BATUBARA SERTA BIOREMEDIASI SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN
DAYA DUKUNG TANAH YANG TERCEMAR Cindy Dwilarasati (03111002008) Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Jl Palembang-Prabumulih Km.32 (OI) , Inderalaya , 30662 E-mail: cindydwilarasati@yahoo.co.id
ABSTRAK
Tanah merupakan hal penting yang mendukung kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Namun, akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan penurunan kualitas tanah. Salah satu penyebab turunnya kualitas tanah ini diakibatkan adanya aktivitas pertambangan batubara. Pertambangan batubara menyebabkan berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi, perubahan karakteristik infiltrasi yang akan mempengaruhi pengisian (recharge) air tanah, perubahan unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang lahan dan tata guna lahan, serta penurunan kualitas akibat dari erosi. Selain itu, penggalian batubara menyebabkan terangkatnya bahan-bahan sulfidik ke permukaan sehingga berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis. Menurunnya pH akan meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan. Untuk mengatasi ini, dapat dilakukan upaya bioremediasi terhadap tanah yang sudah tercemar. Bioremediasi dapat dijadikan sebagai alternatif upaya untuk memperbaiki daya dukung tanah berupa proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).
Kata kunci : tanah tercemar, bioremediasi, pertambangan batubara, kualitas tanah
ABSTRACT Soil is important that support life on earth. However, due to the activities undertaken by humans has led to land degradatio . One cause of the decline in soil quality due to coal mining activity. Coal mining leads to reduced soil resistance to erosion, changes in infiltration characteristics that will affect the charging (recharge) groundwater, changes in the elements / components of the water balance, change the shape of the landscape and land use, as well as a decrease in quality as a result of erosion. In addition, the excavation of coal led to the lifting of sulfidic materials to the surface so that the impact on soil pH decrease drastically. The decline in pH will increase the solubility of heavy metals that are harmful to lif . To overcome this, it can be done bioremediation of soils contaminated. Bioremediation can be used as an alternative attempt to improve the carrying capacity of the soil in the form of soil contamination cleanup process using microorganisms ( fungi, bacteria ). Keywords: contaminated soil, bioremediation, coal mining, soil quality I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan bagian penting dalam menunjang kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Seperti kita ketahui rantai makanan bermula dari tumbuhan. Manusia, hewan hidup dari tumbuhan. Memang ada tumbuhan dan hewan yang hidup di laut, tetapi sebagian besar dari makanan kita berasal dari permukaan tanah. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban kita menjaga kelestarian tanah sehingga tetap dapat mendukung kehidupan di muka bumi ini. Akan tetapi, sebagaimana halnya pencemaran air dan udara, pencemaran tanah pun akibat kegiatan manusia juga. Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya akan unsur hara. Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Salah satu diantaranya, penyelenggaraan pembangunan Pembangunan kawasan industri di daerah-daerah pertanian dan sekitarnya menyebabkan berkurangnya luas areal pertanian, pencemaran tanah dan badan air yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil/produk pertanian, terganggunya kenyamanan dan kesehatan manusia atau makhluk hidup lain. Sedangkan kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan tanah, erosi dan sedimentasi, serta kekeringan. Kerusakan akibat kegiatan pertambangan adalah berubah atau hilangnya bentuk permukaan bumi (landscape), terutama pertambangan yang dilakukan secara terbuka (opened mining) meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan bumi. 1.2 Maksud dan Tujuan Paper ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Teknik Lingkungan pada Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh proses pertambangan terhadap kualitas tanah sebagai daya dukung lingkungan sehingga dapat dilakukan antisipasi atau perbaikan terhadap sumberdaya tanah di sekitar tambang. 1.3 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah pada paper ini hanya pada penurunan kualitas tanah akibat pertambangan batubara dan menjelaskan bioremediasi sebagai alternatif upaya perbaikan kualitas tanah yang tercemar akibat aktivitas pertambangan. 1.4 Metode Penulisan Adapun metode yang digunakan oleh penulis, yaitu makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan mengacu kepada literatur- literatur yang dapat diambil informasinya yang berkaitan dengan makalah ini, serta informasi melalui internet.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Penurunan Kualitas Tanah Akibat Pertambangan Batubara Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan tanah untuk produksi bio massa: Tanah adalah salah atu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial, penggunaan pestisida, masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan, zat kimia, atau limbah. air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat. Jika suatu zat berbahaya telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya. Penambangan menyebabkan perubahan bentang lahan dan kualitas tanah hasil penimbunan setelah penambangan. Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya, juga tanah lapisan atas bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas digantikan tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah lapisan atas yang subur berada di lapisan bawah. Demikian juga populasi hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas menjadi terbenam, sehingga hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman menjadi rendah (Subowo, 2011). Kerusakan lahan selama ini sering diangkat kepermukaan masyarakat lebih banyak disebabkan oleh penebangan liar dan kebakaran hutan, dan jarang sekali diangkat karena pertambangan. Pembukaan lahan ini semata-mata untuk kepentingan eksplorasi bahan tambang ini sebenarnya lebih parah keadaanya dan akan lebih banyak memerlukan teknik dan biaya dalam rehabilitasinya (Rustam, 2003). Penambangan batubara khususnya atau penambahan bahan galian dari perut bumi seharusnya tidak merusak lingkungan daerah yang ditambang. Pemanfaatan sumber daya alam harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup (Talaolu et al, 1995). Dampak penting yang mungkin timbul pada penambangan batubara pada tahap pra- penambangan adalah terbukanya lahan akibat pembukaan lahan (land clearing). Hal ini akan menimbulkan dampak lanjutan seperti berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi, perubahan karakteristik infiltrasi yang akan mempengaruhi pengisian (recharge) air tanah, perubahan unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang lahan dan tata guna lahan, serta penurunan kualitas akibat dari erosi. Pada tahap penambangan dampak penting yang muncul adalah terjadinya perubahan bentang alam akibat pengupasan atau penggalian tanah pucuk, tanah penutup dan batubara. Kemungkinan terjadinya air asam tambang jika air limpasan bereaksi dengan lapisan tanah penutup yang berpotensi membentuk asam, kemungkinan terjadinya longsoran pada penimbunan tanah penutup baik diluar areal tambang maupun bekas tambang (Rustam, 2003). Laporan yang disampaikan oleh Cooke & Johnson (2002), serta Dodd &Louis (2003), menunjukkan bahwa lahan pasca penambangan batubara secara umum dicirikan oleh tekstur fisik yang sangat kasar dan beragam, mulai lempung sampai lempung berpasir. Pada beberapa lokasi penambangan nampak berbatu, dan pada tekstur yang sangat halus tidak memiliki kandungan bahan organik, sangat kompak, dan laju infiltrasi airnya sangat rendah. Pada umumnya lahan-lahan bekas penambangan memiliki kandungan hara makro yang sangat rendah, terutama kandungan N, P, K, Na, dan Ca, serta tingkat kemasaman tanah (pH) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah. Selain itu mikroorganisme tanah yang sangat membantu dalam stabilisasi struktur tanah, sumbangan mineral-mineral inorganik, ataupun sumbangannya dalam zat pengatur pertumbuhan, juga sangat rendah (Hetrick et al. 1994). Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan rnemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Kegiatan penambangan bahan-bahan yang mengandung mineral sulfida seperti batubara dapat memicu pembentukan asam. Penggalian menyebabkan terangkatnya bahan- bahan sulfidik tersebut ke permukaan sehingga oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit akan melepaskan asam-asam sulfat yang berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis. Menurunnya pH akan meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan (Rochani dan Retno, 1997). Secara ekologis, revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan tambang. Dalam pelaksanaannya revegetasi lahan tambang seringkali mengalami kesulitan akibat sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya tanah pucuk merupakan gambaran yang umum pada lahan tambang. Kalaupun ada, kandungan nitrogennya sangat rendah sehingga tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman. Keadaan ini akibat tidak adanya bahan organik tanah yang disediakan oleh pelapukan material tanaman yang telah mati. Selain itu kurangnya mikroflora tanah membatasi pembusukan material tanaman. Kondisi ini juga diperburuk oleh lapisan permukaan lahan yang berbatu sehingga mempersulit perkembangan vegetasi akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi air (Singh 2004). Bradshaw & Chadwick (1980) mengemukakan bahwa akibat penambangan keseimbangan hara tanaman menjadi terganggu, sementara kelarutan unsur-unsur yang meracuni meningkat dan ketersediaan hara N pada tanah galian tambang pada umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang tinggi. Namun demikian, N tetap tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi. 2.2 Definisi Bioremediasi Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010). Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal, 2005). Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya. Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri pemakan minyak. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan. 2.3 Bioremediasi Tanah Tercemar Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009). Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid, 2009).. Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan extrahyphae slime (Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009), sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal. Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan program reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak tercemar logam berat. Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat. Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya oil droplets dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman. Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik. III. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut : 1. Pertambangan batubara menyebabkan berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi, perubahan karakteristik infiltrasi yang akan mempengaruhi pengisian (recharge) air tanah, perubahan unsur/komponen neraca air, perubahan bentuk bentang lahan dan tata guna lahan, serta penurunan kualitas akibat dari erosi. 2. Pada umumnya lahan-lahan bekas penambangan memiliki kandungan hara makro yang sangat rendah, terutama kandungan N, P, K, Na, dan Ca, serta tingkat kemasaman tanah (pH) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah. Hal ini menyebabkan daya dukung tanah mengalami penurunan. 3. Penggalian batubara menyebabkan terangkatnya bahan-bahan sulfidik ke permukaan sehingga oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit akan melepaskan asam-asam sulfat yang berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis. Menurunnya pH akan meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan 4. Bioremediasi dapat dijadikan sebagai alternatif upaya untuk memperbaiki daya dukung tanah berupa proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). 5. Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). 6. Bioremidiasi tanah tercemar logam berat dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Selain itu, cendawan mikoriza memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri dengan cara mengakumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik-nya.
DAFTAR PUSTAKA [1] Pencemaran Tanah Terhadap Lingkungan (2013) (http://pencemaran-lingkungan-farmasi.blogspot.com/2013/05/pencemaran-tanah- terhadap-lingkungan.html), diakses 18 Mei 2014
[2] Dampak Pencemaran Tanah Terhadap Piramida Jumlah (2013) (http://novikapurwatiti.blogspot.com/2013/03/dampak-pencemaran-tanah-terhadap.html), diakses 18 Mei 2014 [3] Makalah Pencemaran Tanah (2011) (http://mapegounhalu.blogspot.com/2011/03/makalah-pencemaran-lingkungan.html), diakses 18 Mei 2014 [4] Bioremediasi Sebagai Alternatif Penanganan Pencemaran Akibat Tambang Batubara (2011) (http://sarahagustina-sarah.blogspot.com/2011_06_01_archive.html), diakses 18 Mei 2014 [5] Dampak Pertambangan Batubara Di Kabupaten Berau Kalimantan Timur Terhadap Ketersediaan Air Tanah dan Erosi (2013) (http://muchlis-pattiwara.blogspot.com/2013/12/makalah-dampak-pertambangan-di- berau.html), diakses 18 Mei 2014
RIWAYAT PENULIS Cindy Dwilarasati, lahir di Muara Bungo pada tanggal 20 April 1994, sedang menempuh pendidikan S1 di Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya