak dijumpai adanya perbudakan manusia di zaman sekarang yang
berarti menunjukkan bahwa dai ini sedang buang-buang energi karena membahas sesuatu yang
tidak ada dalam kenyataan.
Oleh karena itu usaha sebagian kaum muslimin yang membahas Hadis Aisyah R.A. hanya pada
bulan Ramadhan ini tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan usaha yang diharapkan agar
dilakukan kaum muslimin dalam membahas Hadis yang sama di luar Ramadhan karena kondisinya
memang sama sekali berbeda. Apalagi kemudian diarahkan menjadi tuduhan bahwa Hadis Aisyah
R.A. tersebut hanya digunakan sebagai pembenar shalat tarawih pada bulan Ramadhan seperti
ungkapan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. di atas.
Kaki Rasulullah SAW bengkak karena banyak rakaat?
Lalu bagaimana dengan kaki Rasulullah SAW yang bengkak? Bukankah ini menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW shalat banyak rakaat?
Jawaban kami, bahwa bengkaknya kaki tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk atau dalil bahwa
Rasulullah SAW shalat banyak rakaat. Sebab, bengkaknya kaki tidak hanya terjadi karena shalat
banyak rakaat, tapi juga bisa terjadi karena hal-hal yang lain, seperti kalau seandainya para pembaca
diminta untuk naik bis dengan berdiri dari Jakarta ke Tasikmalaya lalu dari Tasikmalaya ke Jakarta
setiap malam selama setahun terus menerus, bisa dipastikan kakinya akan bengkak, meskipun tidak
shalat satu rakaatpun.
Jadi, untuk menentukan apakah Rasulullah SAW shalat banyak rakaat atau tidak, hanya bisa
diketahui melalui Hadis yang betul-betul menjelaskan jumlah rakaat Rasulullah SAW seperti Hadis
Aisyah R.A. di atas dan tidak bisa hanya dengan berasumsi dari lama dan tidaknya shalat atau dari
bengkak dan tidaknya kaki ketika shalat. Toh, sangat banyak orang yang shalat tarawih 20 rakaat tapi
tidak pernah ada cerita kaki mereka bengkak gara-gara shalat 20 rakaat.
Lalu mengapa kaki Rasulullah SAW bisa bengkak padahal cuma shalat 11 rakaat?
Sangat masuk akal bila Rasulullah SAW kakinya bengkak, karena beliau berdiri sangat lama untuk
tiap rakaatnya. Jangan anda bayangkan Rasulullah SAW hanya membaca Tabbat Yadaa dan
Qulhu seperti yang banyak dilakukan orang ketika shalat tarawih, sebab bacaan pendek seperti itu
tentu mustahil bisa menyebabkan bengkak kaki. Tapi coba bayangkan kalau dalam 11 rakaat
Qiyamullail, Rasulullah SAW membaca surah Al-Baqarah pada rakaat pertama, surah Ali Imran pada
rakaat kedua, surah An-Nisa pada rakaat ketiga dan seterusnya yang barangkali menghabiskan 10
juz untuk 11 rakaat. Kalau seandainya bacaantartil 1 juz berdurasi 25 menit, maka setidaknya
Rasulullah SAW shalat 250 menit alias 4 jam lebih, maka sangat wajar bila kaki beliau bengkak
karena lama berdiri dan bukan karena banyak rakaat. Kesimpulan seperti ini didukung oleh riwayat
berikut:


Dari Hudzaifah R.A.:Aku shalat bersama Nabi SAW pada suatu malam, maka beliau memulai
(dengan membaca) Al-Baqarah, lalu aku berkata: beliau akan ruku pada ayat 100 kemudian
(ternyata) beliau terus, lalu aku berkata: beliau akan shalat dengan Al-Baqarah dalam 1 shalat, maka
kemudian (ternyata) beliau terus, lalu aku berkata: beliau akan ruku (setelah selesai) dengan Al-
Baqarah, kemudian (ternyata) beliau mulai (membaca) An-Nisa, maka beliau membacanya (hingga
selesai), kemudian beliau mulai (membaca) Ali Imran, maka beliau membacanya (hingga selesai),
beliau membaca perlahan-lahan kemudian beliau ruku (H.S.R. Muslim).
Dengan demikian, kenyataan bahwa Rasulullah SAW kakinya bengkak tersebut tidak bisa dijadikan
petunjuk bahwa beliau shalat banyak rakaat dan pada akhirnya hal itu juga tidak bisa dijadikan
petunjuk untuk menyimpulkan secara paksa bahwa Aisyah R.A. dalam Hadisnya hanya bermaksud
menjelaskan bahwa witir Rasulullah SAW itu sebelas rakaat, apalagi sampai menyatakan bahwa
shalat tarawih itu tidak ada batasnya, boleh 8 rakaat, 20, 40, 60 ataupun 1000 rakaat, sebab ada
kemungkinan lain yang menyebabkan kaki Rasulullah SAW bengkak, yaitu karena berdiri sangat
lama dalam shalatnya berdasar riwayat Hudzaifah R.A. di atas yang juga didukung oleh ucapan
Aisyah R.A. dalam Hadisnya:


maka jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya (H.S.R. Bukhari).
Pada potongan hadits di atas, Aisyah R.A. tidak mengatakan:


maka jangan kamu bertanya tentang banyaknya (rakaat-rakaat)
Tapi beliau justru menjelaskan tentang panjang dan baiknya shalat Rasulullah SAW yang ini berarti
bertentangan dengan kesimpulan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menyatakan bahwa jumlah
rakaat yang banyak adalah penyebab bengkaknya kaki Rasulullah SAW.
Yang terakhir, dikarenakan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. benar-benar yakin bahwa Rasulullah
SAW shalat malam banyak rakaat selain shalat witir 11 rakaat, maka bisa kami tanyakan sekali
lagi: Apakah Anda juga konsekwen untuk melakukan shalat malam banyak rakaat seperti yang
Anda percayai hingga kaki Anda bengkak-bengkak seperti Rasulullah SAW? Baik dalam Ramadhan
ataupun di luar Ramadhan? Ataukah ungkapan banyak rakaat yang Anda perkenalkan serta Hadis
bengkaknya kaki Rasulullah SAW itu justru hanya sekedar menjadi pembenar bagi pendapat Anda
sendiri dalam rangka membuang batasan 11 rakaat shalat malam tanpa dasar apapun kecuali atas
dasar asumsi pribadi Anda saja?
Adapun 3 hadits yang disebutkan di halaman 59 dan 60 yang dilengkapi komentar Prof. K.H. Ali
Mustafa Yaqub, M.A., maka ketiga hadits ini hanya diseret dan difahami sesuai pemahaman Prof.
K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menyatakan bahwa witir itu 11 rakaat, yang sudah kami tanggapi
dalam pembahasan-pembahasan yang lalu.
Begitupula sub judul f. Memenggal Hadits, juga bersumber pada pemahaman bahwa Hadits
Aisyah R.A. di awal tulisan ini adalah berkenaan tentang masalah witir saja, bukan tentang shalat
malam, yang juga sudah kami tanggapi dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya.
Ubay bin Kaab R.A. shalat 20 rakaat di zaman Umar bin Khatthab R.A.?
Pada halaman 62 Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis:
Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Kaab yang mengimami shalat tarawih 20 rakaat pada
masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut Hadis mauquf, karena
tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis disandarkan kepada Nabi Saw, disebut
Hadis marfu. Hadis Ubay bin Kaab ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan
al-Kubra, Juz II hal. 496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi,
Imam al-Zailai, Imam al-Subki, Imam Ibn al-Iraqi, Imam al-Aini, Imam al-Suyuti, Imam Ali al-Qari,
Imam al-Nimawi, dan lain-lain.
Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Kaab itu dhaif (lemah), seperti Imam al-Mubarakfuri dan
Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti
dari Darul Ifta di Riyadh Saudi Arabia.
Tanggapan kami:
Ada beberapa catatan mengenai Hadis Ubay bin Kaab R.A. ini. Yang pertama, seperti disebutkan
oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. bahwa Hadis ini adalah mauquf yang tidak disandarkan
kepada Rasulullah SAW dan tidak ada qarinah atau petunjuk yang menjelaskan bahwa Ubay bin
Kaab R.A shalat 20 rakaat tersebut karena mencontoh atau mengikuti Nabi SAW sehingga Hadis
tersebut tidak bisa dihukumi marfu hukman ataumarfu secara hukum. Sementara dalil-dalil syari
yang disepakati adalah Al-Quran dan As-Sunnah bukan perbuatan shahabat, karena mereka
bukanlah fihak yang diperkenankan membuat syariat apalagi masalah ibadah mahdhah, sehingga
Hadis Ubay bin Kaab di atas, meskipun ada yang menganggap shahih, tetapi tetap tidak bisa dipakai
sebagai landasan hukum karena bukan perbuatan Nabi SAW.
Yang kedua, jika tetap kita katakan Hadis Ubay bin Kaab ini shahih secara mutlak dan bisa dipakai,
lalu bagaimana dengan riwayat shahih berikut ini:

1 / 111 111 )
Dari As-Saib bin Yazid bahwasannya ia berkata: Umar bin Al-Khattab telah memerintahkan Ubay bin
Kaab dan Tamim Ad-Dary untuk mengimami orang-orang dengan 11 rakaat Ia berkata: Sang imam
pada saat itu membaca Al-Miun (surah-surah yang berisi 100 ayat ke atas) hingga kami bersandar di
atas tongkat-tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami pulang kecuali pada saat awal-awal
fajar. (Al-Muwaththa Juz I hal. 115 Hadis nomor 251).
Riwayat di atas menunjukkan bahwa Ubay bin Kaab R.A. diperintahkan oleh Umar bin Al-Khattab
untuk shalat 11 rakaat dan bukan 20 rakaat. Sehingga timbul pertanyaan, manakah yang lebih
shahih, riwayat Imam al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra ataukah riwayat Imam Malik dalam Al-
Muwaththa?
Dalam ilmu Hadis, jika ditemui dua riwayat shahih yang bertentangan padahal riwayat tersebut
berkenaan tentang masalah yang sama, maka cara pemecahan pertama yang bisa dilakukan adalah
dengan meneliti mana yang nasikh (yang menghapus hukum lama) dan mana yang mansukh (yang
dihapus hukumnya). Namun sayangnya, cara tersebut tidak bisa dilakukan di sini, karena dua riwayat
tentang shalat tarawih yang dipimpin oleh Ubay bin Kaab R.A. tersebut sama-sama terjadi di masa
Umar bin Al-Khattab R.A. sehingga tidak bisa ditentukan mana yang nasikh dan mana
yang mansukh.
Cara pemecahan yang kedua, jika tidak bisa diketahui mana yang nasikh dan mana
yang mansukh maka harus dicari dalil-dalil pendukung di luar dua riwayat tadi agar kita bisa
mengetahui mana yang lebih shahih dan mana yang lebih sesuai dengan Hadis shahih yang lainnya.
Ternyata, cara yang kedua ini lebih mudah dilakukan, terlebih lagi karena kita sejak awal sedang
membahas Hadis Aisyah R.A. yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah shalat lebih
dari 11 rakaat, baik di dalam Ramadhan maupun di luar Ramadhan, sehingga kita bisa tahu dan bisa
menyimpulkan bahwa riwayat dalam Al-Muwaththa lebih shahih dan terjaga karena tidak
bertentangan dengan Hadis yang lebih shahih, sementara riwayat dalam As-Sunan Al-Kubra tidak
bisa diterima karena bertentangan dengan Hadis Aisyah R.A. yang lebih shahih.
Seperti yang sudah jama dikenal dalam Ilmu Hadis, bahwa salah satu syarat Hadis shahih adalah
tidak boleh bertentangan dengan Hadis yang lebih shahih darinya. Oleh karena itu, riwayat Ubay bin
Kaab R.A. dalam As-Sunan Al-Kubra itu teranggap Hadis Syadz yang termasuk Dhaif karena
bertentangan dengan Hadis yang lebih kuat, sementara riwayat Ubay bin Kaab R.A. dalam Al-
Muwaththa termasuk Hadis Mahfuzh atau Hadis yang terjaga karena sesuai dengan Hadis yang lebih
kuat yaitu Hadis Aisyah R.A.
Setelah mengetahui paparan di atas, secara tidak langsung kita bisa mengetahui mengapa Imam An-
Nawawi dan ulama yang lainnya menshahihkan riwayat dalam As-Sunan Al-Kubra, yaitu; barangkali
mereka hanya melihat dari sisi sanadnya saja secara mandiri tanpa melihat sisi matan atau isi yang
bertentangan dengan riwayat-riwayat lainnya. Sementara Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh Al-Albani
barangkali melihat sisi matan dan isi lalu membandingkannya dengan riwayat-riwayat yang lain
sehingga memutuskan untuk melemahkan riwayat As-Sunan Al-Kubra tersebut.
Bagaimanapun juga, kedua riwayat di atas tetap tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk pelaksanaan
shalat tarawih 20 rakaat karena seluruh riwayat tadi hanyalah mauquf yang berhenti sampai pada
sahabat saja. Sementara ibadah mahdhah tidak bisa bersandar hanya kepada perbuatan para
sahabat saja, karena seluruh ibadah mahdhah harus mengikuti Rasulullah SAW. Kalau tidak, maka
hal tersebut merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Kalaupun kemudian ada riwayat
beberapa sahabat melakukan ibadah mahdhah ini dan itu yang tidak ada contohnya dari Rasulullah
SAW, maka yang kita tolak adalah riwayat tersebut dan bukan menolak sahabatnya. Karena mustahil
tindakan seperti itu muncul dari para sahabat, mengingat mereka sangat menjaga As-Sunnah dan
tidak mungkin mengada-ada di dalam urusan agama, apalagi urusan ibadah mahdhah.

Anda mungkin juga menyukai