Anda di halaman 1dari 10

PENURUNAN KUALITAS TANAH AKIBAT PERTAMBANGAN

BATUBARA SERTA BIOREMEDIASI SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN


DAYA DUKUNG TANAH YANG TERCEMAR
Cindy Dwilarasati (03111002008)
Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Jl Palembang-Prabumulih
Km.32 (OI) , Inderalaya , 30662
E-mail: cindydwilarasati@yahoo.co.id


ABSTRAK

Tanah merupakan hal penting yang mendukung kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Namun, akibat
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan penurunan kualitas tanah. Salah satu penyebab
turunnya kualitas tanah ini diakibatkan adanya aktivitas pertambangan batubara. Pertambangan batubara
menyebabkan berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi, perubahan karakteristik infiltrasi yang akan
mempengaruhi pengisian (recharge) air tanah, perubahan unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang
lahan dan tata guna lahan, serta penurunan kualitas akibat dari erosi. Selain itu, penggalian batubara menyebabkan
terangkatnya bahan-bahan sulfidik ke permukaan sehingga berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis.
Menurunnya pH akan meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan. Untuk mengatasi ini,
dapat dilakukan upaya bioremediasi terhadap tanah yang sudah tercemar. Bioremediasi dapat dijadikan sebagai
alternatif upaya untuk memperbaiki daya dukung tanah berupa proses pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).

Kata kunci : tanah tercemar, bioremediasi, pertambangan batubara, kualitas tanah

ABSTRACT
Soil is important that support life on earth. However, due to the activities undertaken by humans has led to
land degradatio . One cause of the decline in soil quality due to coal mining activity. Coal mining leads to reduced soil
resistance to erosion, changes in infiltration characteristics that will affect the charging (recharge) groundwater,
changes in the elements / components of the water balance, change the shape of the landscape and land use, as well as
a decrease in quality as a result of erosion. In addition, the excavation of coal led to the lifting of sulfidic materials to
the surface so that the impact on soil pH decrease drastically. The decline in pH will increase the solubility of heavy
metals that are harmful to lif . To overcome this, it can be done bioremediation of soils contaminated. Bioremediation
can be used as an alternative attempt to improve the carrying capacity of the soil in the form of soil contamination
cleanup process using microorganisms ( fungi, bacteria ).
Keywords: contaminated soil, bioremediation, coal mining, soil quality
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan bagian penting dalam menunjang kehidupan makhluk hidup di
muka bumi. Seperti kita ketahui rantai makanan bermula dari tumbuhan. Manusia, hewan
hidup dari tumbuhan. Memang ada tumbuhan dan hewan yang hidup di laut, tetapi sebagian
besar dari makanan kita berasal dari permukaan tanah. Oleh sebab itu, sudah menjadi
kewajiban kita menjaga kelestarian tanah sehingga tetap dapat mendukung kehidupan di
muka bumi ini. Akan tetapi, sebagaimana halnya pencemaran air dan udara, pencemaran
tanah pun akibat kegiatan manusia juga.
Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya
alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena
berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat
gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya
akan unsur hara.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia
banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka
panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Salah satu diantaranya,
penyelenggaraan pembangunan Pembangunan kawasan industri di daerah-daerah pertanian
dan sekitarnya menyebabkan berkurangnya luas areal pertanian, pencemaran tanah dan
badan air yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil/produk pertanian,
terganggunya kenyamanan dan kesehatan manusia atau makhluk hidup lain.
Sedangkan kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan tanah, erosi dan
sedimentasi, serta kekeringan. Kerusakan akibat kegiatan pertambangan adalah berubah atau
hilangnya bentuk permukaan bumi (landscape), terutama pertambangan yang dilakukan
secara terbuka (opened mining) meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan bumi.
1.2 Maksud dan Tujuan
Paper ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Teknik
Lingkungan pada Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh proses
pertambangan terhadap kualitas tanah sebagai daya dukung lingkungan sehingga dapat
dilakukan antisipasi atau perbaikan terhadap sumberdaya tanah di sekitar tambang.
1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada paper ini hanya pada penurunan kualitas tanah akibat
pertambangan batubara dan menjelaskan bioremediasi sebagai alternatif upaya perbaikan
kualitas tanah yang tercemar akibat aktivitas pertambangan.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan oleh penulis, yaitu makalah ini disusun dengan
menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan mengacu kepada literatur- literatur yang
dapat diambil informasinya yang berkaitan dengan makalah ini, serta informasi melalui
internet.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Penurunan Kualitas Tanah Akibat Pertambangan Batubara
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian
kerusakan tanah untuk produksi bio massa: Tanah adalah salah atu komponen lahan
berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta
mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya.
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan
merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena kebocoran limbah
cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial, penggunaan pestisida, masuknya air
permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan, zat kimia, atau limbah. air
limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke
tanah secara tidak memenuhi syarat. Jika suatu zat berbahaya telah mencemari permukaan
tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah.
Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di
tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika
bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya.
Penambangan menyebabkan perubahan bentang lahan dan kualitas tanah hasil
penimbunan setelah penambangan. Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya,
juga tanah lapisan atas bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas
digantikan tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah lapisan atas yang
subur berada di lapisan bawah. Demikian juga populasi hayati tanah yang ada di tanah
lapisan atas menjadi terbenam, sehingga hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Daya dukung tanah lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman
menjadi rendah (Subowo, 2011).
Kerusakan lahan selama ini sering diangkat kepermukaan masyarakat lebih banyak
disebabkan oleh penebangan liar dan kebakaran hutan, dan jarang sekali diangkat karena
pertambangan. Pembukaan lahan ini semata-mata untuk kepentingan eksplorasi bahan
tambang ini sebenarnya lebih parah keadaanya dan akan lebih banyak memerlukan teknik
dan biaya dalam rehabilitasinya (Rustam, 2003).
Penambangan batubara khususnya atau penambahan bahan galian dari perut bumi
seharusnya tidak merusak lingkungan daerah yang ditambang. Pemanfaatan sumber daya
alam harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia serta meningkatkan
kualitas lingkungan hidup (Talaolu et al, 1995).
Dampak penting yang mungkin timbul pada penambangan batubara pada tahap pra-
penambangan adalah terbukanya lahan akibat pembukaan lahan (land clearing). Hal ini akan
menimbulkan dampak lanjutan seperti berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi,
perubahan karakteristik infiltrasi yang akan mempengaruhi pengisian (recharge) air tanah,
perubahan unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang lahan dan tata guna lahan,
serta penurunan kualitas akibat dari erosi. Pada tahap penambangan dampak penting yang
muncul adalah terjadinya perubahan bentang alam akibat pengupasan atau penggalian tanah
pucuk, tanah penutup dan batubara. Kemungkinan terjadinya air asam tambang jika air
limpasan bereaksi dengan lapisan tanah penutup yang berpotensi membentuk asam,
kemungkinan terjadinya longsoran pada penimbunan tanah penutup baik diluar areal
tambang maupun bekas tambang (Rustam, 2003).
Laporan yang disampaikan oleh Cooke & Johnson (2002), serta Dodd &Louis
(2003), menunjukkan bahwa lahan pasca penambangan batubara secara umum dicirikan
oleh tekstur fisik yang sangat kasar dan beragam, mulai lempung sampai lempung berpasir.
Pada beberapa lokasi penambangan nampak berbatu, dan pada tekstur yang sangat halus
tidak memiliki kandungan bahan organik, sangat kompak, dan laju infiltrasi airnya sangat
rendah. Pada umumnya lahan-lahan bekas penambangan memiliki kandungan hara makro
yang sangat rendah, terutama kandungan N, P, K, Na, dan Ca, serta tingkat kemasaman
tanah (pH) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah. Selain itu mikroorganisme tanah
yang sangat membantu dalam stabilisasi struktur tanah, sumbangan mineral-mineral
inorganik, ataupun sumbangannya dalam zat pengatur pertumbuhan, juga sangat rendah
(Hetrick et al. 1994).
Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008
Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
rnemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
Kegiatan penambangan bahan-bahan yang mengandung mineral sulfida seperti
batubara dapat memicu pembentukan asam. Penggalian menyebabkan terangkatnya bahan-
bahan sulfidik tersebut ke permukaan sehingga oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit
akan melepaskan asam-asam sulfat yang berdampak pada penurunan pH tanah secara
drastis. Menurunnya pH akan meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi
kehidupan (Rochani dan Retno, 1997).
Secara ekologis, revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan
tambang. Dalam pelaksanaannya revegetasi lahan tambang seringkali mengalami kesulitan
akibat sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya tanah pucuk merupakan gambaran
yang umum pada lahan tambang. Kalaupun ada, kandungan nitrogennya sangat rendah
sehingga tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman. Keadaan ini akibat tidak
adanya bahan organik tanah yang disediakan oleh pelapukan material tanaman yang telah
mati. Selain itu kurangnya mikroflora tanah membatasi pembusukan material tanaman.
Kondisi ini juga diperburuk oleh lapisan permukaan lahan yang berbatu sehingga
mempersulit perkembangan vegetasi akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi air (Singh
2004).
Bradshaw & Chadwick (1980) mengemukakan bahwa akibat penambangan
keseimbangan hara tanaman menjadi terganggu, sementara kelarutan unsur-unsur yang
meracuni meningkat dan ketersediaan hara N pada tanah galian tambang pada umumnya
sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang tinggi. Namun
demikian, N tetap tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi.
2.2 Definisi Bioremediasi
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di
lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme
memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah
peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada
biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks,
dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010).
Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan
yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses
membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau
dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora)
maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal, 2005).
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk
mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan
limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi),
yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan
ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik
terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru
menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan.
Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai
bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba
yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui
teknologi genetik.
Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang
mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang
bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba
memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih
efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan
pertama kali dipatenkan adalah bakteri pemakan minyak. Bakteri ini dapat mengoksidasi
senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi.
Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang
alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi,
penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat
mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu
untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung
bertahan di lingkungan.
2.3 Bioremediasi Tanah Tercemar
Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar,
karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber
pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang
dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya
bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan
Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan
menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar
dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat
(Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid, 2009)..
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam
beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan extrahyphae
slime (Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009), sehingga mengurangi serapannya ke
dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi
tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh
yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar,
disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme
pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan
tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993
dalam Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan
(tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan
kematian bibit dan menggagalkan program reboisasi.
Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus
menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada
konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah
yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160
umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap
kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus
yang tidak tercemar logam berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan
organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga
dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis.
Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat
berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka
waktu yang pendek.
Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation)
dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval
(2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang
tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh
terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza
laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza
dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan
hasil clover meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991)
dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti,
12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah
batubara tersebut, ditemukan adanya oil droplets dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini
menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai
diserap oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat
racun seperti logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme
perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat
melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam
hifa cendawan.
Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel
arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan
buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi
dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar
unsur toksik.
III. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
1. Pertambangan batubara menyebabkan berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi,
perubahan karakteristik infiltrasi yang akan mempengaruhi pengisian (recharge) air
tanah, perubahan unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang lahan dan tata
guna lahan, serta penurunan kualitas akibat dari erosi.
2. Pada umumnya lahan-lahan bekas penambangan memiliki kandungan hara makro yang
sangat rendah, terutama kandungan N, P, K, Na, dan Ca, serta tingkat kemasaman tanah
(pH) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah. Hal ini menyebabkan daya dukung
tanah mengalami penurunan.
3. Penggalian batubara menyebabkan terangkatnya bahan-bahan sulfidik ke permukaan
sehingga oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit akan melepaskan asam-asam
sulfat yang berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis. Menurunnya pH akan
meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan
4. Bioremediasi dapat dijadikan sebagai alternatif upaya untuk memperbaiki daya dukung
tanah berupa proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan
mikroorganisme (jamur, bakteri).
5. Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan
yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
6. Bioremidiasi tanah tercemar logam berat dilakukan dengan menggunakan bakteri
pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Selain itu, cendawan
mikoriza memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri dengan cara mengakumulasi
logam-logam dalam hifa ekstramatrik-nya.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Pencemaran Tanah Terhadap Lingkungan (2013)
(http://pencemaran-lingkungan-farmasi.blogspot.com/2013/05/pencemaran-tanah-
terhadap-lingkungan.html), diakses 18 Mei 2014

[2] Dampak Pencemaran Tanah Terhadap Piramida Jumlah (2013)
(http://novikapurwatiti.blogspot.com/2013/03/dampak-pencemaran-tanah-terhadap.html),
diakses 18 Mei 2014
[3] Makalah Pencemaran Tanah (2011)
(http://mapegounhalu.blogspot.com/2011/03/makalah-pencemaran-lingkungan.html),
diakses 18 Mei 2014
[4] Bioremediasi Sebagai Alternatif Penanganan Pencemaran Akibat Tambang Batubara (2011)
(http://sarahagustina-sarah.blogspot.com/2011_06_01_archive.html), diakses 18 Mei 2014
[5] Dampak Pertambangan Batubara Di Kabupaten Berau Kalimantan Timur Terhadap
Ketersediaan Air Tanah dan Erosi (2013)
(http://muchlis-pattiwara.blogspot.com/2013/12/makalah-dampak-pertambangan-di-
berau.html), diakses 18 Mei 2014


RIWAYAT PENULIS
Cindy Dwilarasati, lahir di Muara Bungo pada tanggal 20 April 1994, sedang menempuh
pendidikan S1 di Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai