Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Biokimia merupakan cabang ilmu kimia yang memiliki korelasi dengan biologi.
Biokimia adalah ilmu yang mempelajari tentang peranan berbagai molekul dalam
reaksi kimia dan proses yang berlangsung dalam makhluk hidup. Pembahasan dalam
biokimia sangatlah luas, tidak hanya mempelajari proses yang berlangsung dalam
tubuh manusia, ilmu biokimia juga mempelajari berbagai proses pada organisme mulai
dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Luasnya ruang lingkup yang dikaji dalam biokimia membuat disiplin ilmu ini
dapat bermanfaat dalam berbagai bidang ilmu lain, salah satunya adalah kesehatan.
Aplikasi biokmia dalam bidang kesehatan sekarang telah dikenal dengan disiplin ilmu
tersendiri yaitu biokimia medis. Biokimia medis memiliki bahasan mengenai reaksi-
reaksi biokimia yang terjadi dalam tubuh manusia terkait dengan aplikasi medis.
Dengan memahami biokimia medis, dapat diketahui penanganan suatu penyakit secara
efektif. Selain itu, biokimia medis juga dapat menjelaskan hal-hal dalam bidang
farmakologi dan toksikologi karena berhubungan denga pengaruh bahan kimia dari
luar terhadap metabolisme.
Salah satu bahasan biokimia medis adalah mengenai transportasi obat dalam
tubuh. Dengan memahami transportasi obat dalam tubuh, mekanisme kerja obat pada
tingkat molekul juga dapat diketahui. Struktur kimia senyawa dengan aktivitas
biologisnya dapat dihubungkan, selain itu perilaku biodinamik melalui sifat-sifat kimia
fisika dan keraktifan kimia senyawa obat juga dapat diketahui hubungannya. Dengan
memahami cara obat masuk dan diolah ke dalam tubuh, kita juga dapat mengetahui
bagaimana meningkatkan kinerja obat serta mengurangi efek buruk yang ditimbulkan.
Parasetamol merupakan obat yang telah digunakan secara luas. Obat ini dikenal
efektif sebagai analgesik maupun antipiretik. Akan tetapi telah diketahui pula bahwa
obat ini juga menimbulkan efek buruk hasil dari metabolismenya dalam hati dalam
jangka waktu yang lama. Selain itu, toksisitas obat ini juga dapat meningkat bila
diberikan dalam dosis yang tidak wajar dan pada kondisi tertentu seperti kehamilan.
Maka dari itu, dengan mempelajari bagaimana obat ini diolah dalam tubuh, efektivitas
obat dalam melakukan kerjanya dapat diketahui dan dapat ditingkatkan serta
toksisitasnya pun dapat diketahui dan dihindari.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah kemunculan dan perkembangan Biokimia Medis?
b. Bagaimana jalur Transportasi Parasetamol dalam tubuh manusia?
c. Bagaimana toksisitas parasetamol dalam tubuh manusia?


1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan Biokimia Medis
b. Untuk mengetahui jalur transportasi parasetamol dalam tubuh manusia
c. Untuk mengetahui toksisitas parasetamol dalam tubuh manusia
































BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Biokimia Medis
Selama permulaan munculnya ilmu kimia pada abad ke-17 dan ke-18,
biokimia muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Istilah Biokimia
pertama kali dikemukakan pada tahun 1903 oleh Karl Neuber, seorang kimiawan
Jerman. Sejak saat itu, biokimia semakin berkembang, terutama sejak pertengahan
abad ke-20, dengan ditemukannya teknik-teknik baru seperti kromatografi, difraksi
sinar X, elektroforesis, RMI (nuclear magnetic resonance, NMR), pelabelan radioisotop,
mikroskop elektron, dan simulasi dinamika molekular. Teknik-teknik ini
memungkinkan penemuan dan analisis yang lebih mendalam berbagai molekul dan
jalur metabolik sel, seperti glikolisis dan siklus Krebs. Perkembangan ilmu baru seperti
bioinformatika juga banyak membantu dalam peramalan dan pemodelan struktur
molekul raksasa.
Awal mula perkembangan dimulai sekitar pertengahan abad XVIII Karl
Wilhelm Scheele ahli kimia swedia telah melakukan penelitian mengenai susunan
kimia jaringan pada tumbuhan dan hewan. Selain itu ia juga telah dapat mengisolasi
asam oksalat, asam laktat, asam sitrat serta beberapa ester dan kasein dari bahan
alam.
Biokimia memperoleh bentuk yang nyata sebagai suatu bidang studi pada awal
Abad XIX, oleh Friedrich Wohler. Sebelum itu orang percaya bahwa organisme hidup
itu terdiri atas zat-zat yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan zat yang
terdapat pada benda-benda mati, misalnya logam atau batu-batuan. Pada tahun 1828
Wohler menunjukkan bahwa urea, suatu senyawa yang terdapat dalam urine, ternyata
dapat dibuat dalam laboratorium dengan jalan memanaskan alkali sianat dengan
garam amonium. Mula-mula ia memang mengharapkan akan terjadi garam amonium
sianat, tetapi akhirnya ia memperoleh urea.
Seiring dengan meningkatnya relevansi biokimia terhadap praktik-praktik
klinis, dimunculkanlah biokimia klinis dan pada tahun 1940an, hal terebut
digabungkan menjadi sebuah bidang tersendiri. Asal usul yang bermacam-macam dari
biokimia klinis dijelaskan sebagai berikut: sebuah pendapat menyatakan bahwa
biokimia klinis merupakan evolusi dari kimia psikologis dan yang lain menyatakan
berasal dari obat-obatan klinis dan patologi. Perkembangan metodologi selalu menjadi
hal mendasar dalam biokimia klinis. Hal tersebut pertama kali dimunculkan sebagai
bidang penelitian dan sesudah itu muncul menjadi disiplin ilmu yang aplikatif.



Biokimia medis merupakan cabang dari biokimia yang berhubungan dengan
kesehatan dan penyakit pada manusia. Aplikasinya adalah kimia klinis, yaitu ilmu
kimia yang memfokuskan pada metodologi dan interpretasi berbagai uji bahan-bahan
kimia untuk mendukung diagnosis dan penyembuhan suatu penyakit.

2.2. Transportasi Obat
Istilah obat tidak hanya meliputi senyawa yang digunakan untuk pengobatan
penyakit dan bahan diagnostik saja, tetapi meliputi semua senyawa kimia yang dapat
mempengaruhi atau menimbulkan efek pada sistem biologis, termasuk insektisida,
fungisida, herbisida, flavoran, odoran, penarik dan pengusir serangga, serta senyawa-
senyawa yang digunakan untuk uji farmakologi dan fisiologi.
Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu, misal melalui oral, parenteral,
anal dermal atau cara lainnya, obat akan mengalami proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Selain proses diatas, kemungkinan obat akan mengalami
modifikasi fisika yang melibatkan perubahan struktur molekul obat, dan hal ini dapat
mempengaruhi respons biologis.
Setelah diabsorpsi, obat masuk ke cairan tubuh dan didistribusikan ke organ-
organ dan jaringan-jaringan, seperti otot, lemak, jantung dan hati. Sebelummencapai
reseptor, obat melalui bermacam-macam sawar membran, pengikatan oleh protein
plasma, penyimpanan dalam depo jaringan dan mengalami metabolisme.
Permukaan sel hidup dikelilingi oleh cairan sel yang bersifat polar. Molekul obat
yang tidak terlarut dalam cairan tersebut tidak dapat diangkut secara efektif ke
permukaan reseptor sehingga tidak dapat menimbulkan respons biologis. Oleh karena
itu, molekul obat memerlukan beberapa modifikasi kimia dan enzimatik agar dapat
terlarut, walaupun sedikit, dalam carian luar sel. Yang penting adalah harus ada
molekul obat yang tetap utuh atau dalam bentuk tidak terdisosiasi pada waktu
mencapai reseptor dan jumlahnya cukup untuk dapat menimbulkan respons biologis.
Cara pemeberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti intradermal, intramuskular, subkutan dan
intraperitonial, melibatkan proses absorpsi obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral tidak
melibatkan proses absorpsi, obat langsung measuk ke peredaran darah dan kemudian
menuju sisi reseptor (receptor site). Cara pemberian yang lain adalah secara inhalasi
melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses absorpsi
merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan.



2.3. Transportasi Parasetamol dalam Tubuh
2.3.1. Parasetamol
Parasetamol merupakan serbuk hablur, putih, tidak berbau dan rasa sedikit
pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida
(NaOH) 1 N, mudah larut dalam etanol. Parasetamol mempunyai berat molekul
151,16.


Gambar 2.1. Struktur Molekul Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol (APAP) merupakan
metabolit aktif fenasetin. Sejarah parasetamol berawal dari asetanilid yang merupakan
anggota pertama golongan obat turunan p-aminofenol. Asetanilid diperkenalkan di
bidang kedokteran pada tahun 1886 dengan nama antifebrin oleh Cahn dan Hepp, yang
secara kebetulan menemukan kerja antipiretiknya. Namun asetanilid ternyata sangat
toksik. Dalam usaha menemukan senyawa yang kurang toksik, p-aminofenol dicoba
dengan keyakinan bahwa tubuh akan mengoksidasi asetanilid menjadi senyawa ini.
Namun, toksisitasnya tidak berkurang, dan sejumlah turunan kimiawi p-aminofenol
kemudian diuji.
Salah satu dari turunan tersebut yang lebih memuaskan adalah fenasetin atau
asetofenetidin. Fenasetin diperkenalkan ke dalam terapi pada tahun 1887 dan banyak
digunakan dalam campuran analgesik sampai diketahui fenasetin menyebabkan
nefropati akibat penyalahgunaan analgesik, akibatnya fenasetin tidak lagi tersedia
khususnya di Amerika Serikat. Akhirnya ditemukan pada tahun 1949 metabolit aktif
dari asetanilid dan fenasetin yaitu parasetamol yang relatif lebih aman
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgsik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) .
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgesik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002).
Dosis biasa parasetamol oral untuk orang dewasa adalah 0.5 gram sampai 1
gram setiap 4 sampai 6 jam dengan dosis maksimum 4 gram. Dosis pemberian melalui

dubur untuk tiap orang dengan umur di atas 12 tahun adalah 0,5 gram sampai 1 gram
untuk pemberian lebih dari empat kali sehari. Untuk anak-anak, pemberian secara oral
dan melalui dubur tergantung paa umur dan berat baadn yang dimiliki, dengan dosis
maksimum pemberian empat kali dalam setiap 24 jam.
Parasetamol dimetabolisme dalam hati dengan enzim cytochrome P450 menjadi
metabolit yang sangat reaktif yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) yang dapat
menyebabkan nekrosis hati jika tidak diikuti oleh konjugasi dengan glutahione (GSH).
Selain dapat menyeabkan kerusakan hati, toksisitas parasetamol merupakan salah
satu kasus keracunan paling umum yang terjadi di dunia.

2.3.2. Absorpsi Parasetamol
Sebelum obat dapat menggunakan efeknya, suatu obat harus mencapai organ-
organ yang ditargetkan dengan jumlah yang cukup untuk menimpulkan respon
biokimia atau fisiologis. Fraksi dosis yang diharapkan mencapai bidang aksinya
tergantung dari jalur dan cara pemberian obat dan sifat fisika-kimia obat.
Bagaimanapun, hal ini penting untuk mengetahui mekanisme umum peristiwa-
peristiwa yang mendahului aksi obat.
Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dari dinding usus halus dengan
konsentrasi plasma tertinggi yang terjadi pada 10 sampai 60 menit setelah pemberian
secara oral. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami proses absorpsi
pada saluran cerna. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat
pada saluran cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia sifka, cara
pemberian, faktor biologis dan lain-lain.
Absorpsi obat dari bentuk obat padat memerlukan urutan proses: a) kelarutan
obat, b) difusi obat dalam larutan pada membran multiseluler, c) transport obat di
dalam membran, d) transport dari membran ke dalam darah dan, e) translokasi
(penempatan) obat pada bagian sisi aktif.
Mekanisme Absorpsi
Difusi Pasif
Zat aktif dapat melarut dalam konstituen membraner pelaluan terjadi menurut
suatu gradient atau perbedaan (konsentrasi atau elektrokimia-potensial kimia), tanpa
menggunakan energi atau kekuatan sampai di suatu keadaan kesetimbangan di kedua
sisi membrane.
Obat harus larut dalam air dari pada tempat absorpsi melewati membrane semi
permeable, obat tidak terionisir dan bukan metabolit (=obat tidak berubah ) ion tidak
larut dalam lipid sehingga tidak dapat menembus membran.

Gaya pendorong (driving force) untuk perpindahan solute kompartemen luar ke
kompartemen dalam ialah gradient konsentrasi yaitu perbedaan konsentrasi di kedua
sisi membran. Difusi pasif ditekankan pada proses difusi zat melalui membrane lipid,
lalu masuk lagi ke fase cairan air.
1. Transfer konvectif
Suatu mekanisme positif, berkenaan dengan pelaluan zat melewati pori-pori
membrane yang terjadi disebabkan gradient tekanan hidrostatik atau osmotic.
Obat larut dalam medium air pada tempat absorpsi, bergerak melalui pori bersama
pelarutnya. Untuk semua substansi ukuran kecil BM < 150, larut di dalam air
melalui kanal-kanal membrane berukuran 4-7 A
o
. Dalam hal absorpsi disebut juga
absorpsi konvektif
2. Transpor aktif
Suatu cara pelaluan yang sangat berbeda dengan difusi pasif, diperlukan suatu
carrier/ transporter/ pengemban. Obat harus larut pada tempat absorpsi. Tiap obat
memerlukan carrier spesifik. Sebelum diabsorpsi obat berikatan dengan carrier
mengikuti teori pengikatan obat-reseptor. Carrier : suatu konstituen membrane,
enzim atau setidak-tidaknya sebagai substansi proteik, mampu membentuk
kompleks dengan zat aktif di permukaan membrane dan lalu memindahkannya dan
di lepaskan disisi yang lain. Selanjutnya carrier kembali ke tempat semula.
Transport aktif dengan carrier ini memerlukan energi dan ini di peroleh dari hasil
hidrolisa ATP di bawah pengaruh ATP ase.
1 ATP ADP + Energi
Dalam hal ini setiap substansi yang menghalangi atau mencegah reaksi
pembentukan energi ini akan berlawanan dengan transport aktif. Misal obat yang
mempengaruhi metabolisme sel seperti CN
-
, F, ion iodium acetate menghambat
transport aktif dengan cara non kompetitif
Cara ini melawan gradient konsentrasi dalam hal ini ion-ion melawan potensial
elektrokimia membran. Bila jumlah obat lebih besar dari pada carrien akan terjadi
kejenuhan.
Obat + carrier kompleks Obat-Carrier bergerak melintasi membrane
menggunakan energi ATP di bagian dalam membrane obat dilepas, carrier
kembali ke permukaan luar membran.
3. Transport Fasilitatif
Transport fasilitatif disebut juga difusi dipermudah. Pada dasarnya sama dengan
transport aktif, perbedaannya tidak melawan gradient konsentrasi.
Difusi dengan pertolongan carrier akan tetapi tidak membutuhkan energi luar dan
berjalan sesuai engan gradient konsentrasi Contoh klasik vitamin B12, dimana

vitamin B12 membentuk kompleks dengan factor intrinsik yang di produksi
lambung, kemudian bergabung dengan carrier membran.
4. Ion-Pair ( Tranfer Pasangan Ion)
Obat-obat yang terionisasi kuat pada pH fisiologis tidak dapat dijelaskan cara
absorpsi lain. Ex : senyawa ammonium quarterner, senyawa asam sulfonat.
Ammonium quarterner, asam sulfonat (bermuatan positif) + substansi endogen GIT
(=kation organic seperti mucin) membentuk kompleks pasangan ion netral (
dapat menembus membrane) kemudian diabsorpsi secara difusi pasif disosiasi.
Karena kompleks tersebut larut dalam air dan lipoid.
5. Pinositosis
Suatu proses yang memungkinkan pelaluan molekul-molekul besar melewati
membrane, dikarenakan kemampuan membrane membalut mereka dengan
membentuk sejenis vesicula (badan dibalut) yang menembus membran.
Beberapa Faktor Fisiologi Biologi Yang Berpengaruh Pada absorpsi Gastro
Intestinal
a. pH di lumen gastro intestinal
Keasaman cairan gastro intestinal yang berbea-beda di lambung (pH 1-2)
duodenum (pH 4-6) sifat-sifat dan kecepatan berbeda dalam absorpsi suatu
obat.
Menurut teori umum absorpsi : obat-obat golongan asam lemah organic lebih
baik di absorpsi di dalam lambung dari pada di intestinum karena fraksi non
ionic dari zatnya yang larut dalam lipid lebih besar dari pada kalau berada di
dalam usus yang pHnya lebih tinggi.
Absorpsi basa-basa lemah seperti antihistamin dan anti depressant lebih
berarti atau mudah di dalam usus halus karena lebih berada dalam bentuk
non ionic daripada bentuk ionik.
Sebaliknya sifat asam cairan lambung bertendensi melambatkan atau
mencegah absorpsi obat bersifat basa lemah.
Penyakit dapat mempengaruhi pH cairan lambung.
Lemak-lemak dan asam-asam lemak telah diketahui menghambat sekresi
lambung
Obat-obat anti spasmodic seperti atropine, dan anti histamine H2 bloker
seperti cimetidin dan ranitidin pengurangan sekresi asam lambung
b. Motilitas gastro intestinal dan waktu pengosongan lambung
Lama kediaman (residence time) obat di dalam lambung juga menentukan
absorpsi obat dari lambung masuk ke dalam darah.
Faktor-faktor tertentu dapat mempengaruhi pengosongan lambung akan dapat
berpengaruh terhadap lama kediaman obat di suatu segmen absorpsi.

Pengosongan lambung diperlama oleh lemak dan asam-asam lemak dan
makanan,depresi mental, penyakit-penyakit seperti gastro enteritis, tukak
lambung (gastric ulcer) dll.
Pemakaian obat-obat juga dapat mempengaruhi absorpsi obat lainnya, baik
dengan cara mengurangi motilitas (misal obat-obat yang memblokir reseptor-
reeptor muskarinik) atau dengan cara meningkatkan motilitas (misalnya
metoklopropamid, suatu obat yang mempercepat pengosongan lambung).
c. Aliran darah (blood flow) dalam intestine.
Debit darah yang masuk ke dalam jaringan usus dapat berperan sebagai
kecepatan pembatas (rate limited) dalam absorpsi obat
Dalam absorpsi gastro intestinal atau in vivo sebagai proses yang nyata untuk
proses penetrasi zat terlarut lewat barrier itu sendiri.
Maka ditentukan oleh 2 langkah utama, Yaitu :
- Permeabilitas membrane GI terhadap obat, dan
- Perfusi atau kecepatan aliran darah didalam barrier GI membawa zat
terdifus ke hati
Aliran darah normal disini 900ml/menit
Efek- Efek Makanan Atas Absorpsi
Secara umum absorpsi obat lebih disukai atau berhasil dalam kondisi lambung
kosong.
Kadang-kadang tak bisa diberikan dalam kondisi demikian karena obat dapat
mengiritasi lambung.
Ex : Asetosal ( dapat menyebabkan iritasi karena bersifat asam).
Kecepatan absorpsi kebanyakan obat akan berkurang bila diberikan bersama
makanan.
Ex : Digoksin, Paracetamol, Phenobarbital (obat sukar larut)
Pemakaian antibiotika setelah makan seringkali penurunan
bioavailabilitasnya maka harus diberikan sebelum makan.
Ex : Tetraciklin, Penisilin, Rifampisin, Erytromycin strearat
Absorpsi griseofulvin meningkat bila makanan mengandung lemak

2.3.3. Distribusi Parasetamol dalam Jaringan Tubuh
Setelah masuk ke peredaran darah, molekul obat secara serentak
didistribusikan ke seluruh jaringan dan organ tubuh. Melalui proses distribusi ini
molekul obat aktif mencapai jaringan sasaran atau reseptor obat. Proses distribusi dan
eliminasi obat berlangsung secara bersamaan dan pada umumnya proses distribusi obat
lebih cepat dibanding proses eliminasi. Kecepatan distribusi obat dalam tubuh
bervariasi dan tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:

a. Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak
b. Sifat membran biologis
c. Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh
d. Ikatan obat dengan sisi kehilangan
e. Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat
f. Masa atau volume jaringan
Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan. Cairan tubuh dapat dibagi
menjadi :
1. Cairan ekstraseluler yang terdiri atas plasma darah (kira-kira 4,5% dari berat
badan), cairan interstisial(16%) dan limfe (1-2%).
2. Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan) merupakan jumlah cairan dalam
seluruh sel-sel tubuh.
3. Cairan transeluler (2,5%) yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokuler,
peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.
Parasetamol didistribusi ke dalam sebagian besar jaringan di tubuh. Ikatan
dengan protein plasma dapat diabaikan pada dosis penyembuhan tetapi meningkat
seiring dengan meningkatnya dosis juga. Waktu paruh eliminasi beragam mulai dari 1
sampai 3 jam.
Untuk dapat masuk ke dalam salah satu cairan tubuh ini suatu obat harus
melewati sel-sel epitel, atau dengan kata lain obat harus bisa masuk ke dalam sel-sel.
Parameter yang menyatakan luasnya distribusi obat.
Vd = volume distribusi
Adalah volume cairan tubuh yang pada akhirnya obat terdistribusi
Vd = Jumlah obat dalam tubuh
Jumlah obat dalam darah

Volume distribusi merupakan parameter penting dalam farmakokinetik. Salah satu
kegunaannya ialah untuk menentukan dosis obat yang diperlukan untuk
memperoleh kadar obat dalam darah yang dikehendaki. Obat-obat dengan Vd kecil
akan menghasilkan kadar dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan untuk obat
dengan Vd besar akan menghasilkan kadar dalam darah yang lebih rendah.
Sifat Vd
1. Vd obat bersifat individual
Walaupun obatnya sama, tetapi volume distribusi orang per orang tidak sama,
karena berat badan tidak sama (volume cairan tubuh tidak sama).
2. Vd obat pada umumnya bukan volume sebenarnya dari cairan atau ruangan
yang ditempati oleh obat. Obat tidak hanya terdapat di dalam darah, maka Vd
obat bukan merupakan volume sebenarnya dari cairan yang ditempati oleh obat.

Jika obat hanya terdistribusi dalam darah, maka Vd = volume darah ( volume
plasma)
Di dalam tubuh terdapat material hayati atau biologi yang dapat mengikat obat,
antara lain : protein.
Protein terdapat dalam jaringan dan plasma.
Protein plasma yang berperan penting dalam mengikat obat Albumin.
Albumin merupakan protein sederhana protein yang hanya terdiri asam amino
( Protein kompleks bukan hanya terdiri dari asam amino tapi juga senyawa-
senyawa lain selain asam amino, seperti: lipoprotein, glikoprotein, hemoglobin).
Albumin banyak terdapat di dalam plasma (albumin merupakan proporsi terbesar
dari protein plasma).
Perikatan obat bersifat reversible (dapat balik) dan tidak spesifik ( satu tempat
perikatan dapat dipakai oleh lebih dari satu jenis obat)
Berdasarkan sifat tersebut, maka menunjukkan bahwa obat yang telah terikat oleh
albumin dapat terdesak (pendesakkan =displacement) oleh obat lain yang terikat
pada tempat yang sama, tetapi memiliki afinitas yang lebih besar (afinitas =
kecenderungan obat untuk membentuk senyawa).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengikatan obat :
1. Tergantung pada kadar obat
2. Tergantung pada kadar protein
3. Tergantung pada afinitas obat terhadap protein.
4. Tergantung pada jumlah tempat pengikatan.
Albumin termasuk makromolekul maka satu molekul protein mengikat lebih
Obat termasuk mikromolekul dari satu molekul obat.
Pengikatan obat oleh protein plasma membantu :
1. Absorpsi obat terutama yang terionisasi kuat di dalam saluran cerna
2. Distribusi obat
3. Pengangkutan obat atau senyawa endogen yang tidak larut dalam air.
Protein dalam air berupa koloid tidak mengendap
Protein akan mengikat mengikat obat, sehingga walaupun obat tidak larut air,
tetapi obat akan terbawa oleh protein.
Ex : Hormon kortikosteroid didukung oleh protein, maka dapat berada dalam
darah. Kortikosteroid tidak larut air.






2.3.4. Metabolisme Parasetamol
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis, masa kerja dan
toksisitas obat sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik
asing lain (xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisinal. Suatu obat dapat
menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu :
a. Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung berinteraksi dengan
reseptor dan menimbulkan respons biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme menjadi
obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis
(bioaktivasi).
Secara umum, tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi), mudah larut
dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit beberapa obat
bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biotoksifikasi) dan ada pula
hasil metabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan senyawa
induk.
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama pada jaringan dan organ-organ
seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati adalah organ tubuh yang merupakan
tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung lebih banyak enzim-enzim
metabolisme dibanding organ lain. Setelah pemberian obat secara oral, obat diserap
oleh saluran cerna, masuk ke peredaran darah dan kemudian ke hati melalui efek
lintas pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati
sel-sel hati secara perlahan-lahan dan termetabolisis menjadi senyawa mudah larut
dalam air kemudian diekskresikan melalui urin.
Metabolisme obat di hati terjadi pada membran retikulum endoplasma sel.
Retikulum endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda, baik bentuk maupun
fungsinya. Tipe 1 mempunyai perukaan membran kasar, terdiri ribosom-ribosom yang
tersusun secara khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam amino yang
diperlukan untuk sintesis protein. Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus
dan tidak mengandung ribosom. Kedua tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang
diperlukan untuk metabolisme sel.
Reaksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dua tahap, yaitu:
1. Metabolisme fase I atau reaksi fungsionalisasi.
Metabolisme fase 1 meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan hidrasi, juga
isomerisasi dan reaksi-reaksi lain yang lebih jarang. Tujuan reaksi ini adalah
memasukkan gugus fungsi tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2,
SH ke struktur molekul senyawa. Hal ini dapat dicapai dengan :

a. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contohL hidroksilasi senyawa
aromatik dan alifatik.
b. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul. Contoh:
- Reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol
- Oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat
- Hidrolisis ester dan amida, menghasilkan gugus-gugus COOH, OH dan NH2
- Reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2
- Dealkilasi oksidatif dari aton N, O dan S menghasilkan gugus-gugus OH dan
SH
Meskipun reaksi fase I kemungkinan tidak menghasilkan senyawa yang
cukup hidrofil, tetapi secara umum dapat menghasilkan suatu gugus fungsional
yang mudah terkonjugasi atau mengalami reaksi fase II
2. Metabolisme fase II atau reaksi konjugasi
Metabolisme fase II atau konjugasi meliputi golongan enzim-enzim yang berbeda
dan bereaksi pada tipe senyawa yang berbeda, umumnya menghasilkan produk
yang larut dalam air dan dapat diekskresikan dalam empedu atau urin.
Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi, metilasi dan asetilasi. Tujuan
reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan
senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar, seperti asam
glukuronat, sulfat, glisisn dan glutamin, menghasilkan konjugat yang mudah larut
dalam air. selain itu, senyawa induk yang sudah mengandung gugus-gugus
fungsional.
Jalur umum metabolisme pada fasa I dan fasa II dapat diringkas dengan reaksi-
reaksi sebagai berikut:
I. Metabolisme fasa I
- Reaksi oksidasi
1) Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom c benzilik dan alilik,
atom C dari gugus karbonil dan imin.
2) Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik
3) Oksidasi sistem C-N, C-O, dan C-S
4) Oksidasi alkohol dan aldehid
5) Reaksi oksidasi lain-lain
- Reaksi reduksi :
1) Readuksi aldehid dan keton
2) Reduksi senyawa azo dan amida
3) Reaksi reduksi lain-lain
- Reaksi hidrolisis
1) Hidrolisis ester dan amida

2) Hidrolisis epoksida dan arena epoksida
II. Metabolisme fase II
- Reaksi konjugasi
1) Konjugasi asam glukuronat
2) Konjugasi sulfat
3) Konjugasi dengan glisisn dan glutamin
4) Konjugasi dengan glutation dan asam merkapturat
- Reaksi asetilasi
- Reaksi metilasi
Pada metabolisme obat, gambaran secara tepat sistem enzim yang bertanggung
jawab terhadap proses oksidasi dan reduksi, masih belum diketahui dengan jelas.
Secara umum diketahui bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan melibatkan
proses oksidasi. Proses ini memerlukan enzim sebagai kofaktor, yaitu bentuk
tereduksi dari nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat (NADPH) dan nikotianamid-
adenin-dinukleotida (NADH). Sistem oksidasi ini sangat kompleks, tidak hanya
melibatkan NADPH saja tetapi juga flavoprotein NADPH-sitokrom C reduktase,
sitokrom B5, dan feri heme-protein (feri sitokrom P-450).

Metabolisme Parasetamol
Metabolisme parasetamol lebih lanjut terjadi di dalam hati seperti kebanyakan
obat pada umumnya. Jalur metabolisme parasetamol juga terdiri dari dua tahap,
yaitu metabolisme fase I dan metabolisme fase II. Banyak senyawa obat
mengalami proses metabolisme yang melibatkan reaksi oksidasi dengan bantuan
sitokrom P450. Oksidasi senyawa aromatik (arena) akan menghasilkan metabolit
arenol. Proses ini melalui pembentukan senyawa antara epoksida (arena oksida) ang
segera mengalami penataulangan menjadi arenol. Begitu juga yang terjadi pada
metabolisme fase I dari parasetamol yang mengalami oksidasi dengan bantuan
enzim sitokrom P450.
Metabolisme parasetamol sebagian besar terjadi melalui fase II dalam hati.
Reaksi utamanya berupa konjugasi dengan asam glukoronat yang jumlahnya
sampai 60 % dari metabolit yang dieksresikan. Konjugasi dengan sulfat lebih dari
35% menuju metabolit urin. Jumlah yang lebih sedikit, yaitu sekitar 3%
parasetamol bentuknya tidak berubah diekskreskan lewat urin.
Senyawa-senyawa konjugat tersebut tidaklah reaktif sehingga tidak
menyebabkan kerusakan organ. Akan tetapi, terdapat asam merkapturat yang
dibentuk melalui reaksi konjugasi antara intermediet toksik yang reaktif dan
golongan sulfihidril dalam glutathione. Senyawa intermediet reaktif ini bisa jadi
merupakan N-acetyl-p-benzaquinoneimine (NAPQI), sebuah elektrofil sitotoksik

yang berikatan dengan protein selular. Dibdandingkan dengan glukuronidiasi dan
sulfasi, konjugasi dengan glutathione merupakan jalur minor dari biotransformasi
atau metabolisme parasetamol, walaupun hati mengandung glutathione dan
glutathione transferase dengan level yang tinggi. Rendahnya kecepatan reaksi yang
realtif pada konjugasi glutathione menggambarkan kecepatan reaksi yang lambat
dari pembentukan NAPQI dengan dehidrogenasi parasetamol, yaitu sebuah reaksi
dikatalisis oleh enzim-enzim oksidase pada fase I, yaitu enzim-enzim sitokrom P450
yang berupa isoenzim-isoenzim CYP2E1, CYP3A42, CYP3A4 dan CYP2D6.
Glutathione memegang peranan penting dalam melindungi hepatosit dari
kerusakan akibat metabolit-metabolit yang reaktif. Ketika dosis rendah
parasetamol diberikan, NAPQI cenderung berkombinasi dengan glutathione. Seiring
dengan meningkatnya dosis, ketersediaan glutathione pada jaringan menurun
sampai dosis pada batas ambang tertentu. Akumulasi dari NAPQI akan
menghasilkan sebuah peningkatan tajam dalam ikatannya dengan golongan
sulfihidril dalam hepatosit dengan pembentukan produk, arilasi makromolekul
selular hati berikut necrosis sentrilobular.
Konjugat parasetamol-glutathione dibentuk di dalam hati lalu diubah menjadi
asam merkapturat dalam ginjal dan diekskresikan melalui urin. Glutathione
merupakan tripeptida yang tersusun atas asam amino sistein, asam glutamat, dan
gliserin. Pembentukan dari asam merkapturat melibatkan pemutusan berurutan
dari asam glutamat dan gliserin dari glutathione menjadi konjugat untuk
memberikan konjugat sistein yang mana timbal baliknya diasetilasi menjadi asam
mercapturat.
Disamping kerusakan hati, parasetamol juga dapat memicu terjadinya
kerusakan pada medula ginjal. Prostaglandin synthetase yang lebih dominan dari
cytochrome P450 dalam ginjal, terlibat dalam pembentukan NAPQI melalui
intermediet radikal bebas N-acetylbenzosemiquinoneimine, yang dapat berikatan
dengan protein renal. Radikal bebeas ini kemungkinan dapat mengalami reduksi
dengan glutathione untuk membentuk kembali parasetamol. Maka dari itu,
biotransformasi dari radikal bebas tersebut kurang dipengaruhi oleh sedikitnya
glutathione.








Toksisitas parasetamol
Ketika parasetamol diberikan pada dosis penyembuhan, biasanya parasetamol
dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi hipersensitifitas meliputi alergi pada kulit
dan lain-lain terkadang juga dapat terjadi. Reaksi haematologi juga telah banyak
dilaporkan. Penggunaan orbat-obatan dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan syaraf dan kemungkinan memicu terjadinya tumor.
Efek toksik utama dari parasetamol berhubungan dengan sejauh mana terjadinya
overdosis akut. Nekrosis tubular renal lebih jarang terjadi.













Gambar 2.1. gambaran secara umum metabolisme parasetamol dalam tubuh











Gambar 2.2. jalur metabolisme parasetamol dalam tubuh








2.3.5. Ekskresi parasetamol dari Tubuh
Parasetamol diekskresi di dalam urin melalui ginjal sebagian besar sebagai
glukuronida dan konjugat sulfat. kurang dari 5% parasetamol yang diekskresikan tidak
berubah dengan 85-90% pemberian dosis dieliminasi dalam urin selama 24 jam. Waktu
paruh eliminasi bervariasi mulai dari 1-3 jam. Adanya makanan yang masuk dapat
memperlambat absorpsi parasetamol
Sebagian besar obat diekskresikan ke luar tubuh melalui paru, ginjal, empedu
atau hati, dan sebagian kecil dengan kadar yang rendah dieksresikan melalui air liur
dan air susu.
a. Eksresi Obat Melalui Paru
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara
inhalasi, seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, halotan, eter, kloroform dan
enfluran. Sifat fisik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah
koefisien partisi darah/udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi dara/udara
kecil, seperti siklopropan dan nitrogen oksdia, diekskresikan dengan cepat, sedang
obat dengan koefisien partisi udara/darah besar, seperit eter dan halotan,
diekskresikan lebih lambat.
b. Eksresi obat melalui Ginjal
Salah satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi
obat melalui ginjal melibatkan tiga proses, yaitu penyaringan glomerulus, absorpsi
kembali secara pasif pada tubulus ginjal dan sekresi aktif pada tubulus ginjal.
- Penyaringan glomerulus
Ginjal menerima 20-25% cairan tubuh dari curah jantung atau 1,2-1,5 liter
darah per menit, dan 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus
mempunyai pori karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat
dengan garis tengah 40, berat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat yang
mudah larut dalam cairan plasma atau obat yang bersifat hidrofil.
- Absorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal
Sebagian besar obat akan diabsorpsi kembali dalam tubulus ginjal melalui
proses difusi pasif. Absorpsi kembali molekul obat ke membran tubular
tergantung pada sifat kimia fisika, seperti ukuran molekul dan koefisien partisi
lemak/air. obat yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diabsorpsi
kembali oleh membran tubulus. Absorpsi kembali pada tubular ini sangat
tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat elektrolit lemah pada urin normal,
pH = 4,8-7,5, sebagian besar akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi,
mudah larut dalam lemak, sehingga mudah diabsorpsi kembali oleh tubular.
Obat yang bersifat asam lemah, seperti asam salisilat, fenobarbital,

nitrofurantion, asam nalidiksat, asam benzoat dan sulfonamida, ekskresinya
akan meningkat bila pH urin dibuat basa dan menurun bila pH urin dibuat
asam. obat yang bersifat basa lemah, ekskresinya akan meningkat bila pH
dibuat asam dan menurun bila pH dibuat basa.
- Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal
Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui membran tubulus
ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Proses pengangkutan aktif obat
di tubulus dapat memberi penjelasan mengapa antibiotika turunan penisilin
cepat diekskresikan dari tubuh.
c. Ekskresi Obat Melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat yang telah
dimetabolisme menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati,
melewati empedu, menuju ke usus dengan mekanisme pengangkutan aktif.
Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan glukuronat, asam
sulfat atau glisin. Di usus bentuk konjugat tersebut secara langsung
diekskresikan melalui tinja, atau dapat mengalami proses hidrolisis oleh enzim
atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat non polar, sehingga diabsorpsi
kembali ke plasma darah, kembali ke hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi
melalui empedu menuju ke usus, demikian seharusnya sehingga merupakan
suatu siklus, yang dinamakan siklus enterohepatik. Siklus ini menyebabkan
masa kerja obat menjadi lebih panjang.


















BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Selama permulaan munculnya ilmu kimia pada abad ke-17 dan ke-18, biokimia
muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Seiring dengan meningkatnya
relevansi biokimia terhadap praktik-praktik klinis, dimunculkanlah biokimia klinis dan
pada tahun 1940an, hal terebut digabungkan menjadi sebuah bidang tersendiri.
Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dari dinding usus halus dengan
konsentrasi plasma tertinggi yang terjadi pada 10 sampai 60 menit setelah pemberian
secara oral. Parasetamol didistrubsi ke hampir seluruh jaringan tubuh. Ikatan dengan
protein plasma biasanya dapat diabaikan pada dosis penyembuhan biasa tetapi
mengingkat seiring dengan meningkatnya dosis. Waktu eliminasi parasetamol
bervariasi dari sekitar 1-3 jam.
Parasetamol dimetabolisme dalam hati dengan enzim cytochrome P450 menjadi
metabolit yang sangat reaktif yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) yang dapat
menyebabkan nekrosis hati jika tidak diikuti oleh konjugasi dengan glutahione (GSH).
Parasetamol diekskresi dalam urin sebagai glukuronida dan konjugat sulfat
yang tidak aktif. kurang ari 5% parasetamol yang diekskresikan tidak berubah.
Metabolit parasemol yang meliputi hidroksilasi memiliki aktivitas hepatotoksik.
Intermediet ini didektosifikasi dengan konjugasi glutationin, akan tetapi dapat
terakumulasi ketika terjadi overdosis (lebih dari 150 mg/kg) dan hal ini dapat
menyebabkan kerusakan pada hati.
Ketika parasetamol diberikan pada dosis penyembuhan, biasanya parasetamol
dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi hipersensitifitas meliputi alergi pada kulit dan
lain-lain terkadang juga dapat terjadi. Reaksi haematologi juga telah banyak
dilaporkan. Penggunaan orbat-obatan dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan syaraf dan kemungkinan memicu terjadinya tumor. Efek
toksik utama dari parasetamol berhubungan dengan sejauh mana terjadinya overdosis
akut. Nekrosis tubular renal lebih jarang terjadi.









DAFTAR PUSTAKA

Forte, J. S. 2010. Paracetamol: Safety versus Toxicity. The chronic ill. No. 6
Goodman dan Gilman. 2006. Dasar-Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC
Leyden, A. 2013. Oxidative Metabolism Of Acetaminophen. Antec Proven Performance.
www.myantec.com
Siswadono dan Bambang S. 2008. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press
Wolff, M. E. 1994. Asas-asas Kimia Medisinal Edisi Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada
Unversity Press
http://www.merckmanuals.com/professional/clinical_pharmacology/pharmacokinetics/drug_abso
rption.html diakses tanggal 20 Juni 2014
http://www.pharmacology2000.com/General/Pharmacokinetics/kinobj1.htm diakses tanggal 21
Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai