Anda di halaman 1dari 11

1

MAKALAH UJIAN KASUS


FORENSIK KLINIK











Disusun Oleh:
Naela Himayati Afifah
0906508333











Penguji:
dr. Zulhasmar S, SpF, SH






DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2011
2

ILUSTRASI KASUS

No. Registrasi RSCM : 376-21-42
Waktu Pemeriksaan : Rabu, 17 Oktober 2012, pukul 16.00 WIB

Identitas Korban
Nama : Nn. DB
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 27 tahun
Status Perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Karyawan swasta
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Setia Budi Barat2 No. 4B RT 002/02 Kelurahan Setia
Budi, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan.
Keterangan : Korban datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan
membawa Surat Permintaan Visum (SPV) utuk meminta
pembuatan Visum et Repertum (VER) pada tanggal 17 Oktober
2012.
Riwayat Medis
Anamnesis
Korban mengaku pada hari yang sama dengan pemeriksaan (Rabu, 17 Oktober
2012) pukul 12.00 WIB, korban dipukul oleh pelaku, yaitu mantan suami korban, di rumah
pelaku. Korban dipukul pada wajah lebih dari satu kali dengan tangan kosong. Perut
korban ditendang satu kali. Punggung korban dibenturkan satu kali ke dinding. Setelah
kejadian, korban megeluh pusing, nyeri pada perut bagian bawah, dan terdapat cairan
berwarna merah dengan lendir berwarna putih keluar dari lubang kemaluan. Saat ini,
korban mengaku sedag hamil satu bulan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sadar penuh, keadaan umum baik, sikap kooperatif
Suhu : tidak demam
Tanda vital
o Tekanan darah : 130/80 mmHg
3

o Frekuensi nadi : 80 kali/menit
o Frekuensi napas : 18 kali/menit
Keadaan gizi : Baik

Status Lokalis Luka/Cedera
Pada dahi sisi kiri, 1,5 cm dari garis pertengahan depan, 1,5 cm di atas alis, terdapat
luka gores sepanjang 3,5 cm.
Pada pipi sisi kanan, 7 cm dari garis pertengahan depan, 4 cm di bawah sudut luar
mata, terdapat memar berwarna biru keunguan berukuran 5 cm x 3 cm.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dalam (vaginal touche) dan pemeriksaan USG abdominal yang dilakukan
oleh Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, bertempat
di Ruang Pemeriksaan Kandung Instalasi Gawat Darurat. Hasil pemeriksaan ini adalah
korban telah hamil lebih dari sepuluh minggu dan tidak ditemukan gangguan pada
kehamilan.

Tindakan/Pengobatan
Pembuatan Visum et Repertum.

Kesimpulan
Pada perempuan berusia 27 tahun ini ditemukan luka gores dan memar akibat kekerasan
tumpul. Luka-luka tersebut tidak menimbulkan peyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan, jabatan, atau pencaharian.











4


PEMBAHASAN UMUM


A. Prosedur Medikolegal
1,2
Dalam ilmu kedokteran forensik, peranan ilmu kedokteran forensik berfungsi
membantu penegakan hukum antara lain pembuatan visum et repertum terhadap seseorang
yang dikirim oleh polisi (penyidik). Tujuan pemeriksaan forensik pada korban hidup
adalah untuk mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya
tersebut, dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Peristiwa yang dapat
mengakibatkan tindak pidana antara lain peristiwa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,
penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal. Korban dengan luka
ringan merupakan salah satu hasil tindak pidana tersebut, yaitu berupa penganiayaan
ringan (pasal 352 KUHP), korban dengan luka sedang merupakan hasil dari tindak
penganiayaan, dan korban dengan luka berat.
Pada kasus tersebut, penyidik membutuhkan bantuan dari ahli, salah satunya dokter
maupun ahli kedokteran kehakiman, untuk mengungkap kasus dan membuat perkara
menjadi lebih terang agar kasus bisa terselesaikan. Hal ini dikarenakan, dokterlah
seseorang yang paling memahami tubuh manusia. Peranan dokter maupun ahli kedokteran
kehakiman tersebut tertuang dalam Pasal 133 ayat 1 KUHAP yang berbunyi, Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
dan atau ahli lainnya.
Yang dimaksud keterangan ahli tertuang dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang
berbunyi, keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Surat keterangan ahli ini dinyatakan dalam surat yang disebut
visum et repertum, sesuai dengan Pasal 133 ayat 2 KUHAP, dan berfungsi sebagai alat
bukti yang sah di pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Visum et
Repertum juga berguna dalam proses penyidikan.
Keterangan ahli yang berupa Visum et Repertum (VER) tersebut adalah keterangan
yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau diduga
bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
5

kepentingan peradilan. Seorang dokter juga berkewajiban memberikan keterangan ahli
seperti yang diminta penyidik yang berwenang tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal
179 KUHAP yang berbunyi, Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) perlu diperiksa kelengkapannya
sebelum dokter atau ahli kedokteran kehakiman melakukan pemeriksaan dan membuat
visum et repertum. Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983,
bahwa kelengkapan SPV harus memenuhi kop surat, pihak yang meminta visum, pihak
yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab kematian, permintaan jenis pemeriksaan,
jabatan peminta visum, dan tanda tangan peminta visum. VER pun memiliki lima
komponen tetap yang terdiri dari Pro Justitia, bagian Pendahuluan, bagian Pemberitaan,
bagian Kesimpulan, dan bagian Penutup.
VER merupakan alat bukti yang sah dan memiliki nilai otentik karena dibuat atas
sumpah jabatan sebagai seorang dokter. Sesuai dengan Stb 350 tahun 1937 yang
menyatakan bahwa visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah
mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter. Pada kasus perlukaan,
korban yang dimintakan visum et repertumnya adalah kasus dengan dugaan adanya tindak
kekerasan yang diancam hukuman oleh KUHP. Seorang dokter untuk membantu peradilan,
wajib membuktikan adanya luka atau memar. Derajat luka sangat diperlukan untuk
menentukan hukuman yang akan diterima oleh korban, sehingga dokter harus menentukan
derajat luka dengan benar. Dokter harus menuliskan luka-luka, cedera, atau penyakit yang
ditemukan, jenis benda penyebab, serta derajat perlukaan, pada visum et repertum.

A. Traumatologi
1

Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa). Sementara luka adalah suatu
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Kekerasan dapat dibedakan
berdasarkan sifatnya, yaitu mekanik (kekerasan oleh benda tajam, kekerasan oleh benda
tumpul, dan tembakan senjata api), fisika (suhu, listrik dan petir, perubahan tekanan udara,
akustik, dan radiasi), dan kimia (asam atau basa kuat).
Luka akibat kekerasan benda tumpul
Luka jenis ini disebabkan benda yang memiliki permukaan tumpul.
a. Memar
6

Memar adalah suatu perdarahan pada jaringan bawah kulit karena pecahnya kapiler
dan vena. Luka memar sering kali member petujuk tentang bentuk benda penyebab
lukanya, misal jejas ban (marginal haemorrhage). Faktor yang mempegaruhi letak, bentuk,
dan luas luka memar yaitu besarnya kekerasan, jenis benda penyebab, kondisi dan jenis
jaringan, usia, jenis kelamin, corak dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah, dan
penyakit. Perubahan warna pada luka memar dapat secara kasar digunakan untuk
memperkirakan usianya. Saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi
ugu atau hitam, setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau kemudian berubah menjadi
kuning dalam 7 sampai 10 hari, dan menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Dalam
medikolegal, interpretasi luka memar merupakan hal penting.
b. Luka lecet
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda
yang memiliki permukaan kasar atau runcing. Sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas,
tubuh terbentul aspar, atau benda tersebut yang bergerak dan menyentuh kulit. Luka lecet
diklasifikasikan sebagai berikut:
Luka lecet gores : luka lecet inni disebabkan oleh benda runcing yang
menggeser lapisa permukaan kulit di depannya, sehingga lapisan terangkat, dan hal
ini dapat menunjukkan arah kekerasan.
Luka lecet serut : luka lecet ini merupakan variasi luka lecet gores dengan
daerah persentuhan dengan permukaan kulit lebih lebar. Letak tumpukan epitel
menunjukkan arah kekerasan.
Luka lecet tekan : luka lecet ini disebabkan penjejakan benda tumpul pada
kulit, sehingga sering digunakan utuk megidentifikasi benda penyebab luka yang
khas karena bentuk luka menyerupai, seperti gigitan, kisi-kisi radiator mobil, dan
lain sebagainya. Luka ini berwarna lebih gelap dari jaringan sekitar.
Luka lecet geser : luka lecet ini disebabkan tekanan linier pada kulit disertai
gerakan bergeser, seperti pada kasus gantung atau jerat.
c. Luka robek
Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul yang
menyebabkan kulit teregang ke satu arah dan batas elastisitas kulit terlampaui. Ciri luka ini
umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding tidak rata, tampak jembatan jaringan antara
kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, sering tampak luka lecet atau luka
memar di sisi luka.
7


C. Penganiayaan
1,2
Untuk mengetahui peyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakit pada
korban hidup maka diperlukan pemeriksaan kedokteran forensik. Hal ini dimaksudkan
utuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Oleh karena itu, catatan medic pada setiap
pasien harus lengkap hasil pemeriksaannya, terutama korban yang diduga tindak pidaa. Hal
ini diperlukan untuk pembuatan visum et repertum.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan
ringan, seperti yang tertuang dalam Pasal 352 KUHP yang berbunyi:
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi
bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pada korban dengan luka sedang, dapat pula merupakan hasil dari tindak
penganiayaan, seperti yang disebutkan pada Pasal 351 KUHP ayat (1) yang berbunyi
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak 4500 rupiah dan Pasal 353 KUHP ayat (1) yaitu:
Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana pejara palig lama
4 tahun.
Korban dengan luka berat seperti yang disebutkan pada pasal 90 KUHP adalah
sebagai berikut:
Luka berat berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
3) Kehilangan salah satu pancaindra;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
8

7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Hasil dari tindak penganiayaan tersebut dengan akibat luka berat diatur dalam pasal
351 ayat (2) yang berbunyi: Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah diancam dengan pidana pejara paling lama 5 tahun atau Pasal 353 ayat (2)
yaitu Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikarenakan pidana
pejara palig lama tujuh tahun. Sementara, jika korban dengan luka berat merupakan
akibat penganiayaan berat, undang-undang mengaturnya dalam Pasal 354 ayat (1) yang
berbunyi Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena
melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau
Pasal 355 ayat (1) yaitu Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencaa lebih dahulu,
diancam degan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Sementara dalam KUHP, yang dimaksud penganiayaan ringan adalah penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau halangan
pekerjaan, seperti bunyi Pasal 352 KUHP. Umumnya, korban datang tanpa luka, atau
dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya atau tidak menurunkan
fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka ini dimasukkan ke kategori luka ringan atau luka
derajat satu.
Hoge Road pada tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan pengertian penganiayaan yang
tidak disebutkan di KUHP, bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit
atau luka. Dalam hal ini, semua keadaan yang lebih berat dari luka ringan dimasukkan ke
dalam kategori luka sedang (luka derajat dua) dan luka berat (luka derajat tiga). Luka
sedang adalah keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat.
Penentuan derajat luka ini penting utuk membuat visum et repertum, sehingga
dokter harus memeriksa dengan teliti korban yang datang. Uraian yang dibuat meliputi
keadaan umum sewaktu datang, letak, jenis dan sifat luka serta ukuran, pemeriksaan
khusus/penunjang, tindakan medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit, dan
keadaan akhir saat perawatan. Secara objektif, dapat dimasukkan gejala yang ditemukan
pada korban.

9

PEMBAHASAN KHUSUS

A. Prosedur Medikolegal
Pada kasus ini, Surat Permintaan Visum (SPV) sudah sesuai dnegan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2), yaitu tertulis
komponen-komponen berikut:
1. Institusi pengirim : Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Pusat
Sektor Johar Baru
2. Nomor surat : 073/VER/X/2012/Sektro JB
3. Tujuan surat : Kepala Bagian Forensik RSCM.
4. Identitas : Nama, umur, pekerjaan, agama, dan alamat.
5. Dugaan luka : Mengalami penganiayaan.
6. Permintaan penyidik : Pemeriksaan dan pembuatan Visum et Repertum
7. Jabatan pengirim : Brigadir Polisi atas nama Kepala Polri Resor
Metropolitan Jakarta Pusat Sektor Johar Baru

B. Pemeriksaan Korban
Dari anamnesis, korban mengaku dipukul oleh mantan suami korban pada daerah
wajah lebih dari satu kali dengan tangan kosong, dan menyebabkan dua luka, yaitu luka
lecet gores pada dahi kiri dan memar berwarna merah keunguan pada pipi kanan. Luka
lecet gores dapat disebabkan benda runcing yang dapat menggores kulit, seperti kuku.
Sementara memar dapat disebabkan karena pukulan dengan tangan. Korban juga
mengeluh pusing pasca pemukulan ini.
Selain dipukul, korban juga mengaku ditendang satu kali pada daerah perut, dan hal
ini menyebabkan munculnya nyeri pada perut bagian bawah. Korban juga mengaku bahwa
punggung korban dibenturkan satu kali di dinding, namun tidak ada keluhan pada daerah
punggung baik berupa memar, luka, atau nyeri. Korban tidak mengeluh mual, muntah,
dan pingsan.
Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan keadaan umum tampak tidak sakit
dengan kesadaran penuh. Tekanan darah korban 130/80 mmHg, frekuensi nadi 80
kali/menit, frekuensi pernapasan 18 kali/menit, serta suhu tidak demam. Keadaan gizi
pasien baik.
10

Telah dilakukan pemeriksaan penunjang di Departemen Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Cipto Mangukusumo berupa pemeriksaan dalam (vaginal touch) dan USG
abdomen pada korban, hasil menyebutkan bahwa korban hamil lebih dari sepuluh minggu,
dan tidak ditemukan gangguan pada kehamilan. Sebelumnya korban mengeluh adanya
darah disertai lendir berwarna putih yang keluar dari lubang kemaluan, namun
pemeriksaan menunjukkan bahwa hal tersebut tidak berhubungan dengan kekerasan
tumpul berupa tendangan pada perut yang dialami korban.
Berdasarkan pemeriksaan pada korban, luka-luka yang didapat dapat digolongkan
sebagai luka ringan (luka derajat satu) karena tidak menimbulkan penyakit atau halangan
dalam menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian.

C. Aspek Medikolegal
Pada kasus ini, terdapat bukti kekerasan tumpul berupa luka lecet gores pada
daerah dahi dan memar pada pipi, serta keluhan pusing pasca kejadian. Selain itu, korban
juga mengeluh nyeri perut bawah setelah ditendang oleh pelaku. Walaupun demikian,
korban mengaku tidak mengalami hambatan apa pun dalam melaksanakan kegiatan sehari-
hari, termasuk bekerja dan beraktivitas.
Sesuai dengan pasal KUHP pasal 352 ayat (1) yang berbunyi: Penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana
dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya, atau menjadi bawahannya, maka pada kasus ini, penganiayaan yang
terjadi merupakan penganiayaan ringan karena luka yang didapat merupakan luka ringan
yang tidak memerlukan perawatan khusus serta tidak mengganggu pekerjaan. Hukuman
bagi pelaku sesuai pasal ini adalah penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.

D. Kesimpulan
Pada pemeriksaan perempuan berusia 27 tahun ini, ditemukan luka gores pada dahi dan
memar pada daerah pipi sebagai akibat kekerasan tumpul. Luka-luka tersebut tidak
menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan, jabatan, atau
pencaharian. Berdasarkan KUHP pasal 352 ayat (1), pelaku diancam pidana penjara paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
11

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran
Forensik FKUI; 1997.
2. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran
Forensik FKUI; 1994.

Anda mungkin juga menyukai