Anda di halaman 1dari 118

2005

http://www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X
149. Kesehatan Jiwa
Daftar isi :
2005 http. www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125 913X
2. Editorial 4. English Summary
Artikel
5. 8. 14. Kesehatan Jiwa (Mental Health) di Kehidupan Modern Kusumanto Setyonego
ro Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke Nurmiati Amir Gangguan Fung
si atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya LS.Chandra Antidepresan Pemicu Di
sfungsi Seksual Myrna Yustina Penanganan Psikologik pada Obesitas Sylvia D. Elvi
ra Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger Theresia Kaunang Aspek Klinik
dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas Yus
uf Alam Romadhon Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Nar
kotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU Raharni, Max J. Herman
Pengaruh Pendedahan Morfin terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus
) Swiss-Webster Dewi Peti Virgianti,Hana Apsari Pawestri Konsep Sehat, Sakit dan
Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya Sunanti Z. Soejoeti
Faces of emotion.
19. 21. 24. 32. 38. 44.
149 Kesehatan Jiwa
Keterangan gambar : Faces of emotion.
www.altavista.com
49.
53. Respon Terapi Tamoxifen pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan Reseptor Es
trogen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif Azamris 57. L-Ornitin-L-Aspar
tat (LOLA) Menghindari Blebbing akibat Keracunan Etanol pada Hepatosit Nelson Si
manungkalit Pospos 60. Beberapa Temuan yang tak lazim (aneh) selama Bekerja Mene
liti Susunan Kimia Batu Ginjal Oen Liang Hie 62. 63. 65. 66. 68. Produk Baru Keg
iatan Ilmiah Abstrak Indeks Karangan tahun 2005 RPPIK

EDITORIAL
Dalam kehidupan modern ini makin banyak masalah yang memerlukan adaptasi, yang m
ekanismenya mungkin masih sama dengan mekanisme adaptasi manusia di zaman purbak
ala berupa fight or flight mechanism; yang tidak lagi selalu cocok dengan situas
i masyarakat saat ini. Hal tersebut akan menambah stres dan menimbulkan berbagai
reaksi tubuh/fisik. Selain itu perkembangan farmakoterapi psikiatrik telah jauh
berkembang, meninggalkan bentuk terapi fisik seperti ECT, sesuai dengan perkemb
angan teori biologik/neurotransmiter; di lain pihak penggunaan zat tertentu just
ru menyebabkan gangguan psikiatrik. Hal-hal tersebut akan dibahas dalam terbitan
Cermin Dunia Kedokteran edisi ini, sehingga dapat menambah wawasan bahwa kelain
an psikiatrik/psikologik tidaklah semata-mata gangguan psikotik/ skizofrenik saj
a. Akhirnya, di edisi terakhir tahun 2005 ini redaksi mengucapkan Selamat Hari R
aya Idul Fitri, Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2006, semoga tahun mendatang k
urang menyebabkan stres bagi sejawat sekalian.
Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

2005
International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAH
Prof. Dr. Oen L.H. MSc
REDAKSI KEHORMATAN
- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta
PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan
- Prof. Dr. R Budhi Darmojo
KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W. PELAKSANA - Sriwidodo WS.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semara
ng
- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt
. Laboratorium Ortodonti MScD, PhD.
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta F
akultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta
TATA USAHA
- Dodi Sumarna - E. Nurtirtayasa
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cem
paka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : cdk@ka
lbe.co.id http: //www.kalbefarma.com/cdk
- DR. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
DEWAN REDAKSI
PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D
- Prof. Dr. Sjahbanar Zahir MSc.
Soebianto
PENCETAK
PT. Temprint
http://www.kalbefarma.com/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan,
kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah y
ang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh C
ermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan
ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungn

ya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila
menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia
yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesi
a yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengu
bah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan ab
strak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa
Indonesia lebih baik jika disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Ji
ka tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk kar
angan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran
kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, leb
ih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam b
entuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai ke
terangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustr
asi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat
langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan
pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dal
am lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepus
takaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menur
ut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Ma
nuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Con
toh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, Londo
n: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic
properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. P
athologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457
-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermi
n Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan
semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk
. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval,
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp
. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id Pengarang yang naskahnya telah disetuj
ui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat d
iterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang)
lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan
tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.

English Summary
MENTAL HEALTH IN MODERN LIFE Kusumanto Setyonegoro Professor in Psychiatry, Darm
awangsa Hospital, Jakarta, Indonesia Modern living may generate many frustration
s felt as intense individual stress. It may be caused by - among others: 1. Pers
onal failure or inferiority feeling 2. Personal losses : human life as well as m
aterial losses 3. Unfavorable personal comparisons 4. Personal limitations : phy
sical, intellectual or intelligence 5. Personal feelings of guilt These conflict
s of modern life can be severe and the individual may need advice and help from
professionals. Trained mental health professionals can render such help through:
1. Consultations(eg- in outpatient service of mental health facilities ) 2. Hos
pitalization for short term intensive treatment. 3. Medications with modern psyc
hopharmaceuticals
Cermin Dunia Kedokt.2005;149 : 5 -7
FACTORS RELATED TO DRUG ABUSE AMONG PUBLIC HIGH SCHOOL STUDENTS IN BEKASI, WEST
JAVA, INDONESIA Raharni, Max J. Herman Pharmacies Research and Development Cente
r, Department of Health, Jakarta, Indonesia This study was done to obtain inform
ation on factors related to drugs (narcotics, psychotropics and addictive subtan
ces) abuse among public high school (SMU Negeri) students in Bekasi. The study p
opulation of this cross-section study was 386 high school students in Bekasi, ch
osen through multistage sampling procedure. Chi Square test for bivariate analys
is and prediction model of multiple logistic regression for multivariate analysi
s was used. The prevalence of drug abuse was 16,8%. Variables found to be signif
icantly associated with drug abuse in bivariate analysis were personal character
istics (gender, age, knowledge, attitude), environmental factors (mother occupat
ion, family harmony, smoking habit in the family, peer, leisure activities). Gen
der was the most predominant variable. Prevention program among high school stud
ents need to be immediately applied in collaboration with parents (in extracurri
cullar activities), Ministry of Health, Police and Ministry of Justice.It was al
so recommended to conduct further researches, to support drug abuse prevention p
rogram.
Cermin Dunia Kedokt.2005; 149; 38 - 43
EFFECTS OF MORPHINE EXPOSURE ON BEHAVIOR AMONG SWISSWEBSTER MICE Dewi Peti Virgi
anti, Hana Apsari Pawestri* Biologist, Faculty of Mathematics and Physical Scien
ces, Padjadjaran University, Bandung Indonesia *Disease Eradication Research and
Development Center, Department of Health, Jakarta, Indonesia This research on p
regnant Swiss-Webster mice was done to study the effects of morphine exposure on
behaviour in preweaning period and bodyweight of the offsprings. Morphine at do
se of 9,8 mg/kgbw/day;5,6 mg/kg bw/day; 2,8 mg/kg bw/day; and aquabidest as cont
rol was injected subcutaneously on seventh until twelfth day of pregnancy. The b
ehavior of the offsprings was tested using the Neurobehavioral Battery Test. The
re is difference (p<0,05) in reflex test and motor reflex test at 9,8 mg/kg bw/d
ay and 5,6 mg/kg bw/day dose. Weight gain is also significantly different (p<0,0
5) at 9,8 mg/kg bw/day and 5,6 mg/kg bw/day morphine dose. Morphine exposure cau
sed behavioral disparity among mice in preweaning period.
Cermin Dunia Kedokt. 2005 ;149: 44 - 8 dvp, hap
kso
rhi, mjh
( Bersambung Ke Hal 56 )
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Artikel
OPINI
Kesehatan Jiwa(Mental Health) di Kehidupan Modern
Kusumanto Setyonegoro
Ketua Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa Guru Besar Ilmu Psikiatri Fakultas Ked
okteran Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN Dengan kemajuan zaman, problem-problem pribadi dan sosial dalam kehi
dupan manusia bukannya berkurang, tetapi sebaliknya, bahkan bertambah sehingga m
engganggunya untuk mencapai kebahagiaan hidup yang diidam-idamkan. Perang (dalam
maupun luar negeri), pergolakan ekonomi (inflasi, dan sebagainya) perilaku anti
sosial (perampokan, penganiayaan, perkosaan, dan sebagainya), ketidakserasian p
enerapan hukum dan peraturan, hidup berkeluarga yang bermasalah (percekcokan, pe
rceraian, kekerasan dalam keluarga, hidup bersama tanpa nikah, dan sejenisnya) s
emuanya menambah disilusi (kekecewaan yang mendalam), kesulitan atau ketidakmamp
uan untuk menegakkan nilai-nilai sosial kultural dan melaksanakan program yang b
erorientasi filsafat sosial, semuanya secara bertumpuk-tumpuk memicu konflik dan
stres ( ketegangan yang tidak pernah reda secara spontan). Situasi seperti itu
mengakibatkan kondisi maladjustment (keadaan ketidaksesuaian diri dengan lingkun
gan), yang dinyatakan secara jasmaniah (seperti kondisi sakit atau kurang sehat
hingga terpaksa tidak masuk bekerja atau bekerja tidak efektif ) atau melahirkan
perilaku menyimpang; kepribadian yang agak aneh hingga kurang diterima oleh lingk
ungan karena dinilai kurang wajar. Dapat disaksikan orang-orang yang pusing,bingung da
n bengong menghadapi situasi yang menegangkan. Banyak di antara mereka jelas menya
takan dirinya tidak berbahagia, terpaksa hidup terus walaupun tidak melihat masa
depan yang cerah; mereka kehilangan kekuatan mental emosionalnya untuk hidup te
nteram, damai dan sejahtera cukup banyak orang yang mengalami dan memperlihatkan
penyesuaian diri secara pribadi maupun sosial yang kurang pantas dan kurang berken
an terhadap orang lain. Mereka yang tergolong berkelakuan tidak efisien atau kuran
g wajar tersebut,
mungkin tidak perlu dirawat, tetapi jelas memerlukan bimbingan mental sehingga d
apat dikembalikan ke garis kehidupan yang lebih normal dalam waktu yang sesingkat
-singkatnya. MASALAH-MASALAH YANG MENGHAMBAT PENYESUAIAN DIRI Perilaku tidak han
ya tergantung pada dorongan motivasi diri, banyak hambatan dan halangan di sekit
ar kita baik yang eksternal (luar diri kita) maupun internal (dalam diri kita).
Jika suatu dorongan atau keinginan manusia dihambat atau dihalangi, akan timbul
stres. Stres dapat dianggap sebagai suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, yan
g dibebankan pada individu. Keadaan, yang merupakan kekuatan atau keharusan untu
k menyesuaikan diri, dianggap sebagai stressor yang dapat bersifat internal atau
eksternal; biasanya tidak hanya satu stressor saja yang membebani individu teta
pi beberapa stressor sekaligus. JENIS JENIS STRESSOR Ada dua jenis stressor yang
diketahui, yaitu stressor biologik dan stressor psikologik, tetapi kebanyakan b
ersifat psiko-biologik. Infeksi dapat dianggap stressor biologik yang mengharusk
an sistem pertahanan jasmani orang itu menangkalnya. Sama halnya dengan rasa ber
dosa atau rasa bersalah, yang merupakan stressor psikologik; stressor demikian m
engharuskan sistem Diri-Aku ( Ego system ) melakukan pertahanan (defense) agar dap
at berfungsi seimbang (normal) lagi. Jika tidak berhasil, maka individu itu akan
mengalami kegoncangan mental. Stres dapat berpengaruh baik pada individu secara
tersendiri, maupun pada sejumlah individu secara kelompok, umpamanya stres ekon
omi atau stres bencana alam (tsunami, gunung meletus, banjir dan sebagainya) mem
bebani baik individu maupun kelompok secara cukup berat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
5

SUMBER-SUMBER STRESSOR 1. Frustrasi Eksternal (Frustrasi = kekecewaan yang menda


lam). Hal ini terjadi bila alam bergolak sangat berat: badai, kebakaran, gempa b
umi, tsunami, kecelakaan beruntun, terutama sekali bila disertai kematian mereka
yang sangat dicintai dan dekat dengan yang bersangkutan. Halangan atau stres ek
sternal yang hebat di antaranya perang (atau perang saudara), depresi ekonomi (i
nflasi, dan sebagainya) persaingan yang terlalu tajam atau ketat, perubahan zama
n (umpama dari situasi rural ke urban) yang terlalu cepat, ketidakstabilan hukum
dan keamanan, semuanya mengakibatkan frustrasi. Juga dapat berupa perlakuan huk
um tertentu karena dianggap melanggar UU atau Peraturan Negara. Penyimpangan sep
erti pencurian, korupsi, agresi terhadap orang lain, dan sebagainya, semuanya da
pat rnengakibatkan hukuman (yang lebih lanjut mengakibatkan kehilangan status so
sial, kehilangan pekerjaan, masuk penjara, dan sebagainya), yang semuanya mencet
uskan frustrasi yang sangat mendalam. Juga ketidak berhasilan memenuhi tugas pek
erjaan, pendidikan dan lain-lain dapat mengakibatkan frustrasi. 2. Frustrasi Int
ernal Berbagai keterbatasan pribadi juga menimbulkan frustrasi: kendala fisik (p
hysical handicaps), kurangnya inteligensi dan konsentrasi, persaingan daya tarik
, dan sebagainya dapat mengurangi keberhasilan dan mengakibatkan frustrasi. Seju
mlah frustrasi berasal dari hambatan psikologik karena pertimbangan etika (atau
susila kepantasan) dan realitas, misalnya masalah perkawinan. Bila halangan atau
pertimbangan etika dikesampingkan, mungkin timbul rasa dosa dan rasa salah diri
yang berkepanjangan. Sering kali manusia melakukan hal-hal yang ia sendiri mung
kin tidak membenarkan, sehingga menimbulkan rasa tidak senang dan frustrasi. POL
A STRES SELALU MERUPAKAN MASALAH PRIBADI Tiap individu mempunyai pola tertentu p
enyesuaian diri yang sangat unik (khas). Usia, jenis kelamin, kedudukan atau jab
atan, status ekonomi dan hal-hal lain yang terikat pada pribadinya, semuanya tur
ut menentukan. Seorang anak akan menghadapi suatu stres dengan pola yang berlain
an dari seorang dewasa. Seorang pejabat memiliki pola penanggulangan stres yang
berlainan dengan seorang tukang batu. Ditambah pula, pola penyesuaian itu dapat
berubah selama perjalanan waktu. Peristiwa dalam kehidupan seperti kerugian fina
nsiil, kecelakaan besar, kematian dalam keluarga dekat, semuanya mampu mengubah
pola stres ditambah dengan faktor usia, tujuan-tujuan jangka panjang manusia dap
at turut mengubah pola tersebut. Tetapi, yang paling penting ialah bagaimana man
usia itu sendiri menilai pola stresnya dan evaluasinya. Perlu dipertimbangkan, b
ahwa situasi eksternal yang dialami dan dianggap penting oleh seseorang bagi yan
g lain mungkin tidak ada pengaruhnya sama sekali.
BERAT STRES Sama halnya dengan beban yang diletakkan di sebuah jembatan, begitu
pula dengan beban stres pada seseorang; makin lama stres berlangsung, makin bera
t stres tersebut dirasakan. Jumlah stres yang berurutan yang dialami seseorang,
juga menentukan beratnya stres. Bila seseorang sekaligus mengalami peristiwa keh
ilangan pekerjaan, serangan jantung, dan ditinggal istri, maka jelas stres yang
dialaminya lebih berat, dibandingkan dengan jika peristiwa-peristiwa itu tidak t
erjadi bersamaan. Efek kumulatif stres dapat menyebabkan seseorang sekonyong-kon
yong dapat "meledak pecah" sesudah terjadinya suatu stres yang (secara sepintas)
mungkin ringan saja. Harus difahami bahwa individu dalam memandang suatu situas
i tidak hanya mengenai faktanya saja, tetapi juga bagaimana dia menilai situasi
vang baru itu berdasarkan kemampuan diri untuk mengatasinva. Hal-hal tersebut sa
ngat penting untuk memahami kondisi sakit jiwa (mental illness). REAKSI HOLISTIK
(=MENYELURUH) MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN JIWA Pada dasarnya, reaksi manusia te
rhadap stres pada dasarnya bersifat menyerang (attack), menarik diri (withdrawal
) atau kesepakatan berdamai (compromise). Masing-masing reaksi itu dapat terjadi
secara terbuka (overt) atau tersamar (covert). Individu dapat menurunkan taraf
aspirasinya (hasrat atau cita-cita) saat menghadapi kegagalan, atau meningkatkan
upayanya untuk mencapai tujuan. Segala reaksi tersebut adalah upaya untuk mengi
mbangi problem sedemikian rupa sehingga dapat mencapai atau mempertahankan suatu
keseimbangan psikobiososial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya . REAKS
I PENYESUAIAN DIRI (ADAPTIF) SECARA LANGSUNG Sikap menyerang (attack), menarik d
iri (withdrawal) dan sepakat berdamai (compromise) merupakan tindakantindakan ya
ng dapat dianggap langsung (direct) untuk menghadapi stres, dengan berbuat sesua
tu sehingga situasi aslinya dapat di lunakkan (modify) atau di ubah (change). Reaksi

menyerang (attack), reaksi agresi (mendobrak atau menyerang) atau reaksi bermus
uhan (hostile) dimaksud untuk menghapus atau mengatasi halangan mencapai kepuasa
n. Banyak organisme bertindak agresif saat menjumpai halangan; yang paling serin
g ialah tindakan memperkuat emosi yang menjelma menjadi sikap permusuhan. Tetapi
. hanya sejumlah kecil situasi stres saja yang dapat diatasi dengan cara demikia
n. Jika serangan langsung tidak berhasil, dan frustrasi tetap berlangsung, maka
frustrasi, rasa tidak senang dan rasa sakit hati dapat dihubungkan dengan berbag
ai pribadi atau objek tertentu. Mereka itu kemudian dapat dijadikan sasaran dan
sebab dari frustrasi dan blokade yang dialaminya. Dengan demikian, maka reaksi a
gresif (yang semula hanya bersifat aktivitas yang bertambah dan serangan langsun
g) kemudian diperkuat menjadi rasa benci. Sikap yang semula hanya berupa keingin
an menyerang dapat ditambah dengan kecenderungan merusak (destroy). Jika individ
u merasa
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

diperlakukan tidak adil, tidak disukai, atau tidak diberi kesempatan maju sepert
i orang lain (yang dianggap sama dengan dia), maka ia dapat menaikkan tegangan p
ermusuhan, yang kemudian menjadi perilaku delinquent (melawan hukum). Pencurian,
perampokan, perusakan, pembakaran, perilaku seksual yang melawan hukum, dan pen
yerangan fisik terhadap orang-orang tertentu seringkali merupakan pola perilaku
pembangkang (defiant behavior). REAKSI PENYESUAIAN DIRI SECARA TIDAK LANGSUNG Ji
ka individu tidak melakukan reaksi penyesuaian secara langsung, maka ia akan men
empuh jalan tidak langsung. Ia dapat melarikan diri (flight) atau menarik diri (
withdrawal) atau mengurung diri dalam kondisi ketakutan (fear atau anxiety). Dal
am kondisi itu, individu akan berkurang efektivitas dan efisiensi hidupnya, bany
ak upaya dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, seolah-olah sia-s
ia belaka. Individu tersebut makin lama makin hidup dalam dunia fantasinya dan j
ika tidak ditangani secara profesional dapat terjerumus dalam keadaan sakit jiwa
(mental illness). Pada umumnya individu yang terganggu kesehatan jiwanya terbag
i dalam : 1. Pasien-pasien dengan jiwa yang relatif sehat (dapat bekerja dan ber
usaha seperti biasa) tetapi mengalami berbagai problem hidup yang kadang-kadang
memerlukan orang lain (suami, isteri atau orang tua/saudara) untuk mencapai peny
elesaian (solusi) yang sebaik-baiknya. Mereka dapat meminta nasihat (counseling)
pada seorang profesional: psikiater, psychologist, educator, social worker, cer
tified nurse dan profesional lain. Dianjurkan tidak menghubungi ahli nujum, duku
n magician, dan sejenis karena pengetahuannya tidak didasarkan atas asas-asas il
miah modern. 2. Pasien neurosis khronis, psikosomatis khronis dan pasien neurops
ikiatrik perlu diobati oleh psikiater atau dokter nonpsikiater yang berpengalama
n.
3. Pasien dengan kondisi mendesak, atau tak terkendali. Sering mengeluh konsentr
asi menurun, fokus pikiran kabur, mendengar bisikan suara (halusinasi) dan pikir
an-pikiran curiga dan bersifat mengejek atau menganggap dirinya "jahat" (paranoi
d) dianjurkan segera berkonsultasi dengan psikiater.
BAGAIMANA SEBAIKNYA MENGHADAPI PASIEN DENGAN KELUHAN KESEHATAN JIWA YANG TERGANG
GU ( baik anak,remaja,dewasa,usia lanjut / lansia ) Pasien (dengan kesehatan jiw
a yang relatif sehat), dapat bekerja dan berusaha seperti biasa, tetapi mengalam
i problem hidup dan penghidupan (problems of life and living). Mereka dapat meny
elesaikan problem itu sendiri atau dengan orang lain yang dekat dengannya untuk
mencapai solusi. Mereka dapat meminta nasihat counsellor. STRESS RELATIF RINGAN
Pasien-pasien dengan problem hidup dan kehidupan mendesak, memerlukan segera kon
seling pada ahli yang terlatih secara ilmiah: clinical psychologist, professiona
l mental health nurse,social worker, dan ahli sosial lain. Sering mereka langsun
g minta bantuan atau pertolongan psikiater (swasta atau pemerintah) sesuai denga
n keinginannya sendiri, counsellor non-psikiater tidak pernah memberi obat couns
ellor psikiater dapat meresepkan obat
STRESS SEDANG PSIKOSOMATIK NEUROSIS
Pasien dengan kondisi mendesak, atau tak terkendali sering mengeluh konsentrasi me
nurun , fokus pikiran kabur, mendengar bisikan (halusinasi) dan pikiran-pikiran
kecurigaan atau menganggap dirinya jahat (paranoid). Sering mereka sedang atau sud
ah berobat ke dokter atau rumah sakit lain. Mereka ini dianjurkan segera berkons
ultasi dengan psikiater dan dirawat.
STRESS BERAT (Psikosis)
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
7

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke
Nurmiati Amir
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Umum Pu
sat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala kli
nik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Gejala depresi terdiri dari p
enurunan mud (mood), gangguan kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor. Ada beb
erapa bentuk depresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar), gangguan
mud spesifik lainnya, gangguan depresi akibat kondisi medik umum atau akibat zat
, dan gangguan penyesuaian dengan mud depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti g
angguan depresi belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berkrontribusi yaitu f
aktor stresor psikososial, genetik, kepribadian, dan biologik. Pada stroke, gang
guan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi, sedangkan pasien stroke yan
g dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi. Ada beberapa jenis
penatalaksanaan depresi; medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi Kejan
g Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan medikasi. Mengin
gat ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi, penatalaksanaan yang kom
prehensif sangat diperlukan. PENDAHULUAN Depresi merupakan suatu sindrom yang di
tandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masin
g-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-I
V merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depre
si. Jika manifestasi depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan m
ud (mood) (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dapat denga
n mudah ditegakkan; tetapi jika gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor a
tau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala te
rus-menerus, adanya depresi yang melatarbelakanginya sering tidak terdiagnosis.
Ada masalah-masalah lain yang juga dapat menutupi diagnosis depresi misalnya pas
ien menyalahgunakan alkohol atau obat untuk mengatasi depresi, atau muncul dalam
bentuk gangguan perilaku(1). Gangguan depresi sering ditemui. Prevalensi selama
kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Sekitar 15% penderita
depresi melakukan usaha bunuh diri. Walaupun depresi lebih sering pada wanita,
kejadian bunuh diri lebih sering pada laki-laki, terutama lelaki usia muda dan u
sia tua. Penyebab depresi secara pasti, belum diketahui. Faktorfaktor yang didug
a berperan yaitu peristiwa-peritiwa kehidupan yang bersifat stresor (problem keu
angan, perkawinan, pekerjaan, penyakit, dan lain-lain), faktor kepribadian, gene
tik, dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan neurotransmiter bio
genik amin, dan imunologik(2). Pada stroke, depresi merupakan gangguan emosi yan
g paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderi
ta depresi. sedangkan yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% mender
ita depresi.(3) Gangguan depresi dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. I
a dapat pula mecetuskan, memperlambat penyembuhan atau memperberat penyakit fisi
k. Selain itu, depresi dapat pula meningkatkan beban ekonomi. Depresi perlu diid
entifikasi secara dini makin dini penatalaksanaan makin baik prognosisnya. Ada b
eberapa jenis penatalaksanaan depresi psikofarmaka, psikoterapi, kombinasi kedua
nya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan
psikofarmaka. Mengingat ada
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

beberapa faktor penyebab depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diper


lukan. GEJALA DEPRESI Gambaran emosi - Mud depresi, sedih atau murung - Iritabil
itas, anksietas - Ikatan emosi berkurang - Menarik diri dari hubungan interperso
nal - Preokupasi dengan kematian - Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri Gambaran k
ognitif - Mengeritik diri sendiri, perasaan tak berharga, rasa bersalah - Pesimi
s, tak ada harapan, putus asa - Bingung, konsentrasi buruk - Tak pasti dan raguragau - Berbagai obsesi - Keluhan somatik - Gangguan memori - Ide-ide mirip waha
m Gambaran Vegetatif - Lesu dan tak ada tenaga - Tak bisa tidur atau banyak tidu
r - Tak mau makan atau banyak makan - Penurunan berat badan atau penambahan bera
t badan - Libido terganggu - Variasi diurnal Psikomotor - Retardasi psikomotor Agitasi psikomotor TANDA-TANDA DEPRESI - Tidak atau lambat bergerak - Wajah sed
ih dan selalu berlinang air mata - Kulit dan mulut kering - Konstipasi KlASIFIKA
SI DEPRESI MENURUT DSM-IV 1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar. 2. Gan
gguan mood spesifik lainnya - Gangguan distimik depresi minor. - Gangguan siklot
imik depresi dan hipomanik saat ini atau baru saja berlalu (secara terus menerus
selama 2 tahun). - Ganguan depresi atipik - Depresi postpartum - Depresi menuru
t musim 3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akiba
t zat 4. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi disebabkan oleh stres
or psikososial. DEPRESI PASCASTROKE (DPS) Gangguan depresi merupakan gangguan em
osi yang paling sering dikaitkan dengan stroke. Sekitar 15%-25% pasien stroke da
lam komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang
dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi baik mayor ataupun min
or(6). Fenomenologi simptom depresi fungsional hampir sama dengan simptom DPS. S
ekitar 50% pasien yang memenuhi kriteria diagnostik untuk DPS melaporkan adanya
kesedihan, kecemasan, ketegangan, kehilangan minat, terbangun dini hari, hilangn
ya nafsu makan dan penurunan berat badan, sulit konsentrasi dan berpikir,serta p
ikiran-pikiran tentang kematian. Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, se
jumlah peneliti menyatakan bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. P
enelitian terhadap penderita stroke dengan lesi hemisfer kiri, mendapatkan hubun
gan terbalik antara beratnya depresi dengan jarak antara batas anterior lesi den
gan kutub frontal(8). PREVALENSI Sekitar 26% pasien pascastroke menderita depres
i mayor dan 20% depresi tipe distimik. Sekitar 40%-50% pasien dapat menderita de
presi dalam beberapa bulan pertama setelah stroke(9). Studi prospektif (dua tahu
n) yang dilakukan terhadap pasien stroke mendapatkan 26% pasien mengalami depres
i mayor dan 20% depresi minor ketika dievaluasi di rumah sakit. Pasien yang meng
alami depresi mayor ketika di dalam rumah sakit, setelah satu atau dua tahun sem
buh sempurna; sedangkan prognosis pasien dengan depresi minor kurang baik, hanya
30% yang sembuh setelah dua tahun pasca stroke. Sekitar 30% yang tidak mengalam
i depresi selama perawatan di rumah sakit menjadi depresi setelah dua tahun pasc
a stroke. Durasi depresi mayor secara alamiah berlangsung sekitar satu tahun sed
angkan durasi depresi minor lebih lama; pada beberapa kasus berlangsung lebih da
ri dua tahun sehingga memenuhi kriteria gangguan distimik(10). Dua faktor yang t
elah diidentifikasi dapat mempengaruhi perjalanan alamiah DPS yaitu: 1. Terapi d
engan antidepresan 2. Lokasi lesi Berdasarkan lokasi, frekuensi kesembuhan depre
si pada pasien dengan lesi subkorteks dan serebelum lebih tinggi bila dibandingk
an dengan pasien yang lesinya di korteks. Impairment dalam aktivitas kehidupan s
ehari-hari juga berbeda bermakna. Depresi bukanlah penyakit yang sifatnya sement
ara tetapi berlangsung lama. Durasi untuk depresi mayor adalah satu tahun sedang
kan untuk depresi minor sekitar dua tahun. LESI KORTEKS DAN SUBKORTEKS Dari pene
litian terhadap pasien pascastroke didapatkan bahwa sekitar 44% pasien dengan le
si di korteks kiri mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi di subkor
teks kiri 39%. Depresi pada lesi di korteks kanan 11% dan di subkorteks kanan 14
%. Tidak terdapat perbedaan kejadian depresi yang bermakna antara lesi di kortek
s dengan subkorteks.Tetapi prevalensi depresi lebih tinggi secara bermakna pada
lesi di hemisfer kiri dibandingkan dengan lesi di hemisfer kanan(11). Bila dilih
at lebih jauh, pasien dengan lesi korteks frontal kiri anterior lebih sering men
galami depresi jika dibandingkan dengan pasien dengan lesi korteks frontal kiri
posterior.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005


9

Dengan perkataan lain, depresi akan lebih berat jika lesi lebih dekat ke kutub f
rontal. Depresi lebih sering pada pasien dengan lesi di hemisfer anterior kiri d
aripada lesi hemisfer anterior kanan. Lesi di korteks frontal dorsolateral dan l
esi ganglia basal kiri menimbulkan depresi mayor yang lebih sering dan lebih ber
at dibandingkan dengan lesi di tempat lain. LESI SIRKULASI SEREBRI MEDIA DAN POS
TERIOR Suatu penelitian dilakukan terhadap 37 pasien dengan lesi sirkulasi sereb
ri posterior dibandingkan dengan 42 pasien dengan lesi sirkulasi serebri media.
Lesi sirkulasi serebri posterior dibagi lagi menjadi hemisfer temporo-oksipital
dan lesi batang otak/serebelum. Depresi mayor/minor terjadi pada 48% pasien deng
an lesi sirkulasi serebri media dan pada 35% pasien dengan lesi batang otak/sere
belum. Setelah enam bulan, frekuensi depresi 82% pada pasien dengan lesi sirkula
si serebri media dan 20% pada sirkulasi serebri posterior; setelah 1-2 tahun, fr
ekuensi depresi adalah 68% dan 0%. Perjalanan depresi di regio batang otak/sereb
elum lebih pendek. Penemuan ini menunjukkan bahwa mekanisme depresi akibat lesi
di arteri serebri media berbeda dengan lesi di batang otak/serebelum. Hal ini ka
rena lesi di batang otak biasanya kecil dan tidak begitu merusak jaras biogenik
amin yang berperan penting dalam memodulasi emosi. LESI HEMISFER KANAN Suatu pen
elitian terhadap 54 pasien stroke (diagnosis dengan CT-scan) melaporkan bahwa 66
% pasien dengan depresi mayor dan 63% dengan depresi minor mempunyai lesi di mas
sa putih (white matter) lobus parietal. Riwayat psikiatrik dalam keluarga pasien
dengan lesi hemisfer kanan yang menderita depresi, lebih tinggi secara bermakna
bila dibandingkan dengan pasien dengan lesi di hemisfer kanan yang tidak depres
i(12). FAKTOR RISIKO PREMORBID DAN DEPRESI Meskipun lesi anterior kiri dan poste
rior kanan berhubungan dengan depresi pascastroke, tidak semua pasien dengan les
i ini menjadi depresi. Pasien depresi lebih sering mempunyai riwayat keluarga at
au pribadi menderita depresi dibandingkan dengan pasien nondepresi; lokasi bukan
lah faktor tunggal dalam terjadinya depresi pascastroke. Adanya atrofi subkortek
s, riwayat keluarga dan pribadi menderita depresi sebelum stroke merupakan fakto
r yang berperan dalam terjadinya depresi pascastroke(13). Pasien dengan lesi hem
isfer kanan yang berkembang menjadi depresi mayor setelah stroke mempunyai riway
at keluarga menderita gangguan psikiatrik lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak depresi. Ini menunjukkan bahwa faktor genetik juga ikut berperan dalam ter
jadinya depresi pascastroke(12). HUBUNGAN DENGAN HENDAYA (IMPAIRMENT) FISIK Pene
litian yang menggunakan instrumen ADL untuk menilai hendaya fungsi sehari-hari p
enderita pascastroke melaporkan adanya hubungan antara depresi dengan hendaya fi
sik atau hendaya fungsi sehari-hari. Hendaya fungsi dapat
menimbulkan depresi dan depresi dapat mempengaruhi beratnya hendaya fungsi sehar
i-hari. Pasien stroke yang tidak depresi tidak menunjukkan perubahan fungsi seha
ri-hari bahkan dengan berjalannya waktu fungsi kehidupan sedikit lebih meningkat
. Depresi berpengaruh terhadap penyembuhan yaitu memperlambat penyembuhan fisik(
1). DEPRESI DAN HENDAYA KOGNITIF Pasien stroke dengan depresi mengalami defisit
intelektual dengan mengobati depresi, defisit intelektualnya membaik. Hendaya ko
gnitif (penurunan skor Mini Mental State Examination - MMSE), lebih berat pada p
asien dengan lesi hemisfer kiri yang mengalami depresi mayor daripada pasien den
gan lesi yang sama tetapi tidak mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan l
esi hemisfer kanan tidak terlihat adanya perbedaan penurunan fungsi kognitif ant
ara kelompok yang depresi dengan nondepresi. Dengan perkataan lain, depresi mayo
r yang dikaitkan dengan stroke hemisfer kiri terlihat menimbulkan hendaya kognit
if yang bermakna. DEPRESI DAN AFASIA Sekitar 53% pasien afasia mengalami depresi
. Penemuan ini hampir sama dengan frekuensi depresi mayor atau minor di antara p
asien stroke nonafasia. Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motori
k daripada afasia global (71%:44%) Peneliti lain juga melaporkan bahwa depresi p
ada pasien afasia motorik lebih tinggi daripada global (63%:16%)(14). Tingginya
frekuensi depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran
mereka akan hendaya mereka. Selain itu, lesi yang menimbulkan afasia motorik ju
ga menimbulkan depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan defisit
pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan perilaku yan
g dapat diobservasi seperti kurang tidur, menolak makan, gelisah, agitasi, atau
retardasi, dan adanya pemeriksaan DST positif.(15) MEKANISME TERJADINYA DPS Peny

ebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh disfungsi biogenik am
in. Badan sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di batang otak dan ia me
ngirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang
mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut
ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat l
esi frontal dan ganglia basalis(16). Respons biokimia terhadap lesi iskemik bers
ifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebabkan penurunan biogenik amin tanpa
adanya kompensasi peninggian regulasi serotonin akibatnya, gejala depresi dapat
muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan peninggian regulasi serotonin
(karena mekanisme kompensasi) yang bersifat protektif terhadap depresi. TEORI P
SIKOBIOLOGIK Teori psikoanalitik Menurut Freud pasien depresi menderita kehilang
an nyata atau imajiner atas obyek cinta yang bersifat ambivalen. Pasien bereaksi
dengan kemarahan yang kemudian diarahkan
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

kepada diri sendiri, dan ini menyebabkan penurunan harga diri dan terjadi depres
i. Teori kognitif menyebutkan suatu tritunggal kognitif tentang distorsi persepsi
yaitu : a. Interpretasi negatif seseorang tentang pengalaman hidupnya. b. Menyeb
abkan devaluasi dirinya, c. Yang akhirnya menyebabkan depresi. Teori biologik me
mfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-HT) serta dopamin
(D). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya k
adar NE otak dan dopamin. Walaupun demikian, pada beberapa pasien kadar MHPG (me
tabolit utama NE) tetap rendah. Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya 5
HT otak (atau metabolit utama, 5-HIAA) dapat menyebabkan depresi. Mekanisme kerj
a antidepresan yang diketahui, mendukung teori ini trisiklik memblok ambilan NE
dan 5-HT dan menghambat oksidasi NE oleh monoamin oksidase inhibitor. Depresi ju
ga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neurohormonal. Teori neurofisiologik pen
elitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme di lobus front
al atau menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental ritmik si
rkadian pada pasien depresi. PEMERIKSAAN BIOLOGIK DEPRESI Ada beberapa pemeriksa
an yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan prognosis depres
i. - Dexamethasone suppression test (DST) hasil tes positif bila tidak terjadi p
enekanan plasma kortisol 6-24 jam setelah pemberian deksametason oral. - Peningk
atan kortisol serum (30% pasien depresi mengalami hipertrofi adrenal) - Penuruna
n kadar MHPG (3-methoxy-4 - hydroxyphenylene glycol) urin, suatu hasil katabolit
metanorepinefrin dan 5-HIAA cairan serebrospinal (CSS) yaitu suatu metabolit se
rotonin pada penderita depresi. - Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada res
pons TSH dan GH terhadap TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar). - Rekaman t
idur - terdapat gangguan pola tidur : Latensi REM memendek waktu antara masuk ti
dur dengan mulai tidur REM (indikator paling baik) sering terbangun, terbangun d
ini hari, penurunan tidur NREM peningkatan densitas REM (frekuensi gerakan bola
mata cepat pada tidur REM). Semua ini mungkin ciri-ciri orang yang rentan untuk
depresi. - Uji tantangan stimulansia beberapa pasien depresi membaik sementara b
ila diberi 10 mg amfetamin. Penggunaan klinik rutin uji-uji ini sangat sedikit;
yang paling baik dilihat adalah : a. Pola tidur abnormal b. Kadar TSH dan respon
s TRH abnormal c. Bila setelah pengobatan DST positif, merupakan indikator hasil
terapi yang buruk. Semua uji-uji ini sensitivitas dan spesifikasinya tidak cuku
p baik (terlalu banyak positif palsu dan negatif palsu).
Bagaimanapun, keadaan ini dapat menunjukkan bahwa faktor biologi memegang perana
n pada beberapa pasien depresi selain lingkungan yang juga berperan penting, kar
ena 25% pasien dengan kondisi medik serius dan yang menderita stres psikososial
berat akan menderita depresi mayor (1). Penelitian dengan PET dan fMRI untuk men
getahui lokasi gangguan ini di SSP memberi harapan. Depresi mayor diduga berkait
an dengan penurunan aktivitas korteks prefrontal lateralis terutama sisi kiri, k
audatus, putamen, dan mungkin juga amigdala(1,8). PENATALAKSANAAN DEPRESI Perlu
pemeriksaan medik dan psikiatrik untuk menyisihkan depresi sekunder. Tanyakan te
ntang gambaran-gambaran vegetatif dan evaluasi potensi untuk bunuh diri. Apakah
pasien : a. Mengalami ketidakmampuan akibat gangguan ini. b. Mempunyai lingkunga
n rumah yang destruktif atau dukungan lingkungan yang terbatas. c. Mempunyai ide
-ide bunuh diri. d. Mempunyai penyakit medik terkait yang memerlukan pengobatan
atau perawatan. Semua pasien depresi mesti mendapatkan psikoterapi, beberapa mem
erlukan tambahan terapi fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis, berat pen
yakit, umur pasien, respons terhadap terapi sebelumnya. PSIKOTERAPI Psikoterapi
yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah kam
buhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi ini dilakukan d
engan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan pasien. Psiko
terapi untuk DPS dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan sesuai
dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Beberapa pasien dan klinisi sanga
t meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang sebaliknya yaitu
tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat
dipengaruhi oleh penilaian dokter atau pasiennya. Terapi kognitif (TK) Ada duga
an bahwa penderita depresi adalah orang yang belajar menjadi tak berdaya. Depresi
diterapi dengan memberikan pasien latihan ketrampilan dan memberikan pengalamanpengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom

depresi melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan o
tomatik pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahw
a kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, d
an masa depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya
yang salah. Kemudian ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah ters
ebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih un
tuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negat
if. Cara ini dipraktekkan di luar sesi terapi dan menjadi modal utama dalam meng
ubah gejala.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 11

Terapi ini berlangsung lebih kurang 12-16 sesi dengan tiga fase yaitu: 1. Fase a
wal (sesi 1-4) membentuk hubungan terapeutik dengan pasien. Mengajarkan pasien t
entang bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan fisik. Mene
ntukan tujuan dan goal terapi. Mengajarkan pasien untuk mengevaluasi pikiran-pik
irannya yang otomatis. 2. Fase pertengahan (sesi 5-12) mengubah secara berangsur
angsur kepercayaan yang salah. Membantu pasien mengenal akar kepercayaan diri. P
asien diminta mempraktekkan ketrampilan berespons terhadap hal-hal yang depresog
enik dan memodifikasinya. 3. Fase akhir (sesi 13-16) menyiapkan pasien untuk ter
minasi dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang relevan untuk kekambuhan dan
mengkonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri. Terapi peri
laku Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari li
ngkungan sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama terapi k
ognitif. Tujuannya adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dala
m tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan. Fase awal pasi
en diminta memantau aktivitasnya, menilai derajat kesulitan aktivitasnya, kepuas
annya terhadap aktivitasnya. Pasien diminta melakukan sejumlah aktivitas yang me
nyenangkan. Latihan ketrampilan sosial, asertif, dapat meningkatkan hubungan int
erpersonal dan dapat menurunkan interaksi submisif. Fase akhir fokus berpindah k
e latihan mengontrol diri dan pemecahan masalah. Diharapkan ilmu yang didapat da
lam terapi dapat digeneralisasi dan dipertahankan dalam lingkungan pasien sendir
i. Psikoterapi suportif Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan. Memberikan
kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Bantu pasien mengidentifikasi dan
mengekspresikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-fakt
or presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal (misa
lnya masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda d
ekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali
per minggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir atau selaman
ya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis
(melalui kemarahan, hostilitas, tuntutan yang tak masuk akal, dan lain-lain). P
sikoterapi psikodinamik Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik yaitu kerenta
nan psikologik terjadi akibat konflik perkembangan yang tak selesai. Terapi ini
dilakukan dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah defisit
psikologik yang menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya, pr
oblem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah
diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang buruk, d
efisit interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan dengan keluarga. Psikoterapi
dinamik singkat (brief dynamic psychotherapy) Sesinya lebih pendek. Tujuannya m
enciptakan lingkungan yang aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi konfli
knya dan dapat mengekspresikannya. Terapi kelompok Tidak ada bentuk terapi kelom
pok yang spesifik. Ada beberapa keuntungan terapi kelompok. 1. Biaya lebih murah
2. Ada destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan problem yang sama 3. Me
mberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktekkan ketrampilan perilaku
interpersonal yang baru 4. Membantu pasien mengaplikasikan ketrampilan baru Ter
api kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan juga l
ebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi lebih berat terapi individu leb
ih efektif. Terapi perkawinan Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai d
epresi dan dapat mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubu
ngan perkawinan merupakan hal penting dalam terapi ini. Psikoterapi berorientasi
tilikan (insight) Jangka terapi cukup lama, dapat berguna pada pasien depresi m
inor kronik tertentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami rem
isi tetapi mempunyai konflik(17). Deprivasi tidur parsial Bangun mulai di perten
gahan malam dan tetap jaga sampai malam berikutnya, dapat membantu mengurangi ge
jala-gejala depresi mayor buat sementara(1). TERAPI BIOLOGIK Antidepresan Sebagi
an besar penderita depresi membutuhkan antidepresan (70%-80% pasien berespons te
rhadap antidepresan), walaupun yang mempresipitasi terjadinya depresi jelas terl
ihat atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu antidepresa
n terbaru. Jika tak berhasil, pertimbangkan antidepresan trisiklik, atau MAOI (t
erutama pada depresi atipikal) atau kombinasi beberapa obat jika obat pertama tak
berhasil. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa antidepresan

dapat mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar (10% dengan TCA,
dengan SSRI lebih rendah, tetapi semua konsep tentang presipitasi manik masih dipe
rdebatkan). Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untu
k beberapa bulan, kemudian diturunkan. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliha
raan jangka
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

panjang(1,18). Anti depresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi. Lithi
um Bermanfaat untuk depresi bipolar akut dan beberapa depresi unipolar. Ia cukup
efektif pada bipolar serta untuk mempertahankan remisi dan begitu pula pada beb
erapa pasien unipolar. Antikonvulsan Juga sama baiknya dengan lithium untuk meng
obati kondisi akut, meskipun kurang efektif untuk pemeliharaan(1,11). Antidepres
an dan lithium dapat dimulai bersama-sama dan lithium diteruskan setelah remisi.
Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan antipsikotik, tunggal
atau bersama-sama dengan antidepresan, lithium antipsikotik atipik juga terliha
t efektif. Terapi Kejang Listrik (TKL) Mungkin merupakan terapi pilihan bila : a
. Obat tak berhasil b. Kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh di
ri yang akut). c. Pada beberapa depresi psikotik. d. Pada pasien yang tak dapat
mentoleransi obat (misalnya pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90%
pasien memberikan respons. Latihan fisik Lari dan renang dapat memperbaiki depr
esi, dengan mekanisme biologis yang belum dimengerti dengan baik(1). KESIMPULAN
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang
manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statist
ical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang dig
unakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Gejala depresi terdiri dari penurunan
mood, gangguan kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor. Ada beberapa bentuk d
epresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar), gangguan mood spesifik
lainnya,gangguan depresi akibat kondisi medik umum atau akibat zat, dan gangguan
penyesuaian dengan mood depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti gangguan depre
si belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berkrontribusi yaitu faktor stresor
psikososial, genetik, kepribadian, dan biologik. Pada stroke, gangguan depresi
merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien st
roke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan pasien stroke yang sedang dira
wat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi.
Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi medikasi, psikoterapi, kombinasi kedu
anya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya da
n medikasi. Mengingat ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya depre
si, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan.
KEPUSTAKAAN 1. Akiskin HS. Mood disorder; introduction and overview. Dalam: Sado
ck BJ, Sadock VA (eds.) Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7t
h ed, Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, 1999, 1284-98 Blazer DG, Kes
sler RC, McGonagle KA. The prevalence and distribution of major depression in a
national community sample: the National Comorbidity Survey. Am J Psychiatr. 1994
;151:979-86. Fricchione G, el-Chemali Z, Weilburg JB, Murray GB. Neurology and M
icrosurgery. Dalam: Wise MG, Rundell JR, (eds). Textbook of Consultation-Liaison
Psychiatry, Psychiatry in the Medically Ill. American Psychiatric Publ., Inc, W
ashington DC, London, England, 2nd ed., 2002; hal. 679-700. Nierenberg AA, Alper
t JE, Pava J. Course and treatment of atypical depression. J Clin Psychiatr. 199
8;59(suppl 18);5-9. Lewy AJ, Bauer VK, Cutler NL. Morning vs evening light treat
ment of patients with winter depression. Arch Gen Psychiatr. 1998;55:890-96. Rob
inson RG, Starkstein SE. Neuropsychiatric Aspect of Cerebrovascular Disease. Dal
am: Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed, Sadock BJ, Sad
ock VA, (eds.), Philadelphia, Lippincott, Williams & Wilkins, 1999, 242-50 Lipse
y JR, Spencer WC, Rabin PV. Phenomenological comparison of postsroke depression
and functional depression. Am J Psychiatr. 1986; 143:527-29. Kennedy SH, Javanma
rd M, Vaccarino FJ. A review of functional neuroimaging in mood disorders: posit
ron emission tomography and depression. Can J Psychiatr. 1997;42:467-75. Robinso
n RG, Starr LB, Kubos KL. A two-year longitudinal study poststroke mood disorder
: findings during the initial evaluation. Stroke 1983;14:736-41. Robinson RG, Bo
lduc PL, Price TR. Two-year longitudinal study of poststroke mood disorder: diag
nosis at one and two years. Stroke 1987;18:837-43. Robinson RG, Price TR. Compar
ison of cortical and subcortical lesions in the production of poststroke mood di
sorder. Brain, 1987; 110;1045-59. Soares JC, Mann JJ. The anatomy of mood disord
ersreview of structural neuroimaging studies. Biol Psychiatr. 1997;41:86-106. Sta
rkstein SE, Robinson RG, Price TR. Comparison of patients with and without poststroke major depression matched for size and location of lesion. Arch Gen Psychi

atr 1988,45: 247-55. Signer S, Cummings JL, Benson DF. Delusion and mood disorde
rs in patients with chronic aphasia. J Neuropsychiatr Clin. Neurosciences, 1989;
1:40-5. Ross ED, Gordon WA, Hibbart M. The dexamethasone suppression test, poststroke depression, and the validity of DSM-II-based diagnostic criteria. Am J Ps
ychiatr. 1986;38;1344-30 Robinson RG, Strarr LB, Kubos KL. Mood disorders in str
oke patients: importance of lesion location. Brain 1989;107: 81-93. Jorgensen MB
, Dam H, Bolwig TG. The efficacy of psychotherapy in non-bipolar depression: a r
eview. Acta Psychiatr Scand 1998;98:1-13. DeRubies RJ, Gelfand LA, Tang TZ. Medi
cations versus cognitive behavior therapy of severely depressed outpatients: met
a-analysis of four randomized comparisons. Am J Psychiatr. 1999;156:1007-13.
2. 3.
4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
A friends eye is a good looking-glass
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 13

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya
LS. Chandra
Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, Indonesia
PENDAHULUAN Membicarakan hal ikhwal seksual sering menimbulkan asosiasi pikiran
tertentu yang merupakan dampak atau konsekuensi/aspek psikososial perilaku seksu
al (penyelewengan ekstramarital, seks premarital, seks sebelum waktunya dan seba
gainya ). Di antara pelbagai jenis disfungsi seksual pada pria dan wanita, yang
paling umum adalah kesulitan ereksi (erectile dysfunction), yaitu pria tidak dap
at berereksi (mengalami ereksi penis) atau bisa ereksi tapi lemah sehingga tidak
dapat melakukan coitus secara memadai dan mengakibatkan keluhan pada wanita mit
ra seksnya. Usaha menyembuhkan gangguan/ disfungsi ini dapat mengatasi sebagian
besar (tidak seluruh) masalah yang dihadapi pasangan seks (suami isteri). Salah
satu alasan menggunakan zat atau bahan/obat untuk fungsi seksual adalah anggapan
bahwa kemampuan/potensi seksual dapat ditingkatkan dengan meminum obat/zat ters
ebut. Apa yang dibahas dalam makalah ini mencakup hal ikhwal seks yang berlaku s
egala umur tetapi terutama ditujukan untuk kelompok individu yang mengalami kesu
litan dalam menjalankan fungsi seksual. BATASAN Perilaku seksual adalah manifest
asi aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan seks (intercourse; coitus; coh
abitatio) maupun masturbasi. Dorongan/Nafsu seksual adalah minat/niat seseorang
untuk memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan S
eksual (Sexual Excitement) adalah respons tubuh terhadap rangsangan seksual. Ada
dua respons yang mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi) dan va
socongestion (pengisian pembuluh darah dengan cairan) terutama pada alat kelamin
(Belliveau Richter, 1970). Disfungsi (psiko) seksual adalah gangguan respons fu
ngsi seksual. Pada pria : kegagalan yang menetap atau berulang, sebagian atau ke
seluruhan, untuk memperoleh dan
atau mempertahankan ereksi sampai terselesaikannya aktivitas seksual. Pada wanit
a: kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan,
untuk memperoleh dan atau mempertahankan respons lubrikasi vasokongesti sampai b
erakhirnya aktivitas seksual. Ada 6 jenis kelainan fungsi seksual (sexual dysfun
ction): 1. Sexual desire disorder - Hypoactive sexual desire - Sexual aversion d
isorder - Hyperactive sexual desire 2. Sexual arousal disorder - Erectile disord
er (impotence) - Frigidity, lack of vaginal lubrication 3. Orgasm disorder - Pre
mature,delayed or lack of ejaculation (pria) - Anorgasmia (orgasmic dysfunction)
(wanita) 4. Sexual pain disorder - Vaginismus (wanita) - Dispareunia (pria dan
wanita) 5. Unspecified Sexual Dysfunction - Orgasmic anhedonia - Mastubatory pai
n - Autoerotic asphyxiation 6. Lain-lain - Postcoital dysphoria - Nymphomania Se
kitar 70% disfungsi seksual (tak termasuk erectile dysfunction disorder) disebab
kan oleh faktor-faktor kejiwaan (psikologis), terapi terutama berupa psikoterapi
dan latihan behavioral.Obat-obat hanya berperan fasilitatif atau adjunctive, ha
nya digunakan pada kasus tertentu. Organ seks manusia yang terlibat dalam hubung
an intim bukan hanya alat kelamin kedua jenis manusia (penis dan vagina); pengha
yatan erotis melibatkan juga bagian atau organ tubuh lain, bahkan yang fungsinya
sangat berlainan sekalipun (anus).
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Rangkaian respons seksual ( Sexual Response Cycle SRC) Hal-hal yang terjadi saat
seseorang mengalami bangkitan / rangsang seksual (bergairah secara seksual) dan
berperilaku seksual secara umum melibatkan tahap-tahap sebagai berikut (berlaku
untuk segala umur) (Masters & Johnson, 1996): tahap istirahat (tidak terangsang
) tahap rangsangan (excitement) melibatkan stimuli sensoris tahap plateau (penda
taran) tahap orgasme: melibatkan ejakulasi, kontraksi otot tahap resolusi (menca
kup pasca orgasme) Dalam keadaan tidak terangsang, penis dalam keadaan flaksid/
kendur, vagina dalam keadaan kering dan kendur juga. Pada saat minat seksual tim
bul, karena stimuli/rangsangan psikologis atau fisik, mulailah tahap rangsangan
/excitement. Pada pria maupun wanita ditandai dengan vasokongesti (bertambahnya
aliran darah ke genitalia-rongga panggul) dan myotonia (meningkatnya ketegangan/
tonus otot, terutama juga di daerah genitalia). Vasokongesti dan myotonia merupa
kan isyarat utama tahap excitement dan menyebabkan ereksi penis pada pria serta
basahnya vagina (vaginal sweating) dan ereksi clitoris pada wanita (tidak selalu
). Proses-proses ini biasanya tidak berada di bawah kontrol kesadaran atau kemau
an. Memikirkan seks tidak selalu menimbulkan ereksi atau basahnya vagina, begitu
juga sebaliknya. Tidak selalu jelas apa yang menyebabkan seseorang menjadi tera
ngsang (bernafsu) secara seksual. Kadang-kadang mudah diketahui seperti melihat
orang yang seksi/cantik/menggairahkan, melakukan petting tetapi bisa juga tidak
jelas. Apapun yang memulai, kegairahan seksual hanya berlanjut jika stimuli psik
ologis dan fisik menetap. Jika kegairahan meningkat, orang akan masuk tahap plat
eau vasokongesti dan myotonia mendatar tetapi minat seks tetap tinggi. Fase plat
eau dapat singkat atau lama tergantung rangsangan dan dorongan seks individu, la
tihan sosial dan konstitusi/tubuh orang itu. Sebagian orang menginginkan orgasme
secepatnya, yang lain dapat mengendalikannya, yang lain lagi menginginkan plate
au yang lama sekali. Tahap orgasme relatif singkat saja. Ketegangan psikologis d
an otot dengan cepat meningkat, begitu juga aktivitas tubuh, jantung dan pernapa
san. Kemudian tiba-tiba terjadi pelepasan /release ketegangan seks, disebut klim
aks/orgasme. Orgasme dapat dicetuskan secara psikologis (dengan fantasi) dan sec
ara somatik dengan stimulasi bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi tiap orang
, (biasanya penis, scrotum, testes pada pria dan clitoris, vagina, uterus pada w
anita). Tiap bagian tubuh manusia dapat merupakan organ sexy. Daerah manapun yan
g dirangsang, tempat utama kenikmatan adalah di otak, tempat utama pelepasan ada
lah panggul. Pada pria orgasme biasanya mencakup ejakulasi juga. Pada wanita dan
remaja prapuber tidak ada ejakulasi. Sesudah orgasme, pria biasanya segera mema
suki fase resolusi menjadi pasif dan tidak responsif, penis mengalami detumescen
ce, sering pria tertidur dalam fase ini. Sebagian wanita juga mengalami seperti
ini, tetapi sebagian besar umumnya masih responsif secara seksual, bergairah dan
masuk ke dalam fase plateau lagi, orgasme lagi sehingga terjadi orgasme multipe
l. Sesudah orgasme, baik pria maupun wanita kembali (mengalami resolusi) ke fase
istirahat. Keduanya mengalami relaksasi mental dan fisik, merasa
sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan kepuasan psikologis atau relaksasi t
anpa mencapai orgasme yang lain merasa kecewa bila tanpa orgasme. Ada banyak var
iasi perilaku pria dan wanita selama orgasme. Tidak ada yang lebih baik dari yan
g lainnya. PENGARUH OBAT TERHADAP FUNGSI / PERILAKU SEKSUAL Sudah berabad lamany
a orang mencari obat/makanan yang dapat meningkatkan/menambah/memperbaiki kemamp
uan atau kenikmatan seksualnya (obat kuat"). Beberapa zat/obat/ makanan telah dis
ebut-sebut memiliki khasiat aphrodisiac disebut sex enhancers tetapi perlu diket
ahui bahwa penggunaan saat tertentu dapat justru mengakibatkan berkurangnya kema
mpuan bahkan juga kenikmatan seksual, selain efek samping lain. Penelitian-penel
itian sampai hari ini belum dapat menemukan obat yang dapat meningkatkan kemampu
an seksual seseorang, tanpa batas, bekerja pada siapa saja. Penggunaan obat/zat
untuk maksud ini tidak hanya pada orangorang dewasa saja tetapi sejalan dengan m
eluasnya gangguan penggunaan zat, makin banyak dijumpai orang-orang muda, remaja
yang terlibat dalam eksperimen menggunakan obat-obat untuk menunjang perilaku s
eksualnya, suatu hal yang sebetulnya tidak wajar atau tidak diperlukan. Pengguna
an obat dalam kaitannya dengan perilaku seksual manusia dapat terjadi dalam bebe
rapa keadaan. Dalam keadaan normal dapat dijumpai pada pria yang mulai lanjut us
ia, yang fungsi dan kemampuan seksnya telah mulai berkurang/mundur, misalnya min

um kopi beberapa saat sebelum melakukan aktivitas seksual dapat membantu meningk
atkan kemampuan seksualnya. Demikian juga beberapa zat/bahan lain yang mengandun
g kafein (coklat, kakao). Mereka yang sering gugup bila berhadapan dengan 1awan
jenisnya dapat dibantu dengan obat penenang dalam dosis tertentu, tetapi jika do
sis ini dilampaui maka yang terjadi justru kemunduran kemampuan. Mereka yang kur
ang yakin mengenai kemampuan seksualnya, merasa rendah diri atau malu, kadang-ka
dang juga menggunakan obat atau minuman beralkohol. Seorang wanita yang menyadar
i perbuatannya adalah terlarang, tetapi tak berdaya menolaknya, dapat meminum se
jenis pi1 tidur untuk membius dirinya sesaat sebelum berkencan, agar tidak meras
akan penderitaan (merasa tertekan karena malu) ketika melakukan hubungan yang te
rlarang itu. Remaja yang menga1ami hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan
psikoseksualnya dapat bereksperimentasi dengan obat-obatan untuk mendapatkan pe
rasaan mantap dalam hal seksual. Seseorang yang dorongan seksnya terlalu besar s
ehingga sulit dikendalikan kadang-kadang meminta pertolongan dokter untuk mendap
atkan obat penekan nafsu seks. Demikian juga isteri atau suami yang kewalahan me
layani permintaan teman hidupnya dalam hal seks, mungkin secara diam-diam memint
a pertolongan dokter atau dukun agar diberi obat pelemah seks untuk partnernya i
tu. Obat-obat yang digunakan bukan hanya yang tergolong dapat merangsang atau me
nekan seks saja, melainkan juga obat yang sebetulnya untuk penyakit jantung misa
lnya vasodi1atansia atau obat untuk infeksi alat kemaluan, atau salep pelicin. B
ahaya yang dapat
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 15

timbul selain penyalahgunaan dan atau ketergantungan zat/ obat, dapat berupa efe
k samping obat yang dipakai (insomnia, gastritis, impotensi, tekanan darah renda
h, reaksi psikotik, radang saluran kemih dan sebagainya). Ada sejumlah besar oba
t, baik yang harus diresepkan maupun yang dapat dibeli bebas, mempunyai pengaruh
terhadap fungsi seksual manusia. Penelitian mengenai hal ini masih amat terbata
s sehingga tidak banyak diketahui tentang peranan sesungguhnya obat-obat tersebu
t dalam pengaturan fungsi seksual manusia. Berikut daftar obat-obat nonpsikotrop
ik atau nonpsikoaktif, yang dapat mempengaruhi fungsi seksual manusia. A. Obat-o
bat Antihipertensi Dapat menurunkan libido dan fungsi seks 1. Diuretika - thiazi
de - ethacrynic acid - furosemide - spironolactone 2. Non-diuretika - alpha-meth
y1dopa - guanethidine - hydralasine - reserpine - propranolol. - nimodipin - pen
ghambat ganglion: pentolinium,mecamy1amine B. Hormon - androgen : testosteron anti androgen: estrogen - cyprosterone acetate - medroxyprogesterone acetate/MPA
- kortikosteroid - prednison, - prednisolon C. Psikotropika ( bahan psikoaktif)
1. Sedatif dan hipnotik - Meprobamate : Medicar - Benzodiazepin: Chlordiazepoxid
e (Librium); Diaze pam (Valiurn); Alprazolam; Clobazam dan sebagainya) - Barbitura
t (Luminal, Pentothal, Nembutal dan sebagainya) - Methaqualone 2. Antipsikotika - P
henothiazine (Largacti1,Melleril,Stelazine) - Haloperidol (Haldol, Serenace) - Monoam
ine-Oxidase Inhibitor (MAO-I): (Aurorix) - Tricyclic Antidepressants (TCAs) - Lit
hium Carbonate (Priadel; Theralite) - Anticholinergics (Cimetidine; Clofibrate; LDopa) 3. Alkohol/minuman beralkohol 4. Nikotin (tembakau, sigaret) 5. Marijuana
(gelek, ganja, hasish, cimeng)
6. Opioid (heroin) 7. Amfetamin (MDMA, Ecstasy) 8. Kokain 9. Halusinogen (LSD/ac
id, mushroom) SEKS DAN ALKOHOL Alkohol dosis rendah dapat meningkatkan fungsi da
n perilaku seksual, tetapi dalam dosis tinggi dan lama akan menimbulkan disfungs
i seksual, bahkan kemandulan. Faktor kepribadian atau kondisi mental mereka yang
sedang dalam suasana jiwa gembira, dengan minum alkohol akan bertambah gembira,
tetapi jika dalam suasana murung, malah akan makin murung, fungsi seksnyapun ak
an makin buruk. SEKS DAN NIKOTIN Pada mereka yang tidak terbiasa merokok, mengis
ap rokok sebelum coitus mungkin akan memperburuk fungsi/perilaku seksualnya akib
at intoksikasi nikotin. Banyak perokok mengisap rokok dulu sebelum melakukan hub
ungan intim karena sudah terbiasa dan karena nikotin memberikan sedikit rangsang
an , sedikit menyegarkan (nikotin mempunyai sifat stimulan). SEKS DAN MARIJUANA
Pemakaian sekali-sekali mungkin dapat meningkatkan fungsi seks dan fantasinya; d
an seperti alkohol, bersifat melancarkan (to facilitate). Penggunaan kronis, sam
a seperti heroin/opioida akan menurunkan fungsi seks atau menyebabkan kemandulan
karena menurunkan kadar hormon testosteron dalam darah. Sebagian pemakai mencer
itakan kenikmatan seks yang meninggi jika sebelum coitus mereka mengisap ganja.
Sebagian lagi tidak merasakan efek tersebut. SEKS DAN OPIAT/OPIOIDA Dosis rendah
dan sekali-sekali dapat memperlambat ejakulasi, dosis tinggi dan kronis akan me
nyebabkan kemandulan dan penurunan fungsi seks karena menyebabkan penurunan test
osteron serum. Wanita pecandu banyak yang menggunakan seks untuk mendapatkan uan
g pembeli heroin atau dimanfaatkan secara seksual oleh pria pengedar atau pacarn
ya yang ketergantungan heroin. SEKS DAN OBAT ANTIDEPRESAN Obat-obat antidepresan
dapat menyebabkan kesulitan orgasme pada wanita dan kesulitan ejakulasi pada pr
ia; yang merupakan efek samping utama. Ini terjadi misalnya pada antidepresan tr
isiklik seperti clomipramine, imipramine, amitriptyline, dan lebih jarang oleh d
esipramine, amoxapine dan nortriptyline. Untuk golongan MAO-I, tersering oleh ph
enelzine. Pargyline, isocarboxazid dan tranylcypromine kurang menyebabkan disfun
gsi seksual . Untuk golongan antidepresan atipikal: trazodone menyebabkan anorga
smia/inhibisi ejakulasi sertraline menyebabkan kelambatan ejakulasi, dan fluoxet
ine menyebabkan kesulitan orgasme atau orgasme spontan. Cyproheptadine dapat mem
ulihkan disfungsi ejakulasi/orgasme akibat antidepresan. Antidepresan diperlukan
dan efektif untuk disfungsi seksual yang merupakan gejala depresi. Vilaxazine d
an trazodone
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

dilaporkan lebih efektif daripada yang lainnya untuk memperbaiki ereksi dan mina
t seksual pada pasien depresi. Antidepresan juga efektif untuk sexual phobia dan
premature ejaculation. (yang terakhir ini memanfaatkan efek samping antikholine
rgik) untuk ini yang tersering dipakai adalah imipramine, walaupun yang lain jug
a bisa termasuk MAO-Is. Clomipramine terkenal karena mempunyai efek paradoksal :
menginduksi atau menghambat orgasme wanita. SEKS DAN LITHIUM Laporan hanya sedi
kit terutama menurunkan dorongan seks dan menyebabkan disfungsi ereksi. SEKS DAN
ANTIPSIKOTIKA Efek antipsikotika terhadap fungsi seks sulit dipastikan, karena
beberapa faktor harus dipertimbangkan. Terhapuskannya gejala psikotik dapat memp
erbaiki fungsi seks secara keseluruhan. Pada pasien skizofrenia memang sudah ter
dapat penurunan fungsi seksual sebelum onset psikosis. Efek sedatif (dan berkura
ngnya mobilitas/pergerakan sebagai efek samping ekstrapiramidal) cenderung mengu
rangi aktivitas /perilaku seksual. Kesulitan seksual yang paling sering ditimbul
kan oleh obat antipikotika adalah hambatan ejakuIasi yang paling parah oleh Thio
ridazine (Melleril) dan Chlorpromazine/CPZ (Largacti1, Promactil). Chlorprothixene
(Taractane) dan Trif1uoperazine (Stelazine) kurang menyebabkan hambatan ejakulasi.
CPZ dapat menghapuskan kesulitan ejakulasi akibat thioridazine. Begitu juga chl
orprothixene dapat mengeliminir kesulitan ejakulasi/orgasme akibat chlorpromazin
e. Trif1uoperazine malah dapat menimbulkan ejakulasi spontan pada satu kasus. Ke
terlambatan ejakulasi terjadi pada dosis rendah. Hambatan ejakulasi total terlih
at pada dosis thioridazine 25600 mg sehari.Tampaknya ada kesamaan di antara pria
dan wanita dalam hal efek samping fungsi seksual akibat medikasi antipsikotika.
Pada kebanyakan kasus, disfungsi seksual dialami satu sampai dua minggu sesudah
medikasi antipsikotika pada semua kasus, fungsi seksual kembali normal dalam 3
hari penghentian medikasi. SEKS DAN STIMULANSIA DAN KOKAIN Perlu dipertimbangkan
beberapa faktor sebagai berikut : 1. Pada pecandu amfetamin dapat dijumpai insi
dens yang lebih tinggi kasus kepribadian antisosial, skizoid dan paranoid (Ellin
wood, 1967) juga cenderung terdapat insidens problem identitas seksual yang lebi
h tinggi (Mott,1972) 2. Perubahan-perubahan nafsu seks akibat penggunaan amfetam
in tampaknya berhubungan erat dengan penyesuaian seksual (sexual adjustment) yan
g sudah ada : a. Mereka yang sexually inhibited menga1ami pengurangan inhibisi b
. Mereka yang terlibat praktek seksual atipikal mengalami peningkatan perilaku (
misal sadomasochisme dan incest yang ekstrim). Efek samping seksual stimulansia
sangat bervariasi, kadang-kadang agak saling bertentangan. Dapat terjadi peningk
atan dan penurunan nafsu seks, ereksi spontan dan

impotensi. Baik dosis dan lamanya pemakaian, cara pemakaian (mode of use), riway
at kehidupan seks individu, setting sosial dan bahkan harapan si pemakai merupak
an faktor-faktor yang menentukan. (Piemme,1976). Dosis rendah akan memperlancar,
dosis tinggi akan menghambat perilaku seksual. Berkurangnya inhibisi akibat pem
akaian stimulansia dapat meningkatkan dorongan seks dan kenikmatan. Euphoria dan
perasaan mengambang/melayang (floating sensation) akibat pemakaian stimulansia
dapat meningkatkan atau mengimitasi pengalaman orgasme (Siegel, 1982a, Hollister
, 1975). Baik pemakai pria maupun wanita ternyata menunjukkan partisipasi yang
lebih sering dalam praktek-praktek seksual atipikal (exhibitionisme, promiscuity
, sado-masochism dan incest). Efek samping seksual tersering : keter1ambatan ata
u inhibisi ejakulasi. Tampaknya ada perbedaan mencolok dalam sikap pria dan wani
ta pemakai stimulansia: para pemakai pria berpandangan positif terhadap seks, se
dangkan para pemakai wanita lebih banyak berpandangan negatif dan tidak puas (El
linwood & Rockwell, 1975; Gossop, Stern, Connel 1974; Greaves, 1972, Knapp, 1972
). SEKS DAN BUSPIRON (Buspar) Buspiron mernpengaruhi sistem neurotransimter serot
onergik, dopaminergik dan noradrenergik (McEvoy, 1990). Pasien disfungsi seksual
yang memperoleh buspiron maksimum 60 mg/hari sampai 4 minggu menunjukkan perbai
kan fungsi seksual. SEKS DAN FENFLURAMIN Obat ini bersifat anti obesitas, anorek
tik dan mendepresi SSP, meningkatkan pelepasan serotonin dan menghambat ambilan
kembali serotonin (McEvoy,1990). Dapat menurunkan dorongan/nafsu seks pada dosis
120 mg/hari (Hughes, 1971) dan 240 mg/hari (Sroule, 1971), mungkin karena efek
sampingnya (disforia, perut kembung, kramp perut, konstipasi dan anxietas (O Kea
ne & Dinan, 1991). Impotensi dilaporkan oleh Hollingsworth & Amatruda (1969). St
evenson & Solyom (1990) melaporkan dua kasus dorongan seks meninggi (dosis 60 mg

/hari) pada dosis 120 mg/hari pasien mengalami preokupasi seks terus menerus, ya
ng berkurang dan 1enyap sesudah 7 hari penghentian obat ketika obat diberikan la
gi, libido meningkat lagi dalam 4 hari. SEKS DAN LSD. (halusinogenik, serotonin
agonist dan antagonist, norepinephrine blocking, dopamine agonist.) Pada pasien
dengan kelainan psikoseksual, LSD 25-100 mcg. seminggu selama 2 bulan dapat meni
ngkatkan fungsi seksual (MacCal1um, 1968). SEKS DAN ANKSIOLITIK Bensodiazepin da
pat bermanfaat untuk mendatangkan keadaan relaks yang diperlukan untuk aktivitas
seksual tetapi juga dapat mengganggu respons seksual karena itu harus diberikan
secara hati-hati, dimulai dengan dosis rendah, disesuaikan dengan kebutuhan dan
dihentikan segera setelah cara lain sudah dikuasai oleh pasien. Jika disfungsi
seksual rnerupakan bagian dari gangguan cemas, pemberian anti anksietas harus me
nuruti prinsip pengobatan neurosis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 17

Alprazolam yang dikenal bermanfaat untuk serangan panik ternyata lebih efektif d
ibandingkan antianksietas lain untuk mengurangi sexual phobia atau anticipatory
anxiety selama coitus. SEKS DAN BARBITURAT Barbiturat kadang-kadang digunakan o1
eh sex therapist untuk hipnosis agar mengatasi hambatan psikologis pasien dalam
hal seks. Harus ada informed consent dan hati-hati agar terhindar dari tuntutan
hukum. Kadang-kadang digunakan juga pada kasus vaginismus untuk mendatangkan tid
ur sehingga dapat dilakukan dilatasi vagina, tetapi jarang efektif dan dapat men
imbulkan trauma psikologis lebih lanjut. PENUTUP Walaupun telah ratusan tahun la
manya mencari dan menggunakan obat atau bahan untuk meningkatkan potensi/ kemamp
uan seksual, masih sedikit data hasi1 penelitian yang terkontrol baik dan objekt
if. Menggunakan obat-obatan untuk maksud tersebut tanpa panduan dokter dapat men
datangkan bahaya. Penanggulangan gangguan fungsi ereksi diharapkan dapat membant
u pasangan seks untuk melakukan coitus secara memadai.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Diamond M, Karlens A. Sexual Decisions. Boston: Little,Brow
n & Co. 1980. Kelodny RC. et al. Textbook of Sexual Medicine; Boston: Little Bro
wn & Co,1979. Williams G.MS. Management of Impotence. Medicine Digest 1991; 9 (6
)
4. 5.
Meston CM, Gorzalka BE. Psychoactive Drugs and Human Sexual Behavior: the role o
f serotonergic activity. J. Psychoactive Drugs 1992 ; 24(1). Ng ML.Treatment of
Functional Sexual Disorder, the role of drugs. Med.Progr. 1994; 21(8)
LAMPIRAN: BEBERAPA MEDIKASI UNTUK DISFUNGSI SEKSUAL 1. 2. 3. 4. 5. Untuk sexual
desire disorders Hyperactive desire : Thioridazine; CPZ; Cyprosterone acetate; M
edroxyprogesterone acetate (im) Hypoactive desire: 5 Testosterone (hanya untuk p
ria), Ephedrine; Bromocriptine, Levodopa. Sex phobia : Alprazolam (Xanax) Untuk s
exual arousal disorders Erectile disorder: Viloxasin, Trazodone, Yohimbine; Gona
dotropin releasing hormone (inhaler), Prostaglandin E (intracaversona1 ) Vaginal
dryness: estrogen pada menopause/ oophorectorny Orgasmic disorders Premature ej
aculation : imipramine, thioridazine, phenoxybenzamine Retarded ejaculation (ane
jaculation): ephedrine Anorgasmia/orgasmic dysfunction: diazepam Sexual pain dis
order Vaginismus/dyspareunia : diazepam Lain-lain nymphomania/sex offenders : me
droxyprogesterone acetate im, cyproterone acetate
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

IKHTISAR
Antidepresan Pemicu Disfungsi Seksual
Myrna Justina
Dokter Umum Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi, Jawa Barat
PENDAHULUAN Pengobatan psikiatri saat ini telah memberikan sumbangsih yang luar
biasa dalam penatalaksanaan depresi mayor selama 2 dekade terakhir ini. Sejak pe
rtengahan tahun 1980an, telah beredar 9 obat baru yang mewakili 4 kelas obat unt
uk pengobatan depresi mayor di Amerika Serikat, yang meliputi penghambat selekti
f ambilan serotonin (selective serotonin reuptake inhibitors / SSRIs - fluoxetin
e, sertraline, paroxetine, citalopram), penghambat ambilan serotonin-norepinefri
n (serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors / SNRIsvenlafaxine, mirtazapine)
, penghambat serotonin2A dan penghambat lemah ambilan serotonin (nefazodone) dan
penghambat ambilan dopamin dan norepinefrin (bupropion). Perbedaan khasiat klin
is antara antidepresan baru dengan yang lama seperti antidepresan trisiklik dan
penghambat monoamin-oksidase telah terbukti di dalam meta-analisis beberapa uji
klinis(1). Meskipun demikian pola efek sampingnya telah diketahui secara luas da
n menjadi topik pembahasan beberapa literatur(2-5). Salah satu hal yang sangat m
engkhawatirkan akibat pemakaian bahan antidepresan yang umum adalah disfungsi se
ksual(3, 4, 6). DISFUNGSI SEKSUAL ANTIDEPRESAN
SEBAGAI PENGARUH NEGATIF
nunjukkan bahwa antidepresan dapat memicu disfungsi orgasme melalui penghambatan
adrenergik alfa,antikolinergik atau pengaruh serotonergik(8). Tipe disfungsi se
ksual yang dilaporkan meliputi impotensi, penurunan libido, kelainan ejakulasi p
ada laki-laki, dan kelainan orgasme pada wanita(9). Tabel 1(9) memerinci insiden
s disfungsi seksual yang dilaporkan dari informasi peresepan setiap antidepresan
baru yang beredar sejak tahun 1986. Laporan berbagai literatur(10-12). mengarah
kan dugaan insidensi disfungsi seksual yang dipicu oleh beberapa antidepresan le
bih besar di dalam praktek klinik daripada yang diperoleh dari informasi peresep
an. Tabel 1.
Laju disfungsi seksual yang disesuaikan dengan plasebo dari informasi peresepan
antidepresan baru yang dipasarkan di Amerika Serikat Penu runan libido (%) 3 6 3
2 2 <1 1 Kelainan orgasme pria (%) 14 13 6 12 <1 Kelainan orgasme wanita (%) La
inlain (%)
Bahan Fluoxetine Sertraline Paroxetine Citalopram Venlafaxine Bupropion Nefazodo
ne Mirtazapine
Impotensi (%) 2
2 3
10
The Diagnostic and Statistical Manual, Edisi keempat (DSM-IV)(7) menjabarkan dis
fungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapa
n seksual yang menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar manusia. D
isfungsi seksual ini dapat terjadi pada 1 atau lebih dari 4 fase siklus tanggapa
n yaitu hasrat (libido), bangkitan, orgasme/pelepasan, dan pengembalian. Meskipu
n hampir sepertiga pasien disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh (penggunaan)o
bat, beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau mem
bangkitkan disfungsi seksual(3, 4, 6). Neurofisiologi fungsi seksual tidaklah se
derhana dan melibatkan beberapa jalur berganda dan neurotransmiter. Antidepresan
dapat mempengaruhi fungsi seksual manusia melalui beraneka mekanisme. Beberapa
studi dan literatur me3 6 <1

Keterangan: Diambil dari berbagai hasil uji klinis yang representatif. Data ini
tidak dapat dibandingkan antar uji klinis karena perbedaan kategori dan definisi
disfungsi seksual, serta metodologi pengumpulan data yang tidak seragam.
Perhatian utama mengenai antidepresan sebagai pemicu disfungsi seksual tertuju p
ada kelas SSRIs. Hal ini karena kelas ini memegang peranan utama pengobatan depr
esi di Amerika Serikat. Tiga uji klinis acak(12-14) telah secara sistematik meni
lai disfungsi seksual yang dipicu oleh SSRIs. Uji klinis acak yang pertama(12) m
embandingkan khasiat sertraline (dosis rerata 82 mg perhari) dengan citalopram (
dosis rerata 34 mg perhari) pada 400 pasien depresi. Di dalam uji
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 19

klinis ini, kehilangan hasrat seksual dilaporkan sebesar 3,5% pasien yang mendap
atkan sertraline dan 6,5% pasien yang mendapatkan citalopram, disfungsi ejakulas
i 10,5% untuk sertraline dan 14,4% untuk citalopram, dan disfungsi orgasme wanit
a 5% untuk sertraline dan 7% untuk citalopram. Uji klinis acak yang kedua(13) me
mbandingkan khasiat sertraline (dosis rerata 145 mg perhari), amitriptiline (dos
is rerata 104 mg perhari) dan plasebo pada 448 pasien depresi rawat jalan. Pasie
n ditanyai pada interval yang teratur untuk menilai pengaruh negatif termasuk di
sfungsi seksual. Khasiat pengobatan adalah setara pada kedua kelompok pengobatan
aktif dan keduanya lebih unggul daripada plasebo. Insiden disfungsi seksual pri
a yang berupa keterlambatan orgasme primer atau anorgasmia adalah 21% untuk sert
raline, 7,7% untuk amitriptilin, dan 1,4% untuk plasebo. Uji klinis acak yang le
bih kecil(14) membandingkan fluvoxamine (dosis rerata 102 mg perhari) dan paroxe
tine (dosis rerata 36 mg perhari) dalam pengobatan 60 pasien depresi rawat jalan
. Meskipun khasiat pengobatan dilaporkan setara, kelainan ejakulasi pria dilapor
kan 21% untuk paroxetine dan 7% untuk fluvoxamine, penurunan libido 17% untuk pa
roxetine dan 13% untuk fluvoxamine. Karena jumlah sampelnya kecil, perbedaan yan
g didapatkan tidak bermakna. PILIHAN PENGOBATAN DEPRESI PADA PASIEN SEKSUAL AKTI
F Kecenderungan disfungsi seksual akibat penggunaan SSRIs dan SNRI mengakibatkan
banyak klinisi mencari pilihan pengobatan lain untuk pasien depresi yang masih
aktif seksual. Tiga antidepresan yang beredar sejak tahun 1986 tampaknya mempuny
ai laju pengaruh negatif seksual yang lebih rendah dari SSRIs dan SNRI, yaitu bu
propion, nefazodone dan mirtazapine. Beberapa uji klinis acak telah membuktikan
kesamaan khasiat dengan SSRIs dan keuntungan dalam hal disfungsi ereksi pada bup
ropion dan nefazodone, sedangkan pengalihan pengobatan ke mirtazapine menunjukka
n perbaikan disfungsi seksual pada uji klinis yang tidak acak. Dalam menghadapi
antidepresan pemicu disfungsi seksual, para klinisi mempunyai beberapa pilihan.
Pendekatan pertama adalah menunggu untuk menentukan apakah gejala mereda dengan
berjalannya waktu atau mengubah dosis bahan yang digunakan. Pendekatan kedua ada
lah menyesuaikan dosis naik atau turun untuk mendapatkan dosis efektif dengan pe
ngaruh negatif yang minimal. Pendekatan ketiga adalah menjadualkan interupsi oba
t, menambahkan bahan lain yang melawan disfungsi seksual dan mengganti antidepre
san lain yang mempunyai pengaruh negatif yang lebih kecil. Dari ketiga pendekata
n tersebut, pendekatan pertama hanya bermanfaat pada sekelompok kecil pasien(15)
. Beberapa peneliti(16) melaporkan pemulihan gejala disfungsi seksual sesaat ket
ika dosis antidepresan dititrasi turun untuk mencapai kadar minimum efektif. Keb
erhasilan penjadualan libur obat untuk memulihkan fungsi seksual juga masih terb
atas. Penambahan obat yang melawan disfungsi seksual juga masih belum terbukti m
anfaatnya dari uji klinis acak terkontrol. Oleh karena itu, pengalihan obat tamp
aknya merupakan pilihan umum. Kelompok ahli melaporkan aktifitas pengalihan obat
sebesar 25% dari SSRIs ke bahan lain karena alasan disfungsi seksual,
meskipun kadang-kadang khasiat pengobatannya belum seefektif SSRIs/SNRIs untuk p
enyakit tertentu yang bersangkutan. PENUTUP Dari berbagai studi terkontrol telah
diketahui antidepresan dapat memicu disfungsi seksual terutama pada kelompok ya
ng umum digunakan. Meskipun belum diteliti secara rinci, peningkatan laju putus
obat dan penurunan kepatuhan berobat jelas akan meningkatkan kegagalan pengobata
n pada pasienpasien yang aktif seksual. Selain itu pengaruh negatif ini jelas me
mpunyai dampak pada biaya pengobatan, karena pilihan yang lain lebih mahal, sela
in juga memerlukan bahan untuk melawan disfungsi seksual ini. Kelompok tertentu
ini jelas memerlukan perhatian yang lebih besar, oleh karena itu perlu formula f
armasi dan organisasi perawatan untuk menentukan bahan lini pertama dengan penga
ruh negatif yang paling kecil, mudah tersedia, dan setara dengan bahan yang lain
.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Anderson IM. Selective seroto
nin reuptake inhibitors versus tricyclic antidepressants: a meta-analysis of eff
icacy and tolerability. J Affect Disord 2000; 58: 19-36. Preskorn SH. Comparison
of the tolerability of bupropion, fluoxetine, imipramide, nefazodone, paroxetin
e, sertraline and venlafaxine. J. Clin. Psychiatr. 1995; 56(Suppl 6): 12-21. Ros
en RC, Lane RM, Menza M. Effects of SSRIs on sexual function: a critical review.
J. Clin Psychopharmacol 1999; 19: 67-85. Dewan MJ, Anand VS. Evaluating the tol

erability of the newer antidepressants. J Nerv Ment Dis 1999; 187: 96-101. Golds
tein BJ, Goodnick PJ. Selective serotonin reuptake inhibitors in the treatment o
f affective disorders-III. Tolerability, safety, and pharmacoeconomics. J Psycho
pharmacol 1998; 12(Suppl): S55-87. Piazza LA, Markowitz JC, Kocsis JH. et al. Se
xual functioning in chronically depressed patients treated with SSRI antidepress
ants: a pilot study. Am J Psychiatr. 1997; 154: 1757-9. Diagnostic and Statistic
al Manual for Psychiatric Disorders. Edisi keempat. Washington, DC: American Psy
chiatric Association, 1994. Zajecka J, Fawcett J, Schaff M, Jeffries H, Guy C. T
he role of serotonin in sexual dysfunction: fluoxetine-associated orgasm dysfunc
tion. J Clin Psychiatr. 1991; 52: 66-8. Physicians Desk Reference. Edisi ke-55. M
ortvale, NJ: Medical Economics Co., Inc., 2001. Patterson WM. Fluoxetine-induced
sexual dysfunction (letter). J Clin Psychiatr.1993; 54: 71. Herman JB, Brosman
AW, Follack MH, Falk WE, Biederman J, Rosenbaum JF. Fluoxetine-induced sexual dy
sfunction. J Clin Psychiatr. 1990; 51: 25-7. Ekselius L, von Knorring LEG. A dou
ble-blind study comparing sertraline and citalopram in patients with major depre
ssion treated in general practice (Abstract). Eur Neuropsychopharmacol 1997; 7(S
uppl): S147. Reimherr FW, Chouinard G, Cohn CK, et al. Antidepressant efficacy o
f sertraline: a double-blind, placebo- and amitriptyline-controlled, multicenter
comparison study in outpatients with major depression. J Clin Psychiatr. 1990;
51(Suppl B): 18-27. Kiev A, Feiger A. A double-blind comparison of fluvoxamine a
nd paroxetine in the treatment of depressed outpatients. J Clin Psychiatr. 1998;
58: 146-52 Montejo-Gonzales AL, Llorca G, Izquierdo JA, et al. SSRI-induced sex
ual dysfunction: fluoxetine, paroxetine, sertraline, and fluvoxamine in a prospe
ctive, multicenter, and descriptive clinical study of 344 patients. J Sex Marita
l Ther 1887; 23: 176-94. Harvey KV, Balon R. Clinical implications of antidepres
sant drug effects on sexual function. Ann Clin Psychiatry 1995; 7: 189-201.
13.
14. 15.
16.
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Penanganan Psikologik pada Obesitas
Sylvia D. Elvira
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pus
at Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta,Indonesia
PENDAHULUAN Obesitas merupakan suatu kondisi yang dahulu dianggap sebagai lamban
g kesejahteraan dan tidak berkaitan dengan penyakit. Insidens dan prevalensinya
meningkat, baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang, sejalan denga
n perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan dan perubahan gaya hidup. Nam
un, berkaitan dengan risiko kesehatan dan dampaknya terhadap kualitas hidup, kin
i obesitas merupakan problem atau penyakit(1,3). Obesitas merupakan masalah yang
diperhatikan karena berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas berb
agai penyakit, antara lain hipertensi, gangguan kardiovaskuler, diabetes, ganggu
an endokrin lainnya, penyakit kandung empedu, problem paru dan pernafasan, artri
tis, gangguan tidur, ketidakmampuan untuk berpartisipasi pada aktivitas-aktivita
s rekreasi dan olahraga, rendahnya harga diri dan problem citra-tubuh(1,4). Akhi
r-akhir ini obesitas dinyatakan sebagai penyakit kronik dengan penyebab multifak
torial. Dari penelitianpenelitian didapatkan bahwa obesitas tidak disebabkan ole
h penyebab tunggal melainkan oleh hubungan yang kompleks antara faktor genetik,
fisiologik, metabolik, psikologik, sosioekonomik, gaya hidup dan faktor budaya.
Bila ditinjau dan aspek psikologik, obesitas dapat merupakan suatu kondisi terse
ndiri yang antara lain merupakan gejala dari gangguan makan (misalnya bulimia ne
rvosa), atau merupakan kondisi yang berkaitan dengan citra-diri dan harga-diri,
yang mempunyai dasar psikodinamika tertentu. Pada makalah ini hanya akan dibahas
mengenai obesitas sebagai gejala dari gangguan makan, disertai penanganannya se
cara garis besar. OBESITAS Kata obesitas berasal dari bahasa Latin: obesus, obed
ere, yang artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas atau gemuk merupakan suatu kela
inan atau penyakit yang ditandai dengan
Dibacakan pada Simposium Penanganan Gangguan Obesitas dan Metabolisme Androgen p
ada Masa Reproduksi, Jakarta 31 Agustus 2002
penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Pendapat lain mengatakan bahw
a obesitas merupakan gangguan medik kronik yang tidak dapat disembuhkan dan hany
a dapat diobati(4,5). Sebagian orang menggolongkan obesitas sebagai suatu kelain
an akibat kurangnya pengendalian diri dan hal tersebut bisa jadi telah menjadi a
nggapan umum(3). Pengendalian diri yang dimaksud di sini tentunya pengendalian t
erhadap keinginan untuk makan Bila kita melihat seseorang dengan obesitas, yang
terbayang adalah bahwa orang itu telah makan sedemikian banyak sehingga bentuk t
ubuhnya menjadi seperti yang kita lihat. Mengapa ia makan sedemikian banyak? Tid
ak merasa kenyangkah ia hingga tidak berhenti makan saat ia sudah merasa kenyang
? Atau, apakah porsi makannya memang sedemikian besar dan hal itu telah menjadi
kebiasaannya sejak lama, atau bahkan sejak kecil? Mengapa ia tidak dapat mengend
alikan keinginan makannya? TERJADINYA OBESITAS Obesitas terjadi karena ketidakse
imbangan antara asupan dan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yan
g selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak(2). Etiologinya multifaktoria
l, baik faktor individual (biologik dan psikologik) maupun lingkungan. Bila fakt
or yang dapat merupakan etiologi yang berasal dari individu seperti gangguan end
okrin, serta faktor organik lainnya ternyata tidak ditemukan, kondisi ini dapat
merupakan konsekuensi dari suatu keadaan yang dialami seseorang, yang tidak dapa
t mengendalikan keinginannya untuk makan, bagi orang tersebut makan dilakukan bu
kan untuk memenuhi kebutuhan untuk mengganti energi yang telah digunakan dan dik
eluarkan pada aktivitas fisik atau psikologik tertentu, melainkan karena memang
ingin makan dan makan, yang tidak mampu dikendalikan olehnya. Kondisi ingin maka
n dan makan itu termasuk dalam kelompok gangguan makan dalam PPDGJ-III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) maupun dalam DSM-IV (Diag
nostic and Statistical Manual of Mental disorders).Gangguan makan tersebut, yang
kondisi pasien-

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 21

nya biasanya tampak gemuk atau mengalami obesitas, terdiri atas binge-eating dis
order dan bulimia nervosa(6,7). Pada binge-eating disorder gejala yang ditemui y
aitu seseorang makan pada suatu periode tertentu, dengan jumlah yang lebih banya
k dan lebih cepat daripada kebanyakan orang, hingga ia merasa benar-benar sangat
kenyang (uncomfortably full). Biasanya makan dilakukan tidak pada saat lapar, s
eorang diri karena malu makan dalam jumlah besar. Biasanya orang tersebut mengal
ami depresi atau merasa bersalah setelah makan(6,9,10). Bulimia adalah kecenderu
ngan atau dorongan untuk makan banyak, berlebihan, mungkin disertai nafsu makan
besar mungkin pula tidak(11).Gejalanya serupa dengan binge-eating disorder diser
tai perilaku mengeluarkan kembali makanan tersebut, baik dengan cara memuntahkan
atau dengan menggunakan pencahar(6,9,10). PSIKODINAMIK OBESITAS Obesitas terjad
i karena makan berlebih (over-eating). Pada awal kehidupan, seorang bayi mempers
epsikan makanan sebagai pengekspresian rasa cinta, dan persepsi tersebut sering
masih tersisa. Pada saat pemberian makan, seorang ibu dapat memindahkan perasaan
cemas atau ansietas yang dialaminya kepada anaknya. Makan dapat menjadi cara un
tuk mengatasi kecemasan, yang terjadi karena frustrasi yang dialami, karena adan
ya persepsi bahwa cinta dan perhatian setara dengan makanan. Kelebihan makan mun
gkin merupakan indikasi adanya ansietas dini tersebut(12). Menurut Hamburger, ma
kan berlebih merupakan respons terhadap ketegangan emosional yang tidak spesifik
, atau merupakan substitusi dari gratifikasi yang tidak dapat ditoleransi pada s
ituasi-situasi tertentu dalam kehidupan, atau merupakan gejala dari gangguan emo
sional yang mendasarinya, terutama depresi(12). Bulimia nervosa maupun binge-eat
ing disorder dapat dialami seseorang mungkin karena ketidakmampuannya untuk meng
atasi masalah-masalah hidup secara praktis. Ketidakmampuan tersebut biasanya dal
am pengendalian emosi, pemrosesannya, serta mengatasinya. Ini terjadi mungkin ka
rena adanya depresi yang mendasarinya. Depresi tersebut dapat terjadi karena ter
hambatnya proses perkembangan mental seseorang sehingga ia lebih nyaman mengguna
kan mekanisme adaptasi (atau defensi) yang biasa digunakannya pada fase perkemba
ngan yang lebih dini, yaitu fase oral (fase di saat seseorang mengatasi problem
hidupnya terutama dengan mulut, biasanya pada usia antara 0-18 bulan). Mekanisme
defensi yang digunakan adalah introyeksi, yaitu memasukkan suatu objek ke dalam
struktur psikis individu(11) objek ini semula bersifat kongkrit (karena kemampu
an berpikir yang masih terbatas dan didominansi oleh proses pikir primer) berupa
makanan, tetapi kemudian secara bertahap dapat berkembang menjadi lebih abstrak
(misalnya ibu atau orang lain yang dicintai atau dianggap dekat dan nantinya da
pat berupa lain ide, harga diri, prestasi, dan sebagainya)(l). Depresi dapat pul
a terjadi secara sekunder karena obesitasnya individu mengalami obesitas namun m
empunyai
keinginan atau bayangan mengenai bentuk tubuh yang ideal sehingga mengalami de
presi karena bayangan bentuk tubuh tersebut tidak dapat dicapainya. Kemungkinan
lain, depresi terjadi karena gangguan citra-tubuh (sering berupa distorsi, yaitu
bila melihat di depan cermin, seseorang tidak melihat tubuhnya seperti apa adan
ya dalam realitas) seseorang yang obes, jarang menyadari seberapa gemuk dirinya(
14). Mengenai kedua hal ini tidak akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan terhadap obesitas merupakan pendekatan holistik
dan komprehensif, termasuk meneliti latar belakang terjadinya obesitas pada ses
eorang, apakah murni karena gangguan metabolik atau gangguan organik lainnya, at
aukah berperan pula faktor psikologik tertentu sebagaimana telah dibahas sebelum
nya(610). Biasanya penatalaksanaannya meliputi pemberian farmakoterapi, pengatur
an diet, latihan fisik, pengubahan gaya hidup. PENANGANAN PSIKOLOGIK Pada pasien
dengan obesitas yang dasarnya adalah gangguan makan yang didasari oleh depresi,
maka penanganannya sesuai dengan penatalaksanaan terhadap gangguan depresi, yai
tu pemberian psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka yang diberikan berupa an
tidepresi golongan apa saja, antara lain: Serotonin Selective Reuptake Inhibitor
(SSRI) (sertraline 1 x 50 mg per hari, atau fluoxetine 1 x 20 mg per hari, atau
fluvoxamine Ix 50 mg per hari), reversible monoamine oxidase inhibitor (RIMA) (
moclobemide 2 x 150 mg per hari), maupun trisiklik dan tetrasiklik (imipramin, m
aprotilin), disesuaikan dengan kondisi pasien (umur, pekerjaan dan kegiatan seha
ri-harinya serta sosio-ekonomi). Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikote

rapi dengan pendekatan dinamik, atau non-dinamik, seperti terapi kognitifperilak


u, atau modifikasi perilaku. Pemilihan jenis psikoterapi disesuaikan dengan kond
isi dan kepribadian pasien. Pada psikoterapi dinamik, tujuan utama adalah pencap
aian tilikan (insight),yaitu mengajak pasien untuk lebih memahami diri dan kehid
upannya (termasuk konflik dan pelbagai problem yang pernah dihadapi dan cara men
gatasinya), baik pasien maupun dokter berperan aktif dalam proses. Pada setiap p
ertemuan, topik yang dibahas disesuaikan dengan yang ingin dikemukakan oleh pasi
en topik mengenai hal-ihwal yang berkaitan dengan depresi atau gangguan makan at
au obesitas yang dialami dapat dibahas sesuai dengan kebutuhan. Biasanya dilakuk
an dalam jangka panjang, minimal 3-12 bulan. Pada terapi kognitif-perilaku, pasi
en diajak untuk menilai cara berpikirnya selama ini yang lebih cenderung ke arah
irasional (sering berpikir negatif secara otomatis tentang diri dan kondisi yan
g dialaminya), pasien diajak untuk mengubah cara berpikirnya ke arah yang lebih
rasional pasien juga diajak untuk dapat menggunakan cara lain untuk menghadapi s
tres dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang mengarah pada perilaku bingeing
dan makan berlebihan.(14) Pada terapi perilaku (behavior modification), tujuan
terapi adalah membantu pasien memodifikasi kebiasaan

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

makannya, meningkatkan aktivitas fisik, meningkatkan kesadaran akan kedua hal te


rsebut (pengubahan kebiasaan makan dan latihan fisik). Pasien diminta mengidenti
fikasi dan mencatat saat, suasana dan tempat sewaktu keinginan makan timbul sert
a frekuensi makannya pasien kemudian diarahkan untuk dapat mengontrol stimulus a
gar dapat memutuskan rantai antara peristiwa yang membangkitkan keinginan makan
dengan perilaku makannya (contohnya antara lain dengan membatasi tempat-tempat m
akannya, atau dengan mengambil segelas air putih di antara setiap gigitan makana
n, mengunyah dengan frekuensi tertentu). Kemudian pasien diajak untuk memodifika
si konsekuensi dari perilaku makannya untuk self-reward (termasuk mengembangkan
kemampuan assertive, belajar menyatakan tidak serta mengembangakn self-talk ya
ng positif)(6,14-16). KESIMPULAN Obesitas merupakan gangguan yang disebabkan ole
h pelbagai macam faktor, yang merupakan hubungan yang kompleks antara faktor gen
etik, fisiologik, metabolik, psikologik, sosioekonomik, gaya hidup dan faktor bu
daya. Faktor psikologik juga berperan dalam terjadinya obesitas, antara lain ber
upa terdapatnya gangguan makan yaitu bulimia nervosa atau binge-eating disorder,
yang didasari oleh adanya depresi yang dialami seseorang. Penanganan psikologik
terhadap obesitas adalah sesuai dengan yang dilakukan terhadap depresi, yaitu p
emberian psikofarrnaka berupa anti depresi, serta psikoterapi, baik dengan pende
katan dinamik, atau terapi kognitif-perilaku, atau modifikasi perilaku yang dise
suaikan dengan kondisi dan kepribadian pasien.

KEPUSTAKAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Waspadji S. Kegemukan: pendekatan klinis dan pemilihan obatnya, dalam Prosiding
Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Imu Penyakit Dalam
FKUI2002: 69-71. Sjarif DR. Evaluasi dan tatalaksana obesitas pada anak, dalam
Prosiding Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Pen
yakit Dalam FKUI 2002: Soegondo S. Obesitas dan permasalahannya, dalam Prosiding
Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Imu Penyakit Dala
m FKUI 2002: 64. Obesity, is it an eating disorder? Anorexia Nervosa & Related E
ating Disorders, Inc. ANRED, 2002. Myers MD. Comprehensive obesity treatment. ww
w.weight.com. 2000 Brownell KD, Wadden TA. Obesity dalam Comprehensive Textbook
of Psychiatry, ed. VII, Kaplan , Sadock. (eds.) 2000: 1787, 1789, 1792. Direktor
at Kesehatan Jiwa, Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Pedoman Peng
golongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi III (PPDGJ-III) -1995. Schwa
rtz M. Binge eating disorder: a new eating disorder category.webmaster@ct. addic
tionprofessionals. com 1998. Fairburn. Risk factors for binge eating disorder. A
rch. Gen. Psychiatr. 1998,55: 425 Grinker RR, Robbins FP. Obesity, dalam Psychos
omatic case book, NewYork Toronto: The Blakiston Co. Inc. 1954: 191-2 Lubis DB.
Pengantar psikiatri klinik. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1989: 91. Psychologica
l causes of obesity Eating disorder and obesity.www.austinpsych.com/services.eat
ing dis. html. Palmer MP. Complexity of obesity. www.innerself.com. Autres Trait
ements. Psychotherapy for obesity. www.obesity-diet.com Bray GA. Behavior modifi
cation in the treatment of obesity. Lousiana State University Jan 2001. American
Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders
-fourth edition (DSM-IV), 1994.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 23

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger
Theresia Kaunang
Sub Bagian Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Gangguan Asperger merupakan salah satu jenis gangguan dari kelompok
gangguan perkembangan pervasif(1-3). Dalam DSM IV kategori ini meliputi gangguan
autistik, gangguan Rett, gangguan disintegrasi pada anak, gangguan Asperger dan
gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan (pervasive developmental d
isorder not otherwise specified)(4-6). Tulisan asli tentang gangguan Asperger pe
rtama kali dipublikasikan di Jerman oleh Hans Asperger (1942)(7-9). Asperger men
ggambarkan 4 anak yang mengalami kesulitan integrasi sosial dalam kelompoknya. I
a menyebutkan kondisi ini sebagai autistic psychopathy, yang menunjukkan suatu gan
gguan kepribadian dengan ditandai oleh isolasi sosial(10-13). Dengan meningkatny
a jumlah kasus autisme dalam tahuntahun terakhir ini, terlihat meningkat pula an
gka kejadian gangguan Asperger, karena gangguan ini termasuk dalam spektrum auti
stik. Pada awalnya, di Indonesia sangat jarang klinikus mendiagnosis gangguan As
perger, bahkan hampir tidak ada. Akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mulai a
da beberapa kasus gangguan Asperger yang terdiagnosis, demikian juga seperti yan
g terlihat dalam media massa dan website. Namun demikian belum ada data di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sangatlah penting mengetahui dan menyegarkan kembal
i ingatan tentang gangguan Asperger agar memudahkan klinikus mendiagnosis ganggu
an ini. Tulisan ini berusaha membahas gangguan Asperger secara singkat. DEFINISI
Gangguan Asperger ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial dan terhambat
nya perhatian serta perilaku seperti yang terlihat pada autisme, tetapi tidak ad
a kelambatan dalam berbicara dan berbahasa reseptif, perkembangan kognitif, ketr
ampilan menolong diri sendiri, atau keingintahuan terhadap lingkungan(1). EPIDEM
IOLOGI Menurut Volkmar, prevalensi gangguan Asperger adalah 1 di antara 10.000(1
). Kepustakaan lain menyebutkan 20-25 setiap 10.000 orang anak(5). Angka kejadia
n gangguan Asperger
dengan kriteria diagnosis Gillberg & Gillberg (1989) atau dengan kriteria ICD-10
terlihat meningkat. Gillberg & Gillberg memperkirakan 0,26%(14). Pada tahun 199
1 suatu penelitian menyebutkan prevalensi gangguan Asperger 2,6-3 setiap 1000 an
ak(11). Menurut penelitian suatu populasi 3,6-7,1 dalam 1000 anak dengan rentang
usia 7-16 tahun (Ehler & Gillberg, 1993)(3,8,15). Di RS Broadmoor, sebuah rumah
sakit khusus, prevalensi gangguan Asperger mencapai 1,5%(15). Wolf dkk (1991) m
enemukan 35% kasus skizoid mirip dengan gangguan Asperger(8). Wing (1978) mengat
akan bahwa gangguan Asperger menunjukkan rasio laki-laki : perempuan 15:4, sedan
gkan menurut Wolff & Barlow(1979) rasio laki-laki : perempuan adalah 9:1(9). Kep
ustakaan lain (1981) mengatakan 10-15:1. Ehler dan Gillberg (1993) menyebutkan 4
:1(8). Prevalensi gangguan Asperger pada anak usia 7-16 tahun adalah 0,71 % ; la
ki-laki 0,97% dan perempuan 0,44%(15). ETIOLOGI Etiologi gangguan Asperger masih
menjadi perdebatan(16). Gangguan Asperger merupakan kondisi yang termasuk dalam
spektrum autisme, sehingga kepustakaan menyebutkan bahwa etiologinya sama(10).
Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa etiologinya terkait dengan genetik dan ker
usakan otak(17-20). Sedangkan Ciaranello dan Ciaranello (1995) membagi etiologi
gangguan Asperger ke dalam dua tipe yaitu genetik dan non genetik(3). Tipe genet
ik. Etiologi genetik berhubungan dengan kontrol gen pada perkembangan otak(3). H
ubungan genetik antara autisme dan gangguan Asperger dapat digambarkan sebagai b
erikut: anak yang menderita gangguan Asperger seringkali ayahnya memiliki kesuli
tan dalam interaksi sosial(1). Terdapat beberapa laporan adanya transmisi keluar
ga pada gangguan Asperger. Gillberg mengatakan terdapat patologi Asperger Syndrom
elike pada anggota keluarga terdekat dari penderita gangguan Asperger(8). De Long
& Dwyer menemukan gangguan Asperger
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

pada keluarga dari anak yang menderita gangguan autistik high functioning(11). F
aktor genetik menunjukkan adanya hubungan antara autisme dengan gangguan Asperge
r(21). Sejumlah 9% anak penderita autisme mempunyai ayah sindrom Asperger atau c
iri-ciri Asperger(22). Secara genetik peranan kromosom fragile-X untuk terjadiny
a gangguan Asperger sangat bermakna(11,22,23). Studi kembar dua memberi dukungan
adanya dasar genetik gangguan ini(3), akan tetapi pada studi kembar tiga tidak.
Jikapun dasar etiologinya genetik, faktor lain perlu dipertimbangkan misalnya k
eadaan prenatal, perinatal dan postnatal(23). Non genetik Ciaranello (1995)menga
takan etiologi nongenetik meliputi infeksi prenatal. Menurut Chess (1997) ada pe
ningkatan insidens setelah pandemi rubella. Infeksi varisela dan toxoplasmosis p
renatal berhubungan dengan terjadinya gangguan ini. Juga berhubungan dengan riwa
yat ibu, riwayat kehamilan dan persalinan. Hipotiroid pada ibu selama kehamilan
berkaitan dengan terjadinya gangguan ini(3). Beberapa penelitian melaporkan hubu
ngan antara gejala gastrointestinal dengan gangguan autistik. Deufemia dkk, menga
takan bahwa terdapat peningkatan permeabilitas usus pada pasien gangguan spektru
m autistik. Ini memberi kesan bahwa disfungsi gastrointestinal berhubungan denga
n gangguan perkembangan pervasif (19,24). Pemeriksaan beberapa penderita Asperge
r menunjukkan adanya abnormalitas makroskopis asam amino dengan peningkatan argi
nin, ornitin, histidin, treonin dan serin. Jadi memperlihatkan adanya aminoasidu
ria(25). Davis, Fennoy (1992) menyebutkan bahwa penyalahgunaan zat berperan untu
k terjadinya gejala spektrum autistik pada anak yang dilahirkan. Penelitian mene
mukan bahwa penyalahgunaan kokain dan zat lain dapat berhubungan dengan gangguan
ini(3). Adanya hubungan temporal antara vaksinasi MMR dan gangguan spektrum aut
istik masih diperdebatkan(16). Faktor imunitas nampaknya berperan untuk terjadin
ya gangguan Asperger. Beberapa penderita menunjukkan disfungsi atau abnormalitas
sejumlah sel T(20). Proses penyakitnya adalah akibat langsung dari gangguan di
susunan saraf pusat(16). Terjadi hipometabolisme glukosa di cingulata anterior d
an posterior pada penderita gangguan spektrum autistik. Juga terlihat adanya pen
yusutan volume girus cingulata anterior kanan, khususnya area Brodmanns 24(21). W
ing mengatakan ada riwayat trauma serebral pada pra, peri dan post-natal(23). Ga
mbaran pencitraan otak, memperlihatkan adanya lesi di substansia alba girus temp
oral medial kanan. Beberapa penelitian menggambarkan adanya disfungsi hemisfer k
anan pada gangguan Asperger(8,26). Juga memperlihatkan adanya abnormalitas fasik
ulus longitudinal inferior, suatu serabut ipsilateral yang menghubungkan lobus o
ksipitalis dan temporalis serta pola aktivitas abnormal di daerah kortikal tempo
ral ventral(27). Girus temporal medial dan sulkus temporal superior yang berbata
san, berperan pada ekspresi wajah dan kontak mata langsung(10). Disfungsi lobus
frontalis memperlihatkan adanya defisit fungsi eksekutif.(8). Pada gangguan Aspe
rger ditemukan adanya ganglioside yang meningkat bermakna pada cairan serebrospi
nal(8). Semua abnormalitas yang
terjadi, berhubungan dengan gejala klinis dan neuropsikologi(9,28). Bukti neurop
atologi yang bervariasi menyebabkan perdebatan tentang lokasi kerusakan(12). Lap
oran terakhir menyebutkan etiologi penyakit spektrum autistik berhubungan dengan
kondisi biomedis(19). GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis penderita gangguan Asperg
er dalam beberapa hal sebagai berikut: Interaksi sosial Penderita gangguan Asper
ger mengalami isolasi sosial, tetapi tidak selalu menarik diri di antara orang l
ain. Walaupun demikian pendekatan mereka terhadap orang lain adalah inappropriat
e atau dengan cara eksentrik. Mereka menunjukkan perhatian untuk bersahabat bila
bertemu orang lain, tapi selalu terhambat oleh pendekatan yang kaku dan tidak s
ensitif terhadap perasaan orang lain. Mereka juga tidak sensitif atas komunikasi
samar-samar dari orang lain, misalnya tidak memahami tanda kebosanan, pergi kar
ena terburu-buru dan keadaan yang memerlukan privacy(1). Hal ini menyebabkan kes
ulitan membina hubungan persahabatan. Mereka tidak mengerti petunjuk yang halus/
samar, gaya bicara metafora, dan seringkali dianggap konkrit(14). mengerti perta
nyaan, tetapi tidak dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecah
kan masalah(23). Penderita gangguan Asperger tidak dapat mengomentari tujuan akt
ivitas sosial, perasaan dan elemen sosial lainnya dari suatu cerita(10). Penderi
ta gangguan ini mampu menjelaskan dengan benar (kognitif dan cara yang formal) t
entang emosi, maksud yang diharapkan dan aturan sosial. Namun demikian tidak dap

at menerapkan pengetahuan ini secara intuitif dan spontan, sehingga kehilangan w


aktu untuk berinteraksi(1). Terhadap orang lain, mereka sangat kaku, bereaksi ti
dak sesuai dan gagal berinterpretasi, serta kurang mempunyai ekspresi wajah(1,3,
11). Mereka kurang peka terhadap lingkungan, tidak peduli dengan ekspresi emosi
orang lain(1,3), dan kurang empati dengan perasaan orang lain(2,8,9,11), sehingg
a Gillberg mengklasifikasikannya ke dalam kelompok gangguan empati(29). Saat sed
ang berbicara, penderita tidak menatap sehingga memperlihatkan kurang atensi dan
kurang berrespons dengan isyarat sosial(8). Dengan demikian menunjukkan komunik
asi yang kurang mendalam(3). Gangguan Asperger menyebabkan hambatan untuk mengen
al wajah orang lain. Keadaan ini merupakan inti dari disabilitas sosial(8,27). P
enderita gangguan ini menyenangi lingkungan yang penuh rutinitas dan terstruktur
. Mereka suka dipuji, suka memperoleh kemenangan, dan mampu menjadi juara, akan
tetapi sering mendapatkan kegagalan, ketidaksempurnaan dan kritik(14). Motorik A
nak dengan gangguan Asperger mempunyai riwayat kemahiran motorik yang tertunda(1
,29), seperti mengayuh sepeda, menangkap bola (tidak ada koordinasi antara kedua
tangan)(30,31). membuka botol dan panjat-memanjat(1,10). Mereka sulit mengikat
dasi atau tali sepatu. Mereka tampak kurang
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 25

koordinasi serta menunjukkan pola jalan yang resmi(1,10). aneh dan sulit untuk b
erbaris(31). Terdapat motoric clumsiness(10,29,30). Menunjukkan kesulitan menuli
s dengan tangan, sehingga menjadi malu atau marah karena ketidakmampuan menulis
rapi. Mereka mempunyai kemampuan menggunakan komputer dan keyboard sehingga lebi
h memilih komputer daripada menulis tangan(22). Tampak jelas terdapat gangguan k
etrampilan motorik-visual dan visuospatial(11,17,31,32). Mereka mengalami kesuli
tan menggunting bentuk dari kertas(30). Dalam hal psikomotor mereka menunjukkan
gerakan stereotipik(9,10,31,32). Kognitif Kemampuan intelektual penderita meneta
p(10). Tidak ada defisit kognitif(3,8), namun beberapa penelitian menggambarkan
adanya defisit daya ingat dalam beberapa aspek(33,34). Kepustakaan lain mengatak
an bahwa kemampuan daya ingat cukup baik dan mereka mengingat tanpa berpikir. Pe
nderita Asperger dapat mengingat dengan seksama fakta, bentuk, data, waktu dan l
ain-lain. Mereka tertarik pada topik luar biasa yang mendominasi pembicaraan mer
eka(1). Mereka mengumpulkan banyak informasi tentang fakta di dunia(3). Sejumlah
besar topik dikumpulkan dengan semangat. Mereka mempelajari topik seperti ular,
nama binatang, pemandu televisi, musim, data pribadi anggota kongres, jadwal ke
reta api dan astronomi, tanpa pengertian luas dari fenomena yang terlibat(1,23).
Mereka unggul dalam bidang matematika dan ilmu pengetahuan. Mereka dapat mengin
gat banyak frasa tapi tidak dapat menggunakannya dalam konteks yang benar(14). P
ada umumnya IQ mereka normal sampai superior. Verbal IQ lebih tinggi dibandingka
n dengan performance IQ(29,35,36) Akan tetapi terdapat gangguan dalam konsep bel
ajar(1). Suatu penelitian melalui story-telling memperlihatkan adanya gangguan i
majinasi(37). Penelitian lain juga mendapatkan gangguan kreativitas dan imajinas
i(38). Bahasa Secara kasar perkembangan bahasa penderita gangguan Asperger nampa
k normal, tidak ada kesulitan menempatkan bahasa. Pasien berbicara agak formal d
engan tata bahasa yang tinggi, sehingga pada awal perkembangan tidak dapat didia
gnosis. Asperger menyebutkannya little professor. Ada tiga aspek pola komunikasi
yang menarik secara klinik pada gangguan Asperger yaitu :(1) 1. Pembicaraan dit
andai dengan kurangnya prosodi, pola intonasi terbatas, walaupun nada suara dan
intonasi tidak sekaku dan semonoton gangguan autistik(1,3,9). Bicaranya terlalu
cepat, tersentak-sentak, dengan volume yang kurang modulasi: misalnya suara kera
s walaupun lawan bicara berada dalam jarak dekat. Kurang pertimbangan untuk situ
asi sosial tertentu, misalnya di perpustakaan atau pada keadaan gaduh(1,39). 2.
Pembicaraan tangensial dan sirkumstansial, sehingga memberi kesan suatu asosiasi
longgar dan inkoheren(1,3). Sebagian pasien memberi kesan gangguan proses pikir
. Gaya bicara egosentris dengan menggunakan kata-kata harfiah(1,3,11). seperti m
onolog tentang nama, kode, atribut di televisi dari berbagai negara. Gagal membe
ri alasan atau komentar tentang suatu pembicaraan dan secara jelas
3.
membatasi topik(1). Gaya bicara bertele-tele tentang subyek favorit dan tidak pe
duli apakah pendengar tertarik,menolak atau mencoba menyelipkan kata-kata untuk
mengganti subyek. Mereka tidak pernah sampai pada satu titik kesimpulan. Lawan b
icara seringkali gagal mencoba menguraikan masalah atau logika, ataupun mengalih
kan topik(1).
KRITERIA DIAGNOSTIK Dahulu para peneliti membuat kriteria diagnosis gangguan Asp
erger sendiri yaitu: kriteria diagnostik Wing (1981), Gillberg and Gillberg (198
9), Szatmari dkk (1989), kriteria diagnostik ICD 10 (1990), kriteria diagnostik
DSM IV(13,40). Sekarang ICD 10 dan DSM IV digunakan sebagai kriteria diagnosis.
Kriteria diagnosis Gangguan Asperger menurut DSM IV: 1. Gangguan kualitatif dala
m interaksi sosial, seperti yang ditunjukkan oleh sekurangnya dua dari berikut :
- Ditandai gangguan dalam penggunaan perilaku nonverbal multipel seperti tatapa
n mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak-gerik untuk mengatur interaksi s
osial. - Gagal mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut ti
ngkat perkembangan. - Gangguan untuk secara spontan membagi kesenangan, perhatia
n atau prestasi dengan orang lain (seperti kurang memperlihatkan, membawa atau m
enunjukkan obyek yang menjadi perhatian orang lain). - Tidak adanya timbal balik
sosial dan emosional. 2. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, beru

lang dan stereotipik, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang kurangnya satu dari
berikut : - Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik, dan
terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya. - Ketaatan yang t
ampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfun
gsional. - Manerisme motorik stereotipik dan berulang (menjentik dan mengepak-ng
epak tangan atau jari, atau gerakan kompleks seluruh tubuh). - Preokupasi persis
ten dengan bagian-bagian obyek. 3. Gangguan ini menyebabkan gangguan yang bermak
na secara klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya. 4.
Tidak terdapat keterlambatan menyeluruh yang bermakna secara klinis dalam bahasa
(misalnya, menggunakan kata tunggal pada usia 2 tahun, frasa komunikatif diguna
kan pada usia 3 tahun). 5. Tidak terdapat keterlambatan bermakna secara klinis d
alam perkembangan kognitif atau dalam perkembangan ketrampilan menolong diri sen
diri dan perilaku adaptif yang sesuai dengan usia (selain dalam interaksi sosial
), dan keingintahuan tentang lingkungan pada masa kanak-kanak. 6. Tidak memenuhi
kriteria untuk gangguan pervasif spesifik atau skizofrenia(6). Klasifikasi gang
guan perkembangan pervasif yang ada
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

sekarang ini kurang memuaskan orang tua yang mempunyai anak dengan gangguan ini,
klinikus dan peneliti akademik. Karena reliabilitas dan validitas dari data emp
irik gangguan ini, dianjurkan pendekatan baru untuk klasifikasinya(40). DIAGNOSI
S BANDING 1. Autisme infantil Gangguan Asperger berbeda dengan autisme infantil
dalam onset usia onset autisme infantil lebih awal(2,41), juga berbeda dalam kep
arahan penyakit yaitu autisme infantil lebih parah dibandingkan gangguan Asperge
r(2,42). Pasien autisme infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam ke
mahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif(2,17).Oral vocabulary test menu
njukkan keadaan yang lebih baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komun
ikasi lebih berat pada autisme(17). Selain itu ditemukan adanya manerisme motori
k sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan m
otorik yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membed
akan gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental. Gangguan
Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada autisme in
fantil(2), kecuali autisme infantil high functioning(41). Batas antara gangguan
Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belaj
ar sangat kabur(8). Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang normal
sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence yang kurang(2). Ganggua
n Asperger mempunyai empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil
, sekalipun keduanya mengalami kesulitan berempati(2,11). 2. Gangguan perkembang
an pervasif yang tidak ditentukan Gangguan Asperger lebih berat dalam disfungsi
sosial(1,10). 3. Gangguan kepribadian skizoid Gangguan kepribadian skizoid tidak
memperlihatkan keparahan dalam gangguan sosial, juga tidak ada kelainan pada po
la perkembangan awal seperti yang tampak pada gangguan Asperger(1,43). Gillberg
memberi gambaran anak dengan gangguan Asperger memenuhi kriteria gangguan keprib
adian skizoid untuk orang dewasa(44) Wolf dan Cull (1986) mengatakan bahwa gangg
uan Asperger merupakan varian dari gangguan kepribadian skizoid(45) dan identik
dengan gangguan kepribadian skizoid pada orang dewasa(14). Sementara Tantam (198
8,1991) mengatakan bahwa jelas berbeda antara gangguan Asperger dan gangguan kep
ribadian skizoid(46). Skizofrenia Gangguan Asperger didiagnosis banding dengan s
kizofrenia onset masa kanak-kanak(8). Kombinasi dari bicara bertele-tele, bicara
sendiri, pola pembicaraan inkoheren, gagal mengganti topik pembicaraan dan gaga
l memberi latar belakang suatu cerita, menyebabkan kekeliruan mendiagnosis Skizo
frenia. Gangguan Asperger lebih menunjukkan disfungsi komunikasi daripada ganggu
an proses pikir(1,10). Ekspresi wajah yang abnormal terdapat pada kedua gangguan
ini(18). 5. Gangguan Kepribadian Obsesi Kompulsi. Beberapa gejala gangguan Aspe
rger bertumpang tindih 4.
dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi seperti fungsi sosial yang terbatas.
Keadaan ini menyebabkan gangguan Asperger didiagnosis banding dengan gangguan K
epribadian Obsesi Kompulsi(8,9).
Tabel 1. Differential diagnostic features of autism and nonautistic pervasive de
velopmental disorders(1) Autistic disorder 0-36 M>F Variable Very poor Usually p
oor Variable (mechanical) Sometimes Common No Severe MR to normal Poor to fair A
spergers disorder Usually > 36 M>F Usually not Poor Fair Variable Marked (facts)
Frequent Uncommon No Mild MR to normal Fair to good Pervasive developmental diso
rder NOS Variable M>F Usually not Variable Fair to good Variable Unknown Frequen
t Uncommon No Severe MR to normal Fair to good
Feature Age at recognition (month) Sex ratio Loss of skills Social skills Commun
ication skills Circumscribed interests Family history of similar problems Seizur
e disorder Head growth deceleration I.Q. range Outcome
PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT Perbedaan klinik antara gangguan autisme dan g
angguan Asperger mempunyai nilai prognosis(21). Gangguan Asperger mempunyai prog
nosis yang lebih baik(12,22,29). Terdapat perbedaan rentang keparahan dari gangg
uan Asperger, sehingga beberapa kasus tidak terdiagnosis karena penderitanya han
ya tampak aneh dan eksentrik(14). Perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik(
47). Perjalanan penyakit dan akibatnya sangat bervariasi(1) karena IQ dan ketram
pilan berbahasanya relatif baik(41). Beberapa anak dapat mengikuti pendidikan se

cara teratur dengan mendapat dukungan sedangkan yang lain membutuhkan pendidikan
khusus. Keadaan ini disebabkan karena gangguan dalam perilaku dan interaksi sos
ial, bukan karena defisit akademik(1). Prediksi masa depan anak Asperger positif
. Beberapa pasien menggunakan talenta khususnya untuk memperoleh pekerjaan yang
dapat menunjang kehidupannya sendiri(1). Perilaku buruk seringkali didasari keti
dakmampuan mengkomunikasikan frustrasi dan kecemasan(14). Pada saat remaja, mere
ka tidak menyadari kalau berbeda dengan yang lain dan sering disingkirkan dalam
hubungan interpersonal. Pada saat dewasa mereka beradaptasi sangat superfisial,
egosentris dan terisolasi(3). Gangguan bipolar dan gangguan cemas dapat menjadi
komorbiditas untuk gangguan Asperger(5,11,48). Frustrasi kronis akibat kegagalan
berulang apabila berbicara dengan orang lain dan saat menjalin persahabatan men
ye- babkan penderita dengan gangguan Asperger dapat menderita juga
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 27

gangguan mood(1). Beberapa penderita dapat mempunyai gambaran katatonik(8) gangg


uan obsesi kompulsi(3,5,49) ide bunuh diri, temper dan gangguan menentang(49). P
enderita gangguan Asperger mengalami penurunan berat badan dan gangguan makan(50
). Pada beberapa populasi penelitian ditemukan adanya komorbiditas gangguan ini
dengan gangguan tik(2,5,40) dan sindrom Tourette(3,8,22) Volkmar & Klin,1997 men
gatakan adanya komorbiditas antara gangguan Asperger dengan Attention Deficit Hi
peractivity Disorder(3). Menurut Tantam (1980), penderita Asperger memperlihatka
n perilaku antisosial pada saat dewasa(45). Gangguan Asperger akan berkembang pa
da kecenderungan paranoid(22). Mawson dan kawan-kawan (1985), menunjukkan adanya
hubungan antara gangguan Asperger dengan perilaku kekerasan dan agresif serta m
embakar rumah(15). Beberapa gangguan medis spesifik yang dapat bersamaan dengan
gangguan Asperger yaitu tuberous sclerosis,(17,26,39) Marfan-like syndrome, Klei
ne-Levin syndrome, fragile X syndrome dan sindrom kromosom lain termasuk translo
kasi kromosom 17-19(8). PENATALAKSANAAN Pada dasarnya adalah suportif dan simtom
atis; meliputi beberapa aspek antara lain ketrampilan sosial dan komunikasi, ora
ngtua, pendidikan, pekerjaan dan terapi yang lain.1 Ketrampilan sosial dan komun
ikasi Penderita Asperger mempunyai kecenderungan menggantungkan diri pada aturan
yang kaku dan rutinitas. Keadaan ini dapat digunakan untuk mengembangkan kebias
aan yang positif dan meningkatkan kualitas hidup. Strategi menyelesaikan masalah
diajarkan untuk menangani keadaan yang sering terjadi, situasi sulit seperti te
rlibat dengan hal baru, kebutuhan sosial dan frustrasi. Dibutuhkan latihan untuk
mengenal situasi sulit dan memilih strategi yang pernah dipelajari untuk situas
i seperti itu(1). Program Behavioral Modification dilakukan untuk melatih anak a
gar bersikap lebih layak dan dapat diterima secara sosial. Dalam program ini yan
g diintervensi adalah(51). Rutinitas harian. Pengendalian temper tantrum Komunik
asi Aspek emosi Ketrampilan sosial dan komunikasi sebaiknya diajarkan oleh ahli
komunikasi untuk berbicara pragmatis. Keadaan ini dapat dilakukan dalam terapi d
ua orang atau terapi kelompok kecil. Terapi komunikasi meliputi:(1) 1. perilaku
nonverbal yang sesuai (cara memandang untuk interaksi sosial, memonitor dan menc
ontoh perubahan suara). 2. membaca kode verbal dari perilaku nonverbal orang lai
n 3. social awareness. 4. perspective taking skill 5. interpretasi yang benar un
tuk komunikasi yang berarti ganda. Kelompok self support dapat membantu penderit
a Asperger. Pengalaman kecil pada kelompok self-support memberi kesan
bahwa individu dengan gangguan Asperger menikmati kesempatan tertentu dengan ora
ng lain. Ia dapat mengembangkan hubungan di sekitar aktivitasnya dengan orang la
in untuk membagi perhatian. Perhatian khusus dibuat untuk menciptakan kesempatan
sosial melalui kelompok minat. Mereka membutuhkan kasih sayang, kelembutan hati
, kepedulian, kesabaran dan pengertian. Jika mereka mendapat kannya, sedikitnya
dapat lebih terlibat dalam masyarakat(14). Orang tua Orang tua berperan sangat b
esar dalam penatalaksanaan gangguan Asperger. Beberapa strategi yang menolong or
angtua untuk menghadapi anaknya : - Buatlah pembicaraan yang sederhana sesuai de
ngan tingkat pengertian mereka - Buatlah instruksi yang sederhana untuk pekerjaa
n yang rumit dengan menggunakan daftar atau gambar. - Mencoba mengkonfirmasi apa
kah mereka mengerti apa yang dibicarakan atau ditanyakan. Jangan membuat pertany
aan yang cukup dijawabYes/No. - Jelaskan bahwa mereka harus menatap saat berbica
ra dengan orang lain, beri semangat, pujian untuk prestasi, khususnya pada saat
mereka menggunakan ketrampilan sosial tanpa disuruh. - Untuk anak kecil yang tam
paknya tidak mau mendengar, berbicara dengan dinyanyikan akan lebih bermanfaat.
- Berilah pilihan yang dibatasi dua atau tiga pilihan(14). Pendidikan Sangat ber
manfaat jika anak dimasukkan ke sekolah yang memahami kesulitan anak dan orangtu
anya. Guru harus menyadari bahwa muridnya mempunyai gangguan perkembangan dan be
rbeda dari murid lain(5,14). Ketrampilan, konsep, prosedur yang teratur, strateg
i kognitif dan norma-norma perilaku dapat diajarkan dengan efektif(1). Beberapa
prinsip umum sekolah agar dapat diaplikasikan pada anak dengan gangguan Asperger
:(5) - Rutinitas kelas harus konsisten, terstruktur, dan sebisa mungkin dapat d
iramalkan. Mereka harus dipersiapkan terlebih dahulu. Termasuk jadual istirahat,
hari libur dan sebagainya. - Aturan diterapkan dengan seksama. Beberapa anak ka
ku dengan aturan. Pedoman dan aturan diterangkan dengan jelas, akan menolong jik
a melalui tulisan. - Guru mengambil kesempatan pada bidang yang menjadi perhatia

n anak saat mengajar. Anak akan belajar dengan baik dan memperlihatkan motivasi
dan perhatian yang besar bila sesuai dengan yang dijadualkan. - Banyak anak gang
guan Asperger berespons baik secara visual dengan alat seperti : jadual, chart,
list, gambar dsb. - Secara umum mengajar dengan konkrit. Hindari gaya bahasa yan
g sulit dimengerti seperti sarkasme, idiom dan sebagainya. - Strategi mengajar d
idaktik dan eksplisit dapat membantu anak memperoleh kecakapannya pada bidang fu
ngsi eksekutif. Pastikan bahwa staf lain seperti guru olahraga, sopir bus, petug
as perpustakaan dan kafetaria mengetahui keadaan anak. Lakukanlah pendekatan ter
hadap mereka.
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Pekerjaan Dalam pekerjaan, manfaatkan kemampuan mereka untuk dapat mandiri. Kema
ndirian dalam berbagai bidang menjadi prioritas(1). Penderita gangguan Asperger
dilatih dan ditempatkan pada pekerjaan yang mendapat dukungan dan perlindungan d
engan demikian mereka tidak akan mengalami gangguan psikologik. Sebaiknya pekerj
aan mereka tidak melibatkan tuntutan sosial yang intensif, tekanan waktu atau me
mbutuhkan perubahan cepat. Jangan ditempatkan pada situasi baru yang membutuhkan
pemecahan masalah(1). Terapi lain Diberikan psikoterapi dan terapi okupasi. Psi
koterapi suportif dapat menolong penderita agar dapat beradaptasi dengan perasaa
n sedih, frustrasi dan ansietas. Keadaan yang langsung terfokus pada pemecahan m
asalah lebih berguna daripada pendekatan berorientasi tilikan (insight)(32). Ter
api okupasi sangat dibutuhkan, diberikan oleh seorang terapis yang berpengalaman
, untuk melatih koordinasi gerakan(32). Intervensi farmakologi tak kalah penting
untuk menghilangkan gejala dan psikopatologi lain(32). Diutamakan jika ada geja
la agresivitas dan self injuries. Golongan antagonis serotonin dopamin seperti r
isperidone, olanzapine, quetiapine(52,53) dan serotonin selective reuptake inhib
itor seperti fluoxetin menurut kepustakaan sangat baik untuk gangguan Asperger.
Clomipramine efektif untuk terapi gejala obsesi kompulsi pada gangguan ini. Tera
pi stimulan bermanfaat untuk mengatasi gangguan atensi(8). Nutrisi dapat menolon
g anak dengan gangguan Asperger. Makanan bebas gluten dan kasein sangat dianjurk
an. Hal ini berdasarkan pada hipotesis opioid pada autisme. Mega dosis vitamin d
an mineral dianjurkan pada penatalaksanaan gangguan spektrum autisme. Diet bebas
fenol dan salisilat, gula, zat aditif, jamur/fermentasi dianjurkan dengan mengg
unakan rotasi diet(54,55). Integrasi sensorik dilakukan pada anak gangguan spekt
rum autisme dengan tujuan untuk memperbaiki sistem registrasi dan modulasi dari
berbagai input sensorik, memfasilitasi fungsi regulasi, memfasilitasi proses dar
i berbagai input sensorik, dan membantu perkembangan praksis dan ketrampilan unt
uk memecahkan masalah(56). ILUSTRASI KASUS B, laki-laki, 7 tahun, datang dengan
keluhan suka memukul dan berteriak jika keinginan tidak atau lama dipenuhi. Pasi
en lebih suka main sendiri dan sulit berteman, juga di sekolah. Pasien kelihatan
aneh dan tidak bisa bergaul. Pasien suka bermain permainan aneh yang diciptakan
sendiri. Ia tidak bisa mengerti dan peduli dengan perasaan orang lain. Ia serin
g melempar, menonjok tanpa mempedulikan orang lain, tapi tidak boleh ditegur. Pa
sien juga suka membangkang. Nilai pelajaran cukup bagus dengan rata-rata 7-9 unt
uk matematika dan pelajaran hafalan. Pasien kurang abstraksi, sulit mengerti bah
asa. Pasien anak tunggal, kedua orang tua bekerja, riwayat prenatal tidak ada ke
luhan, proses persalinan dengan risiko ketuban pecah dini, berat badan lahir 3,5
kg, panjang badan 49 cm. Pasien mengikuti aktivitas seperti taekwondo, piano da
n komputer. Pasien bercita-cita ingin menjadi pilot karena ia
ingin naik pesawat yang ada baling-balingnya di hidung dan mesinnya jet. Pasien
masuk TK pada usia 5 tahun, bisa membaca dan berhitung pada usia 4 tahun, tidak
ada keterlambatan bicara dan berbahasa. Usia 6 tahun masuk SD. Di kelas II cawu
II pasien pindah sekolah, karena murid di SD sebelumnya terlalu banyak. Pada pem
eriksaan pasien tampak bersikap kaku, berbicara dengan bahasa yang baku dan sang
at formal tanpa memandang lawan bicaranya (menghindari kontak mata). Pasien bica
ra keras dan tidak bisa pelan. Pasien memperlihatkan gangguan interaksi sosial d
alam kontak mata yang kurang adekuat. Memperlihatkan respons yang tertunda waktu
disapa. Pembicaraannya kurang modulasi dan nampak monoton. Ia tidak menunjukkan
rasa sedih atau kecewa saat menceritakan tidak bisa makan McDonald, padahal ia
menyukainya. Ia tidak berespons dengan ekspresi wajah dan sikap orang lain. Ia t
idak membalas jika orang lain tersenyum kepadanya. Pasien menyebutkan tanda wakt
u secara detil misalnya waktu ditanyakan jam berapa pulang sekolah, ia menjawab
jam dua belas lewat tiga puluh enam menit, sepuluh detik, demikian juga untuk pe
rtanyaan lain mengenai waktu. Pada saat ditanya, pertanyaan harus diulang baru p
asien menjawab. Terkadang jawaban tidak sesuai. Saat ditegur karena melakukan ke
salahan, pasien berkata: mengapa marah-marah, saya tidak salah, dengan wajah tak b
ersalah. Ia tidak bisa menulis rapi dan sering marah-marah dan berteriak-teriak
karena tidak bisa menulis rapi. Ia sering menghindari pekerjaan menulis. Pada sa
at menjiplak pasien tidak dapat melakukannya dengan rapi dan teratur, ia melakuk
annya berulang-ulang sampai bosan dan istirahat. Demikian juga saat menggunting

gambar di kertas terlihat sangat kaku dan hasilnya tidak rapi. Apabila pasien me
lakukan sesuatu yang sulit, kemudian gagal maka ia akan frustrasi dan berteriakteriak. Setiap kali kunjungan pasien melakukan hal yang rutin yaitu menggambar,
padahal tidak disuruh. Untuk mengubah kebiasaan pasien ke hal-hal yang baru haru
s melalui proses dan tidak boleh langsung karena pasien akan ngambek. Di rumah p
asien suka main playstation. Interaksi pasien dengan orangtuanya: pasien dapat d
itinggal orang tuanya tanpa protes, tetap bisa bermain dengan baik (asyik sendir
i). Orientasi dan persepsi baik, Mood/afek inappropriate, empati sulit dirabaras
akan, proses pikir terhambat. DISKUSI Memahami gambaran klinis dan kriteria diag
nostik adalah modal untuk mendiagnosis gangguan Asperger. Gambaran klinis yang m
irip atau tampaknya bertumpang tindih dengan gangguan dalam spektrum autistik, d
apat menyulitkan diagnosis. Deteksi dini gangguan Asperger dapat dilakukan jika
mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan teliti untuk menegakkan diagnos
is. Etiologi gangguan Asperger masih dalam perdebatan, sehingga sampai saat ini
penatalaksanaan pada dasarnya adalah suportif dan simtomatis. Terapi non farmako
logis dan farmakologis diberikan sesuai kebutuhan pasien. Pendekatan multidisipl
in bermanfaat untuk memberikan terapi yang holistik dan komprehensif.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 29

PUISI KARANGAN SEORANG ANAK GANGGUAN ASPERGER


4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
30
Ironing Out the Wrinkles
Life was once a tangled mess. Like missing pieces, in a game of chess. Like only
half a pattern for a dress. Like saying no, but meaning yes. Like wanting more,
and getting less. But Im slowly straightening it out. Life was once a tangled vi
ne. Like saying yours, and meaning mine. Like feeling sick, but saying fine. Lik
e ordering milk, but saying wine. Like seeing a tree, and saying vine. But Im slo
wly straightening it out. Life is now a lot more clear. The tangles are unraveli
ng, And hope is near. Sure there are bumps ahead. But no more do I look on with
dread. After fourteen years the tangles have straightened. (Vanessa Regal)
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Gambar 1 : Dari seorang anak penderita gangguan Asperger 30. 31. KEPUSTAKAAN 1.
2. 3. Volkmar FR, Klin A. Pervasive developmental disorder. Dalam : Kaplan HI, S
adock BJ. Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed, Baltimore, William & Wil
kins;1999:2674-7. Bowman EP. Aspergers syndrome and autism: the case for a connec
tion. Br J Psychiatr. 1988; 152 : 377-82. Rosen BS. Aspergers syndrome, high func
tioning autism, and disorder of autistic continuum. http://www.asperggersyndrome
.com. Diakses 4 April 32. 33. 34.
2001. Levin K. Pervasive developmental disorder: PDD-NOS, Asperger disorder and
autism parent information booklet. http://www.children hospital.org/ici/publicat
ions. Diakses 4 April 2001. Bauer S. Asperger syndrome. http://www.asperger.org/
articles. Diakses 4 April 2001. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Diso
rder 4th ed. American Psychiatric Association.Washington, DC:75-7. Volkmar FR, K
lin A, Siegel B, et al. Field trial for autistic disorder in DSM-IV. Am J Psychi
atr. 1994;151:1361-7. Gillberg C. Asperger syndrome and high functioning autism,
Br J Psychiatr. 1998;172:200-9 Kerbeshian J, Burd L. Aspergers syndrome and Tour
ette syndrome: the case of the Pinball Wizard. Br J Psychiatr. 1986;148:731-6. V
olkmar FR, Klin A, Schultz RT et al. Clinical case conference : Aspergers disorde
r. Am J Psychiatr. 2000;157:262-7. Cox AD. Is Aspergers syndrome a useful diagnos
is ?. Arch. Dis. Childhood 1991;66: 259-62. Kerbeshian J, Burd L, Fisher W. Aspe
rgers syndrome: to be or not to be?. Br J Psychiatr. 1990;156:721-5. Ehlers S, Gi
llberg C. The epidemiology of Asperger syndrome : A total population study. Camb
ridge University Press, 1993. Lord R. Asperger syndrome. http: www.asperger.orga
rticle. Diakses 4 April 2001. Scragg P, Shah A. Prevalence of Aspergers syndrome
in a secure hospital. Br J Psychiatr. 1994;165:679-82 Editorial. By one name. J
Pediatr. 2000;136:576-7. Szatmari P et al. Two year outcome of preschool childre
n with autism or Aspergers syndrome and high functioning autism. Br J Psychiatr.
1998;172:200-9. Tantam D. Lifelong eccentricity and social isolation II: Asperge
rs syndrome or schizoid personality disorder?. Br J Psychiatr.1988;153: 783-91. E
ditorial. Zebras in the livingroom : The changing faces of autism. J Pediatr.199
9;135:533-5. Connolly AM et al. Serum autoantibodies to brain in Landau-Kleffner
variant, autism, and other neurologic disorder. J Pediatr. 1999;134:60713. Volk
mar FR et al. Nosology and genetic aspect of Asperger syndrome. J Autism Dev Dis
ord.1998;28(5):457-63. Gillberg CL. Autism and autistic-like conditions : subcla
sses among disorder or empathy. Cambridge University Press. 1992. Burguine E, Wi
ng L. Identical triplets with Aspergers syndrome. Br J Psychiatr. 1983; 143:261-5
. Horvath K et al. Gastrointestinal abnormalities in children with autistic diso
rder. J. Pediatr. 1999;135:559-63. Milles, Capelle. Aspergers syndrome and aminoa
ciduric : a case sample. Br J Psychiatr.1987;150:397-400. Rinehart NJ et al. Aty
pical interference of local detail on global processing in high -functioning aut
ism and Aspergers disorder.J Child Psychol Psychiatr. 2000; 41 (6) :769-78. Schul
tz RT, Gaulthier I et al. Abnormal ventral temporal cortical activity during fac
e discrimination among individuals with autism and Asperger syndrome. Arch Gen P

sychiatr. 2000;57:331-40. Jones PB, Kerwin RW. Left temporal lobe damage in Aspe
rgers syndrome. Br J Psychiatr.1987; 150:397-400. Klin A, Volkmar FR et al. Valid
ity and neuropsychological characterization of Asperger syndrome: convergence wi
th nonverbal learning disability syndrome. Cambridge University Press.1995. Attw
ood T. Motor Clumsiness. http://www.Asperger.org/articles. Diakses 4 April 2001.
Ringman JM, Jankovic J. Occurrence of tics in Aspergers syndrome and autistic di
sorder. J Child Neurol. 2000;156:394-400. Grossman JB, Klin A, Carter AS, Volkma
r FR. Verbal bias in recognition of facial emotion in children with Aspreger syn
drome. J Child Psychol Psychiatr. 2000;41(3):369-79. Bowler DM, Gardiner JM, Gri
ce S et al. Memory illusions: false recall and recognition in adults with Asperg
ers syndrome. Abnorm Psychol. 2000;109(4): 663-72. Bowler DM, Gardiner JM, Grice
SJ. Episodic memory and remembering in adults with Asperger syndrome. J Autism D
ev Disord.2000; 30(4):295304.
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
Miller JN, Ozonoff S. The external validity of Asperger disorder: lack of eviden
ce from the domain of neuropsychiatry. J Abnorm Psychol. 2000;109(2):227-38. Bol
ton PF et al. Association of tuberous sclerosis of temporal lobes with autism an
d atypical autism. Lancet.1997;349:392-5. Craig J, Baron-Cohen S. Story-telling
ability in children with autism or Asperger syndrome: a window into the imaginat
ion. Isr J Psychiatry Relat Sci. 2000;37(1): 64-70. Craig J, Baron-Cohen S. Crea
tivity and imagination in autism and Asperger syndrome. J Autism Dev. Disord.199
9;29(4):319-26. Littlejohns CS, Clarke DJ, Corbett JA. Tourette-Like Disorder in
Asperger syndrome.Br J Psychiatr.1990;156:430-3. Szatmari P. The classification
of autism, Asperger syndrome and pervasive developmental disorder. Can J Psychi
atr. 2000;45(8):731-8. Charman T, Skuze DH. Autism. Psychiatr. Medicine Internat
. 2000; 3: 54-6. Baron-Cohen S. Is Asperger syndrome/high-functioning autism nec
essarily a disability?.Dev Psychopathol.2000;12(3):489-500. Prior M, Eisenmajer
R, Leeham et al. Are there subgroup within the autistic spectrum?. A cluster ana
lysis of groups of children with autistic spectrum disorder. J Child Psychol Psy
chiatr. 1998;39(6):893-902. Wolff S. Schizoid personality in childhood and adultho
od life. III : the childhood picture. Br J Psychiatr.1991;159:629-35. Everall IA
, Lecounter A. Firesetting in an adolescent boy with Asperger syndrome.Br J Psyc
hiatr. 1990;157:284-7. Walker A. Separate realities; a plain narrative of a-post
eriori cognition:
47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
analogue for comparisons with and between Aspergers syndrome and other autistic s
pectrum condition. http://www.shifth.mistral.co.uk/autism. Diakses 4 April 2001.
Attmood T. Asperger syndrome: Some common question.: http://www.asperger.org/ar
ticle. Diakses 4 April 2001. Ghaziuddin M et al. Comorbidity of Asperger syndrom
e : a preliminary report. J Intellect Disabil Res. 1998;42:279-83. Green J et al
. Social and psychiatry functioning in adolescent with Asperger syndrome compare
d with conduct disorder. J Autism Dev Disord.2000;30(4) :27993. Sobanski E. Furt
her evidence for a low body weight in male children and adolescent with Aspergers
disorder. Eur Child Adolesc Psy.1999; 8(4):312-4. Grossman R. Behavioral Modifi
cation Programme for PDD Children. Child Neurology and Developmental Centre. www
.child brain.com. Diakses 8 April 2003 Sadock BJ, Kaplan HI, Pervasive Develompe
ntal Disorder. Synopsis of Pychiatry, 9th ed, 2002 :1208-22. Zepf B. Risperidone
for aggressive behavior in autistic children. Am. Family Physician 2003:Feb. Me
hl-Madrona L.Effective Therapies for Autism and other Developmental Disorder. Au
tism/Aspergers Digest Magazine, 2000. Susilo RPP. Pengalaman menjalankan diet pad
a anak Autistic Spectrum Disorder. Konferensi Nasional Autisme I, Jakarta, 2003
:182-9. Utama DK. Terapi sensori integrasi untuk anak-anak dengan gangguan spekt
rum autisme. Konferensi Nasional Autisme I, Jakarta, 2003 : 73-9.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 31

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian / Hipera
ktivitas
Yusuf Alam Romadhon
Dokter PTT di Puskesmas Kartasura II Kab Sukoharjo, Jawa Tengah
ABSTRAK Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) merupakan suatu sind
rom neuropsikiatrik yang sering dijumpai dengan onset pada masa anak di tahun-ta
hun awal sekolah. Menurut DSM-IV, GPP/H dibagi atas tiga subtipe: (1) subtipe in
atensi, (2) subtipe hiperaktif-kompulsif, (3) kombinasi. Terdapat penurunan geja
la sebesar 50% setiap 5 tahun antara usia 10 hingga 25 tahun, tetapi adanya kond
isi psikiatri yang terjadi bersamaan dengan GPP/H seperti gangguan mood, ganggua
n perilaku menentang (ODD [oppositional defiant disorder]), gangguan bipoler dan
sindrom Tourrette, dalam suatu penelitian prospektif akan meningkatkan 11 kali
menetapnya gejala, 9 kali terjadinya gangguan kepribadian antisosial dan 4 kali
lebih tinggi kejadian gangguan penyalahgunaan obat; prediktor terkuat menetapnya
psikopatologi adalah komorbiditas psikiatrik dan riwayat GPP/H keluarga. Dalam
farmakoterapi GPP/H, psikostimulansia mempunyai tempat yang unik dan utama; seja
uh ini methylphenidate merupakan psikostimulansia yang paling banyak diteliti da
n digunakan karena menunjukkan hasil yang lebih efektif dan efek samping yang mi
nimal dibandingkan obat jenis yang lain seperti antidepresan dan neuroleptik. Ka
ta kunci : Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktif, aspek klinik, farmakoterapi.
PENDAHULUAN Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) merupakan suatu
sindrom neuropsikiatrik yang sering dijumpai dengan onset usia kanak-kanak, seba
gian besar menjadi nyata (dan menjadi perhatian medik) di tahun-tahun pertama ke
las sekolah(1). Kondisi ini merupakan suatu gangguan heterogen dengan etiologi y
ang tidak diketahui(1,2). Di Amerika merupakan satu dari problem klinik dan kese
hatan masyarakat utama karena berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas anak
-anak, remaja dan dewasa. Pengaruhnya pada masyarakat adalah dalam hal finansial
, stres pada keluarga, pengaruh negatif pada kegiatan akademik, pekerjaan dan ju
ga kepercayaan diri(2). Data dari penelitian cross-sectional, retrospektif dan f
ollow-up menunjukkan bahwa anak-anak
dengan GPP/H berisiko menderita gangguan psikiatrik lain baik di masa kanak-kana
k, remaja dan dewasa yang meliputi perilaku antisosial, penyalahgunaan zat serta
gangguan mood dan kecemasan(1,2). Keterkaitannya dengan gangguan tersebut membu
atnya menjadi suatu kelompok gangguan yang lebih kompleks(3). Pengenalan, penila
ian (assessment) dan penatalaksanaan dini dari kondisi-kondisi ini dapat mengara
hkan kembali perkembangan edukasional dan psikososial pada sebagian besar anak d
engan GPP/H(4). Nama dan nosologi GPP/H telah menjalani sejumlah perubahan dalam
beberapa dekade terakhir. Di tahun 1960-an dalam DSM-II gejala-gejala motorik y
ang ditekankan serta gangguan diberi nama reaksi hiperkinetik dari anak-anak. Di
tahun 1980-an, DSM-III menamai kembali sebagai gangguan
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

pemusatan perhatian dan menekankan inatensi sebagai gambaran inti. Di tahun 1987
dalam DSM-III-R dinamai kembali dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivi
tas (attention deficit/hyperactivitydisorder[ADHD]). Baik inatensi maupun hipera
ktivitas ditekankan sama pentingnya sebagai gambaran inti. Dalam DSM-IV dikenal
tiga subtipe tergantung pada gejala yang dominan; subtipe dominan inatensi, subt
ipe dominan hiperaktivitas-impulsivitas dan subtipe campuran(2). PREVALENSI Pene
litian GPP/H di masyarakat memperlihatkan prevalensi antara 1,7%-16%, tergantung
pada populasi dan metodologi diagnostik yang dipergunakan (tabel 1)(1). Dengan
menggunakan kriteria DSM IV, bila dibandingkan dengan versi sebelumnya, maka leb
ih banyak perempuan yang didiagnosis subtipe inatensi. Angka prevalensi juga san
gat bervariasi tergantung sampel yang diteliti, pada sampel sekolah 6,9% (5,5%-8
,5%) dibandingkan sampel komunitas 10,3% (8,2%-12,7%)(4). Pada uji lapangan DSM
IV didapatkan kecenderungan perbedaan usia untuk masing-masing subtipe. Anak den
gan GPP/H subtipe hiperaktif-impulsif rata-rata usianya 5,7 tahun, subtipe kombi
nasi rata-rata usianya 8,5 tahun dan subtipe inatensi rata-rata usianya 9,8 tahu
n. Penderita GPP/H subtipe kombinasi dan hiperaktif-impulsif paling bermasalah d
engan perilaku mereka di rumah, sedangkan penderita dengan subtipe inatensi cend
erung lebih bermasalah di bidang akademik dan secara bermakna lebih sering mengg
unakan fasilitas-fasilitas pelayanan di sekolah. Penderita subtipe inatensi menu
njukkan taraf yang lebih rendah dalam hal atensi, kenakalan, agresifitas dan gej
ala-gejala gangguan perilaku, tetapi tidak berbeda dengan subtipe lain dalam hal
masalah-masalah sosial, psikosomatik atau gejala-gejala kecemasan dan depresi(2
).
Tabel 1. Penelitian mengenai prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian/ Hiperaktiv
itas(1). Tempat Selandia Baru New York, NY Ontario Puerto Rico Pusat kota AS Pit
tsburg, PA Iowa Jerman London, Inggris Mannheim, Jerman AS Tennessee AS Sumber,
tahun Anderson dkk., 1987 Cohen, 1988 Szatmarl dkk., 1989 Bird dkk., 1988 Newcor
n dkk., 1989 Costelo dkk., 1988 Lindgren dkk., 1990 Baumgnertel dkk, 1995 Esser
dkk., 1990 Esser dkk., 1990 Pelham dkk., 1992 Wolraich dkk., 1996 Shaffer dkk.,
1996 Kriteria # DSM III DSM III DSM III DSM III DSM III DSM III-R DSM III DSM III D
SM III-R DSM III-R DSM III-R DSM III-R DSM III-R Prevalensi 6,7 3-6 6,3 9,5-16,1 1
2,9 2,6 2,8 9,6 1,7 4,2 2,5-4,0 7,3 4,1
DIAGNOSIS GPP/H Menegakkan diagnosis GPP/H pada anak harus berdasarkan ciri-ciri
yang memenuhi kriteria diagnosis (tabel 2). Sedangkan langkah untuk menegakkan
diagnosis dan evaluasinya dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif* A. Baik : (
1) atau (2) (1). Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi) Sekurang-kurangnya ada
6 dari gejala gangguan pemusatan perhatian ini yang muncul dalam 6 bulan terakhi
r. - Tidak mampu memberikan perhatian terhadap hal-hal yang kecil, sering membua
t kesalahan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi saat mengerjakan tugas di seko
lah. - Tidak mampu memusatkan perhatian secara terus-menerus pada saat menyelesa
ikan tugas atau bermain. - Sering tampak seperti tidak memperhatikan. - Sering t
idak dapat mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan tugas sekolah atau tugas l
ainnya. - Sering mengalami kesulitan mengatur tugas atau aktivitas lainnya. - Se
ring menolak atau tidak menyukai tugas yang memerlukan perhatian terus-menerus.
- Sering kehilangan barang-barang atau alat yang diperlukan. - Perhatian mudah t
eralih oleh rangsangan dari luar. - Sering lupa menyelesaikan tugas/kegiatan rut
in sehari-hari. (2). Hiperaktivitas dan Impulsivitas Sekurang-kurangnya ada 6 da
ri gejala gangguan hiperaktivitas dan impulsivitas ini yang muncul dalam 6 bulan
terakhir Hiperaktivitas - Sering tangan dan kaki tidak bisa diam atau banyak be
rgerak di tempat duduk. - Sering meninggalkan tempat duduk saat mengikuti kegiat
an di kelas atau kegiatan lain yang mengharuskannya tetap duduk. - Sering berlar
i-lari atau memanjat-manjat secara berlebihan. - Tidak dapat mengikuti aktivitas
atau bermain dengan tenang dan santai. - Selalu bergerak terus seperti digerakk
an oleh mesin. - Sering banyak berbicara. Impulsivitas - Terlalu cepat memberika
n jawaban sebelum pertanyaan selesai didengar. - Sulit menunggu giliran. - Serin
g melakukan interupsi atau mengganggu orang lain. B. C. D. E. Gejala-gejala ters
ebut terjadi sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut terjadi pada lebih dar
i satu situasi. Gejala-gejala tersebut secara klinis nyata menimbulkan hendaya d

alam kegiatan sosial, akademis dan tugas-tugas lainnya. Gejala-gejala tersebut t


idak diakibatkan oleh gangguan perkembangan pervasif, schizophrenia dan gangguan
jiwa yang lain. (misal, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif
atau gangguan kepribadian).
# DSM III: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 7hird Ed DSM I
II-R: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Third Ed. yang dire
visi; DSM IV: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Ed.
Prevalensi 18,9% menggunakan DSM III-R Prevalensi 6,1% menggunakan DSM III-R Pre
valensi 9,0% subtipe inatensi, 3,9 % subtipe hiperaktif-impulsif, 4,8% subtipe c
ampuran total 17,8% menggunakan DSM IV; 10,9% menggunakan DSM III-R Prevalensi 5,4
% subtipe inatensi, 2,4% subtipe hiperaktif-impulsif, 3,6% subtipe campuran meng
gunakan DSM IV
* Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Ed. Kode berdasa
rkan tipenya; 314.01 GPP/H, Tipe Kombinasi: bila terdapat baik kriteria A(1) mau
pun A(2) dalam 6 bulan terakhir; 314.00 GPP/H, Tipe Inatensi: bila terdapat krit
eria A(1), tetapi tidak terdapat kriteria A(2) dalam 6 bulan terakhir; 314.01 GP
P/H, Tipe Hiperaktif-Impulsif bila terdapat kriteria A(2) tetapi tidak terdapat
kriteria A(1) dalam 6 bulan terakhir. Catatan pengkodean: Untuk individu (teruta
ma remaja dan dewasa) yang saat ini mempunyai gejala-gejala, yang tidak lagi mem
enuhi kriteria secara utuh, sebaiknya dimasukkan Dalam Remisi Parsial. (dari refer
ensi 1)
Ada tiga subtipe GPP/H (DSM IV) berdasarkan dominasi gejalanya, yaitu: 1. GPP/H
subtipe inatensi (GPP/H-i) memenuhi sedikitnya 6 dari 9 kriteria perilaku inaten
si.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 33

2.
GPP/H subtipe hiperaktif-impulsif (GPP/H-hi) memenuhi sedikitnya 6 dari 9 kriter
ia perilaku hiperaktif-impulsif. 3. GPP/H subtipe kombinasi (GPP/H-k) memenuhi s
edikitnya 6 dari 9 perilaku baik dari daftar inatensi maupun dari hiperaktif imp
ulsif. Anak yang memenuhi kriteria diagnostik untuk gejalagejala perilaku GPP/H
tetapi tidak menunjukkan hendaya fungsional tidak dapat didiagnosis GPP/H. Gejal
a-gejala GPP/ H harus ada di dua atau lebih situasi (seperti di rumah dan di sek
olah), dan perilaku harus berpengaruh buruk secara fungsional baik di sekolah ma
upun di lingkungan sosial. Diagnosis tersusun dari sintesis informasi orang tua,
laporan sekolah, juga perawat kesehatan jiwa jika mereka dilibatkan serta dari
wawancara/pemeriksaan anak. Dalam DSM IV diperlukan bukti adanya gejala yang ada
sebelum usia 7 tahun, pada beberapa kasus, gejala-gejala GPP/H tidak dikenali o
leh orang tua atau guru sampai anak berusia lebih dari 7 tahun, pada saat lebih
sering berhadapan dengan tugas-tugas sekolah. Usia onset dan lamanya gejala dapa
t diperoleh dari orang tua melalui anamnesis secara komprehensif(4). PERJALANAN
PENYAKIT DAN KOMORBIDITAS GPP/H Penelitian follow-up jangka panjang anak dengan
GPP/H hingga remaja dan dewasa awal menunjukkan bahwa GPP/H seringkali menetap d
an berhubungan dengan disfungsi dan psikopatologi yang bermakna dalam kehidupann
ya di kemudian hari. Remaja dan dewasa muda GPP/H berrisiko untuk gagal sekolah,
kesulitan emosional, hubungan buruk dengan teman sekolah dan sering bermasalah
dengan hukum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah agresi dan perilaku
di masa kanak-kanak merupakan prediksi menetapnya GPP/H di kehidupan remaja dan
dewasa muda, namun demikian masih relatif sedikit yang diketahui mengenai faktor
- faktor risiko yang menentukan perkembangan GPP /H(2). Secara rata-rata, gejala
menurun sekitar 50% setiap 5 tahun antara usia 10 hingga 25 tahun. Hiperaktivit
as sendiri menurun lebih cepat ketimbang impulsivitas dan inatensi(1). Sejumlah
kondisi psikiatri dapat terjadi bersamaan dengan GPP/H. Antara 10% hingga 20% an
ak dengan GPP/H baik dari sampel komunitas dan klinis menderita gangguan mood, 2
0% menderita gangguan perilaku dan lebih dari 40% mungkin mendenta ODD (gangguan
perilaku menentang). Hanya sekitar 7% pasien GPP/H menderita sindrom tik atau T
ourrette, tetapi 60% dari pasien sindrom Tourrette menderita GPP/H, yang memuncu
lkan kemungkinan adanya etiologi bersama. Gangguan belajar (terutama gangguan me
mbaca) dan intelegensia subnormal juga meningkat dalam populasi total GPP/H atau
sebaliknya. Secara keseluruhan mungkin 65% anak-anak GPP/H akan memiliki 1 atau
lebih kondisi komorbid, yang mungkin tidak akan dikenali tanpa melakukan evalua
si dan anamnesis yang memadai.Suatu penelitian prospektif penderita GPP/H diband
ingkan dengan kelompok kontrol selama rata-rata 16 tahun mendapatkan peningkatan
11 kali menetapnya gejala GPP/H (11% lawan 1%), peningkatan 9 kali terjadinya g
angguan kepribadian antisosial (18% lawaan 2%) dan angka gangguan penyalahgunaan obat 4 kali lebih tinggi (16% lawan 4%). Prediktor terkuat menetapn
ya psikopatologi adalah komorbiditas psikiatrik dan adanya riwayat keluarga GPP/
H(1). FARMAKOTERAPI PADA GPP/H Psikostimulansia mempunyai tempat yang unik dalam
psikofarmakologi pediatrik(5). Walaupun terdapat lebih dari 150 penelitian terk
ontrol mengenai stimulansia dengan subyek lebih dari 5000 anak-anak, remaja dan
dewasa, sebagian besar penelitian terbatas pada anak laki-laki kulit putih, usia
laten dan tidak lebih lama dari 2 bulan. Penelitian-penelitian ini mencatat efe
ktifitas dan keamanan stimulansia pada semua kelompok usia terutama pada anak us
ia laten, tetapi secara konsisten juga melaporkan bahwa rata-rata 30% anak-anak
dengan GPP/H tidak memberikan respons terhadap obat-obat (stimulan) ini. Sejauh
ini methylphenidate merupakan stimulansia yang paling banyak diteliti, meskipun
demikian beberapa pasien mungkin lebih menunjukkan respons terhadap satu stimula
nsia daripada dengan stimulansia yang lain(2). Macam-macam stimulansia yang umum
nya diresepkan untuk terapi GPP/H pada anak serta sediaan yang tersedia dan stra
tegi penentuan dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 3. Di Indonesia st
imulansia yang beredar saat ini adalah methylphenidate (Ritalin), penggunaan untu
k anak usia sekolah dianjurkan dimulai dengan dosis 5 mg bid diberikan sebelum s
arapan pagi dan makan siang karena methylphenidate umumnya efektif untuk 3 sampa
i 4 jam. Bila perlu, dosis ditingkatkan secara bertahap 5-10 mg/minggu. Pasien u

sia sekolah umumnya sudah berrespons pada dosis 0,3-0,8 mg/kgbb. Dosis yang lebi
h tinggi dapat menimbulkan efek buruk pada konsentrasi dan belajar(1). Saat ini
tersedia preparat methylphenidate sustained release untuk mempermudah dan mening
katkan ketaatan pasien dalam minum obat, tetapi pemberian obat di siang hari ole
h guru di sekolah dapat membuat anak menjadi malu sehingga menyulitkan keteratur
an berobat pasien(1). Biederman dan kawan-kawan telah melakukan penelitian terko
ntrol, acak menggunakan methylphenidate 0,1 mg/kg/ hari pada dewasa dengan GPP/H
DSM III-R onset anak-anak penilaian menggunakan instrumen baku terpisah atas GP
P/H saja, GPP/H dengan depresi dan GPP/H dengan anxietas didapatkan respons tera
pi yang nyata dibandingkan plasebo (78% banding 4%) respons terhadap methylpheni
date tidak tergan-tung pada jenis kelamin, komorbiditas psikiatri atau riwayat g
angguan psikiatri lainnya(2). Walaupun stimulansia mengakibatkan anoreksia dan p
enurunan berat badan, pengaruhnya pada pertambahan tinggi badan kurang pasti. La
poran terdahulu menunjukkan penurunan pertumbuhan tinggi badan yang menetap yang
berhubungan dengan stimulansia, tetapi laporan lainnya tidak dapat membuktikann
ya. Tinggi akhir anak tampaknya tidak terpengaruh, tetapi tidak ada yang menelit
i pengaruh stimulansia pada pertumbuhan anak yang diterapi jangka panjang secara
terusmenerus dari anak-anak sampai dewasa muda. Lebih lanjut, defisit pertumbuh
an dapat merupakan cermin keterlambatan pematangan yang berkaitan dengan GPP/H i
tu sendiri (yakni dismaturitas) ketimbang terapi stimulansia(2,6).
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

A Diagnosis dan Evaluasi Anak dengan Gangguan PemusatanPerhatian/Hiperaktivitas(


4) Algoritma Klinik
1 Klinisi di pelayanan primer: pertimbangkan GPP/H pd anak yg datang dg keluhan
sbb: Tak dapat duduk tenang/hiperaktif Kurang atensi/konsentrasi yg buruk /tampa
k spt tdk mendengarkan/melamun Bertindak tanpa berfikir/impulsif Problem perilak
u Penilaian di keluarga: Pencatatan elemen khusus dgn wawancara atau gunakan cbe
cklist GPP/H: Pencatatan harus meliputi o inatensi; hiperaktivitas dan impulsivi
tas dalam 2 situasi/lebih o usia onset o lamanya gejala o derajat hendaya fungsi
onal Penilaian di Sekolah: Penilaian elemen khusus o inatensi ; hiperaktivitas d
an impulsivitas Gunakan checklist (btk singkat) perilaku GPP/H Ax dari guru meli
puti o perilaku dalam kelas o pola belajar o intervensi dalam kelas o derajat he
ndaya fungsional Bukti pekerjaan di sekolah o kartu laporan o sampel pekerjaan s
ekolah
Anak usia 6-12 th datang dengan orang tua atau guru yang memprihatinkan prestasi
akademik yang rendah dan/atau perilaku khusus ATAU klinisi menilai kondisi-kond
isi ini selama skrining kesehatan
2
Penilaian anak oleh klinisi di pelayanan primer meliputi: Ax dan Pmx baku Pmx ne
urologik Penilaian di keluarga Penilaian di sekolah
Memenuhi kriteria GPP/H DSM IV harus meliputi apakah gejala berpengaruh secara f
ungsional dan pd performa dalam 2 situasi /lebih dalam 6 bl terakhir
3
Apakah anak memenuhi kriteria GPP/H DSM IV?
Ya
Ke Box 8
Tidak
Apakah tdp bukti variasi atau masalah perkembangan ata u kondisi lain
Ya
Nilai dan terapi
Tidak Nilai ulang pasien/ keprihatinan orang tua
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 35

B
Lanjutan dari box 4 Kondisi yg berhubungan/menyertai) dpt meliputi: Ggn belajar/
bahasa ODD Ggn perilaku Anxietas Depresi Kondisi lain
8
9 12
Apakah terdapat kondisi yg berkaitan
Ya
Nilai kondisi yg menyertai
Tidak
10
Diagnosis GPP/H Kondisi yg menyertai dpt dikonfirmasi?
13
Ya
15
Dx GPP/H & kondisi yg menyertai
11
Edukasi orang tua/ pasien dan terapi
Tidak
14
Kembali ke box 10
16
Edukasi orang tua/ pasien dan terapi
Tabel 3. Psikostimulansia yang umumnya diresepkan untuk terapi GPP/H pada pasien
pediatri; sediaan yang tersedia dan strategi penentuan dosis yang dianjurkan* O
bat Methylphenidate Dextroamphetamine Adderall
d
Sediaan tablet (mg) 5, 10, 20 5, 10, 15 10, 20 18,75; 37,5; 75
Dosis awal 5mg bid 5 mg qd atau bid 5 mg qd atau bid 37,5 mg qam
Interval antar dosis 3-4 4-6 4-6
Kecepatan titrasi (mg/mgg) 5-10 5 5 18,75
Pemoline
Dosis terapetik umumnya a 0,3-0,8 mg/kg/dosisb 0,2-0.5 mg/kg/dosisc 0,15-0,4 mg/
kg/dosis 1-2 mg/kg/harif
* Diambil dari referensi 1; di Indonesia yang tersedia adalah methylphenidate (R
italin ) a Remaja dapat memerlukan dosis mg/kg lebih rendah daripada pasien usia
sekolah. b Total dosis harian lebih dari 60 mg tidak dianjurkan. c Hanya kasus j
arang yang memerlukan lebih dari 40 mg/hari d Terdiri dari bagian yang sama amfe
tamin aspartat, amfetamin sulfat, dextroamfetamin sacharat dan dextroamfetamin s
ulfat e Pemoline tersedia dalam bentuk tablet kunyah f Dosis harian maksimum 112

,5 mg/hari
ZAT LAIN Zat nonstimulansia yang telah diteliti secara luas untuk pengobatan GPP
/H meliputi antidepresan (Tabel 4), agonis dan neuroleptik Antidepressan Tricycl
ic antidepressant (TCA) terutama imipramin dan
desipramin, merupakan komponen farmakoterapi kedua terbanyak untuk GPP/H. Dua pu
luh sembilan penelitian (18 terkontrol, 11 terbuka) telah mengevaluasi penggunaa
n TCA pada 1016 orang anak dan remaja dan 63 orang dewasa GPP/H. Hampir semua (9
3%) melaporkan sedikitnya perbaikan sedang. Meskipun demikian sebagian besar pen
elitian TCA untuk terapi GPP/H relatif singkat, mulai dari beberapa
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

minggu hingga beberapa bulan, sedikit yang hingga lebih dari 2 tahun. Hasil pene
litian baik jangka panjang maupun jangka pendek sama positifnya(2,6). Untuk desi
pramin, ada laporan kematian mendadak (sudden death) pada anak-anak yang menggun
akan obat ini( 2,5,6). Antidepresan baru bupropion hydrochloride yang memblok re
uptake norepinefrin dan dopamin, secara konsisten dapat menurunkan gejala-gejala
GPP/H pada pasien muda dalam uji klinik terkontrol. Sedangkan fluoxetin, seroto
nin specific reuptake inhibitor (SSRI) masih dipertanyakan efektivitasnya sebaga
i monoterapi pada GPP/H(1,2,5,6).
Tabel 4. Antidepressan dengan berpotensi bermanfaat bagi penderita pediatri deng
an GPP/H(5). Tricyclic antidepressant Amitriptilin Desipramin Imipramin Nortript
ilin a Monoamine Oxidase Inhibitor Bupropion Fluoxetin a Venlafaxine a
a
Walaupun maksud penelitian ini adalah untuk menekankan perlunya batasan kriteria
diagnosis yang lebih baik dan terapi yang efektif pada anak-anak yang sangat mu
da dengan GPP/H, namun tidak ada salahnya digunakan sebagai bahan perbandingan u
ntuk penatalaksanaan GPP/H.
Tabel 5. Obat-obat psikotropik yang digunakan pada anak usia 1-3 tahun dengan GP
P/H berdasarkan frekuensi penggunaannya(7). Nama Generik Obat Methylphenidate hy
drochloride Clonidine hydrochloride Dextroamphetamine sulfate Imipramine hydroch
loride Thioridazine hydrochloride Pemoline Guanfacine hydrochloride Trazodone hy
drochloride Fluoxetine hydrochloride Nortriptyline hydrochloride Venlafaxine hyd
rochloride Sertraline hydrochloride Amitriptyline hydrochloride Buspiron hydroch
loride Bupropion hydrochloride Desipramine hydrochloride Doxepin hydrochloride H
aloperidol Lithium carbonate Nefazodone hydrochloride Risperidone Temazepam Juml
ah anak yang diterapi (N = 223) 73 48 31 24 18 15 9 9 7 6 5 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
Penelitian terkontrol belum pernah dilakukan
Agonis Klonidin mempunyai sifat agonis adrenergik terutama digunakan untuk terapi
hipertensi bermanfaat untuk terapi anak dengan GPP/H. Manfaat tersebut telah di
laporkan pada 4 penelitian, 1 penelitian terbuka, 1 tinjauan retrospektif dan 2
penelitian terkontrol dengan total 122 pasien. Dosis harian yang digunakan 4 sam
pai 5 g/kgbb. (dosis rata-rata 0,2 mg/hari). Semua penelitian melaporkan respons
perilaku positif, 50%-70% subyek sedikitnya menunjukkan perilaku sedang. Akan te
tapi efek pada kognisi masih kurang jelas(2). Neuroleptik Neuroleptik potensi re
ndah seperti thioridazine dan chlorpromazine, juga potensi tinggi seperti halope
ridol mampu menurunkan perilaku disruptif (mengganggu) dalam penelitian terkontr
ol. Akan tetapi karena efek sampingnya dan kenyataan bahwa stimulansia lebih efe
ktif ketimbang antipsikotik, neuroleptik tidak dianjurkan pada GPP/H tanpa kompl
ikasi(5). Rapley dan kawan-kawan melakukan penelitian deskriptif mengenai pola d
iagnosis dan terapi pada 223 anak GPP/H berusia 1-3 tahun dari data klaim Medica
id Michigan. Lebih dari separuhnya menerima pengobatan psikotropik (57%), hanya
sedikit yang mendapat layanan psikologis (27%). Dua puluh dua obat psikotropik y
ang berbeda telah digunakan, 46% menggunakan lebih dari 1 obat psikotropik, 30%
dengan kombinasi yang digunakan secara bersamaan dan 44% kombinasi yang digunaka
n secara berurutan. Obat-obat psikotropik yang digunakan dapat dilihat pada tabe
l 5.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Goldman LS et al. Diagnosis and Treatment of Attention Defi
cit/Hyperactivity Disorder in Children and Adolescent. Council Report. JAMA 1998
; 279: 14 Biederman J. Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder: A Life Span Pe
rspective. J. Clin. Psychiatr. 1998; 59 (Suppl 7) : 4-12 Inu Wicaksono. Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaany
a dalam: Seminar Kesulitan Belajar Bukan Halangan untuk Berprestasi pada Kasus A
nak dengan GPP/H. PPPTKA dan Kandepdiknas Jogjakarta, Februari, 2000. American A
cademy of Pediatrics Clinical Practice Guideline. Diagnosis and Evaluation of th
e Child with Attention Deficit/Hyperactivity Disorder. Pediatrics 2000; 105 (5).
Findling RL, Dogin JW. Psychopharmacology of ADHD. Children and Adolescents. J.

Clin. Psychiatr. 1998 ; 59 (Suppl 7) : 42-8. Biederman J. Psychopharmacology. i


n: Wiener JM (ed.). Textbook of Child &Adolescent Psychiatry. American Psychiatr
ic Press, 1991. Rappley MD et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity D
isorder and Use of Psychotropic Medication in Very Young Children. Arch Pediatr
Adolesc Med. 1999; 153.
4. 5. 6. 7.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 37

HASIL PENELITIAN
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotrop
ika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU
Raharni, Max J. Herman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kes
ehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Masalah penyalahgunaan napza telah mengkhawatirkan, yang jika tidak
segera ditanggulangi merupakan ancaman bagi kesejahteraan generasi yang akan dat
ang. Penanggulangan secara preventif harus dimasyarakatkan dengan berbagai upaya
. Penyalahgunaan napza (narkotika, psikotropika & zat adiktif) adalah pemakaian
obat secara terus-menerus atau sekali-sekali secara berlebihan, serta tidak menu
rut petunjuk dokter. Penyalahgunaan obat tersebut dapat menimbulkan gangguan bai
k badan maupun jiwa seseorang, diikuti dengan akibat sosial yang tidak diinginka
n(1). Korban penyalahgunaan napza di Indonesia akhir-akhir ini cenderung makin m
eningkat dan tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat mampu tetapi telah me
rambah ke kalangan masyarakat kurang mampu baik di perkotaan maupun pedesaan dan
melibatkan tidak hanya pelajar SMU dan mahasiswa tetapi juga pelajar SD(2). Nar
kotika adalah bahan yang diperoleh dari opium mentah (getah yang membeku) dari b
uah tanaman Papaver somniverum L dan telah mengalami proses pengolahan tertentu
(morfin, candu, heroin) selain itu petidin, kokain, ganja juga tergolong bahan n
arkotika (1). Psikotropika adalah beberapa obat atau zat tertentu yang dapat dis
alahgunakan dan dalam keadaan tertentu bisa menimbulkan ketergantungan (adiktif)
misalnya fenobarbital, diazepam, benzodiazepin, amfetamin (1). Zat adiktif lain
adalah nikotin dalam rokok, etanol dalam minuman beralkohol dan pelarut lain ya
ng mudah menguap seperti bensin dan lain-lain. Penyalahgunaan napza merupakan pe
nyakit endemik masyarakat modern, penyakit kronik yang berulangkali kambuh dan m
erupakan gangguan mental adiktif. Semua zat yang termasuk napza menimbulkan adik
si (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat ketergantungan. Berdasarkan data R
umah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, dalam kurun waktu 4 tahun (199
7-2000) 38 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat inap korban napza cenderung meningkat.
Baik pasien rawat jalan maupun rawat inap sebagian besar berpendidikan SLTA (38
% untuk rawat jalan dan 42,5% untuk rawat inap). Sebagian besar (78,1%) berusia
1524 tahun. Jenis napza yang digunakan sangat bervariasi, di antaranya opiat, gan
ja, amfetamin, sedatif hipnotik, inhalansia, alkohol, kokain, atau multipel(3).
Dari hasil penelitian terhadap siswa SMU di Jakarta Timur diketahui pengetahuan
siswa terhadap narkoba, sikap, pengawasan orang tua, hubungan dengan orang tua r
esponden berpengaruh terhadap risiko penyalahgunaan napza (4). Sekolah merupakan
lingkungan formal kedua yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadia
n anak. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, setiap
sekolah mempunyai kebudayaan sendiri yang unik berupa aturan, tata tertib, dan
kebiasaan yang mempengaruhi proses dan cara belajar anak. Dengan demikian kuriku
lum dan peraturan sekolah mempengaruhi kepribadian anak(5). Di sekolah yang tida
k baik dan terutama muatan pendidikan agama dan budi pekertinya minimal, jumlah
murid yang terlibat tawuran dan penyalahgunaan obat lebih banyak dibandingkan de
ngan di sekolah yang kondusif(6). Dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan napz
a perlu dilakukan melalui pola pre-emptif, preventif, represif, treatment dan re
habilitasi serta pola peningkatan partisipasi masyarakat melalui Siskamtibmas Sw
akarsa(7). Faktor -faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan zat pada remaja
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menyalahgunakan napza meliputi faktor
individu (personal) dan faktor lingkungan. Penerimaan masyarakat, keadaan lingku
ngan yang mis kin atau serba kurang dan patologi individual dapat menambah kemun
gkinan penyalahgunaan zat(1). Faktor kepribadian, teman sebaya dan pengaruh oran
g tua berpengaruh kuat

salah satu faktor saja sudah cukup untuk menyebabkan penyalahgunaan napza (8). B
erdasarkan pengertian di atas, penelitian penyalahgunaan napza pada remaja diras
a sangat penting, khususnya faktorfaktor yang berhubungan dengan terjadinya peny
alahgunaan napza pada remaja khususnya di kalangan siswa SMU yang merupakan kelo
mpok yang rawan terhadap penyalahgunaan napza. Penelitian dilaksanakan di SMU Ne
geri kota Bekasi, yang masyarakatnya sangat heterogen serta letaknya yang berdek
atan dengan ibukota Jakarta. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum Mengetahui faktor-fak
tor yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU Negeri di
Kota Bekasi. Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran penyalahgunaan napza di kalan
gan siswa SMU di kota Bekasi. 2. Mengetahui hubungan antara faktor individu yang
meliputi karakteristik remaja (umur, jenis kelamin), pengetahuan dan sikap deng
an penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di Kota Bekasi 3. Mengetahui hubun
gan antara faktor lingkungan yang meliputi lingkungan dalam keluarga (demografi
ayah/ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan
merokok) dan lingkungan luar keluarga (kelompok teman sebaya, penggunaan waktu l
uang) dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di kota Bekasi. 4. Menge
tahui secara bersama -sama hubungan antara faktor individu yang meliputi k arakt
eristik remaja, pengetahuan, sikap dan faktor lingkungan yang meliputi demografi
ayah /ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaa
n merokok, kelompok teman sebaya, penggunaan waktu luang dengan terjadinya penya
lahgunaan napza di kalangan siswa SMU di Kota Bekasi. BAHAN DAN METODE Penelitia
n potong lintang dilakukan di SMU Negeri di Kota Bekasi. Penelitian ini terbatas
pada masalah penyalahgunaan napza dan faktor-faktor yang berhubungan dengan fak
tor individu (umur, jenis kelamin, pengetahuan, sikap) dan faktor lingkungan yai
tu lingkungan dalam keluarga (demografi ayah/ibu, keharmonisan keluarga, komunik
asi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan merokok), dan lingkungan luar keluarga (
kelompok teman sebaya dan penggunaan waktu luang). Batasan Variabel 1) Pengetahu
an responden : Kemampuan responden untuk menjawab 10 pertanyaan tentang hal-hal
mendasar mengenai penyalahgunaan napza, jenis obat yang sering disalahgunakan, t
ermasuk napza, akibat yang ditimbulkan. 2) Sikap responden : Suatu bentuk reaksi
atau respon terhadap penyalahgunaan obat, yang meliputi pemikiran, perasaan; di
ukur melalui 15 pertanyaan .
Tingkat pendidikan ayah/ibu: Pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh ayah
/ibu responden 4) Pekerjaan ayah/ibu: Usaha yang dikerjakan ayah/ibu responden u
ntuk membiayai keluarganya 5) Keharmonisan keluarga: Hubungan sehari-hari respon
den (adanya pertengkaran, perbedaan paham, perbedaan pendapat) dengan anggota ke
luarga lain. Diukur secara tidak langsung berdasar pendapat responden tentang fr
ekuensi pertengkaran antar orangtua . 6) Komunikasi keluarga: Hubungan sehari-ha
ri yaitu adanya kebiasaan makan bersama, kebiasaan membicarakan masalah dan kebi
asaan berkumpul keluarga seperti menonton TV, olah raga di dalam keluarga respon
den, dengan orangtua, kakak, adik atau anggota keluarga yang lain. 7) Tingkat so
sial ekonomi merupakan gambaran umum ekonomi keluarga responden, yang diukur ber
dasarkan kepemilikan beberapa kelengkapan rumah tangga yang lazim. 8) Kebiasaan
merokok : Ada tidaknya anggota keluarga yaitu ayah, ibu atau saudara serumah yan
g merokok setiap hari. 9) Kelompok sebaya : Keeratan responden dengan teman peny
alahguna obat diukur dengan menanyakan frekuensi pertemuannya. 10) Penggunaan wa
ktu luang: Kegiatan responden di luar waktu sekolah; yang termasuk kegiatan posi
tif adalah ekstrakurikuler, les, olahraga dan yang termasuk kegiatan negatif ada
lah ngobrol, nongkrong. 11) Penyalahgunaan obat: kondisi responden masih menggun
akan napza minimal 1 bulan terakhir saat menjawab kuesioner
3)
Populasi Populasi penelitian adalah siswa SMU Negeri di Wilayah Kotamadya Dati I
I Bekasi. Populasi target diambil secara purposif berdasar kondisi SMU baik dari
segi sosial ekonomi, maupun letak geografi dan sesuai arahan atau kategori SMU
menurut Dinas Pendidikan kota Bekasi yaitu kategori baik, katagori cukup, dan ka
tegori kurang. Sampel Sampel diambil dari populasi yang dipilih dengan karakteri
stik berjenis kelamin pria dan wanita, duduk di kelas satu sampai dengan kelas t
iga SMU negeri, tinggal di wilayah kodya Bekasi. Besar sampel

{Z 1-a/2 vPo(1-Po)+Z 1- vPa(1-Pa)} N = -----------------------------------------------(Pa-Po)


Keterangan : N = besar sampel minimal a = 5%; Z 1-a = 1,96 = 20%; Z 1- = 0,84 Po
= 0,10 Pa-Po = 0,05 a = Probabilitas kesalahan menolak Ho, seharusnya Ho tidak d
itolak. = Probabilitas kesalahan tidak menolak Ho, seharusnya Ho ditolak
Dengan menggunakan rumus di atas, didapat jumlah sampel minimal 385. Pengambilan
sampel secara simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara su
rvai, dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 39

Analisis
t. HASIL
Tabel 1.
napza Ya

Data Dilakukan secara bertahap yaitu univariat, bivariat dan multivaria


PENELITIAN
Gambaran penyalahgunaan napza berdasarkan kategori SMU Menyalahgunakan
Tidak 12 77 9 135 44 109 65 321

terhadap penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di antaranya adalah: Jenis k


elamin, umur, pengetahuan, komunikasi, teman sebaya, penggunaan waktu luang. Ana
lisis Multivariat Analisis menggunakan analisis multipel regresi logistik pada t
ingkat kepercayaan 95%. Variabel independen yang masuk sebagai kandidat dalam mo
del adalah yang mempunyai hubungan bermakna dengan variabel dependen (penyalahgu
naan napza, p< 0,25), yaitu jenis kelamin, umur, pengetahuan, sikap, pekerjaan a
yah, pekerjaan ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, kebiasaan meroko
k, sosial ekonomi, teman sebaya, waktu luang. Hasil analisis dapat dilihat pada
tabel 3. Kemudian dilakukan penentuan model faktor penentu penyalahgunaan napza
dengan cara semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama (tabel 4). Mod
el terbaik mempertimbangkan 2 penilaian yaitu nilai rasio log-likelihood (p< 0,0
5) dan nilai signifikansi p wald (p< 0,05) Variabel yang mempunyai p wald > 0,05
dikeluarkan dari model, pengeluaran variabel secara bertahap satu persatu dimul
ai variabel yang p nya tertinggi. Pemilihan variabel yang berhubungan dengan pen
yalahgunaan napza
Tabel 3. Model standar regresi logistik multivariat tentang faktor-faktor yang b
erhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU
Variabel Jns kelamin Umur Pengetahuan Sikap Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Keharmo
nisan kel Komunikasi kel Sosial ekonomi Kebiasaan rokok Teman sebaya Waktu luang
OR 17,83 11,87 4,87 0,52 2,48 0,59 4,26 4,85 6,78 ,79 4,31 25,06 SE ,6120 ,6276
,4684 ,4529 ,7909 ,4610 ,7424 ,6424 1,169 ,5408 ,5308 ,5189 B 2,88 2,47 1,58 -,
65 ,91 -,52 1,45 1,58 1,91 -,23 1,46 3,22 P 0,0000 0,0001 0,0007-0,15 20 0,2513
0,2565 0,0508 0,0139 0,1016 0,6718 0,0059 0,0000 95% CI 5,372 59,167 3,471 40,63
3 1,943 12,187 ,215 1,269 ,526 11,674 ,240 1,463 ,995 18,271 1,378 17,093 0,685
67,078 ,275 2,295 1,522 12,196 9,782 67,079
Kategori SMU SMU baik SMU cukup SMUkurang Jumlah
% pengguna 13,48 6,25 28,00 16,84
Analisis Bivariat Hubungan beberapa variabel dengan penyalahgunaan napza terliha
t pada tabel 2.
Tabel 2. Hubungan faktor individu (jenis kelamin, umur, pengetahuan, sikap) dan
faktor lingkungan dengan penyalahgunaan napza
Menyalahgunakan napza Ya Tidak Jumlah % Jumlah % 60 5 59 6 38 27 21 44 28,8 2,8
19,7 6,9 22,5 12,4 11,9 21,1 148 173 240 81 131 190 156 165 71,2 97,2 80,3 93,1
77,5 87,6 88,1 78,9 P OR 95% CI
Faktor individu Jenis kelamin *Laki-laki *Perempuan Umur * > 17 tahun * < 17 tah
un Pengetahuan * Buruk * Baik Sikap *Negatif *Positif Faktor Lingkungan Pendidik
an ayah *Rendah *Tinggi Pendidikan ibu *Rendah *Tinggi Pekerjaan ayah *Tidak Bek
erja *Bekerja Pekerjaan ibu *Tidak Bekerja *Bekerja Keharmonisan *Tidak harmonis
*Harmonis Komunikasi *Buruk *Baik Sosial ekonomi *Tinggi *Rendah Kebiasaan roko
k *Ya *Tidak Teman sebaya *Bergaul *Tidak gaul Waktu luang *Kegiatan negatif *Ke
giatan positif
0,000
14,03 5,488- 35,849
0,008
3,42
1,381-7,976

0,013
2,04
1,188-3,507
0,023
0,51
0,287-0,887
7 58 10 55 5 50 38 27 62 3 11 54 63 2 52 13 48 17 56 9
20,6 16,5 8,4 20,6 41,7 16,0 13,5 26,0 20,7 3,4 28,2 15,6 18,1 5,3 21,8 8,8 30,2
7,5 37,6 3,8
7 294 109 212 17 314 244 77 237 84 28 293 285 36 187 134 111 210 93 228
79,4 83,5 91,6 79,4 58,3 84,0 86,5 74 79,3 96,6 71,8 84,4 81,9 94,7 78,2 91,2 69
,8 92,5 62,4 96,2
0,710
0,761
,316-1,830
0,269
1,48
0,806-2,715
-2 log likelihood = 155,431
0,052 0,27 0,082-0,871
G = 194,540
p-value = 0,000
0,006
2,52
1,291-3,925
Tabel 4. Model akhir regresi logistik multivariat tentang faktor-faktor yang ber
hubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU tanpa menyertakan var
iabel interaksi (rencana model) Variabel Jenis kelamin Umur Pengetahuan Komunika
si Teman sebaya Waktu luang OR 29,77 9,89 4,52 5,15 5,55 26,62 SE ,5783 ,5755 ,4
329 ,5971 ,4682 ,4940 B 3,39 2,29 1,51 1,64 1,70 3,28 P ,0000 ,0001 ,0005 ,0061
,0003 ,0000 95% CI 9.586 92,482 3,203 30,572 1,934 10,552 1,596 16,583 2,197 13,
775 10,107 70,089
0,000
7,33

2,239-23,959
0,076
2.13
0,101-4,537
0,075
3,98
0,934 -16,959
-2 log likelihood = 167,266
0,002 2,87 1,501-5,474
G = 182,705
p-value = 0,000
0,000
5,34
2.930-9,720
0,000
15,26 7,240-32,100
Tabel 2 adalah model akhir tanpa menyertakan variabel interaksi yaitu faktor-fak
tor yang dianggap cukup berpengaruh 40 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
Pengujian interaksi Dengan mengacu pada Tabel 4 maka langkah selanjutnya adalah
mencari interaksi dari setiap variabel independen tersebut, sehingga diperoleh v
ariabel yang berinteraksi dengan ketentuan p < 0,05. (Tabel 5). Hasil analisis i
nteraksi tahap pertama antara rencana model dengan variabel interaksi teman seba
ya*jenis kelamin terhadap penyalahgunaan napza terlihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Variabel independen yang berinteraksi menggunakan metode determinan Var


iabel independen Teman sebaya Interaksi Teman sebaya *jenis kelamin Teman sebaya
*pengetahuan Teman sebaya *waktu luang
Tabel 6. Hasil analisis regresi logistik antara va riabel jenis kelamin, umur, p
engetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya*jenis kelamin (full model tahap per
tama)
Variabel Jenis kelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang Tmns
by/jnskel OR 35871,51 8,93 4,38 5,29 9512,86 27,89 0,0004 SE 20,503 ,569 ,428 ,6
31 20,509 ,493 20,514 B 10,488 2,189 1,478 1,666 9,160 3,328 -7,909 P ,6090 ,000
1 ,0005 ,0083 ,6551 ,0000 ,6998 95% CI ,000 1,023E+22 2,922 27,278 1,896 10,139
1,536 18,231 ,000 2,728E+21 10,617 73,2 84 ,000 1,063E+14
0,05,berarti tidak berbeda signifikan. Dengan demikian variabel interaksi ini ti
dak masuk dalam model akhir multivariat. Analisis interaksi mulai dari tahap per
tama sampai tahap ke tiga seperti diuraikan di atas, ternyata menunjukkan tidak
ada interaksi. Adapun model akhir dari seluruh rangkaian dan tahapan analisis mu
ltivariat adalah kembali pada rencana model tanpa ada interaksi (Tabel 9).
Tabel 9. Model akhir analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin, um
ur, pengetahuan, komunikasi keluarga, waktu luang, dengan penyalahgunaan napza V
ariabel Jnskelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang OR 29,77
9,89 4,52 5,15 5,55 26,62 SE ,5783 ,5755 ,4329 ,5971 ,4682 ,4940 B 3,39 2,29 1,
51 1,64 1,70 3,28 P ,0000 ,0001 ,0005 ,0061 ,0003 ,0000 95% CI 9.586 92,482 3,20
3 30,572 1,934 10,552 1,596 16,583 2,197 13,775 10,107 70,089
-2 Loglikelihood = 160,909
G = 6,356
p-value = 0,117
Setelah dimasukkan variabel interaksi teman sebaya,jenis kelamin ke dalam model,
nilai p variabel teman sebaya,jenis kelamin > 0,05, berarti tidak berbeda signi
fikan. Selain itu terjadi kelainan nilai OR dan CI pada variabel jenis kelamin d
an teman sebaya. Nilai OR jenis kelamin menjadi 35871,51 dan 95%CI menjadi tidak
terhingga. Dengan demikian variabel interaksi ini tidak masuk dalam model akhir
multivariat. Hasil interaksi tahap kedua antara variabel yang masuk dalam renca
na model dengan variabel interaksi teman sebaya, pengetahuan terlihat pada Tabel
7.
Tabel 7. Hasil analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin, umur, pe
ngetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya, pengetahuan (full model tahap kedua
) Variabel Jenis kelamin Umur Pengetahuan Teman sebaya Waktu luang Tmnsby/penget
OR 29,77 9,89 4,52 5,14 5,50 26,61 SE ,5783 ,5755 ,4329 ,5971 ,4682 ,4940 B 3,3
9 2,29 1,51 1,64 1,71 3,28 P ,0000 ,0001 ,0005 ,0061 ,0003 ,0000 95% CI 9,586 92
,428 3,203 30,572 1,934 10,553 1,596 16,583 2,198 13,775 10,107 70,089
-2 log likelihood = 167,266
G = 182,705
p-value = 0,000
Tabel 9 merupakan model akhir bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penyal
ahgunaan napza di kalangan siswa SMU di antaranya adalah : Jenis kelamin, umur,
pengetahuan, komunikasi keluarga, teman sebaya, penggunaan waktu luang. PEMBAHAS
AN Keterbatasan penelitian 1) Penelitian potong lintang (cross sectional) menguk
ur variabel independen dan variabel dependen pada saat bersamaan, sehingga hasil
nya tidak dapat diartikan sebagai hubungan sebab akibat. 2) Banyak faktor yang b
erhubungan dengan penyalahgunaan napza, tetapi hanya beberapa variabel yaitu kar
akteristik remaja, pengetahuan, sikap, pendidikan ayah-ibu, pekerjaan ayah-ibu,

keharmonisan keluarga, komu nikasi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan merokok d


alam keluarga, teman sebaya, dan penggunaan waktu luang yang diukur. 3) Kemungki
nan bias pada penelitian ini adalah bias seleksi yaitu distorsi efek berkaitan d
engan cara pemilihan subyek atas dasar sukarela, kemungkinan subyek terpilih keb
anyakan dari siswa yang menyalahgunakan napza, sehingga terjadi over estimate. S
elain itu bias ketidakjelasan waktu (temporal ambiguity) yaitu hubungan positif
antara penggunaan waktu luang dengan penyalahgunaan napza, mu ngkin merefleksika
n munculnya penggunaan waktu luang setelah subyek menyalahgunakan napza. Instrum
en atau alat ukur yang belum terstandarisasi, sehingga hasilnya mungkin kurang s
esuai dengan keadaan yang sesungguhnya bisa menyebabkan under estimate maupun ov
er estimate. Faktor individu yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza Karakt
eristik (Jenis Kelamin dan Umur) Responden dalam penelitian ini berjumlah 386 or
ang siswa SMU di kota Bekasi laki-laki 53,9% dan perempuan 46,1%, sebagian besar
berumur 17 tahun (44,6%). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan bermakna (p<0
,05) antara jenis kelamin dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR 29,77 artinya
-2 Loglikelihood = 153,945
G = 3,320
pvalue = 0,0684
Terlihat bahwa nilai p variabel interaksi teman sebaya*pengetahuan > 0,05, tidak
signifikan. Sehingga variabel interaksi ini tidak masuk dalam model akhir multi
variat.
Tabel 8. Hasil analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin, umur, pe
ngetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya,waktu luang (full model tahap ketiga
) Variabel Jenis kelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang Tm
nsby/luang OR 30,40 9,71 4,36 5,13 9,90 46,29 ,44 SE ,5766 ,5697 ,4338 ,6135 ,88
48 ,8727 1,0061 B 3,41 2,27 1,47 1,63 2,29 3,84 -,82 P ,0000 ,0001 ,0007 ,0077 ,
0096 ,0000 ,4130 95% CI 9,821 94,125 3,178 29,651 1,861 10,193 1,540 17,064 1,74
8 56,088 8,369 256,061 ,061 3,153
- 2 Loglikelihood = 183,412
G = 0,707
p-value = 0,4005
Hasil interaksi tahap ke tiga antara variabel interaksi dengan variabel yang mas
uk dalam rencana model terlihat pada Tabel 8. p variabel interaksi teman sebaya/
waktu luang >
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 41

siswa laki-laki berpeluang 29,77 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza di
banding siswa perempuan. Hasil analisis dari kelompok umur menunjukkan hubungan
bermakna (p<0,05) antara umur dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR 9,89 artinya
siswa yang berumur 17 tahun ke atas berpeluang 9,89 kali lebih besar untuk meny
alahgunakan napza dibanding siswa SMU yang berumur kurang dari 17 tahun. Perbeda
an jenis kelamin dalam perilaku kenakalan remaja menunjukkan bahwa remaja pria c
enderung lebih nakal dibandingkan dengan remaja perempuan (Simon, 1996). Pengeta
huan tentang napza Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna an
tara pengetahuan tentang napza dengan terjadinya penyalahgunaan napza (p< 0,05).
Nilai OR 4,52 artinya ada kecenderungan siswa yang berpengetahuan buruk tentang
napza berpeluang sebesar 4,52 kali untuk menyalahgunakan napza dibanding dengan
siswa yang pengetahuannya baik tentang napza . Hasil ini berbeda dengan Tarigan
(2000) 61,6% kelompok penyalahguna napza mempunyai pengetahuan baik dan 38,4% m
empunyai pengetahuan buruk serta 72,2% kelompok penyalahguna menggunakan napza p
ada awalnya hanya karena ingin tahu. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan kare
na metode penelitiannya lain yaitu kasus kontrol, dan cara pengambilan sampelnya
berdasar kriteria kasus dan kontrol, sedangkan pada penelitian ini pengambilan
sampel secara acak dan menggunakan metode potong lintang. Faktor Lingkungan yang
Berhubungan dengan Penyalahgunaan Napza Komunikasi keluarga Sebagian besar resp
onden berada dalam keluarga yang komunikasinya buruk (89,9%). Hasil analisis men
unjukkan ada hubungan bermakna antara komunikasi keluarga dengan penyalahgunaan
napza (p<0,05). Nilai OR 5,15 artinya siswa yang komunikasi keluarganya buruk be
rpeluang 5,15 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibandingkan dengan s
iswa yang komunikasi keluarganya baik Komunikasi dalam keluarga sangat penting u
ntuk kesejahteraan dan keharmonisan keluarga. Komunikasi yang efektif sangat dib
utuhkan oleh remaja untuk menyelesaikan tahap perkembangannya, sehingga pengerti
an, perhatian, dan penerimaan lingkungan terhadap keberadaannya juga sangat dibu
tuhkan. Keluarga merupakan fundamen yang pertama dan utama bagi pembentukan jiwa
anak (Darwis, 2000) Pergaulan dengan teman sebaya yang menggunakan napza Sebany
ak 49,0% responden mempunyai teman yang menggunakan napza, sedangkan 58,8% respo
nden tidak pernah bergaul dengan penyalahguna napza; 22 % tiap hari bergaul deng
an pengguna napza . Ada hubungan bermakna antara pergaulan teman sebaya dengan p
enyalahgunaan napza (p < 0,05).Nilai OR 5,55 artinya siswa yang bergaul dengan t
eman sebaya pengguna napza berpeluang 5,55 kali menyalahgunakan napza dibanding
siswa yang tidak pernah bergaul dengan teman sebaya pengguna 42 Cermin Dunia Ked
okteran No. 149, 2005
napza. Para remaja mulai belajar mencari identitas diri dan biasanya mereka menc
oba melonggarkan ikatan dengan orang tua, sehingga ada dorongan untuk bergaul de
ngan teman sebayanya kadang mereka mencoba napza agar bisa diterima sebagai angg
ota kelompok sebaya. Penerimaan oleh kelompok sebaya memberi rasa bangga dan men
ingkatkan harga diri. Penggunaan waktu luang Responden yang menggunakan waktu lu
ang untuk les sebanyak 33,9%,21,2% untuk kegiatan ekstrakurikuler dan 20,5% digu
nakan untuk nongkrong. Hasil analiisis menunjukkan hubungan bermakna antara peng
gunaan waktu luang dengan penyalahgunaan napza (p<0.05). Nilai OR 26,62 artinya
siswa yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan negatif berpeluang 26,62 kali
lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibanding siswa yang menggunakan waktu l
uang untuk kegiatan positif. Kegiatan negatif menambah risiko penyalahgunaan nap
za. Pembahasan hasil analisis multivariat Analisis multivariat bertujuan untuk m
endapatkan model terbaik dalam menentukan determinan penyalahgunaan napza. Dalam
pemodelan ini semua variabel kandidat diikutsertakan dalam model secara bersama
-sama. Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara semua variabel yang
telah lolos sensor dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang nilai p nya
tidak signifikan dikeluarkan dari model secara bertahap dimulai dari nilai p ya
ng terbesar. Setelah melalui seluruh tahapan analisis dengan memperhitungkan ada
nya variabel interaksi, maka variabel yang masih tetap bertahan sampai model akh
ir multivariat adalah jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi, pergaulan te
man sebaya, penggunaan waktu luang, karena semuanya memiliki p<0,05, berarti ke
enam variabel tersebut berhubungan secara signifikan dengan penyalahgunaan napza
. Nilai OR masing masing adalah OR jenis kelamin = 29,77; OR umur = 9,89; OR pen

getahuan = 4,52; OR komunikasi keluarga = 5,15; OR pergaulan teman sebaya = 5,55


; dan OR penggunaan waktu luang 26,62. Dari keenam variabel signifikan di atas,
jenis kelamin merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan penyalahgu
naan napza, berikutnya adalah penggunan waktu luang, umur, pergaulan teman sebay
a, komunikasi keluarga, dan pengetahuan. Tidak ditemukannya beberapa variabel ya
ng diduga berhubungan dengan penyalahgunaan napza,mungkin karena kesalahan pengi
sian kuesioner,keterbatasan penelitian,atau responden tidak jujur dalam mengisi
kuesioner. KESIMPULAN 1) Faktor jenis kelamin OR 29,77 artinya siswa SMU lakilak
i 29,77 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibandingkan dengan siswa SMU p
erempuan setelah variabel umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, pergaulan tema
n sebaya, penggunaan waktu luang, dikendalikan. Jenis kelamin merupakan faktor y
ang paling dominan berhubungan dengan penyalahgunaan napza.

2) Faktor umur OR 9,89 artinya siswa SMU berumur 17 tahun ke atas 9,89 kali lebi
h mungkin menyalahgunakan napza dibandingkan siswa SMU berumur kurang dari 17 ta
hun, setelah variabel jenis kelamin, pengetahuan, komunikasi keluarga, pergaulan
teman sebaya, dan penggunaan waktu luang dikendalikan. 3) Faktor pengetahuan OR
4,52 artinya siswa SMU yang berpengetahuan buruk tentang napza 4,52 kali lebih
mungkin menyalahgunakan napza dibandingkan siswa SMU yang berpengetahuan baik te
ntang napza, setelah variabel jenis kelamin, umur, komunikasi keluarga, pergaula
n teman sebaya dan penggunaan waktu luang dikendalikan. 4) Faktor komunikasi kel
uarga OR 5,15 artinya siswa SMU yang komunikasi keluarganya buruk 5,15 kali lebi
h mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang komunikasi keluarganya
baik, setelah variabel jenis kelamin, umur, pengetahuan, pergaulan teman sebaya,
dan penggunaan waktu luang dikendalikan. 5) Faktor pergaulan teman sebaya OR 5,
50 artinya siswa SMU yang bergaul dengan teman sebaya pengguna napza 5,50 kali l
ebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang tidak pernah bergaul
dengan teman sebaya pengguna napza setelah variabel jenis kelamin, umur, penget
ahuan, komunikasi keluarga, dan penggunaan waktu luang, dikendalikan. 6) Penggun
aan waktu luang OR 26,62 artinya siswa SMU yang menggunakan waktu luang untuk ke
giatan negatif 26,62 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa SM
U yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan positif setelah variabel jenis kel
amin, umur, pengetahuan, komunikasi keluarga dan pergaulan teman sebaya dikendal
ikan. SARAN 1. Bagi Dinas Dikbud, perlu meningkatkan program intervensi penanggu
langan masalah penyalahgunaan napza dalam bentuk penyuluhan kepada siswa SMU mel
alui pendekatan lintas sektoral melibatkan Departemen Kesehatan, Kehakiman dan K
epolisian. 2. Perlu dilakukan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, mengundang or
ang tua murid untuk mencari cara mencegah penyalahgunaan napza.
3. Perlu lebih meningkatkan pengawasan orang tua terhadap anak, terutama pada ke
giatan waktu luang. 4. Disarankan untuk suatu penelitian kualitatif lebih lanjut
, sehingga paduan kedua penelitian akan sangat bermanfaat sebagai masukan ke ins
titusi SMU, melalui dinas Dikbud.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Depkes RI. Pemuda dan Narkoba. Jakarta, 1
991. Depkes RI. Laporan Tahunan Kunjungan Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap Ruma
h Sakit Ketergantungan Obat. Jakarta, 2000. Depkes RI. Pedoman Penyebarluasan In
formasi Tentang Pencegahan Penyalahgunaa Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif
lainnya, Buku Pegangan Bagi Pendidik, 1999/2000 Tarigan B. Faktor-faktor yang m
empengaruhi Penyalahgunaan Narkoba di kalangan murid SMU di Jakarta Timur, 2000.
Yatim DI. Kepribadian, Keluarga dan Narkotika, Tinjauan Sosial Psikologis. Jaka
rta: Arcan, 1990, Hawari D. Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotik, Alkohol
dan Zat Adiktif (NAZA), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001. Wresnow
iro M dkk. Masalah Narkotika & Obat Berbahaya. Yayasan Mitra Bintibmas, Jakarta,
2000, Brook, dikutip oleh Wetner IB. Child and Adolescent Psychopathology. Ch.
13: Alcohol and Drug Abuse. New York:Jhon Wiley & Sons Inc. 1982. Depkes RI. Ped
oman Penyebarluasan Informasi Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psiko
tropika dan zat Adiktif lainnya, Buku Pegangan Bagi Tokoh Masyarakat Orang Tua,
Organisasi kemasyarakatan/LSM, Jakarta, 1999/2000. Syahrudin D dkk. Mari bersatu
memberantas bahaya penyalahgunaan narkoba (NAZA). BP, 1999. Berk EL. Developmen
t through the Lifespan. Allyn & Bacon, A Viacom Company USA, 1998. Ariawan I. Be
sar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan Biostatistik dan Kepend
udukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 1998, Hawkins D et
al. Childhood predictors and the prevention of adolescent substance abuse. dalam
Jones CL dkk. Research Monograph Series 56. Research Analysis and Utilization S
ystem Etiology of Drug Abuse Implication for Prevention, National Institute On D
rug Abuse, 1985. Kaplan HI, Sadock, BJ. Personality Disorder of Drug Dependence,
Modern Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry-III. Baltimore, London:
Williams and Wilkins, 1982,
10. 11. 12. 13.
14.

UCAPAN TERIMAKASIH Disampaikan kepada Prof. DR. Nuning M Kiptiyah dan Dra. Evie
Martha,Mkes atas segala bimbingannya. Juga kepada pimpinan kepala sekolah SMU Ne
geri di Kota Bekasi atas bantuan dan partisipasinya sehingga penelitian ini dapa
t selesai dengan baik.
All truth is not to be told at all times
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 43

HASIL PENELITIAN
Pengaruh Pendedahan Morfin Terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus)
Swiss-Webster
Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri*
Sarjana Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung *Pusat Penelitian dan Pen
gembangan Pemberantasan Penyakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Morfin diperoleh dari opium yang merupakan getah buah Papaver somnif
erum muda yang dikeringkan. Opium tersebut mengandung lebih dari 20 alkaloid, te
rutama morfin. Pohon P. somniferum ditanam di seluruh dunia termasuk Eropa yaitu
di bekas negara Yugoslavia Asia yaitu di Iran, Myanmar, IndoChina, India dan Pa
kistan serta di Amerika yaitu di Amerika Latin sampai Meksiko(1). Pada awalnya p
ohon ini dibudidayakan di negeri Arab untuk menghasilkan opium yang digunakan un
tuk obat disentri. Pada pertengahan abad ke-17 opium mulai masuk ke Eropa, dan p
ada abad ke-18 mulai populer digunakan sebagai rokok di Asia (2). Morfin pertama
kali diisolasi pada tahun 1803 oleh seorang farmakolog Jerman Friedrich Serturn
er untuk kepentingan pengobatan sebagai obat penghilang nyeri (narcotic analgesi
c) di dunia kedokteran dan sampai sekarang merupakan sumber analgesik utama yang
belum bisa ditandingi. Setelah penemuan jarum dan syringe penggunaan morfin mak
in mudah, sehingga banyak terjadi penyalahgunaan fungsi morfin sampai menyebabka
n kecanduan(3). National Household Survey on Drug Abuse (NHSA) di Amerika menemu
kan bahwa antara tahun 2000 - 2001 jumlah pecandu narkotik termasuk morfin di ka
langan anak muda meningkat 1,1 % pada usia 12-17 tahun dan 2,7 % pada usia 18-25
tahun tetapi tidak ada perubahan yang signifikan pada usia di atas 26 tahun. Di
laporkan juga banyak di antaranya yang kemudian menderita sakit mental serius te
rutama pada perempuan(4). Penggunaan narkotik termasuk morfin di kalangan peremp
uan berisiko sangat tinggi, apalagi pada masa kehamilan. Penggunaan rokok, alkoh
ol, atau obat terlarang pada masa kehamilan berpengaruh negatif pada anak yang d
ilahirkan(5). Morfin beraksi terutama di susunan saraf pusat sebagai 44 Cermin D
unia Kedokteran No. 149, 2005
depresan dan stimulan. Morfin dapat melewati sawar plasenta (placenta barrier) s
ehingga dapat menyebabkan depresi pernafasan, miosis (kontraksi pupil) dan sindr
om penghentian (withdrawal syndrome) pada bayi baru lahir(2). Oleh karena itu, s
angatlah menarik untuk meneliti pengaruh morfin terhadap perkembangan otak anak
yang dilahirkan dari ibu yang kecanduan, karena perkembangan otak anak sebelum l
ahir serta pada awal kehidupannya sangat rentan terhadap pengaruh beberapa zat a
sing. Zat asing (terutama zat toksik) tersebut dapat mempengaruhi perkembangan s
araf di antaranya perubahan struktur sel, fungsi, migrasi, dan diferensiasinya,
dan atau mempengaruhi proses pertumbuhan akson dan dendrit, mekanisme neurokimia
, formasi sinap, dan mielinisasi(6). Zat-zat toksik tersebut dapat menyebabkan k
erusakan permanen pada perkembangan dan fungsi otak, yang mempengaruhi perilaku
dan kemampuan belajar di kemudian hari. Hal tersebut dapat diuji dengan metode n
eurobehavioral test salah satunya adalah behavioral test battery (metode perilak
u berurut), yang terdiri dari uji kemampuan refleks, sensorik, dan motorik pada
bayi baru lahir sebelum masa sapih. Penelitian pengaruh pendedahan morfin terhad
ap perkembangan perilaku telah dilakukan. Morfin dengan tiga dosis berbeda , yai
tu dosis rendah (10 mg/kgbb.), dosis sedang (35 mg/kgbb.), dan dosis tinggi (70
mg/kgbb.) disuntikkan pada tikus Sprague Dawley secara intraperitoneal (i.p) mul
ai umur kebuntingan 5-20 hari. Hasilnya menunjukkan keterlambatan pertumbuhan pa
da grup dengan dosis sedang walaupun untuk semua dosis pengaruhnya tidak dapat d
iamati secara visual(7). Penelitian lain(8) mendedahkan morfin i.p pada tikus de
ngan dosis 20 mg/kgbb. yang kemudian ditingkatkan bertahap hingga 56 mg/kgbb. mu
lai 5 hari sebelum perkawinan sampai umur kebuntingan 16 hari. Hasilnya semua an
akan memperlihatkan sindrom penghentian (withdrawal syndrome). Saat lahir, kondi
si anakan rata-rata memiliki kemampuan

bernafas yang kurang baik, keterlambatan waktu terbukanya mata, dan kematangan s
eks yang terlalu awal pada betina. BAHAN DAN METODA PENELITIAN Rancangan penelit
ian dan analisis data Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental di labora
torium pada mencit Swiss-Webster menggunakan Rancangan Acak Lengkap (completely
randomized design). Terdapat empat kelompok perlakuan yang terdiri dari tiga kel
ompok dosis perlakuan dan satu kelompok kontrol. Perkembangan perilaku anak menc
it diamati mulai umur 5 hari (Post Natal Day-5) sampai 21 hari (PND-21) dengan m
etode Test Perilaku Berurut (Behavioral Test Battery) dengan 6 kali pengulangan
(berdasarkan rumus Federer) untuk setiap kelompok perlakuan sehingga jumlah tota
l mencit betina (dara) yang digunakan adalah 24 ekor. Parameter yang diamati ada
lah persentase keberhasilan kemampuan refleks, kemampuan motorik, kemampuan sens
orik, dan berat badan. Data keberhasilan anak mencit pada refleks membalikkan ba
dan dan berat badan dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA, jika hasilnya berbe
da nyata dengan kontrol dilanjutkan dengan uji t-Dunnet. Data keberhasilan refle
ks menghindari jurang dan geotaksis negatif, serta kemampuan motorik (berenang)
dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis, jika hasilnya berbeda nyata dilanjutk
an dengan uji Multiple Comparison. Data persentase keberhasilan kemampuan motori
k anak mencit (mengangkat badan dan anggota belakang) dan kemampuan sensorik (pe
nglihatan, pendengaran, dan penciuman) masing-masing dianalisis secara deskripti
f. Bahan dan alat Morfin yang digunakan dalam percobaan ini adalah morfin HCl in
jeksi, sedangkan mencit yang digunakan adalah mencit betina (dara) berumur 2-3 b
ulan dengan berat badan 25-35 gram. Mencit-mencit tersebut kemudian dipelihara d
alam kandang dan diberi makan secara ad-libitum. Selanjutnya mencit betina yang
telah diketahui dalam keadaan estrus disatukan dengan mencit jantan dewasa. Bila
pada vulva mencit betina sudah terlihat sumbat vagina, maka hari tersebut dinya
takan sebagai hari ke-1 kebuntingan. Dari masing-masing mencit yang berfungsi se
bagai inang, diambil 3 ekor anak untuk diuji. Perlakuan Hewan Coba Penentuan dos
is disesuaikan dengan berat badan rata-rata mencit tiap kelompok. Dosis morfin y
ang digunakan yaitu 9,8 mg/kgbb./hari 5,6 mg/kgbb./hari; 2,8 mg/kg bb./hari dan
satu kelompok kontrol. Pada umur kebuntingan 7-12 hari, terhitung dari mulai tam
pak sumbat vagina, induk mencit Swiss-Webster diberi suntikan secara s.c menggun
akan alat suntik steril sekali pakai. Setelah melahirkan, berat badan anak-anak
mencit ditimbang satu minggu sekali dan disiapkan untuk pengujian mulai umur 5 h
ari (PND-5) sampai 21 hari (PND-21)(9). Dari tiap anakan dipilih perwakilannya s
ebanyak 3 ekor.
PENGUMPULAN DATA A. Uji Kemampuan Refleks 1. Refleks Membalikkan Badan (Surface
Righting Reflex)(9) Uji ini dilakukan pada anak mencit berumur 5 hari. Anak menc
it yang akan diuji diletakkan terlentang di tempat datar. Waktu yang diperlukan
oleh anak-anak mencit untuk mengubah posisi dari posisi terlentang ke posisi tel
ungkup dicatat dengan stopwatch. 2. Refleks Menghindari Jurang (Cliff Avoidance)
(10) Pengamatan dilakukan pada anak mencit berumur 6 hari. Anak mencit yang akan
diuji diletakkan di atas meja datar tangan dan hidung diletakkan sejajar di tep
i meja tempat anak mencit itu berada. Kemudian diamati reaksi anak mencit dan di
cocokkan dengan skor : - Skor 0 : anak mencit bergerak maju dan menjatuhkan diri
nya ke jurang - Skor 1 : anak mencit diam saja di posisinya - Skor 2 : anak menc
it berhasil menghindari jurang dengan memutar posisi tubuhnya. Laju keberhasilan
dihitung dengan cara mengamati berapa persen anak mencit yang mampu menghindari
jurang. 3. Refleks Geotaksis Negatif (Negative Geotaxis Reflex)(10) Pengamatan
dilakukan pada anak mencit 7 hari. Anak mencit yang akan diuji diletakkan pada s
uatu tempat miring dengan sudut kemiringan 25, kemudian diamati reaksinya dan dic
ocokkan dengan skor : - Skor 0 : anak mencit tidak dapat menahan berat tubuhnya
dan menukik turun ke bagian dasar tempat miring - Skor 1 : anak mencit diam saja
di posisinya - Skor 2 : anak mencit berhasil menahan berat tubuhnya dan memutar
posisi tubuhnya. Laju keberhasilan dihitung dengan cara menghitung berapa perse
n yang berhasil menahan berat tubuhnya dan memutar posisi tubuhnya. B. Uji Kemam
puan Motorik 1. Perkembangan Kemampuan Berenang Pengujian dilakukan terhadap ana
k mencit berumur 8, 10, 12 hari. Anak mencit tersebut dijatuhkan ke dalam bejana
berisi air hangat (27-300C), kemudian diamati gerakannya; hasil pengamatan dico
cokkan dengan skor : Posisi sudut kepala: Skor 0 : menyelam Skor 1 : hidung di a

tas permukaan air Skor 2 : hidung dan kepala bagian atas berada di permukaan/ di
atas permukaan air Skor 3 : seperti pada skor 2, mata telah berada di atas perm
ukaan air, daun telinga -nya berada pada permukaan air. Skor 4 : seperti pada sko
r 3, seluruh bagian daun telinga telah berada di atas permukaan air Arah berenan
g : Skor 1 : mengapung Skor 2 : berenang melingkar Skor 3 : berenang lurus atau
mendekati lurus Skor 4 : tenggelam Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 45

Penggunaan anggota badan: Skor 1 : mengayuh dengan ke-4 anggota badan Skor 2: me
ngayuh hanya dengan anggota belakang, anggota depan dalam posisi diam Skor 3 : t
anpa mengayuh 2. Perkembangan Kemampuan Mengangkat Badan dan Anggota Belakang Pe
ngujian dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari sampai seluruh anak mencit
yang diamati mampu mengangkat badan dan anggota belakangnya sehingga tidak terja
tuh. Anak mencit yang akan diuji, tangannya diletakkan pada kawat dengan diamete
r 2 mm, panjang 20 cm yang direntangkan di antara 2 tiang kayu setinggi 30 cm. K
emudian diamati berapa persen anak mencit yang dapat menggenggam (grasping) dan
mengangkat badan serta kakinya, sehingga tidak terjatuh. C. Uji Kemampuan Sensor
ik 1. Perkembangan Kemampuan Penciuman Pengamatan dilakukan terhadap anak mencit
umur 21 hari. Anak mencit digenggam supaya diam, lalu hidungnya didekatkan ke b
atang kapas (cotton bud) yang telah dicelupkan ke dalam cologne. Hasil positif b
ila anak mencit menghindar dan negatif bila diam saja. 2. Perkembangan Kemampuan
Penglihatan Pengamatan dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari sampai selu
ruh anak mencit yang diuji memberikan tanggapan positif terhadap uji ini. Anak m
encit dipegang ujung ekornya dan didekatkan pada tongkat horizontal dan dijaga m
isainya tidak menyentuh tongkat. Hasil pengujian dinilai positif bila anak menci
t yang diuji mampu meraih tongkat. 3. Perkembangan Kemampuan Pendengaran Pengama
tan dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari sampai seluruh anak mencit yang
diuji memberikan tanggapan positif terhadap uji ini. Tanggapan dinilai positif
bila anak mencit tersentak pada saat kedua batang logam dipukulkan secara diam-d
iam di atasnya. Anak mencit yang belum mendapat giliran, harus dijauhkan dari te
mpat peng-amatan agar tidak terbiasa (terhabituasi) dengan rangsangan bunyi yang
akan diberikan. Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan menunjukkan terdapat kela
inan pada perilaku yang disebabkan oleh kerusakan otak dan tulang belakang. Sele
ngkapnya data yang diperoleh adalah sebagai berikut : A. Uji Kemampuan Refleks U
ji statistik (Tabel 1) menunjukkan bahwa kemampuan refleks anak mencit dalam uji
membalikkan badan, menghindari jurang, dan geotaksis negatif berbeda nyata deng
an kontrol pada dosis 5,6 mg/kgbb./hari dan 9,8 mg/kg bb./hari. Rata-rata reflek
s membalikkan badan anak mencit pada dosis tersebut jauh lebih cepat dibandingka
n kontrol. Hal tersebut terjadi karena morfin yang didedahkan mempengaruhi siste
m
motorik spinalis yang merupakan pengendali tonus otot skelet. Morfin ditemukan d
i terminal akson aferen primer substansia gelatinosa tulang belakang, dan juga d
i nukleus spinal nervus trigeminus(11). Thompson (2002) juga menemukan bahwa let
ak reseptor-reseptor opiat adalah di prosesus aksonal, yaitu di terminal saraf p
resinap. Keberadaan morfin tersebut meningkatkan pelepasan asetilkolin bebas yan
g menyebabkan peningkatan aktivitas spontan motorik(2).
Tabel 1. Kemampuan Refleks Anak Mencit Umur 5,6,7 hari (n=18) Jenis Uji Refleks
membalikkan badan (PND-5) Waktu (detik) Reflek Menghindari Jurang (PND-6) Keberh
asilan Reflek Geotaksis Negatif (PND-7) Keberhasilan Dosis (mg/kg bb./hari) 2,8
5,6
0 (kontrol)
9,8
8,25 0,73

6,08 0,73

5,42 0,88*

3,47 0,52*

100 % 100 %
100 % 100 %

67 %* 67 %*
56 %* 50 %*

Keterangan : (*)= berbeda nyata dengan kontrol, PND=post natal day, rataan

sd

Pada uji menghindari jurang ketidakberhasilan anak mencit ditunjukkan dengan sik
ap diam atau menjatuhkan diri ke jurang (meloncat). Hal tersebut karena morfin m
eningkatkan sintesis dopamin pada neuron-neuron dopaminergik yang tersebar di si
stem limbik sehingga mempengaruhi kelabilan emosi dan menyebabkan depresi(2). Se
lain itu, morfin juga meningkatkan produksi serotonin (5-HT) di nukleus rafe bat
ang otak yang menyebabkan tingkah laku bunuh diri(13). Kerusakan sistem penerima
an nyeri sejak masa kandungan dan pasca lahir akan menimbulkan sikap perusakan d
iri karena ingin merasakan nyeri, dengan cara meloncat, membakar diri, atau mena
brakkan diri(14). Sedangkan dalam uji geotaksis negatif ketidakberhasilan anak m
encit ditunjukkan dengan sikap diam atau tidak bisa menahan berat tubuh sehingga
anak mencit terus turun dengan posisi menukik menuju bawah bidang miring. Hal t
ersebut terjadi karena morfin menghambat motoneuron spinal, menyebabkan anggota
gerak belakang terganggu(15). Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian morfin pada ma
sa kebuntingan tidak berpengaruh pada sudut kepala dan penggunaan anggota gerak
pada saat anak mencit berenang, tetapi berpengaruh terhadap arah berenang. Melin
gkarnya arah berenang anak mencit karena morfin mempengaruhi dan merusak sistem
ekstrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal [korteks serebrum basal ganglia yang ter
diri dari nucleus caudatus, nucleus lentiformis dan globus pallidus merupakan pu
sat gerakan bawah sadar. Fungsinya antara lain memelihara posisi tubuh normal da
n mengatur tonus otot(16). Morfin juga dapat menghambat dan mengeksitasi sel Pur
kinye di otak kecil. Otak kecil merupakan pusat pemelihara keseimbanganan serta
pengatur gerakan sehingga arah berenang menjadi melingkar.
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

B. Uji Kemampuan Motorik 1. Perkembangan Kemampuan Berenang


Tabel 2. Perkembangan Kemampuan Berenang Anak Mencit (PND-8,10,12) Dosis (mg/kg
BB/hari) 5,6 Skor 3 4 1 2 3 18 16 18 2 18 16 2 18
Jenis Uji 1 PND-8 -Sudut -Arah -Penggunaan anggota badan PND-10 -Sudut -arah -Pe
nggunaan anggota badan PND-12 -Sudut -arah -Penggunaan anggota badan
0 (Kontrol Skor 2 3 12 6
2,8 Skor 4 18 1 2
9,8 Skor 4 18 13 5 1 2 3 4 18
18
18 3 18 15 18 4 14
18 6 18 12
18 10 18 8
18
18 18 18 18 1
18 5* 18 13*
18 6* 18 12*
18
Keterangan : (*) = berbeda nyata dengan kontrol, PND=post natal day
2.
Perkembangan Kemampuan Mengangkat badan dan Anggota Belakang
Tabel 3. Persentase keberhasilan anak mencit dalam uji kemampuan mengangkat bada
n pada tiap dosis (%) Dosis Kontrol 2,8 mg/kg bb/hari 5,6 mg/kg bb/hari 9,8 mg/k
g bb/hari 7 0 0 0 0 8 0 5.6 17 22 9 0 11 28 39 10 11 22 50 56 Hari 11 44 44 61 7
2 12 50 89 100 100 13 83 100 100 100 14 100 100 100
Pengamatan deskriptif memperlihatkan tidak satupun yang berbeda dengan kontrol.
Hal tersebut terjadi karena morfin tidak merusak korteks sensorik serebrum karen
a di daerah itu tidak terdapat reseptor opiat. Selain itu, pemberian morfin dila
kukan pada saat neurulasi, saat organ belum terbentuk sehingga morfin tidak meng
ganggu pembentukan organ-organ sensorik.
Tabel 5. Rata-rata perkembangan berat badan anak mencit PND-4,7,14,21 Dosis PND1 1.46 1.51 1.32 1.24 PND-4 2.94 3.01 2.61 2.46 Berat badan (g) PND-7 PND-14 4.5
0 6.84 4.53 6.61 4.03 5.93 3.83 5.67 PND-21 10.37 10.02 9.31 8.91
100
Tabel 3 menunjukkan peningkatan persentase kemampuan mengangkat badan dari hari
ke hari pada semua perlakuan, keberhasilan mengangkat badan terjadi lebih awal p
ada anak mencit yang diberi morfin di antaranya memanjat(2). C. Uji Kemampuan Se
nsorik
Tabel 4. Perkembangan Kemampuan Sensorik Anak Mencit (n=72) Dosis (mg/kg bb./har
i) Jenis Uji Uji Penglihatan PND-14 PND-15 Uji Pendengaran PND-13 PND-14 PND-15
Uji Penciuman - PND-21 0 (Kontrol) 61 % 100 % 56 % 89 % 100 % 100 % 2,8 50 % 100

% 56 % 94 % 100 % 100 % 5,6 50 % 100 % 61 % 89 % 100 % 100 % 9,8 44 % 100 % 56


% 89 % 100 % 100 %
Kontrol 2,8 mg/kgbb./hari 5,6 mg/kgbb./hari 9,8 mg/kgbb./hari
Uji statistik data tabel 5 menunjukkan berat badan anak mencit berbeda nyata den
gan kontrol pada dosis 5,6 mg/kgbb./hari dan 9,8 mg/kgbb./hari. Ini berarti morf
in dapat lebih menurunkan berat badan dibandingkan dengan kontrol. Morfin berpen
garuh langsung menghambat pertumbuhan fetus, selain itu zat asing selain morfin
dapat menyebabkan malnutrisi karena mengganggu aliran darah yang menuju fetus se
hingga menghambat pertumbuhan dan berat badan fetus(17). KESIMPULAN 1. Pemberian
morfin dosis subletal pada masa kebuntingan menyebabkan penyimpangan perilaku m
asa prasapih dan penurunan berat badan anak mencit Swiss-Webster. Penyimpangan y
ang berbeda nyata dengan kontrol ditemukan pada uji refleks (membalikkan tubuh,
menghindari jurang, dan geotaksis negatif) dan pada uji motorik (kemampuan beren
ang dan mengangkat anggota Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 47

2.
badan), sedangkan pada uji sensorik tidak berbeda nyata. Penyimpangan perilaku y
ang ditimbulkan tergantung besar dosis. Pada penelitian ini yang berbeda nyata d
engan kontrol adalah pada dosis 9,8 mg/kgbb./hari dan 5,6 mg/kg bb./hari; pada d
osis 2,8 mg/kgbb./hari tidak berbeda nyata.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
SARAN Perlu dilakukan pengamatan lanjutan terhadap kemampuan belajar dan memori
serta analisis jaringan bagian otak yang diduga rusak pada mencit dewasa (PND-60
).
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Razak AMD. Kumpulan Dadah Narkotik. Article. (http://
www. prn.usm.my) . 1995 Pradhan S, Dutta S. Drug Abuse. Clinical and Basic Aspec
t. CV. Mosby Co. St Louis. 1997 Hamilton GR, Baskett TF. In the Arms of Morpheus
: the Development of Morphine for Postoperative Pain Relief. Anasthesiol..2000;
(April) 47 (4) : 367 Young L. Use of Marijuana, Cocaine, Pain Relievers and Tran
quilizers Increased According to National Household Survey on Drug Abuse. Report
Article. (http://www.samsha.gov). 2002 Ahluwalia I. Multiple Lifestyle and Psyc
hological Risk and Delivery of Small for Gestational Age Infant. Obstetr. Gyneco
l. 2001;97(5).
12. 13. 14. 15. 16. 17.
Association of Canada. Resolution : The Need for Federally Mandate Developmental
Neurotoxicity Testing to Protect Human Health: Central Nervous System Developme
nt. (http://www.Idac-taac.ca).1994 Fujinaga M. Teratogenic and Postnatal Develop
mental Studies of Morphine in Sprague Dawley Rats. Teratology 1998; 38 (5): 401410 Lapointe G, Nasal G. Morphine treatment During Rat Pregnancy: Neonatal & Pre
weaning consequences. Biology Neonate J. 1982;42 (1-2): 22-30 Turner AR. Screeni
ng Methods in Pharmacology. Academic Press. New York.1965 Grabow ST, Dougherty M
P..Cervicomedullary Intrathecal Injection of Morphine Produces Antinociception i
n The Orafacial Formalin Test in The Rats. Anaesthesiol. .2001; 95: 1427-1434 An
onim.Cerebrum and Cerebellum-The Secret of The Central Nerve. http://www.okmedi.
net.2001. Thompson TG. Recovery Month/ The National Household Survey on Drug Abu
se. (http://www. ncbi. nml. nih. gov)2002 Dalpiaz A. et al. Thermodynamics of Se
rotonin Receptor Interaction. John Wiley & Sons. Ltd. Italy. 2001 Anand KJ, Scal
zo FM.. Can Adverse Neonatal Experiences Alter Brain Development and Subsequent
Behaviour?. Biology of Neonate J. 2000;77 (2): 69-82 Kakinohana M. et al. Intrat
hecal Administration of Morphine, but not Small dose, Induced Spastic Paraparesi
s After a Noninjurious Interval of Aortic Occlusion in Rat. Anaesthes. Analges.
2003; 96 Mustcher E. Dinamika Obat. Ed. 5. Terj: MB. Widiarto & AS Ranti. Penerb
it ITB. Bandung.1991 Wierrother H et. al. Intrauterine Blood Flow and Long-Term
Intellectual, Neurologic, and Social Development. Obstetr. Gynecol. .2001.60 : 1
08114
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya
Sunanti Z. Soejoeti
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat b
agi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan ke
sehatan yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Teta
pi datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadangkadan
g bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu
mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yan
g mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempeng
aruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yan
g lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan l
ain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang kon
sep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan
sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manu
sia beradap-tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio
budaya(1). UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah k
eadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif s
ecara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat seba
gai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial da
n di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Definisi sakit
: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau
gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu.
Walaupun seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek, teta
pi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap tida
k sakit(2). MASALAH SEHAT DAN SAKIT Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks
yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamia
h maupun masalah buatan manusia, sosial
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan
masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupak
an resultante dari 4 faktor(3) yaitu: 1. Environment atau lingkungan. 2. Behavio
ur atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological ba
lance. 3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi pen
duduk, dan sebagainya. 4. Health care service berupa program kesehatan yang bers
ifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari empat faktor tersebut
di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya
(dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku
sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor se
perti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yan
g sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel terseb
ut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien. Pengertian sakit me
nurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik
, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh ga
ngguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam t
radisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium m
odel) seseorang dianggap sehat apabila unsurunsur utama yaitu panas dingin dalam
tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dal
am konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang. Departemen Kesehatan RI
telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat(4). Paradigma seha
t adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holist
ik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang
dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu w
ilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhad
ap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 49

penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhati
an utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memb
erikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap seha
t namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan te
rsebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada
mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempuny
ai konotasi biomedik dan sosio kultural(5). Dalam bahasa Inggris dikenal kata di
sease dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamak
an penyakit. Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara ke
dua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptas
i dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan
illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit
atau perasaan kurang nyaman(1). Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease,
sedangkan pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness ti
dak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh. Tulisan ini merupa
kan tinjauan pustaka yang membahas pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial bud
aya dan perilaku manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini
yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa
yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam
kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau fakt
or yang erat hubungannya dengan sistem nilai. KONSEP SEHAT SAKIT MENURUT BUDAYA
MASYARAKAT Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertia
n profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat e
rat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah seseder
hana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbag
ai aspek(6). Definisi WHO (1981): Health is a state of complete physical, mental
and social well-being, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO
mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, roh
ani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang dapat diangga
p sempurna jasmaninya? Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan dipandang
sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan
sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi a
ntara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan d
an penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit me
rupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya
secara wajar . Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat
dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai ke
budayaan juga dapat
menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep pe
nyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Penyebab bersifat Naturalis
tik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah m
akan), kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaa
n panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang
dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat
, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh k
elainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu
keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari d
engan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang m
enyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tid
ak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat(7). S
edangkan konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan
oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu
, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenun
g). Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawat
annya. Kusta telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala
sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan ung
kapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang la
ma di tengah-tengah masyarakat tersebut(8). Hasil penelitian kualitatif dan kuan
titatif atas nilai - nilai budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan p

enyakit kusta (Kaddala,Bgs.) di masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan di


amalkannya leprophobia secara ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, d
alam nasehat perkawinan orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di d
alamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim saat
istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/ka
ddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga baru, be
rkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderit
a kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari i
bu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri penderita di
mulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila salah seorang ang
gota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim
saat istri sedang haid bagi seorang fanatik Islam dirasakan sebagai beban trauma
psikosomatik yang sangat berat(8). Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya d
idiagnosis kusta. Pada penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kal
imantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimant
an Timur menunjukkan bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berk
eringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewas
a, seseorang dinyatakan sakit kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjala
n, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-batuk, mua
l, diare. Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Barat menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah
lakunya yaitu jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, munt
ah-muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak. Seor
ang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempuny
ai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit ad
alah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di badanny
a seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidu
r terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja. Pad
a penyakit batin tidak ada tanda-tanda di badannya, tetapi bisa diketahui dengan
menanyakan pada yang gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat beker
ja, suhu badan normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata ce
rah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan(9). Sudarti (1987) mengg
ambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di Indonesia meng
enai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan indivi
du mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak
yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu
makan. Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan na
fsu makan, atau kantong kering (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolo
ngkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu : 1. Karena pengaruh gejala alam (p
anas, dingin) terhadap tubuh manusia 2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam m
akanan panas dan dingin. 3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat di
gunakan obat-obatan, ramuanramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan te
naga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun
, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada
kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit. Beberapa contoh penyakit pada bayi d
an anak sebagai berikut : a. Sakit demam dan panas. Penyebabnya adalah perubahan
cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin. Pengobatannya adalah dengan c
ara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau beli obat influensa
. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun gejalanya panas tinggi, supaya p
anasnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena gejalanya
badan panas. b. Sakit mencret (diare). Penyebabnya adalah salah makan, makan ka
cang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepa
ndaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tr
adisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada
anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG)
, Oralit, pil Ciba dan lain-lain. Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya propors
i campurannya tidak tepat. c. Sakit kejang-kejang Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa
sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu
gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobata
nnya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat ti
dur yang ditutupi jaring. d. Sakit tampek (campak) Penyebabnya adalah karena ana
k terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indra
mayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak, meminumkan mad
u dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut kepercayaan dapat men
gisap penyakit. KEJADIAN PENYAKIT Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yan
g berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusi
a dapat merupakan penyebab bermacammacam penyakit baik di zaman primitif maupun
di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya. Ditinjau dari
segi biologis penyakit merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangka
n dari segi kemasyarakatan keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku
dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelain
an biomedis organ tubuh atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan ol
eh kelainan emosional dan psikososial individu bersangkutan. Faktor emosional da
n psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekos
istem manusia dan adat kebiasaan manusia atau kebudayaan(11). Konsep kejadian pe
nyakit menurut ilmu kesehatan bergantung jenis penyakit. Secara umum konsepsi in
i ditentukan oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingk

ungannya. Para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat disebutkan
berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara ma
nusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku penyakitnya dan cara-cara tingkah lak
u penyakitnya mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui proses umpan balik (Fos
ter, Anderson, 1978)(12). Penyakit dapat dipandang sebagai suatu unsur dalam lin
gkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sicklecell) di kalangan pen
duduk Afrika Barat, suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang memberikan imunit
as relatif terhadap malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan ancaman, bahkan me
rupakan karakteristik yang diinginkan karena memberikan proteksi yang tinggi ter
hadap gigitan nyamuk Anopheles. Bagi masyarakat Dani di Papua, penyakit dapat me
rupakan simbol sosial positif, yang diberi nilai-nilai tertentu. Etiologi penyak
it dapat dijelaskan melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa. Simbol sosia
l juga dapat merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan anta
ra simbolsimbol sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas, misalnya remaja
merokok. Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 51

dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi Salan (1994)(13) berdasarkan pe
ngalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya sebagai berikut: Seorang
perempuan yang sudah cukup umur reumatiknya diobati hanya dengan vitamin dan mi
nyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh. Menurut pasien penyakitnya d
isebabkan karena darah kotor oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah
dengan makan makanan yang bersih , yaitu mutih (ditambah vitamin seperlunya agar
tidak kekurangan vitamin) sampai darahnya menjadi bersih kembali. Bagi seorang d
okter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang ada dalam m
asyarakat. PERILAKU SEHAT DAN PERILAKU SAKIT Penelitian-penelitian dan teori-teo
ri yang dikembangkan oleh para antropolog seperti perilaku sehat ( health behavi
or ), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, mo
del penjelasan penyakit (explanatory model ), peran dan karir seorang yang sakit
(sick role), interaksi dokterperawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit d
ilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokter
an modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan(1
3). Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh
individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat
adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan keseha
tannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebug
aran melalui olah raga dan makanan bergizi(14). Perilaku sehat diperlihatkan ole
h individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka be
tul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka perilaku
sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang se
hat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di samping u
nsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menera
pkan kreteria medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnos
is kondisi fisik individu. PERSEPSI MASYARAKAT Persepsi masyarakat mengenai terj
adinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena
tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Pe
rsepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini ma
sih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan
bahkan dapat berkembang luas. Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang pe
nyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Ir
ian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-r
awa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Pend
uduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat me
nghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa meneb
ang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman b
erupa penyakit dengan gejala demam tinggi,
menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun ke
pada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan un
tuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari pende
rita akan sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan
dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akib
at kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, bin
atang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam s
angat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah dibe
ri ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunak
an sebagai obat malaria. PENUTUP Cara dan gaya hidup manusia, adat istiadat, keb
udayaan, kepercayaan bahkan seluruh peradaban manusia dan lingkungannya berpenga
ruh terhadap penyakit. Secara fisiologis dan biologis tubuh manusia selalu berin
teraksi dengan lingkungannya. Manusia mempunyai daya adaptasi terhadap lingkunga
n yang selalu berubah, yang sering membawa serta penyakit baru yang belum dikena
l atau perkembangan/perubahan penyakit yang sudah ada. Kajian mengenai konsekuen
si kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan sosial masyarakat .
KEPUSTAKAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Kliemen, 1978 Biro Pusat Statistik. P
rofil Statistik Wanita, Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta, 1994. Blum HL. Plann

ing for Health; Development Application of Social Change Theory. , New York: Hum
an Science Press, 1972. p.3. Paradigma Sehat, Pola Hidup Sehat, dan Kaidah Sehat
. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI, 1998. Capra, 1
982 Arie Walukow. Dari Pendidikan Kesehatan ke Promosi Kesehatan. Interaksi 2004
; VI (XVII):4 Profil Pengobat Tradisional di Indonesia. Dir. Bina Peran Serta Ma
sy., DirJen. Pembinaan Kes.Mas.. Departemen Kesehatan RI. 1997. hal. 4 Ngatimin,
HM.Rusli. Dari Nilai Budaya Bugis di Sulawesi Selatan. Apakah kusta ditakuti at
au dibenci?. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang
. 1992. Nizar Zainal Abidin. Laporan Penelitian Pengobatan Tradisional Daerah Ba
ndung. Disajikan pada Lokakarya II tentang Penelitian Pengobatan Tradisional. Ci
awi, 22-24 Februari 1993. Sudarti, 1987 Loedin AA. Dalam:Lumenta B.Penyakit, Cit
ra Alam dan Budaya. Tinjauan Fenomena Sosial. Cet.pertama Penerbit Kanisius, 198
9. hal.7-8. Priyanti Pakan, MF.Hatta Swasono. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Pe
rcetakan Universitas Indonesia, 1986. Rudi Salan. Interface Psikiatri Antropolog
i. Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi dalam konteks perubaha
n sosial. Disampaikan dalam Seminar Perilaku dan Penyakit dalam Konteks Perubaha
n Sosial. Kerjasama Program Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi Fisip UI d
engan Ford Foundation , Jakarta 24 Agustus 1994. hal 13. Solita Sarwono. Sosiolo
gi Kesehatan: beberapa konsep beserta aplikasinya. Gajah Mada University Press.
Cet. pertama, 1993. hal. 3136. WHO. The Otta wa Charter for Health Promotion,198
6.
14. 15.
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

HASIL PENELITIAN
Respon Terapi Tamoxifien pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan Reseptor Estro
gen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif
Azamris
Divisi Onkologi, Lab/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ Rumah Sa
kit Umum Daerah Dr M Djamil Padang, Sumatra Barat ABSTRAK Kanker payudara stadiu
m lanjut lokal (III B) menduduki tempat teratas di Indonesia yang penanganan pri
mernya dengan radiasi dan penanganan sekunder secara hormonal sistemik. Pengobat
an hormonal reseptor estrogen dan reseptor progesteron belum memberikan hasil ma
ksimal, untuk itu diupayakan parameter lain yang dikenal dengan Mr 29.000. Telah
dilakukan penelitian secara uji klinik acak terkontrol, dengan pemeriksaan Estr
ogen reseptor positif, Progesteron reseptor positif dan Mr 29.000 positif, pada
penderita kanker payudara lanjut lokal stadium III B, yang mendapat terapi Tamox
ifen. Kemudian dinilai hasil terapi setelah 3 bulan, apakan responnya lebih baik
atau tidak. Penelitian ini melibatkan 42 kasus kanker payudara lanjut lokal. Ju
mlah penderita premenopause sama dengan penderita postmenopause, ER(+) ditemukan
11kasus, dan ER () 31 kasus. Dan Mr 29.000 (+) 7 kasus dari 11 kasus ER (+). Han
ya 5 kasus yang memenuhi syarat untuk penelitian, karena itu penelitian ini hany
a deskriptif saja, penelitian perlu dilanjutkan dengan kriteria yang lebih terar
ah dengan umur penderita 50 tahun atau lebih, sampel diperbesar lebih dari 30 ka
sus dan waktu penelitian minimal tiga tahun. Kesimpulan pada penelitian ini belu
m dapat diambil oleh karena jumlah kasus yang sedikit. Kata kunci : kanker payud
ara lanjut lokal, reseptor estrogen, reseptor progesteron, Mr 29.000.
PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan penyakit keganasan wanita yang paling seri
ng dijumpai di Indonesia setelah kanker mulut rahim 15,85 %(1) di RS Dr M Djamil
65%-70% penderita kanker payudara datang dalam stadium lanjut, sedangkan stadiu
m lanjut lokal (III B) 43,40 %(2). Terapi primer berupa radiasi memberikan kontr
ol 70%-72%, sedangkan terapi hormonal tamoxifen merupakan terapi sekunder(2-5).
Terapi yang di dasarkan pada pemeriksaan estrogen reseptor dan progesteron resep
tor pada kanker payudara belum dikembangkan di RS Dr M Djamil secara umum(6). Te
rapi hormonal bersifat sistemik spesifik, jadi efektif untuk kasus-kasus lanjut
lokal, regional dan metastasis jauh(2) pada dasarnya tujuan terapi hormonal Tamo
xifen ini untuk meniadakan atau mengurangi pengaruh estrogen terhadap jaringan k
anker
payudara, yaitu mencegah uptake estrogen pada jaringan kanker yang mengandung re
septor estrogen, yang dapat memacu pertumbuhan kanker payudara(6). Kodamark dan
kawan-kawan menduga terapi dengan anti estrogen Tamoxifen pada kanker payudara,
bekerja menekan pada tingkat sel induk, tidak membasmi sel kanker(7). Responsifi
tas kanker payudara terhadap terapi hormonal kurang lebih 50%, didasarkan pada r
eseptor estrogen positif(8). Reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada kan
ker payudara merupakan petanda bahwa tumor sensitif terhadap terapi Tamoxifen 70
%-85%(9,10). Kegagalan terapi hormonal berdasarkan status reseptor estrogen dan
reseptor progesteron menuntut penggunaan parameter lain untuk meningkatkan keber
hasilan terapi hormonal ini. Pertengahan tahun 1980 ditemukan antibodi yang reak
tif terhadap satu protein yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 53

diduga berkaitan erat dengan molekul reseptor estrogen, protein ini berupa fosfo
protein dikenal dengan protein Mr 29.000(11,12). Keberadaan Mr 29.000 ini berkor
elasi dengan reseptor estrogen kanker payudara namun maknanya belum jelas(13). B
ila sel eukariotik terpapar suhu tinggi dan berbagai stres, sel-sel ini akan ber
eaksi dengan menghasilkan sejumlah kecil protein yang disebut Heat Shock Protein
(14,15). Hormon juga dapat mempengaruhi eksperesi HSP 27. Bermacam-macam protein
dihasilkan pada keadaan di atas antara lain: Mr 29.000 (HSP 27), Mr 90.000 (HSP
90) serta HSP 70. Mr 29.000 atau estrogen related protein merupakan suatu fosfop
rotein yang berhubungan dengan ER(+), yang terlibat dalam sebagian besar kanker
payudara(16). Antigen Mr 29.000 ini telah dapat dideteksi dengan antibodi monokl
onal D5 yang timbul pada reaksi dengan reseptor estradiol manusia yang telah dim
urnikan(16) MR 29.000 hanya ditemukan pada jaringan yang mengandung ER (+)(11,17
). Tidak satupun tumor dengan Mr 29.000 (-) dapat dikendalikan dengan pengobatan
hormonal. 20% reseptor estradiol positif mempunyai Mr 29.000 fosfolipid rendah
tumor ini buruk responnya terhadap pengobatan hormonal(17). Pada kanker payudara
terdapat hubungan sangat bermakna dengan jumlah reseptor estrogen sitoplasma, a
ntibodi spesifik D5 bereaksi dengan Mr 29.000 sitosol ER (+) dan tidak bereaksi
dengan ER (-)(17) Cano dan kawan-kawan pada penelitiannya mendapatkan penderita
yang Mr 29.000 (+) 50% memberikan respon lengkap atau sebagian terhadap terapi h
ormonal, sedangkan 12% gagal mendapatkan perbaikan(17). TUJUAN PENELITIAN Apakah
keberadaan Mr 29.000 yang menyertai reseptor estrogen dan reseptor progesteron
memberikan makna dalam responsivitas terapi Tamoxifen. METODE Penelitian ini mer
upakan penelitian uji klinik terkontrol yang dilakukan di Bagian Bedah Onkologi/
HNB RS Dr M Djamil Padang. Penelitian dilakukan mulai 1 Januari 2003 sampai deng
an 31 Desember 2003. Responden adalah penderita kanker payudara stadium lanjut l
okal (stadium III B). Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana. Kriteria
bagi responden yang diikutkan pada penelitian ini adalah : 1. Wanita penderita
kanker payudara. 2. Kanker Payudara Stadium III B - T4 N0-2 M0 dan setiap T N3 M
0(UICC 1992). 3. Belum pernah mendapat terapi kanker. Setiap responden menjalani
biopsi insisional dan hasilnya diperiksa secara microwave untuk menentukan rese
ptor Estrogen dan Progesteron serta pemeriksaan non microwave pada protein Mr 29
000. HASIL Jumlah kasus kanker payudara lanjut lokal dari bulan Januari 2003 sam
pai Desember 2003 terkumpul sebanyak 42 kasus. Dengan rentangan umur termuda 28
tahun dan tertua 78 tahun.
Tabel 1. Distribusi umur penderita kanker payudara lanjut lokal (n = 42) Umur 20
29 30 39 40 49 50 59 60 69 70 79 Total Jumlah Kasus 2 5 13 11 9 2 42 % 5 12 31
26 21 5 100
Tabel 2. Distribusi status menopause penderita kanker payudara lanjut lokal (n =
42) Menopause Pre menopause Post menopause Total Jumlah Kasus 21 21 42 % 50 50
100
Tabel 3. Distribusi status ER penderita kanker payudara lanjut lokal (n = 42) Um
ur 20 29 30 39 40 49 50 59 60 69 70 79 Total ER (+) 0 2 1 3 4 1 11 ER (-) 2 3 12
8 5 1 31
Persentase penderita kanker payudara lanjut lokal yang ER (+) 26%.
Tabel 4. Distribusi ER (+) berdasarkan status menopause pada penderita kanker pa
yudara lanjut lokal (n=11) Menopause Pre menopause Post menopause Total ER (+) 3
8 11 % 27 73 100
Taberl 5. Distribusi Mr 29.000 berdasarkan ER (+) pada penderita kanker payudara
lanjut lokal (n = 11) Tipe Mr 29.000 (+) Mr 29.000 (-) Total Jumlah Kasus 7 4 1
1 % 64 36 100
Tabel. 6. Respon terapi tamoxifen pada penderita kanker payudara lanjut lokal ER
(+) PR(-), Mr 29.000 (+). Respon Terapi Respon Komplit Respon Parsial Tidak res
pon Total Jumlah Kasus 1 1 2 4 % 25 25 50 100

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Tabel 7. Respon terapi tamoxifen pada penderita kanker payudara lanjut lokal ER
(+) PR(+). Tipe Mr 29.000 (+) Mr 29.000 (-) Total Respon positif 2 1 3 Tidak res
pon 1 1 2
hormonal yang tinggi (50%). Pada penelitian ini respon terapi hormonal Tamoxifen
pada penderita kanker payudara ER (+) PR (+) Mr 29.000 (+) diharapkan mendekati
100%. Dari jumlah sampel yang didapat, tidak bisa dilakukan analisis statistik
tetapi secara klinis pada lima kasus yang memenuhi kriteria untuk penelitian ini
terlihat respon terapi cukup baik pada kasus Mr 29.000 (+) jika dibandingkan de
ngan yang Mr 29.000 (-). SARAN 1. Penelitian respon terapi Tamoxifen pada pender
ita kanker payudara lanjut lokal dengan ER (+) PR (+) Mr 29.000 (+) perlu dilanj
utkan dengan kriteria yang lebih terarah yaitu umur penderita di atas 50 tahun a
tau sudah menopause untuk mendapatkan reseptor estrogen tinggi sehingga Mr 29.00
0 (+) yang didapat juga lebih tinggi. 2. Diperlukan waktu minimal tiga tahun unt
uk mendapatkan sampel yang besar. 3. Diperlukan waktu follow up minimal enam bul
an untuk menilai respon terapi. 4. Untuk menentukan strategi pengobatan berdasar
kan reseptor hormonal, sudah waktunya diusulkan pemeriksaan tersebut yang selama
ini belum dilaksanakan secara umum di RS Dr M Djamil Padang.
DISKUSI Kanker payudara lanjut lokal 31% ditemui pada usia 40-49 tahun, dan 50%
penderita yang diamati masih haid teratur. Tidak ada perbedaan penemuan peneliti
an ini dengan laporan dari RSCM dan Jepang(18,19). Reseptor estrogen positif ter
lihat makin meningkat pada usia 50 tahun, sedangkan reseptor estrogen negatif ti
nggi pada usia 60 tahun. Ditinjau dari status menopause, reseptor estrogen posit
if ditemukan sebanyak 8 dari 11 kasus post menopause (73%), dan 3 dari 11 kasus
premenopause (27%). Kurang lebih 50% tumor primer mengandung reseptor estrogen (
positif) dan reseptor estrogen ini meningkat dengan bertambahnya usia(3) penderi
ta premenopause lebih sedikit yang estrogen reseptor positif-ER (+) (30%) diband
ingkan dengan penderita post menopause (60%)(11). Pada penelitian ini terlihat s
tatus reseptor estrogen positif makin meningkat pada usia lanjut (tabel 5) tidak
berbeda dengan kepustakaan(3). Marsigliante dkk melaporkan bahwa 178 (65%) tumo
r P29 positif dan sisanya 95 (35%) P29 negatif. P29 berhubungan sangat bermakna
dengan ekspresi ER (+) (p<0,001). Penemuan Mr. 29.000 (+) pada penderita kanker
payudara lanjut lokal ini sama seperti yang ditemukan oleh Marsigliante S(20). A
danya korelasi kuat antara ER (+) dengan Mr 29.000 (+) ini bisa digunakan untuk
menilai respon terapi tamoxifen(21). Pada 31 penderita kanker payudara lanjut lo
kal dengan ER(-) PR(-) ternyata 1 kasus memberikan respon komplit, yang sampai s
ekarang masih kontrol. Kepustakaan menyatakan 5% 10% penderita kanker payudara E
R(-) PR(-) memberi respon dengan terapi hormonal(20,22). Pada penderita kanker p
ayudara lanjut lokal ER(+), PR(-), Mr 29.000 (+) satu kasus respon komplit, dua
kasus tidak memberikan respon. Dari 2 penderita ER (+) PR () Mr 29.000 (-), 1 kas
us respon parsial, 1 kasus tidak respon. Terapi tamoxifen berrespon pada dua pen
derita kanker payudara lanjut lokal dengan ER(+) PR(+) Mr 29.000 (+) Sedangkan p
ada penderita kanker payudara lanjut lokal ER(+) PR(+) Mr 29.000(-) satu kasus m
emberi respon (tabel 7). Jensen dkk. (1971)(23) mendapatkan 35%-40% penderita ka
nker payudara ER(+) tidak memberi respon terhadap terapi hormonal, mungkin karen
a estrogen komplek yang terbentuk tak sanggup berimigrasi ke dalam inti sel kank
er. Beberapa laporan mengatakan 60% penderita kanker payudara yang mempunyai res
eptor estrogen positif memberikan respon terapi hormonal bila ER (+) PR (+) resp
on terapi mencapai 70-80%(3,8,23,24). Bahkan ada penelitian yang mencapai respon
terapi hormonal 85%(9). Bila reseptor estrogen (+) dan reseptor progesteron (-)
respon terapi 30%(3,8,23,25). Cano A dan kawan-kawan(11,16) melaporkan bahwa pe
nderita kanker payudara yang ER (+) Mr 29.000 (+) memberikan respon terapi
KEPUSTAKAAN 1. Ramli M, Tjindarbumi D, Simanjuntak DC, Poetiray E, Albar ZA, Dar
wis I, Breast Cancer in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital: Management and problema
tics. In: Advanced Postgraduate Course: Oncology, Medical Faculty, University of
Indonesia and Dharmais Cancer Hospital, National Cancer Center,under the auspic
es of the Dutch Foundation Postgraduate Medical Courses . Jakarta 8-10 November
1993. pp. 92-100. 2. Ramli M, Tjindarbumi D : Penatalaksanaan kanker payudara la

njut. Dipresentasikan pada : Seminar Nasional II Kanker Payudara dan Simposium D


iagnosa Dini Tumor Ganas. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia, Manado 11 13 Febuari 1988. 3. Harris JR, Morrow M, Bonadonna G. Cancer of the Breast. In:
Principles and Practice of Oncology, 4 th.ed. Philadelphia. 1993, pp. 1264-1332.
4. Ramli M. Kanker payudara, deteksi dini dan diagnosa kanker payudara. Diprese
ntasikan pada Kursus Singkat pencegahan, diagnosa dini dan pengobatan penyakit k
anker FKUI-RSCM. 5. Sheldon T, Hayes DF. Primary radiation therapy for locally a
dvanced breast cancer. Cancer 1988; 60: 1219-1225. 6. Ramli M. Penatalaksanaan m
utakhir kanker payudara. Dipresentasikan pada Simposium dalam rangka HUT YKI wil
ayah Sumsel. Palembang 1995. 7. Kodama F, Green GL. Relation of estrogen express
ion to clonal growth and antiestrogen effect on human breast cancer cell. Cancer
Res. 1985; 45; 2720-24. 8. Forest PM. Tamoxifen as adjuvant therapy. Breast can
cer controversy in management; 1994; 377 91. 9. Fields SM, Koeller JM. Hormonal
therpy in clinical oncology. 1993; 1165-76. 10. Jensen EV. Hormone Dependency of
the Breast Cancer. Cancer 1987;47:1165-76. 11. Coffer AI, Lewis KM et al . Mono
clonal antibodies against component related to soluble estrogen reseptor. Cancer
Res. 1985; 45: 3684-94. 12. Ciocca DR, Luque EM. Immunological evidence for the
identity between the HSP 27 estrogen related heat shock protein and the P29 est
rogen reseptor associated protein in breast and endometrial cancer. Breast Can R
es Treat 1991; 20:33-42.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 55

13. Hulka BS, Liu et al. Steroid hormones and risk of breast cancer 1994; 74;111
1-24. 14. Petco L, Linguist S. HSP 26 is not required for growth and high temper
ature, nor for thermotolerance, spare development, or germination. Cell 1986; 45
: 885 94. 15. Carper SW, Duffy JJ, Gerner EW. Heat shock protein in thermotolera
nce and other cellular process. Cancer Res 1987; 47: 5249 86. 16. Cano A, Coffer
A et al. Histochemical studies with an estrogen receptor related protein in hum
an breast tumor. Cancer Res. 1986 ; 46 : 6475 80. 17. Coffer AI, Spiller GH et a
l. Immunoradiometric studies with monoclonal antibody against a component relate
d to human estrogen reseptor. Cancer Res 1985 ; 45 : 3694 98. 18. Tjindarbumi D,
Ramli M, Watanabe S . Clinopathological Aspects of Breast Cancer, A joint study
between Indonesia and Japan. Med. J. Indon. 1995; 4(3): 148 153. 19. Nomura Y,
Miura S et al. Relative effect of steroid hormone receptor on
20. 21. 22. 23. 24. 25.
prognostic of patient with operable breast cancer. Cancer 1992; 69:153 64. Marsi
gliante S, Greco S, Biscozzo L. Transciptionally active non ligand binding estro
gen reseptor in breast cancer. Cancer lett 1992; 66:183 91. Hayward JL, Rubben R
D. Assessment of response therpy in advanced breast cancer. Br.J.Cancer 1977;35:
292 - 8 Fracchia AA, Evans JF, Einenberg BL. Stage III carcinoma of the breast :
Ann. Surg. 1980 ; 192 (6): 705-9. Hubay CA, Arafah B, Gordon NH, Guyton SP, Cow
e JP. Hormone receptor . Surg. Clin. N.Am. 1984; 64 (6):1155 72. Oster M W. Endo
crine therapy and chemotherapy for breast carcinoma. In: Disease of the Breast 3
rd.ed. Philadelphia: Haagensen CD. 1993 . pp. 991 1011. King RJ, Coffer AI. Hist
ochemical studies with a monoclonal antibody raise against a partially purified
soluble estradiol receptor preparation from human myometrium. Cancer Res. 1985;
45: 5728 85.
( Sambungan Halaman 4 )
English Summary
L-ORNITHIN-L-ASPARTATE (LOLA) PREVENTS BLEBBING IN HEPATOCYTES CAUSED BY ETHANOL
EXPOSURE Nelson Simanungkalit Pospos Board of Technologial Research and Applica
tion, Jakarta, Indonesia Freshly isolated hepatocytes exposed to ethanol 0,65 mo
l/l, produced blebs on cell surfaces. Blebs formation can be totally prevented b
y 30 min aminoacid LOLA preincubation.
Cermin Dunia Kedokt. 2005 ; 149 : 57 - 59
SOME UNUSUAL FINDINGS KIDNEY STONES ANALYSIS
DURING
Oen Liang Hie Professor emeritus, Department of Biochemistry, Faculty of Medicin
e, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia. Some experiences during urinary
stone analysis are presented. Among them are : 1. A stone removed from the back
part of the nose of a young man of about 20 year-old. No pain was reported, only
a feeling of some obstruction of his airway.
Our analysis revealed that the stone was formed around a rubber eraser usually a
ttached at the top of a pencil. The patient could not recall when he used that k
ind of pencil during childhood. 2. A bladder stone the size of a tennis ball. An
alysis revealed that the stone was formed around a roll of gauze, left behind by
a surgeon who operated on the patient years ago for prostate hypertrophy.
Cermin Dunia Kedokt. 2005 ; 149 : 60 -61
olh
nsp
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

HASIL PENELITIAN
L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing akibat Keracunan Etanol pada He
patosit
Nelson Simanungkalit Pospos
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Indonesia ABSTRAK Isolat sel h
ati tikus segar bila dipapari etanol dengan konsentrasi 0,65 mol/l akan menimbul
kan terbentuknya blebs di permukaan sel. Bila asam amino LOLA diinkubasikan lebi
h dulu selama 30 menit baru setelah itu dipapari etanol, pembentukan blebs dapat
dihindari.
PENDAHULUAN Peranan asam amino di dalam tubuh tidak terbatas hanya sebagai bahan
bangunan untuk protein, ensim atau hormon saja, namun juga sebagai molekul inte
rmedier yang penting dalam reaksi biokimia. Akhir-akhir ini peranan asam amino s
ebagai obat juga makin dikenal, terutama dalam terapi penyakit hati, baik sendir
i sendiri ataupun sebagai campuran 2 asam amino atau lebih(1). ( Tabel 1). Tabel
1.
Nama Obat Sulfolitruw Hepa-Merz Leberam Rochmalat Hepasteril Polilevo Kandungan
Asam Amino L-Serin, Methionin LOLA Arginin Arginin Arginin Arginin-HCl Penggunaa
n Hepatokholesistopati kronis. Gangguan penyakit hati akut dan kronis dengan hip
erammonemi. Gangguan fungsi hati dgn atau tanpa hiperammonemi. Hiperammonemi. He
patitis kronis.
Pemberian lebih dulu LOLA dapat menghindari kerusakan hati yang signifikan akiba
t hipokalemi(7).
H O C C
+
H C H
H C H
H C H
H N C C O
H C H
H C NH3
+
C O
O
O NH3
Rumus LOLA
Sementara itu dilaporkan pula, bahwa LOLA dapat menghindari terjadinya coma hepa
ticum akibat Amoniak, dimana terjadi peningkatan ekskresi Urea yang signifikan(8
). Pemberian lebih dulu LOLA pada tikus percobaan meningkatkan metabolisme, terl
ihat dari bertambahnya stamina berenang tikus tikus tsb(9,10 ). Penelitian ini b
ertujuan menguji efek proteksi LOLA terhadap keracunan etanol pada isolat sel ha
ti tikus BAHAN DAN CARA Tikus yang dipergunakan adalah jenis Sprague-Dawley jant
an dengan berat rata rata 220 g. Collagenase D, Hepes dari Serva, Heidelberg; EG
TA dari Sigma, Deisenhofen; Nembutal dari Eva, Paris Liquemin N 25000 dari Hoffm
an-La-Roche, Basel Percoll dari Pharmacia-Freiburg dan Hams F-12 dari Seromed-Ber
lin. Bahan kimia lainnya dari Merck, Darmstadt. Isolasi sel hati dilakukan denga
n metoda Eckel et al,1979 terhadap yang telah dimodifikasi(11). Untuk menguji ke

racunan etanol pada sel hati, suspensi sel hati (1,0-1,5 juta/ml) diinkubasikan
dengan 0,65 mol etanol/liter, dimana kira-kira
85% Blebs terbentuk. Medium yang
dipergunakan adalah Hams F-12 volume akhir berjumlah 1 ml. Setelah masa inkubasi
(30 menit) berakhir, isolat sel hati disimpan pada suhu 4oC untuk selanjutnya di
amati dengan mikroskop. Vitalitas sel dilakukan menggunakan pewarna trypan blue
(0,5%) dalam

Cendrangolo (1962) melaporkan efek terapi Asam glutamat dalam berbagai penyakit
hati terutama pada koma, karena kemampuannya mengikat gugus NH3, dan dalam reaks
i tersebut terbentuk Glutamin yang tidak toksik(2). Somatostatin memperlihatkan
efek proteksi terhadap keracunan Phalloidin, Etanol dan DMSO4(3). Beberapa penel
iti tertarik menguji efek proteksi garam L-Ornithin-L-Aspartat (LOLA). Salvatore
et al. (1958) melaporkan efek proteksi campuran Ornithin dan Asam aspartat terh
adap keracunan CCl4(4). Kerusakan hati akibat Diphenylbutazon dapat dihindari de
ngan pemberian LOLA, juga bila Diphenylbutazon diberikan dalam dosis tinggi pemb
erian i.p. lebih efektif dari i.v(5). Pemberian Ornithin, Citrullin, Arginin, As
am aspartat dan LOLA, yang merupakan komponen dari siklus sitrat pada tikus dala
m keadaan hiperamonemi endogen menurunkan kadar amoniak secara signifikan(6).
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 57

cairan NaCl-fisiologis. Vitalitas sel berkisar antara 85-95% untuk semua percoba
an. Di samping vitalitas sel, perubahan permukaan sel merupakan hal yang penting
dalam mendeteksi pengaruh asam asam amino, hal ini dapat dilihat dengan menggun
akan mikroskop biasa (light microscope). Agar lebih jelas, dilakukan pemotretan
dengan menggunakan scanning electron microscope, untuk itu 1,0 sampai 1,5 juta s
el difiksasi menggunakan larutan 1% Glutaraldehyd dalam 0,1 mol buffer Cacodylat
. Setelah 2 kali dibilas masing-masing selama 15 menit dengan buffer yang sama,
difiksasi lagi selama 1 jam dengan 0,5% Os(VIII)-oxid. Dibilas lagi 2 kali 15 me
nit dengan buffer yang sama, setelah itu dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol
, 50%, 70% dan 100%, masing masing 5 menit. Setelah itu dikeringkan di atas Leit
-Tabs, kemudian diasapi dengan goldphallidium (sputter coater). Sediaan kemudian
dapat diamati menggunakan Rasterelektronen-mikroskop JSM U3, Jeol. HASIL Pember
ian etanol pada isolat sel hati yang masih segar, akan menimbulkan blebs di perm
ukaan sel yang bentuknya spesifik (Gb. 1). Permukaan tersebut berbeda dibanding
permukaan isolat sel hati segar tanpa perlakuan (Gb.2)(12). Blebs yang terbentuk
akan kembali menyusut (reversibel) dalam waktu kira-kira 30 menit, karenanya pe
nghitungan blebs harus dilakukan dengan cermat.
Gambar 3 dapat terlihat bahwa konsentrasi sekitar 200 mmol LOLA/l telah memperli
hatkan proteksi yang sempurna, menyerupai kontrol. Di bawah mikroskop, blebs di
permukaan sel tidak kelihatan lagi, sehingga tidak ada perbedaan dengan kontrol.
DISKUSI Munculnya blebs (protrusionen, blister) di permukaan sel, marupakan ind
ikasi dini hipoksia atau toksikasi sel(13). Beberapa senyawa yang telah diketahu
i menyebabkan timbulnya blebs, seperti: Phalloidin(14), Brombenzol (Thor dan Orr
enius, 1980), DSMO4 dan etanol(3), Cystamin(15), Paracetamol(16), THA(17). Setia
p senyawa menimbulkan bentuk blebs yang berbeda dapat reversibel dan irreversibe
l. Blebs yang dibentuk etanol tergolong reversibel. Beberapa peneliti sepakat, b
ahwa terbentuknya blebs disebabkan oleh gangguan pada sitoskelet(3,13,18). Karen
a keberadaan sitoskelet dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ATP(19), ion H+
(20), Thiol(21), dan ion Ca2+ (22), maka perubahan yang terjadi terhadap faktor
tersebut mempengaruhi pula eksistensi sitoskelet. Kerusakan sel karena etanol di
sebabkan interaksinya dengan membran. Interaksi itu mempengaruhi membran baik se
cara kimiawi maupum fisikawi dan selanjutnya dapat mengganggu penyampaian signal
dari sel ke sel(23,24). Diduga terjadinya kerusakan sel oleh etanol disebabkan
terbentuknya acetaldehid serta turunnya ratio NAD+/NADH(25,26). Meningkatnya kon
sentrasi ion Ca2+ di dalam sitosol dianggap penyebab terbentuknya blebs(13,27).
Konsentrasi ATP intrasel memperlihatkan penurunan signifikan akibat keracunan Et
anol(12). Asam amino di samping sebagai unsur utama pembentukan protein, ensim d
an hormon, juga banyak berperan kunci dalam proses biokimia, seperti dalam Siklu
s-TCA dan Siklus-Urea, yang saling berhubungan. Amoniak - produk akhir metabolis
me protein/asam amino yang dikenal sangat toksik, melalui.Siklus-Urea, dimana as
am amino Ornithin dan Arginin ikut langsung berperan oleh tubuh diubah menjadi U
rea yang kurang toksik dan pemberian Ornithin menstimulasi pembentukan Urea. Pro
ses ini berlangsung dalam hati dan membutuhkan 3 molekul ATP(28), empat asam ami
no yaitu Arginin, Ornithin, Asam glutamat dan Asam aspartat merupakan katalisato
r dari Siklus-Urea(2). Asam aspartat berperan bukan saja sebagai donatur NH3 kep
ada Siklus Urea, tetapi juga setelah mengalami desaminasi berubah menjadi Oxalas
etat yang merupakan substrat dari Siklus TCA. Mekanisme kerja proteksi efek LOLA
diduga karena menstimulasi kedua siklus tersebut, sehingga produksi ATP meningk
at dan kadar amoniak menurun.
KEPUSTAKAAN
( Gb.1 )
( Gb.2 )
Gambar 1. Scanning electron micrograph (SEM) isolat sel hati tikus yang dipapari
etanol (Perbesaran 3000X). Gambar 2. Scanning electron micrograph (SEM) isolat
sel hati tikus yang baru diisolasi etanol (Perbesaran 3000X).

Proteksi %
120 100 80 60 40 20 0
I I
I
I 100 200 LOLA, mmol / l 300 400 1. 2. 3. Rote Liste. Hrsg. Bundesverband der Ph
armazeutischen Industrie e.V., Frankfurt. 1992. Cedrangolo F. Ornitina ed acido
aspartico: Catalizatori dellureogenesi. Recentissimo impiego in terapia epatoprot
ettiva. La Riforma Medica 1962; 76, 1453-1456. Rao, GS., Lemoch, H., Usadel, KH.
..Behandlung mit Somatostatin schuetzt die Rattenleber gegen Laesion durch Phall
oidin, Aethanol, und Dimethylsulfoid. Freiburger Kolloqium Attempto Verlag Tuebi
ngen GmbH. 1982
Gambar 3. Proteksi efek L-Ornithin-L-Aspartat . Hepatosit terlebih dahulu diinku
basi dengan berbagai konsentrasi LOLA selama 30 menit,baru setelah itu diberi 0,
65 mol etanol/l selama 30 menit pada suhu 25oC. Data yang disajikan adalah nilai
rata rata
SD (n=3)

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

4. 5. 6. 7.
8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17.
Salvatore F, Cozzolino D, Scoppa P. Bio. Appl. 1958. 5, 237 & Boll.Soc. It. Biol
. Sperim. 34, 620 Zicha K, Zicha M. Die Leberschutzwirkung von L-Ornithin-L-aspa
rtat bei Arzneimittelschaeden an Ratten. Gastroenterologie, 1968. Karl Demeter V
erlag, p. 423-429. Hermann G. Beeinflussung der an der Ratte experimentell erzeu
gten endogenen Hyperammoniaemie durch Aminosaeren. ArzneimittelForschung, 1970;
20: 377-379. Raab W. Experimenteller Nachweis einer Leberschutwirkung des LOrnit
hin-L-Aspartats am odell der Schaedigung durch Hypokaliaemie. Wiener klinische W
ochenschrift Springer Verlag Wien-New York, 1972. p. 348-349. Katsunuma N, Nishi
i Y. Study on the effect of L-Aspartic acid, LOrnithine, LOLA on urea synthesis
by means of rat liver slice., Study on the effect of L-Aspartic acid, L-Ornithin
e, LOLA on urea synthesis by means of rat liver slice. Merz Co. GmbH & Co. Chemi
sche Fabrik, Frankfurt Cutinelli L. Arzneim. Forsch 1970; 20, Ogawa S, IkawaY, K
omatsu F. Anti-fatigue effect and influence of LOrnithine-L-Aspartat on stamina.
Rao G.S, Lemoch H, Kessler H.. Prevention of phalloidin-induced lesion on isola
ted rat hepatocytes by novel synthetic analogues of somatostatin. Klin.Wochensch
r. 1986; 64, 79-86. Simanungkalit N. Effects of Ethanol on Isolated Hepatocytes:
Alteration in Cell Surface and Intracellular ATP. Med J Univ. of Indon. 1994; 3
(4):.208-212. Jewell SA, Bellomo G, Thor., Orrenius S, Smith T. Blebs formation
in hepatocytes during drug metabolism is caused by disturbances in thiol and cal
cium ion homeostasis. Science 1982; 217: 1257-1259. Weiss,E, Sterz I, Frimmer,M,
Kroker R. Electron microscopy of isolated rat hepatocytes before and after trea
tment with palloidin. Beitr., Path. 150, 345-3561973 Nicotera P, Hartzell P, Bal
di, Svenson, S, Bellomo G, Orrenius S. Cystamine induced toxicity in hepatocytes
through the elevation of cystolic and the stimulation of a nonlysosomal proteol
ityc system. J. Biol.Chem. 1986; 261:14628-14635 Chenery R.J. Metabolism and tox
icity of drugs in mammalian hepatocyte culture. In: In vitro methods in toxicolo
gy. Ed. AtterwillCK. Cambridge Univ.Press, Cambridge, 1987. 211-233. Simanungkal
it N. THA (1,2,3,4-Tetrahydro-9-Aminoacridin), Obat
Alzheimer Terbukti Merusak Isolat Sel Hati. Medika 1999 (V):7. 18. Hasky DL, Hay
ED. Freeze-fracture studies of the developing cell surface. J. Cell Biol. 1978;
; 78: 756-768 19. Clarke M, Spudich JA. Non muscle contractile proteins: The rol
e of actin and myosin in cell mortality and shape determination. Ann.Rev.Biochem
1977; 46: 797-822 20. Condeelis J., Vahey M. A calcium- and pH-regulated protei
n from Dyctiostellum discoideum that cross-links actin filaments. J. Cell.Biol.
1982; 94: 466-471 21. Tait J, Frieden. Chemical modification of actin. Biochemis
try 1982; 24: 6046-6053. 22. Schliwa M. Protein associated with cytoplasmic acti
n. Cell 1981;.25: 587-590. 23. Chin JH, Goldstein DB. Drug tolerance in biomembr
anes: a spin label study of the effects of ethanol. Science 1977; 196: 684-685 2
4. Seeman P. The membrane actions of anasthesics and tranquilizers. Pharmacol. R
ev. 1972; 24: 583-655. 25. Lieber C. Metabolic effects produced by alcohol in th
e liver and other tissue. Adv. Intern. Med. 1986; 14: 151-155. Filippini, 26. Fi
lippini L.. Leberschaden durch Alkohol. Hrsg. Wilhelm Goldmann Verlag, Muenchen
1971 27. Lemaster JJ, Stemkowski J, Ji S, Thurman RGJ. Cell surface changes and
enzyme release during hypoxia and reoxygenation in the isolated. Perfudsed rat k
iver. Cell Biol. 1983; 97:778-786. 28. Krebs HA.et al. Hoppe-Seyler s Zeitschrif
t f. physiol. Hemie, 1932; 210: 33. 29. Du Ruisseau JP, Greenstein J.P, Winitz,
Birnbaum S.Arch. Bioch.Biophys. 1956; 64: 355. 30. Eckel J, Rao GS, Rao .L, Breu
er H.. Uptake of L-tri-iodothyronine by isolated rat liver cells. Biochem.J. 197
9; 182: 473-491. 31. Hennery RJ. Metabolism and toxicity of drugs in mammalian h
epatocytes culture. In: vitro methods in toxicology. Ed.Atterwill,CK. Cambridge
University Press, Cambridge, 1987. 211-233. 32. Lemaster JJ, Di Giuseppi, J, Nie

minen A, Hermann B. Blebbing, free a.. and mitochondrial membrane potential prec
eding cell death in hepatocytes. Nature 1978; 325:78-81 33. Sioya A, Kuraishi K,
Kakimoto, TamamaY, Tobita K, Nezu Y, Isono H, Shimizu T, Furukawa T. Pharmacolo
gical study on L-Ornithine-LAspartate. Chugai Pharmaceutical Central Laboratory.
Cermin Dunia Kedokteran 2006 Topik Mendatang Masalah Kandungan / Kehamilan Gizi
dan Makanan Masalah Paru Masalah Interna / Penyakit Dalam
Redaksi tetap mengharapkan sumbangan naskah dari para sejawat, tidak terbatas pa
da rencana topik di atas. Terimakasih atas kerjasama yang baik selama ini.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 59

PENGALAMAN
Beberapa Temuan yang tak lazim (aneh) selama Bekerja Meneliti Susunan Kimia Batu
Ginjal
Dr. Oen Liang Hie
Profesor Emeritus Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jaka
rta
PENDAHULUAN Beberapa waktu yang lampau, ketika masih aktif di bagian Biokimia FK
UI Jakarta, kami telah melakukan analisis kimia komponen penyusun batu di sistem
traktus urinarius. Batu yang telah diteliti berasal dari yang keluar secara spo
ntan maupun yang dikeluarkan melalui tindakan pembedahan ( MKI 38, 155 158, 1988
). Batu tersebut selain datang dari RSCM-FKUI juga datang dari rumah sakit lain
dan juga atas permintaan perseorangan. Analisis kimiawi komponen batu ginjal di
lakukan dengan tujuan agar diketahui susunannya, seperti urat, oksalat atau fosf
at. Dengan pengetahuan ini dokter atau pasien dapat mengambil langkah-langkah, m
isalnya dengan mengubah diet, sehingga mengurangi kemungkinan terulang kembali p
embentukan batu (rekurensi). Selama kegiatan tersebut pernah diterima permintaan
analisis batu bukan hanya berasal dari traktus urinarius, tetapi juga berasal d
ari organ lain seperti kandung empedu. Juga pernah terjadi permintaan analisis s
ebuah batu dari seorang "penderita" yang berhasil dikeluarkan dari tubuh oleh se
orang "pintar", akan tetapi terbukti bahwa batu tersebut hanya sebuah batu kali
biasa. ILUSTRASI KASUS Berikut akan diuraikan beberapa temuan yang tidak lazim a
tau aneh selama analisis rutin di atas: A. Pada suatu hari seorang dokter bagian
Telinga Hidung Tenggorakan (THT) RSCM-FKUI mengirim surat dengan permintaan ana
lisis susunan batu yang berhasil dikeluarkan dari bagian dalam hidung pasien lak
i-laki berumur kurang lebih 20 tahun. Pada surat tersebut juga diberi keterangan
bahwa penderita hanya mengeluh tentang rasa tersumbat pada salah satu saluran p
ernapasannya tanpa disertai rasa nyeri. Tak dapat diingat olehnya hal-hal yang d
apat menerangkan kehadiran benda tersebut di dalam hidungnya. Analisis Benda yan
g berhasil dikeluarkan oleh dokter THT tersebut keras seperti batu berbentuk aga
k bulat, berdiameter kurang lebih 1 cm, berwarna hitam, dan tidak berbau busuk.
Jelas ter lihat bahwa benda tersebut bukan berasal dari seekor serangga. Setelah dicuci be
rsih maka warna menjadi kurang hitam, akan tetapi tidak dapat ditemukan tanda-ta
nda pengenal asalnya. Oleh karena kerasnya bagian luar,maka kami berusaha membel
ah benda tersebut agar dapat melihat bagian tengahnya dan memperoleh bahan agar
dapat dianalisis susunan kimianya. Bagian luar yang keras dan berperan sebagai p
embungkus memang tersusun dari garam kalsium (Ca) hingga pantas disebut batu. Ba
tu tersebut dicoba dibelah dengan gergaji kecil dan tipis yang lazim dipakai unt
uk membuat huruf atau gambar dari kayu triplek. Sewaktu gergaji mendekati bagian
tengah, dirasakan sulit bergerak leluasa terasa gergaji tersebut terjepit. Hal
seperti ini tak pernah kami alami sebelumnya. Dengan susah payah pemotongan deng
an gergaji diteruskan sehingga benda terbelah dua. Terlihat bagian tengah "batu"
bersifat kenyal seperti karet. Dengan mengambil sedikit bahan bagian tengah dan
membakarnya maka tercium bau sangit yang mengingatkan seperti karet dibakar; be
rarti terdapat elemen sulfur atau belerang. Apa mungkin benda ini berasal dari k
aret? Kemudian saya teringat akan salah satu cara yang kami pergunakan sewaktu m
asih kecil yaitu bila hendak membuat sebuah bola bekel yang telah mengeras menja
di lunak kembali, yaitu dengan merendamnya dalam minyak tanah. Catatan: Karet ya
ng dipakai dalam pembuatan bola bekel adalah karet yang telah mengalami vulkanis
asi yang berarti karet telah direaksikan dengan sulfur untuk memperoleh elastisi
tas (daya pantul) karet yang diinginkan. Hasil rendaman potongan benda tersebut
dalam minyak tanah selama satu malam, membuat benda menjadi besar dan juga menja
di lebih kenyal seperti karet. Kesimpulan Inti dari batu hidung yang diteliti me
mang berasal dari karet. Bagaimana menerangkan ini? Hasil pemikiran kami adalah
karet di bagian tengah batu berasal dari karet penghapus yang terdapat di ujung
pensil (gb. 1). Memang dapat diingat oleh penderita bahwa pada masa kecilnya, ia
menggunakan pensil dengan karet penghapus di ujungnya. Diperkirakan sewaktu mem

asukkan ujung pensil ke dalam liang hidung, ujung


60 Cermin Dunia Kedokteran No. 149

karet tersebut terlepas. Usaha untuk mengeluarkannya membuat benda tersebut maki
n terdorong ke dalam dan potongan karet tersebut menyangkut di saluran belakang
hidungnya. Oleh karena tak ada rasa nyeri maka peristiwa tersebut diabaikan. Pas
ien tidak ingat lagi kapan peristiwa itu terjadi.
Bola tersebut seperti batu berwarna kuning kotor. Untuk meneliti susunan kimiany
a, batu tersebut perlu dibelah agar memperoleh bagian tengahnya untuk analisis k
imiawi. Sewaktu digergaji dengan gergaji biasa terjadi hal sebagai berikut: pada
kurang lebih pertengahan bola, gigi gergaji terasa melewati suatu bagian yang j
auh lebih lunak dari bagian permukaan batu. Setelah terbelah dua, pada bagian te
ngah batu dapat terlihat ujung-ujung benang yang ternyata berasal dari kain kasa
( Gb. 2 dan 3 ).
Gambar 1. Contoh bentuk karet penghapus pensil
Penjelasan Sebagai mekanisme pertahanan, tubuh akan membungkus atau melapisi ben
da tersebut dengan menggunakan lapisan atau endapan berunsur kalsium sehingga ak
hirnya terbentuk batu. B. Pada suatu hari datang sebuah bungkusan kain kasa puti
h yang berisi sebuah batu sebesar bola tenis disertai keterangan bahwa benda ini
hasil tindakan pembedahan, dikeluarkan dari buli-buli (kandung kemih) seorang p
enderita laki-laki berusia lanjut yang telah mengalami pembedahan prostat empat
tahun yang lalu (catatan: operasi prostat pada masa itu dilakukan dengan membuka
dinding perut dan buli-buli di daerah supra pubis!)
Gambar 3. Tampak benang kasa pada bagian tengah batu ( pembesaran lOOx )
Disimpulkan batu ini terbentuk dari inti kain kasa yang tertinggal dalam buli-bu
li sewaktu tindakan operasi sekian tahun yang lalu (catatan: tertinggalnya gulun
gan kain kasa tersebut tidak disadari oleh ahli bedahnya). Setelah melewati masa
bertahuntahun, tubuh berhasil menutupi/membungkus dengan endapan/ lapisan garam
kalsium dan akhirnya terbentuklah batu yang diuraikan di atas. KESIMPULAN Kedua
uraian tersebut mengingatkan kita akan berita yang dimuat dalam surat kabar ten
tang ditemukannya sebuah mumi yang tertinggal selama 26 tahun di dalam perut seo
rang wanita. Dalam kalangan ahli kebidanan, hal ini disebut lithopaedion. Sebaga
i seorang yang menggeluti ilmu biokimia, perlu disampaikan kepada pembaca bahwa
elemen kalsium di dalam tubuh yang sudah memiliki berbagai fungsi, masih juga da
pat bekerja sebagai pelapis benda asing di dalam tubuh.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Benny Handojo R unt
uk segala bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Gambar 2. Batu seukuran bola tenis
Cermin Dunia Kedokteran No. 149 61

Produk Baru
Lodopin Antipsikotik Atipik Zotepine Terapi Terbaru untuk Kasus Skizofrenia
Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang berhubungan gangguan psi
kiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik penyakit
tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic an
d Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International Stati
stical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- I
II (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya
masih bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu jug
a ditemukan gejala lain termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang
kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu psikosis dap
at pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi ment
al, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan antara individ
u dengan lingkungannya. Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang termasuk dal
am golongan psikosis dan merupakan penyakit psikotik yang paling sering dan pali
ng banyak diketahui, hal ini tidak berarti skizofrenia sinonim dengan psikosis.
Insidensi skizofrenia di Indonesia sendiri belum jelas. Penyebab pasti penyakit
ini sampai saat ini masih belum jelas diketahui; dari autopsi ditemukan kelainan
di area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, dan ganglia bas
alis, misalnya pelebaran sulkus, fisura, serta ventrikel, perubahan asimetri hem
isfer serebri, dan gangguan densitas otak, namun tidak ada satupun yang khas ata
u selalu ditemukan pada penderita skizofrenia. Petunjuk adanya peran genetik per
tama kali didapat dari penelitian keluarga. Jumlah penderita dalam keluarga lebi
h banyak dibandingkan dengan penderita pada populasi umum. Satu dari 100 orang d
alam populasi umum pernah menderita skizofrenia dalam periode hidupnya, sementar
a dari 100 saudara kandung penderita dijumpai 13 orang juga skizofrenia. Dari pe
nelitian "epidemiologi keluarga" terlihat bahwa risiko untuk keponakan adalah 3
persen, masih lebih tinggi dari populasi normal yang hanya 1 persen. Dengan demi
kian, kemungkinan anak tumbuh sehat adalah 97 persen. Makin dekat hubungan kelua
rga biologis, makin tinggi risiko terkena skizofrenia. Etiologi lain yang menduk
ung adalah bahwa aktivitas neurotransmiter dopamin berlebihan pada jalur dopamin
di susunan saraf pusat yaitu jalur mesolimbik dapat mencetuskan gejala positif
skizofrenia, selain itu penurunan aktivitas neurotransmiter dopamin pada jalur d
opamin juga mengakibatkan munculnya gejala negatif serta fungsi kognitif, selain
itu juga dihubungkan adanya gejala ekstrapiramidal yang sering muncul pada pasi
en skizofrenia. Saat ini PT. Kalbe Farma Tbk telah memiliki 2 obat antipsikotik;
setelah Zofredal yang mengandung risperidone telah dijual di pasaran, bulan Agus
tus lalu telah diluncurkan produk baru antiskizofrenia dengan nama dagang Lodopi
n yang mengandung zat aktif zotepine; produk yang dijual di Indonesia ini mempuny
ai nama dagang yang sama dengan di Jepang, jadi Lodopine merupakan produk origin
al. Zotepine adalah suatu antipsikotik atipik golongan dibenzothiepine yang dapa
t mengurangi fungsi dopamin di 4 jalur dopamin yang terdapat di susunan saraf pu
sat. Zotepine bekerja menghambat 2 reseptor dopamin (D1 dan D2 like receptors) s
elain itu zotepine dapat berikatan dengan 4 subtipe reseptor serotonin (5HT2a, 5
HT2c 5HT6 dan 5HT7). Zotepine juga dapat berikatan dengan reseptor adrenergik 1
(1) dan reseptor histamin 1 (H1); selain itu zotepine mempunyai keunikan yaitu ma
mpu menghambat re-uptake noradrenalin, yang dapat mengimbangi sebagian efek anta
gonisme reseptor 1- adrenergik dari zotepine. Profil farmakokinetik obat ini den
gan mula kerja yang cukup cepat yaitu 2-3 jam dapat memberikan manfaat yang sege
ra terhadap penderita skizofrenia, lagipula tidak dipengaruhi oleh makanan.. Pen
elitian di beberapa negara di Eropa dan Jepang, memperoleh hasil bahwa zotepine
secara bermakna dapat memperbaiki gejala positif, negatif serta perbaikan pasien
skizofrenia secara klinis yang dinilai dengan beberapa cara skoring antara lain
Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), Clinical Global Impressions (CGI), Scale
for the Assessment of Negative Symptoms (SANS) serta Positive and Negative Sign
s Scoring System. Kelebihan zotepine yang lain selain efektivitasnya, juga ditun
jukkan dari hasil beberapa penelitian yaitu dapat mengurangi efek samping ekstra
piramidal, dalam hal ini membandingkan zotepine dengan antipsikotik konvensional
yaitu haloperidol dan chlorpromazine; serta pernah juga dibandingkan dengan ant
ipsikotik antipik lain yaitu clozapine hasilnya bahwa pemakaian zotepine secara

bermakna dapat memperbaiki fungsi kognitif pasien skizofrenia meskipun efektivit


asnya dalam memperbaiki gejala positif dan negatif sebanding. Zotepine juga efek
tif menekan angka kekambuhan, terbukti dalam penelitian atas pasien skizofrenia
kambuhan.
KEPUSTAKAAN 1. A Comparison of an Atypical and Typical Antipsychotic: Zotepine v
ersus Haloperidol in Patients with Acute Exacerbation of Schizophrenia: A Parall
el Group Double Blind Trial. Psychopharmacol. Bull. 1996; 32:8187. Summary of Pr
oduct Characteristics. Printed for Certificate of Pharmaceutical Product Number
PP048518. Knoll Ltd, England. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa d
i Indonesia III. Departemen Kesehatan RI 1993. Faktor Genetika pada Skizofrenia,
http://www.kompas.com/ kompascetak/0311/17/inspirasi/692476.htm Standard Commod
ity Classification no. 871179 of Japan Fujisawa Pharmaceutical Co.,Ltd. Agent fo
r shizophrenia Lodopin. Zotepine in the prevention of recurrence: a randomised,
double blind placebo-controlled study for chronic schizophrenia. Psychopharmacol
ogy 2000:150;237-43. Improvement of cognitive function in schizophrenic patients
receiving Clozapine or Zotepine: Result from a double blind study. Pharmacopsyc
hiatry 1997; 30(2): 35-42 . A Placebo controlled comparison of zotepine versus c
hlorpromazine in patients with acute exacerbation of schizophrenia. Acta Psychia
tr.Scand. 2000;101: 218-25 .
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
62 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Kegiatan Ilmiah
Innogene Kalbiotech, anak perusahaan PT Kalbe Farma untuk menembus pasar dunia,
Jakarta 29 Juli 2005 Tidak hanya unggul dalam negeri saja (saat ini "KLBF" adala
h perusahaan farmasi terbesar di Bursa Efek), PT Kalbe Farma bercitacita menembu
s pasar dunia. Caranya adalah menciptakan produkproduk baru (paten internasional
). Jadi bangsa Indonesia bisa bangga bahwa nantinya akan lahir obat-obatan farma
si original yang diproduksi oleh PT Kalbe Farma. Melalui Innogene Kalbiotech, Ka
lbe Farma akan menjadi drug development company dengan fokus pada clinical devel
opment. Demikian hasil Press Conference di Kantor Marketing PT Kalbe Farma, Juma
t 29 Juli 2005, yang diikuti dengan acara penandatanganan kerjasama dengan perus
ahaan Recombio pada Senin 1 Agustus 2005 (tampak dalam foto: Peserta dari acara
penandatanganan co-developement agreement Innogene Kalbiotech dengan Recombio un
tuk produk vaksin kanker dengan kode 1E10). Kalbe Farma Dinner Symposium, Solo 2
3 Juli 2005 Kontroversi cairan Koloid versus Kristaloid sudah berlalu beberapa d
ekade yang lalu. Saat ini menurut penuturan Dr. Sun Sunatrio, para ahli sudah me
nyadari bahwa kedua cairan ini bisa saling melengkapi. Hal ini diungkapkan dokte
r dari FKUI/RSCM dihadapan sekitar 200-an dokter peserta acara Dinner Symposium
Kalbe Farma yang mengambil tema: Acid Base Balance in Colloid Therapy (Fluid The
rapy). Kalbe Farma Lunch Symposium, Solo 23 Juli 2005 Pada keadaan sepsis, terap
i antimikroba harus segera dimulai setelah sampel darah untuk pemeriksaan biakan
diambil. Resume diskusi mengenai antibiotik pada Simposium Makan Siang kali ini
, menjelaskan bahwa Levofloksasin (Cravit) diketahui mempunyai efek yang cepat de
ngan penetrasi sel yang tinggi. Begitu pula, obat untuk gram negatif ini, mempun
yai kadar intraseluler yang tinggi dalam sel fagosit sehingga bermanfaat untuk t
erapi sepsis karena bakteri.
Seminar BTXA, Jakarta 10 Agustus 2005 Menurut dr Juan P Sanchez ahli bedah plast
ik dan rekonstruksi dari Makati Medical Center Filipina, hal-hal yang perlu dipe
rhatikan dalam penggunaan produk kecantikan antara lain: sudah terdaftar pada ba
dan otoritas suatu negara dan kredibilitasnya. Selama kurang lebih 4 jam, dokter
ahli bedah plastik dan penulis buku Bagaimana Komunikasi Efektif dengan Pasien, m
enjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan BTXA (toksin clostridium botulinum tip
e A), produk bioteknologi PT Kalbe Farma. Moto yang digunakan adalah Goodbye Wri
nkles. Presentasi Buku Terbitan Baru UI: Komunikasi Dokter dengan Pasien, Jakart
a 2 Juni 2005 Acara Peluncuran Buku "Kupersembahkan Buku Untukmu Indonesia" meru
pakan acara penutup dari rangkaian acara Dies Natalis UI ke 55 tahun 2005 untuk
bagian FKUI. Ketua Umum Dies tahun ini adalah Dr. Tjandra Yoga Aditama. Pada aca
ra tersebut dr.Sjamsurijal Djauzi mempresentasikan bukunya yang merupakan salah
satu dari 51 buku terbaru terbitan UI tahun 2004. Simposium Ilmiah Elektrofisiol
ogi sebagai penatalaksanaan terkini Aritmia, RS. Mitra Keluarga Kelapa Gading, 1
8 Juni 2005 Atrial fibrillation (AF) adalah kelainan irama jantung yang paling b
anyak didapat. Begitu banyaknya kejadian sehingga AF sudah menjadi penyakit epid
emik global. Saat ini, menurut Dr Yoga Yuniadi SpJP, penatalaksanaan AF dapat di
lakukan dengan tindakan invasif, yaitu pemasangan alat pacu jantung atau yang le
bih dikenal dengan tindakan ablasi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
63

Penanganan & Pencegahan virus Hepatitis pada penyakit Ginjal Kronis, Jakarta 18
Juni 2005 IKCC kembali mendampingi, memberi informasi dan menjadi wadah bagi rek
an-rekan pasien ginjal kronis maupun rekan-rekan yang peduli terhadap ginjal, te
mpat seluruh partisipan dapat berbagi pengalaman dan tips. Sabtu 18 Juni 2005, b
ertempat di Conference Room PT. Bintang Toedjoe Pulomas, IKCC mengadakan seminar
mengenai Hepatitis dengan tema Penanganan & Pencegahan Virus Hepatitis pada Ginj
al Kronis bersama dr. J. Boas Saragih, SpPD, DTM & H dari RS PGI Cikini. Simposiu
m Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular IV, Jakarta 1-3 Juli 2005 Gagal ja
ntung merupakan sindrom yang timbul akibat ketidakmampuan jantung memompakan dar
ah ke dalam sirkulasi jaringan tubuh walaupun tekanan pengisian ke dalam jantung
cukup tinggi (kegagalan pengisian ke dalam ventrikel kiri). Simposium yang berl
angsung selama 3 hari ini diselenggarakan oleh CME Ilmu Penyakit Dalam bekerjasa
ma dengan Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskular Indonesia (IKKI) , diikuti ol
eh sekitar 1.000 peserta. Simposium Forum Onkologi Bandung (FOB) ke-2, Bandung 7
-8 Juli 2005 Kemoterapi ajuvan maupun neoajuvan sangat berperan meningkatkan lam
anya revisi dan harapan hidup pasien kanker payudara stadium dini. Simposium yan
g berlangsung 2 hari ini diikuti oleh sekitar 50 dokter Bedah Onkologi dan Hemat
ologi Onkologi. KONAS PETRI XI, PERPARI VII, PKWI VIII, PIT II PAPDI cabang Sura
karta, Solo 22 24 Juli 2005 Para dokter sebaiknya memberlakukan preparat herbal
sebagai obat ajuvan yang berarti tidak seharusnya diberikan terus menerus. Manfa
at fitofarmaka memang sangat baik jika diberikan pada mereka yang mengalami keku
rangan zat tersebut. Namun pemberian terus menerus adalah berlebihan dan jangka
panjang bisa mengakibatkan efek yang tidak diinginkan. Demikian pembahasan yang
disampaikan Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr, SpPD-KPTI dihadapan sekitar 800 pe
serta acara yang berlangsung di Hotel Quality Solo, pada sesi "Peran Respon Imun
pada Usia Lanjut". Hidup Fit Bebas Anemia, Jakarta 23 Juli 2005 IKCC kembali me
ngadakan pertemuan rutin bulanan bagi penderita ginjal dan rekan-rekan yang pedu
li terhadap ginjal, Sabtu, 23 Juli 2005, bertempat di RS Pertamina Pusat Jakarta
Selatan, dengan mengangkat tema Hidup fit, bebas anemia bagi penderita ginjal d
an gagal ginjal. Bersama dr. Hariadi Wirotomo, DSPD. Pelatihan VI PERMAPKIN: Pen
genalan Proses Sertifikasi ISO 9001:2000 di RS, Jakarta 25-27 Juli 2005 Bagi pel
anggan (baik perorangan maupun perusahaan), MUTU biasanya diartikan dengan (1) p
ermintaan/persyaratan yang sudah dinyata-kan sebelumnya, (2) kecocokan dalam pen
ggunaan dan (3) barang/ tempat/waktu/harga yang tepat/sesuai. Demikian Pengenala
n Proses Sertifikasi ISO 9001:2000 yang disampaikan oleh Ibu Dwi Indah Prastyast
uti kepada sekitar 40 manager perumahsakitan dari seluruh Indonesia di Jakarta.
12th International Symposium on Shock and Critical Care, Bali, 12 14 Agustus 200
5 Acara ini diselenggarakan di Discovery Kartika Plaza Hotel, Kuta Bali, merupak
an satu rangkaian yang terdiri dari simposium utama, tracheostomy workshop, dan
dilanjutkan Basic Course hingga 16 Agustus 2005. Simposium utama dibuka dengan p
emukulan gong
secara bergantian oleh dr. Tri Wahyu selaku ketua panitia, dr. Ernest Benjamin s
elaku penasehat dan dr.Joseph Varon selaku ketua seksi ilmiah. Acara bertaraf in
ternasional ini dihadiri oleh sekitar 500 peserta dan puluhan pembicara mancaneg
ara, seperti Australia, Canada, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Malaysia, Me
ksiko, New Zealand, Arab, Singapura, Inggris, dan Amerika. Seminar II Revolution
on Anti Aging Medicine, Jakarta 13 Agustus 2005 Hormon Testosteron digunakan se
bagai first line therapy di negeri Tirai Bambu (Cina) untuk pria yang mengalami
depresi. Demikian penjelasan dr Erwin Peetosutan, SpP, pakar Anti Aging Indonesi
a, saat memberikan ceramah kepada sekitar 250 peserta yang mengikuti Series of S
eminar & Workshop dari Perkumpulan Awet Sehat Indonesia (PASTI). Seri seminar be
rikutnya akan di selenggarakan di tempat yang sama pada Sabtu, 26 November 2005.
Seminar Air Hexagonal dan Kesehatan, Jakarta 14 Agustus 2005 Fungsi air dalam t
ubuh tidak hanya menghilangkan haus, tetapi juga metabolisme hidup, kesehatan da
n proses penuaan. Stres yang menyerang hampir setiap orang juga dapat mengeringk
an persediaan air dalam tubuh, sebaliknya kekurangan air juga dapat menyebabkan
stres. Anda perlu minum air berkualitas baik untuk mencegah penyakit, kata Walte
r Kim, PhD, CEO of Keosan Co.Ltd. Seminar tentang air hexagonal dan kesehatan ya
ng berlangsung di Jakarta, 14 Agustus 2005 ini dihadiri oleh sekitar 150 undanga

n dari kalangan dokter. First International Meeting on Hospital Role in Occupati


onal Medicine, Jakarta 19 - 20 Agustus 2005 Pencegahan merupakan pendekatan yang
relatif murah dibandingkan mengobati. Apalagi jika kita turut memperhitungkan j
uga waktu kerja yang terbuang selama pengobatan. Hal ini diutarakan Sr. Speciali
st on Occupational Safety and Health ILO Subregional Office for South Asia, Ingr
id Christensen, pada saat memberikan Plenary Lecture, hari pertama Simposium Int
ernasional Pertama yang mengambil topik Hospital Role in Occupational Medicine d
i Hotel Borobudur Jakarta, Indonesia. Simposium dihadiri oleh sekitar 200 pesert
a pelaku/pengamat Kesehatan Kerja (dokter dan non dokter). The 5th Annual Scient
ific Meeting on Pharmacology, Jakarta 2627 Agustus 2005 The 5th Annual Scientifi
c Meeting on Pharmacology and Therapy yang berlangsung 2 hari mengambil tema Rec
ent Pharmacotherapy. Acara dibuka dengan kata sambutan dari ketua panitia Dr. Su
harti K Suherman SpFK(K) dilanjutkan dengan kata sambutan oleh wakil Dekan II FK
UI, dr Prijo Siditomo Sp. Rad. The 4th Annual Scientific Meeting Raffles Hospit
al Singapore 27 Agustus 2005 Ada beberapa hal baru pada acara tahunan ke-4 dari
Raffles Hospital Singapore. Misalnya, menurut Ketua Panitianya, dr Tan Yew Ghee,
tempat pelaksanaannya yang tidak lagi dilakukan di rumah sakit, melainkan di Sh
eraton Towers Hotel dengan fasilitas konferensi dan audiovisual yang baik. Hal k
edua dalam simposium bertema "Gynaecology and Paediatrics - The GP s Perspective
" adalah diundangnya dokter-dokter luar negeri seperti dari Indonesia, Malaysia,
Bangladesh, Myanmar dan Sri Lanka.

Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas, bisa diakses pada http://www.ka
lbefarma.com/seminar.
64 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

ABSTRAK
MEROKOK DAN FUNGSI PARU Fungsi paru membaik jika seseorang berhenti merokok, tet
api manfaatnya berkurang akibat kenaikan berat badan yang menyertainya, terutama
di kalangan pria. Sejumlah 6654 orang dari 27 kilinik/rumahsakit diukur fungsi
parunya di tahun 1991-93 saat mereka berusia 20-44 tahun, kemudian diulang pada
tahun 1998-2002. Dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, penurunan
FEV1 lebih rendah pada mereka yang berhenti merokok (beda rata-rata 5.4 ml/tahu
n 95%CI: 1.7 sd. 9.1) dan di kalangan mereka yang berhenti merokok dalam masa su
rvai (2.5 ml; 1.9 sd. 7.0) dan paling nyata di kalangan perokok (-4.8 ml; -7.9 s
d. 1.6). Di kalangan perempuan, masingmasing 1.3 ml/tahun (-1.5 sd. 4.1); 2.8 ml
(-0.8 sd. 6.3) dan 5.1 ml (-7.5 sd. 2.8). Perbedaan ini tidak bermakna. Selain i
tu FEV1 menurun 11.5 ml (13.3 sd. 9.6) per kg. kenaikan berat badan di kalangan pr
ia dan 3.7 ml (5.0 sd. 2.5) per kg. kenaikan berat badan di kalangan perempuan; ha
l ini menghilangkan manfaat berhenti merokok pada 38% pria dan 17% perempuan.
Lancet 2005;365:1629-35 brw
tat 114 kasus SIDS (2.7 per 1000 kelahiran di antara mereka dengan quintile tert
inggi). Dengan nilai quintile terendah sebagai patokan, odd ratio kejadian SIDS
untuk empat quintile berikut ialah 1.7 (95%CI: 0.8-3.5), (0.9-3.7), 2.5 (1.3-4.8
) dan (1.4-5.4) p for trend = 0.001. Risiko SIDS berbanding terbalik dengan bera
t badan lahir dan usia kehamilan; jika faktor-faktor di atas dikoreksi, maka odd
ratio SIDS menjadi berturut-turut: 1.7 (0.8-3.5); 1.7 (0.8-3.5); 2.2 (1.1-4.4),
2.2 (1.14.3), p for trend = 0.01. Mereka menyimpulkan adanya hubungan langsung
antara kadar AFP serum ibu pada trimester ke dua dengan risiko SIDS, mungkin kar
ena risiko pertumbuhan janin terhambat dan kelahiran prematur.
N.Engl.J.Med.2004;351:978-86 brw
Persentase berhenti merokok lebih tinggi di kalangan yang lahir di luar AS (87 39%), usia > 65 tahun (40 47%) dan merokok kurang dari 20 batang/hari (116 35%)
. Mereka yang mendapat konseling lebih banyak yang berhenti merokok (246 38% vs.
189 27%, p=0.001). Dengan asumsi kelompok kontrol tetap merokok, stop rate di k
alangan penerima NRT 20%; sedikitnya 6038 berhenti merokok karena program ini da
n biayanya $464 tiap orang yang berhenti merokok.
Lancet 2005;365:1849-54 brw
RISIKO PENGGUNAAN BETAMETASON ANTENATAL Betametason sering digunakan ibu hamil u
ntuk mencegah sindrom gangguan pernapasan bayinya. Para peneliti mengamati risik
o efek samping pengobatan tersebut dengan cara memeriksa 534 anak yang dilahirka
n setelah berusia 30 tahun. Di akhir penelitian, 253 anak kelompok betametason d
ibandingkan dengan 281 anak plasebo. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakn
a dalam hal berat badan, lipid darah, tekanan darah, kadar kortisol plasma, prev
alensi diabetes atau riwayat gangguan kardiovaskuler. Pada tes toleransi glukosa
menggunakan 75 g. glukosa, kelompok betametason mempunyai kadar insulin plasma
30 menit yang lebih tinggi (60.5 vs. 52.0 mIU/L; ratio of geometric means 1.16 [
95%CI 1.03-1.31], p=0.02) dan kadar glukosa 120 menit lebih rendah (4.8 vs. 5.1
mmol/L; diff. 0.26 mmol/L [-0.53 0.00], p=0.05) dibandingkan dengan kelompok plas
ebo. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan betametason cukup aman.
Lancet 2005;365:1856-62 brw
BERHENTI MEROKOK MENGGUNAKAN KOYO (PATCH) NIKOTIN Sejumlah 34 090 perokok yang m
enghubungi hotline untuk berhenti merokok dikirimi koyo nikotin untuk penggunaan
6 minggu dengan dosis 21 mg., 14 mg. dan 7 mg./hari masingmasing untuk 2 minggu
. Setelah 6 bulan diambil secara acak 1305 orang dari kelompok tersebut untuk di
bandingkan dengan kontrol yang diambil dari kelompok yang sebenarnya akan diikut
kan dalam percobaan ini, tetapi karena kesalahan teknis, tidak. Ternyata lebih b
anyak pengguna koyo yang tetap tidak merokok setelah 6 bulan (33% vs. 6%, p<0.00
01); perbedaan ini tetap bermakna setelah penyesuaian faktor demografik dan juml
ah rokok yang diisap (OD 8.8, 95%CI 4.4 -17.8).
ALFAFETOPROTEIN DAN RISIKO SIDS

SERUM
Selama ini diketahui bahwa peningkatan kadar alfa fetoprotein serum saat kehamil
an trimester ke dua merupakan pertanda disfungsi plasenta dan dapat meramalkan r
isiko lahir mati. Para peneliti di Inggris menyelidiki kaitannya dengan risiko S
IDS (sudden infant death syndrome). Di antara 214 532 wanita dengan kelahiran tu
nggal di Skotlandia, tercaCermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
65

Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran Tahun 2005


CDK 146. Ginekologi 2 English Summary Najoan Nan Warouw, Sugiarto Wiriadinata Hubungan Serum Feritin Ibu Hamil Trimester ke Tiga dengan Bayi Berat Badan Lahir
Rendah Dewi Parwati, Dyah W. Isbagio, Sarwo Handayani, Farida Siburian - Status
Imun Tetanus Wanita Usia Subur di Daerah Endemis Malaria Eddy Suparman - Malari
a pada Kehamilan Ferry Armanza, Made Kornia Karkata - Kadar Asam Urat sebagai Pr
ediktor Luaran Pengelolaan Preeklampsia Berat Preterm Zulkhairi, Salli R Nasutio
n - Sindroma Nefrotik pada Kehamilan Sahadewa DP, Suwardewa TGA, Jaya MS - USG T
ransvaginal Dibandingkan dengan D&C PA untuk Diagnostik Perdarahan Uterus Abnorm
al Supriatmaja IPG, Suwardewa TGA - Pengaruh Senam Hamil Terhadap Persalinan Kal
a Satu dan Kala Dua Suharto - Penatalaksanaan Fisioterapi pada Nyeri Pinggang Ba
wah Aspesifik akibat Joint Block Thoracal dan Lumbal Olwin Nainggolan, Jenry Wal
les Simanjuntak - Pengaruh Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia J
ack) terhadap Perilaku Seksual Mencit Putih Informatika Kedokteran : Pengembanga
n Kurikulum Informatika Kesehatan Berbasis Kompetensi pada Program Pendidikan Do
kter dan Ilmu Keperawatan Kegiatan Ilmiah Kapsul : FDA-Approved Antiretroviral A
gents Abstrak : Manfaat rtPA Lancet 2004;363:768 74 Manfaat simvastatin Lancet 20
04;363:757 67 Variasi pendidikan kedokteran BMJ 2004 ; 328:207-9 di Australia Ko
rtikosteroid untuk croup N.Engl.J.Med.2004;351:1306 13 Terapi tumor payudara din
i N.Engl.J.Med.2004;351:963 70 Eritromosin oral dan risiko N.Engl.J.Med.2004;351
:1089 96 komplikasi jantung Lumpektomi untuk tumor N.Engl.J.Med.2004;351:1306 13
payudara Partus pasca operasi caesar BMJ 2004;328:311 - 4 Risiko stroke berulan
g BMJ 2004; 328:326 8 4 5 15 16 18 19 28 29 38 39 43 44 47 48 51 52 54 55
148.Imunisasi 58 59 60 61 62 62 62 62 62 63 63 63 63 English Summary Enny Muchl
astriningsih - Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di
Indonesia Dyah Widyaningroem Isbagio - Masa Depan Pengembangan Vaksin Baru Ainur
Rofiq, Agus Suwandono, Eko Rahardjo, Rudi Hendro P Serosurvei Influenza pada Pe
kerja, Penjual dan Penjamah Produk Ayam di 8 Propinsi Kejadian Luar Biasa Flu Bu
rung yang Menyerang Ayam Mardi Santoso, Herman Salim, Hasanudin Alim - Avian Inf
luenza (Flu Burung) Sarjaini Jamal - Apakah SARS akan Berjangkit Kembali ? Sarwo
Handayani - Infeksi Campak Karakteristik dan Respon Imunitas yang Ditimbulkan E
nny Muchlastriningsih - Kecenderungan Kasus Campak Selama Empat Tahun (1997 2000
) di Indonesia Bambang Heriyanto, Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana
Siti Hutauruk - Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia tahun
2001-2003 Rudi Hendro P, Eko Rahardjo, Masri Sembiring Maha, John Master Saragi
h - Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Desa Harja Mekar dan Pa
bayuran Kabupaten Bekasi tahun 2003 Gendrowahyuhono - Status Antibodi Anak Balit
a Pasca Pekan Imunisasi Nasional (PIN) IV di Makassar Gendrowahyuhono - Status A
ntibodi Anak Sekolah Dasar Sebelum dan Sesudah Program Bulan Imunisasi Anak Seko
lah (BIAS) di Yogyakarta Eko Rahardjo - Pemeriksaan Spesimen Serum Darah terhada
p Zat Anti Legionella Sarwo Handayani - Deteksi Respiratory Syncytial Virus (RSV
) dan Human Metapneumovirus (HMPV) dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT- PCR) Eulis A. Datau, Candra Wibowo - Introduction to Anti-Aging M
edicine Produk Baru: Terapi Osteoporosis Betafit,Kombinasi Betaine Vitamin E Inf
ormatika Kedokteran : Daftar Simposium/seminar di Website Kalbe Farma Kegiatan I
lmiah Kapsul : Medication for chronic musculoskeletal pain 4 5 11 12 16 17 20 Ze
aland White Tjandra Yoga Aditama - Rokok di Sinetron Rully MA Roesli, Enday Suka
ndar, Rubin Gondodiputro, Rachmat Permana - Kenaikan Kadar Hemoglobin setelah Pe
mberian Epoeitin Alfa (HEMAPO) selama 12 Minggu pada Penderita Gagal Ginjal yang
Menjalani Hemodialisis Produk Baru: Kalferon Informatika Kedokteran : Website Ka
lbe Farma hadir dengan tampilan baru Kegiatan Ilmiah Kapsul : Medication for chr
onic musculoskeletal pain Abstrak Asma atopik dan N.Engl.J.Med.2004;351:1068-80
lingkungan rumah Risiko stroke berulang BMJ 2004; 328:326-8 Efektivitas kontrol
DM dengan Lancet 2004;363:423-28 hanya diet Deteksi dini kelainan colon Lancet 2
005;365:305-11 51 53 54 57
58 59 60 61 62 63 63 63 63
21 24 25 29 30 34 35 36 37 39 40 42

CDK 147.Kardiologi English Summary Santoso M. Setiawan T. - Penyakit Jantung Kor


oner William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri - Current Trends of Treatment in Hype
rtension Sunarya Soerianata, William Sanjaya - Peranan Penghambat Reseptor Angio
tensin II dalam Hipertrofi Ventrikel Kiri Vaskuler Idris Idham, William Sanjaya
- Angiotensin-II dan Remodelling Selvinna - Disfungsi Endotel dan Obat Antihiper
tensi Jansen Silalahi - Gas Nitrogen Oksida - Polutan atau Vital bagi Kehidupan?
Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Mina
mi, Richardus Budiman, Reiner Korfer - Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung S
antosa, Soenarto, Suyanto Hadi - Pengenalan Miopati Mitokondria Olwin Nainggolan
, Cornelis Adimunca - Diet Sehat dengan Serat Sulistyowati T, Cornelis Adimunca,
Raflizar - Efek Teh Hitam [(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)] terhad
ap Plak Aterosklerosis pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain New 4 5 9 10 1
2 13 15 16 19 20 25 26 30 31 34 35 42 43 46 47 50
43 45 46 48 49 50 51 - 54 55 -59 60 61 62 63
66 Cermin Dunia Kedokteran No. 149

CDK 149. Kesehatan Jiwa English Summary Kusumanto Setyonegoro Kesehatan Jiwa (Me
ntal Health) di Kehidupan Modern Nurmiati Amir Diagnosis dan Penatalaksanaan Dep
resi Pascastroke LS. Chandra Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggul
angannya Myrna Yustina Antidepresan dan Fungsi Seksual Sylvia D. Elvira - Penang
anan Psikologik pada Obesitas Theresia Kaunang - Diagnosis dan Penatalaksanaan G
angguan Asperger Yusuf Alam Romadhon - Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak denga
n Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas Raharni, Max J. Herman - Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika & Z
at Adiktif) di Kalangan Siswa SMU 4 5 8-13 14-18 19-20 21-23 24-31 32-37 38-43
Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri - Pengaruh Pendedahan Morfin terhadap
Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster Sunanti Z. Soejoeti Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya Azamris - Respon T
erapi Tamoxifien pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan Reseptor Estrogen, Res
eptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif Nelson Simanungkalit Pospos - L-OrnitinL-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing pada Hepatosit akibat Keracunan Etanol Oe
n Liang Hie Beberapa Temuan yang Taklazim (aneh) Selama Bekerja Meneliti Susunan
Kimia Batu Ginjal Produk Baru: Lodopin Kegiatan Ilmiah Abstrak Indeks Karangan
Tahun 2005
44-48 49-52 53-56 57-59 60-61 62 63 65 66-67
KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE BULAN OKTOBER DESEMBER 2005
BULAN
TANGGAL
KEGIATAN DAN TEMPAT ACARA
17th Weekend Course on Cardiology (17th WECOC) : Acute Cardiovascular Care
SEKRETARIAT PANITIA
Department Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine University of In
donesia/RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jl. Letjen S. Parman Kav. 87
Slipi, Jakarta Barat Tlp.: 62-21-5684085 ; Fax. : 62-21-5686203 E-mail : info@k
ardiologi-ui.com Website : http://www.kardiologi-ui.com Graha Masyarakat Ilmiah
Kedokteran (GRAMIK) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Jl. Mayjen Prof. D
r. Moestopo No. 47 Surabaya Tlp. : 031-5020569, Fax. : 031-5013749 E-mail : kona
s_ppi@yahoo.com DPP Persagi, Direktorat Gizi Masyarakat Jl. HR Rasuna Said Jakar
ta 12950 Tlp. : 021-527 7382 ; Fax. : 021-521 0176 E-mail : atmarita@gizi.net Di
vision of Nephrology, Department of Internal Medicine University of Udayana / Sa
nglah Hospital Denpasar, Jl. Kesehatan Sanglah Denpasar Bali Tlp. : 0361-245733
; Fax. : 0361-229799 E-mail : pernefri@_ix@yahoo.com Sub Bagian Bedah Digestif F
KUI / RSUPNCM Jl. Diponegoro 71. Jakarta Tlp. : 021-39100938, 3148705 ; Fax. : 0
21-3148705 E-mail : jdw2005@pharma-pro.com PASTI, Jl. Sawo 15, Menteng Jakarta 1
0350 Tlp. : 021-391 6241 ; Fax. : 021-314 1850 Ministry of Health, Republic of I
ndonesia Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-5 No. 4-9 Jakarta 12950 Tlp. : 62-21-5275256
, 5214875 Fax. : 62-21-5275256 Persahabatan Hospital, Asthma Building, 2nd Floor
Persahabatan Raya, Jakarta 13230 Tlp. : 62-21-4786 4646 ; Fex: 62-21-4786 6543
E-mail : respina@pharma-pro.com ; www.respina.org Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Tlp. : 021-3100075 / 3907703 ; Fax
. : 021-39111740 E-mail : endo_id@indo.net.id Departemen Kardiologi FKUI/Pusat J
antung Nasional RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jl. Letjend. S. Parma
n Kav. 87 Slipi, Jakarta Barat Tlp. : 021-5608239 Fax. : 021-5608239 E-mail : se
cretariat@apspe2005.org
29/9 01/10 Oktober Hotel Borobudur Kongres Nasional II Perhimpunan Patobiologi I
ndonesia The Management of Sepsis-SIRS Based on Epigenetic & Genetic Mechanism The bridging of basic science to clinical application Hotel Hyatt Regency Temu Il
miah dan Kongres XIII PERSAGI : Gizi Baik Investasi Pembangunan Inna Grand Bali
Beach, Sanur - Bali Konas IX & Annual Meeting PERNEFRI Bali 2005 : The 9th Natio

nal Congress & Annual Meeting of Nephrology 2005 Hotel Discovery Kartika Plaza,
Kuta - Bali 4th Jakarta Digestive Week : Update in Gastrointestinal Malignancy J
akarta Convention Center Revolution on Anti Aging Medicine Hotel Menara Peninsul
a, Jakarta International Conference on Occupational Health in The Informal Secto
r (ICOHIS): Millenium Goals - Serving the Underserved Working Population Hotel S
heraton Mustika, Yogyakarta The Seventh International Meeting on Respiratory Car
e Indonesia (RESPINA - 2005) Hotel Borobudur, Jakarta Jakarta Diabetes Meeting Pr
actical Insight on Preventing and Treating : Diabetes Obesity and Cardio Metabol
ic Disease Hotel Novotel Mangga Dua, Jakarta 8th Asia Pacific Symposium On Cardia
c Pacing & Electrophysiology Hotel Westin Nusa Dua, Bali
01 02
13 16
24 27 November 25 26 26 29 02
02 04
Desember
03 04
08 09
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di h
ttp://www.kalbefarma.com/calendar
Cermin Dunia Kedokteran No. 149 67

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Pola penyesuaian diri terhadap stres meliputi hal berikut, kecuali: a) Melawa
n b) Menarik diri c) Mengubah situasi d) Kompromi e) Membenci Depresi pasca stro
ke dikaitkan dengan lesi di : a) Frontal b) Temporal kiri c) Temporal kanan d) P
arietal e) Oksipital Yang bukan merupakan uji biologik depresi : a) Dexamethason
e suppresion test b) Kadar kortikosteroid cairan otak c) Kadar kortisol serum d)
Kadar MHPG serum e) Uji stimulasi TSH Antidepresan yang dianjurkan saat awal te
rapi : a) Trisiklik b) MAO inhibitor c) SSRI d) Litium e) Psikoterapi 6. Perbeda
an gangguan Asperger dengan autisme ialah dalam hal : a) Teori vaksinasi b) Perk
embangan kognitif c) Kemungkinan penyebab genetis d) Mula timbul masa kanak-kana
k e) Menarik diri 7. Anjuran diet pada gangguan Asperger berupa diet : a) Bebas
lemak dan kolesterol b) Tinggi protein c) Rendah gula/karbohidrat d) Bebas glute
n dan kasein e) Rendah garam 8. Terapi utama Gangguan Pemusatan Perhatian / Hipe
raktif : a) Psikoterapi b) Metilfenidat c) Haloperidol d) Imipramin e) Bupropion
9. Zat berikut merupakan derivat opiat kecuali : a) Morfin b) Petidin c) Kodein
d) Heroin e) Kokain
2.
3.
4.
5. Anksiolitik yang dikenal lebih efektif untuk mengatasi sexual phobia/anticipa
tory anxiety : a) Diazepam b) Buspiron c) Klobazam d) Alprazolam e) Trazodon
JAWABAN RPPIK : 1. 6. B A 2. 7. A D 3. 8. B B 4. 9. C E 5. D
68 Cermin Dunia Kedokteran No. 149

Anda mungkin juga menyukai