Anda di halaman 1dari 39

TUGAS BIOTEKNOLOGI FARMASI

PENGGUNAAN STEM CELLS DALAM PENGOBATAN PENYAKIT


GINJAL




ANGGOTA:
ELZA ZUZELA (1011014010)
IHSAN WAHYUDI (1011014027)
RAFKY PUTRA (1011014034)
RAHMAD DENI (1011014021)






FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014



PENGGUNAAN STEM CELLS DALAM PENGOBATAN PENYAKIT
GINJAL

1. STEM SEL

1.1 PENGERTIAN
Sel Punca atau stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi dan
mempunyai kemampuan/potensi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel
yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh.
Sel Punca mempunyai 2 sifat yang khas yaitu:
1. Differentiate yaitu kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi sel lain. Sel
Punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang khas (spesifik)
misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas dan lain-
lain
2. Self regenerate/self renew yaitu kemampuan untuk memperbaharui atau
meregenerasi dirinya sendiri. Stem cells mampu membuat salinan sel yang
persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel.

Berdasarkan pada kemampuannya untuk berdifferensiasi sel punca
dikelompokkan menjadi
1. Totipoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis
sel. Yang termasuk dalam sel punca totipoten adalah zigot dan morula.
Sel-sel ini merupakan sel embrionik awal yang mempunyai kemampuan
untuk membentuk berbagai jenis sel termasuk sel-sel yang menyusun
plasenta dan tali pusat. Karenanya sel punca kelompok ini mempunyai
kemampuan untuk membentuk satu individu yang utuh.
2. Pluripoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi 3 lapisan
germinal (ektoderm, mesoderm, dan endoderm) tetapi tidak dapat menjadi
jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk sel
punca pluripoten adalah sel punca embrionik (embryonic stem cells).


3. Multipoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi berbagai
jenis sel misalnya sel punca hemopoetik (hemopoetic stem cells) yang
terdapat pada sumsum tulang yang mempunyai kemampuan untuk
berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel yang terdapat di dalam darah
seperti eritrosit, lekosit dan trombosit. Contoh lainnya adalah sel punca
saraf (neural stem cells) yang mempunyai kemampuan berdifferensiasi
menjadi sel saraf dan sel glia.
4. Unipotent yaitu sel punca yang hanya dapat berdifferensiasi menjadi 1
jenis sel. Berbeda dengan non sel punca, sel punca mempunyai sifat masih
dapat memperbaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self renew)
Contohnya erythroid progenitor cells hanya mampu berdifferensiasi
menjadi sel darah merah.

1.2 Berdasarkan Asalnya
1. Sel punca embrio (embryonic stem cells)
Sel induk ini diambil dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan).
Massa sel bagian dalam mengelompok dan mengandung sel-sel induk embrionik.
Sel-sel diisolasi dari massa sel bagian dalam dan dikultur secarain vitro. Sel induk
embrional dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada organisme
dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel otot, sel-sel hati, sel-sel ginjal, dan sel-sel
lainnya.
2. Sel germinal/benih embrionik (embryonic germ cells)
Sel germinal/benih (seperti sprema/ovum) embrionik induk/primordial
(primordial germ cells) dan prekursor sel germinal diploid ada sesaat pada embrio
sebelum mereka terasosiasi dengan sel somatik gond dan kemudian menjadi sel
germinal. Sel germinal embrionik manusia/human embryonic germ cells (hEGCs)
termasuk sel punca yang berasal dari sel germinal primordial dari janin berumur
5-9 minggu. Sel punca jenis ini memilki sifat pluripotensi.
3. Sel punca fetal
Sel punca fetal adalah sel primitif yang dapat ditemukan pada organ-organ fetus
(janin) seperti sel punca hematopoietik fetal dan progenitor kelenjar pankreas. Sel
punca neural fetal yang ditemukan pada otak janin menunjukkan kemampuan
untuk berdiferensiasi menjadi sel neuron dan sel glial (sel-sel pendukung pada
sistem saraf pusat). Darah, plasenta, dan tali pusat janin kaya akan sel punca
hematopoietik fetal.
4. Sel punca dewasa (adult stem cells)
Sel punca dewasa mempunyai dua karakteristik. Karakteristik pertama adalah sel-
sel tersebut dapat berproliferasi untuk periode yang panjang untuk memperbarui
diri.

Karakteristik kedua, sel-sel tersebut dapat berdiferensiasi untuk menghasilkan
sel-sel khusus yang mempunyai karakteristik morfologi dan fungsi yang spesial.
4.1. Sel induk hematopoietic
Salah satu macam sel induk dewasa adalah sel induk hematopoietik
(hematopoietic stem cells), yaitu sel induk pembentuk darah :yang mampu
membentuk sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah yang sehat.

Sumber sel induk hematopoietik adalah sumsum :tulang, darah tepi, dan
darah tali pusar. Pembentukan sel induk hematopietik terjadi pada tahap
awal embriogenesis, yaitu dari mesoderm dan disimpan pada situs-situs
spesifik di dalam embrio.
4.2. Sel punca mesenkimal
Sel induk mesenkimal/ mesenchymal stem cells (MSC)dapat ditemukan
pada stroma sumsum tulang belakang, periosteum, lemak, dan kulit. MSC
termasuk sel induk multipontensi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-
sel tulang, otot, ligamen, tendon, dan lemak. Namun ada beberapa bukti
yang menyatakan bahwa sebagian MSC bersifat pluripotensi sehingga
tidak hanya dapat berubah menjadi jaringan mesodermal tetapi juga
endodermal.

a. APPLIKASI / PENGGUNAAN KULTUR STEM CELLS
Stem cells dapat digunakan untuk keperluan baik dalam bidang riset
maupun pengobatan. Adapun penggunaan kultur stem cells adalah sebagai
berikut:


1. Terapi gen
Stem cells khususnya hematopoetic stem cells digunakan sebagai
pembawa transgen kedalam tubuh pasien dan selanjutnya dilacak apakah
jejaknya apakah stem cells ini berhasil mengekspresikan gen tertentu
dalam tubuh pasien. Adanya sifat self renewing pada stem cell
menyebabkan pemberian stem cells yang mengandung transgen tidak perlu
dilakukan berulang-ulang. Selain itu hematopoetic stem cells juga dapat
berdifferensiasi menjadi bermacam-macam sel sehingga transgen tersebut
dapat menetap diberbagai macam sel.
2. Penelitian untuk mempelajari proses-proses biologis yang terjadi pada
organisma termasuk perkembangan organisma dan perkembangan kanker
3. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan obat-obat baru
terutama untuk mengetahui efek obat terhadap berbagai jaringan
4. Terapi sel (cell based therapy)
Stem cell dapat hidup diluar tubuh manusia, misalnya di cawan Petri. Sifat
ini dapat digunakan untuk melakukan manipulasi pada stem cells yang
akan ditransplantasikan ke dalam organ tubuh untuk menangani penyakit-
penyakit tertentu tanpa mengganggu organ tubuh.


5. GINJAL

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang merah dengan
panjang sekitar 10-13cm, lebarnya 6 cm, berwarna merah dan berat kedua ginjal
kurang dari 1% berat seluruh tubuh atauberatnya antara 120-150 gram dan setiap
sekitar 20-25% darah yang dipompa jantung mengalir menuju ginjal.

Ginjal terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri
vertebra) dan posisinya retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang
peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Gnjal kanan terletak sedikit lebih
rendah (kurang lebih 1cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati
yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga
11(vertebra T12) dan kutub bawahnya adalah processus transverses vertebra L2
(kira-kira 5cm dari krista iliaca) ,sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi
bawah iga 11 atau iga 12 dan kutub bawahnya adalah pertengahan vertebra L3.



2.1. Bagian - Bagian Ginjal
1. Renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus dital.
2. Medulla, yang terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari
tubulus rektus, lengkung henle dan tubulus proksimal (ductus
colligent).
3. Columna Renalis, yaitu bagia korteks diantara pyramid ginjal.
4. Prpcessus Renalis, yaitu bagian pyramid/madula yang menonjol kea
rah korteks.
5. Hilus Renalis, yaitu suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
6. Papilla Renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calyx minor.
7. Calyx Minor, yaitu percabangan dari calyx major.
8. Calyx Major, yaitu percabangan drari pelvis renalis.
9. Pelvis Renalis/piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara
calyx major dan ureter.
10. Ureter, yaitu saluran yang membawa urin menju vesica urinaria.
11. Korteks, yaitu bagian ginjal yang di dalamnya terdapat korpus


2.2. Nefron
Pada bagian korteks dan medulla mengandung sekitar 1 juta nefron.
Nefron adalah satuan structural dan fungsional terkecil pada ginjal.
Dapat dibedakan dua jenis nefron:
1. Nefron kortikalis yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada bagian luar
dari korteks dengan lingkungan henle yang pendek dan tetap berada pada
korteks atau mengadakan penetrasi hanya sampai ke zona luar dari
medula.
2. Nefron juxtamedullaris yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada
bagian dalam dari korteks dekat dengan cortex-medulla dengan lengkung
henle yang panjang dan turun jauh ke dalam zona dalam dari medula,
sebelum berbalik dan kembali ke cortex.

2.2.1 Bagian - Bagian Nefron

1. Glomerulus. Glomerulus merupakan suatu jaringan kapiler berbentuk bola
yang berasal dari arteriol afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol
efferent, berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut
dari darah yang melewatinya.
2. Kapsul Bowman. Berbentuk seperti mangkuk. Lapisan parietalnya terdiri
dari epitel gepeng dengan nucleus-nukleus yang mencolok yang menonjol
ke dalam ruang kapiler. Epitel dalam atau epitel Visceral dibentuk oleh
sel-sel bercabang yang disebut podosit. Tiap sel terdiri dari sekumpulan
bahan di pusat yang mengandung sebuah nucleus dan beberapa tonjolan
atau cabang-cabang yang memancar, yang pada gilirannya menumbuhkan
tonjolan-tonjolan lebih kecil yang dilenal sebagai tonjolan-tonjolan kaki
atau pedikel. Kapsul Bowman ini melingkupi glomerolus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
3. Tubulus Proksimal. Terdiri dari suatu bagian yang terpilin dalam labirin
kortikal dan suatu anggota naik yang lurus dalam pancaran meduler dan
piramida. Tubulus proksimal ini tersusun dari suatu tubula dengan epitel
torak rendah yang mempunyai suatu batas sikat pada permukaan bebasnya
dan alur-alur dasar dalam posisi subnuklear.Suatu sifat mencolok dari sel-
sel tubula proksimal adalah bagian dasarnya terbagi dalam kompartemen-
kompartemen oleh lipatan-lipatan yang menonjol. Kompartemen-
kompartemen ini mengandung sejumlah besar mitokondrium yang
memanjang dari poliribosom. Sel-sel tubula proksimal terikat menjadi satu
oleh kompleks sambungan. Tubulus proksimal ini berfungsi mengadakan
reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan mensekresikan bahan-bahan
ke dalam cairan tubuli.
4. Lengkung Henle. Lengkung Henle membentuk lengkungan tajam
berbentuk U. Terdiri dari pars descendens yaitu bagian yang menurun
terbenam dari korteks ke medula, dan pars ascendens yaitu bagian yang
naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari lengkung henle mempunyai
dinding yang sangat tipis sehingga disebut segmen tipis, sedangkan bagian
atas yang lebih tebal disebut segmen tebal. Lengkung henle berfungsi
reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-bahan ke
dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme
konsentrasi dan dilusi urin.
5. Tubulus Distal.Tubula berpilin dengan permukaan bebas yang polos. Sel-
sel ini kurang eosinofil (atau lebih basofil) dari pada yang terdapat dalam
tubula proksimal. Pembuluh ini berperan dalam pengaturan konsentrasi
ion K
+
dan NaCl dari cairan tubuh dengan cara sejumlah ion K
+
disekresi
ke dalam filtrate dan sejumlah NaCl direabsorbsi dari filtrat. Pembuluh
distal juga berperan menjaga pH cairan tubuh dengan cara mensekresikan
H dan mereabsorbsi ion bikarbonat (HCO
3
-
).
6. Tubulus Pengumpul. Sel-sel tubula pengumpul mempunyai batas-batas
yang jelas, nucleus berbentuk bola kira-kira pada tingkat sama didalam sel,
dan sitoplasma yang relative granuler. Pembuluh ini bersifat permeable
terhadap air tetapi tidak untuk garam.

Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.

6. GAGAL GINJAL AKUT
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh
adanya penurunan drastic pada glomerular filtration rate (jam sampai hari), retensi
limbah metabolisme nitrogen, dan gangguan volume ekstraseluler dan
homeostasis asam-basa. Persentasi GGA di rawat inap yaitu 5% dan 30% pada
ICU. Oliguria dibagi atas 3 kategori :
(1) Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi pada ginjal tanpa kerusakan
integritas dari parenkim ginjal (GGA prerenal, prerenal azotemia) (~55%);
(2) Penyakit yang secara langsung melibatkan parenkim renal (GGA renal,
renal azotemia) (~40%); dan
(3) Penyakit yang berhubungan dengan sumbatan pada saluran kemih
(GGA postrenal, postrenal azotemia) (~5%).
Kebanyakan GGA reversible, ginjal termasuk organ yang relatif unik
diantara organ yang lain dalam kemampuannya untuk sembuh dari fungsi yang
menurun.Namun, GGA tetap juga merupakan morbiditas dan mortalitas utama
dalam rumah sakit akibat beratnya penyakit penyebab GGA tersebut .

a. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
i. GGA PRERENAL (PRERENAL AZOTEMIA)
GGA prerenal adalah bentuk paling sering dari GGA dan memberikan
respon fisiologik berupa hipoperfusi renal ringan sampai sedang. GGA prerenal
dapat reversible dengan cepat melalui restorasi aliran darah ginjal dan tekanan
ultrafiltasi glomerulus. Jaringan parenkim ginjal tidaklah rusak; dengan demikian,
ginjal dari individu dengan GGA prerenal berfungsi baik ketika dicangkok ke
dalam para penerima dengan fungsi kardiovasculer yang normal. Hypoperfusion
yang lebih berat dapat menyebabkan trauma iskemik dari parenkim ginjal dan
Renal GGA ( lihat di bawah). Jadi, GGA prerenal dan GGA renal akibat ischemia
menjadi bagian dari suatu spektrum hypoperfusion ginjal. GGA Prerenal dapat
mempersulit penyakit apapun yang mempengaruhi hypovolemia, berhubungan
dengan cardiac output yang rendah, vasodilatasi sistemik, atau vasokonstriksi
selektif intrarenal.
Hypovolemia akan menyebabkan penurunan tekanan arterial sistemik,
dimana dideteksi sebagai berkurangnya regangan arterial dan cardiac
baroreseptor. Baroreceptor yang aktif memicu suatu respon neurohormonal yang
dirancang untuk mengembalikan volume darah dan tekanan arterial. Ini meliputi
pengaktifan dari sistem simpatik renin-angiotensin-aldosterone dan pelepasan
arginine vasopressin (AVP; dahulu dikatakan sebagai Antidiuretik Hormone).
Norepinephrine, angiotensin II, dan AVP berkolaborasi dalam usaha untuk
menjaga perfusi otak dan jantung dengan merangsang vasokonstriksi pada sirkuit
vaskuler "nonesensial", seperti musculocutaneous dan peredaran splanchnic,
mencegah pelepasan natrium yang menghambat melalui keringat, merangsang
haus, dan dengan memicu retensi natrium dan air. Perfusi glomerulus, tekanan
ultrafiltrasi, dan tingkat filtrasi selama hypoperfusion yang ringan dijaga melalui
beberapa mekanisme kompensasi. Reseptor regangan dalam arteriol afferent,
sebagai respon atas suatu pengurangan tekanan perfusion, mencetuskan
vasodilatasi arteriol afferent melalui suatu refleks myogenik lokal ( autoregulasi).
Biosynthesis dari vasodilator prostaglandins ( e.g., prostaglandin E2 dan
prostacyclin) juga ditingkatkan, dan campuran ini cenderung melebarkan arteriol
aferen. Sebagai tambahan, angiotensin II cenderung menyebabkan vasokonstriksi
arteriol eferen. Sebagai hasilnya, tekanan intraglomerular terjaga, fraksi plasma
yang mengalir melalui kapiler glomerular yang tersaring akan ditingkatkan (
fraksi filtrasi), dan glomerular filtration rate (GFR) dipertahankan. Pada keadaan
hypoperfusion yang lebih berat, respon kompensasi ini dapat gagal dan GFR
menurun, dan mengarah kepada GGA prerenal.
Autoregulasi dari dilatasi arteriol afferent maksimal pada tekanan arterial
sistemik setinggi ~ 80 mmHg, dan hipotensi di bawah angka ini berhubungan
dengan suatu kemunduran yang drastis dari GFR. Derajat hipotensi yang lebih
rendah dapat menimbulkan GGA prerenal pada orang tua dan pada pasien dengan
penyakit yang mempengaruhi integritas arteriol afferent (misal, hypertensive
nephrosclerosis, vasculopathy diabetik). Sebagai tambahan, obat yang
mempengaruhi respon adaptif pada microsirkulasi ginjal dapat merubah
hypoperfusion ginjal terkompensasi menjadi GGA prerenal yang jelas atau
memicu GGA prerenal menjadi GGA ischemic intrarenal. Obat-obat inhibitor dari
baik biosintesis renal prostaglandin [ penghambat cyclooxygenase ; nonsteroidal
antiinflamation drugs( NSAIDS)] atau inhibitor angiotensin-converting enzim
(ACE Inhibitor) dan reseptor angiotensin II blockers adalah penyebab yang utama
dan harus digunakan secara hati-hati pada keadaan yang dicurigai dapat terjadi
hipoperfusi ginjal. NSAIDS tidak mempengaruhi GFR pada individu yang sehat
tetapi dapat mempercepat GGA prerenal pada pasien dengan penurunan volume
cairan atau pada insufisiensi renal kronis dimana GFR terjaga oleh hiperfiltrasi
yang dimediasi prostaglandin oleh nefron fungsional yang terisa. penghambat
ACE harus digunakan dengan bijaksana pada pasien dengan stenosis arteri ginjal
bilateral atau stenosis unilateral dimana hanya satu ginjal yang berfungsi. Pada
keadaan ini, perfusi dan filtrasi glomerular sangat dipengaruhi oleh angiotensin II.
Angiotensin II memelihara tekanan filtrasi glomerular distal ke stenosis dengan
peningkatan tekanan arterial systemic dan dengan mencetuskan konstriksi selektif
pada arteriol. Penghambat ACE dapat memperlambat respon ini dan mempercepat
GGA, namun umumnya reversibel, pada ~30% kasus.
Hepatorenal Syndrome ini adalah suatu bentuk agresif dari GGA, dengan
banyak bentuk dari GGA prerenal, yang sering mempersulit kegagalan hepatik
akibat cirrhosis atau penyakit hati berat lainnya, mencakup keganasan, reseksi
hepatik, dan obstruksi bilier. Pada sindrom hepatorenal yang berat, GGA
berkembang walaupun telah terjadi optimisasi hemodinamika sistemik dan
memiliki tingkat kematian sebesar >90%.

b. GGA INTRINSIC RENAL (INTRINSIC RENAL
AZOTEMIA)
GGA renal dapat mempersulit beragam penyakit berbeda pada parenkim
ginjal itu sendiri. Dari sudut pandang klinikopathologis, dapat berguna untuk
membagi penyebab GGA renal ke dalam (1) penyakit dari pembuluh darah besar
ginjal, (2) penyakit dari mikrosirkulas ginjal dan glomeruli, (3) GGA ischemic
dan akibat nephrotoxic, dan (4) radang tubulointerstitial. GGA renal paling sering
dicetuskan oleh ischemia ( GGA yang ischemic) atau nephrotoxins ( GGA yang
nephrotoxic), yang secara sederhana menimbulkan acute tubular necrosis ( ATN).
Maka, pada umumnya penggunaan istilah GGA dan ATN dapat dipertukarkan
pada keadaan seperti ini. Bagaimanapun, sebanyak 20 sampai 30% dari pasien
dengan GGA ischemic atau nephrotoxic tidak mempunyai tanda klinis atau
bukti morphologis dari nekrosis tubuler, menggarisbawahi peran dari trauma
sublethal pada epithelium tubuler dan kerusakan lain pada sel ginjal yang lain (
misal,sel endothelial ) pada pathophysiology dari sindrom ini.
Etiologi and Pathophysiologi GGA iskemik .
GGA prerenal dan GGA iskemik menjadi bagian dari spektrum bentuk
hipoperfusi ginjal. GGA iskemik berbeda dengan GGA prerenal dalam arti bahwa
hipoperfusi memicu trauma ischemic pada sel parenkim ginjal, terutama
epithelium tubuler, dan penyembuhan biasanya memerlukan 1 sampai 2 minggu
setelah normalisasi perfusi ginjal sebagaimana diperlukan regenerasi dan
perbaikan sel ginjal. Dalam bentuk paling ekstrim nya, ischemia mengarah kepada
bilateral nekrosis korteks renal dan gagal ginjal irreversibel. GGA iskemik terjadi
paling sering pada pasien yang menjalani operasi kardiovasculer besar atau
menderita trauma yang berat, perdarahan, sepsis, dan/atau kekurangan cairan
tubuh. GGA iskemik dapat juga mempersulit bentuk ringan hypovolemia yang
nyata atau penurunan efektifitas volume arterial darah jika terjadi bersamaan
dengan trauma lainnya (misal, nephrotoxins atau sepsis) atau pada pasien dengan
mekanisme pertahanan autoregulator yang menurun atau dengan riwayat penyakit
ginjal sebelumnya.
Keadaan GGA iskemik ditandai oleh tiga fase: inisiasi, pemeliharaan, dan
tahap penyembuhan. Tahap inisiasi ( jam sampai hari) adalah periode awal dari
hipoperfusi ginjal terjadi selama trauma iskemik sedang berkembang. GFR
merosot sebab (1) tekanan ultrafiltrasi glomerular dikurangi sebagai konsekwensi
dari rendahnya aliran darah ginjal, (2) aliran saringan glomerulus di dalam tubulus
dihalangi oleh serpihan-serpihan yang terdiri atas sel epithelial dan bekas limbah
nekrotik yang berasal dari tubulus dan epithelium, dan adanya kebocoran filtrasi
glomerular melalui luka epithelium tubuler. Trauma iskemik adalah paling sering
pada bagian terminal meduler dari proximal tubule ( Segmen S3, pars recta) dan
bagian meduler dari ascending loop of Henle. Kedua segmen mempunyai tingkat
transpor aktif larutan dan konsumsi oksigen yang tinggi dan terletak pada area
ginjal yang rentan ischemic, meski dalam kondisi-kondisi basal, oleh pengaturan
aliran balik yang unik pada vasculatur meduler. Iskemik seluler mengakibatkan
satu rangkaian perubahan transpor ion dan integritas membran yang pada akhirnya
mengarah pada trauma sel dan, jika berat dapat menyebabkan apoptosis dan
nekrosis sel
Perubahan ini meliputi penghabisan ATP, inhibisi pengangkutan sodium
aktif dan transpor larutan lainnya, kerusakan dari regulasi sel dan pembengkakan
sel, gangguan cytoskeletal dan hilangnya polaritas sel, pemasangan matriks-sel
dan sel-sel, akumulasi kalsium intracellular, perubahan metabolisme
phospholipid, pembentukan radikal oksigen bebas, dan peroxidasi membran
lipids. Sangat penting trauma ginjal dapat diatasi dengan pengembalian alirah
darah ginjal selama periode ini.
Sel epitel khusus pada daerah macula densa pada tubulus distal mendeteksi
peningkatan transport natrium yang terjadi sebagai konsekuensi dari kerusakan
reabsorbsi dari segmen proximal nefron. Sel macula densa kemudian merangsang
konstriksi dari arteriol aferen sekitar dengan mekanisme yang kurang dimengerti
dan kemudian mengurangi perfusi glomerular dan filtrasinya, sehingga
memperparah keadaan. Fase penyembuhan ditandai dengan perbaikan dan
regenerasi dari sel parenkim ginjal, terutama sel epitel tubuler dan secara perlahan
GFR menjadi normal atau kembali pada kadar premorbid. Fase penyembuhan ini
dapat dipersulit oleh adanya peningkatan fase diuretik akibat eksresi dari natrium ,
air, dan larutan lain yang tadinya tertahan, penggunaan lanjut dari diuretic, atau
terlambatnya fungsi sel epitel (untuk reabsorbsi larutan dan air)
Patofisiologi dan Etiologi GGA Nephrotoksik
GGA renal intrinsic akut dapat terjadi akibat paparan berbagai agen
farmakologik. Paling banyak yaitu nephrotoxins, insiden GGA meningkat pada
lanjut usia dan pasien dengan insufisiensi ginjal kronis, hypovolemia nyata atau
papararan terhadap toxin yang lain.
Vasokonstriksi intrarenal merupakan kejadian awal pada GGA yang dipicu
oleh radiocontrast, siklosporin, dan tacrolimus. Sehubungan dengan patofisiologi
ini, agen tersebut memicu GGA yang memiliki kemiripan dengan GGA prerenal:
yaitu penurunan akut dari aliran darah ginjal dan GFR
2
, sedimen urin yang relatif
ringan, dan eksresi natrium yang rendah. Kasus berat dapat memperlihatkan bukti
klinis atau patologik dari adanya ATN
(3)
. Nefropati toksik akibat zat kontras
umumnya memperlihatkan peningkatan akut (onset 24-48 jam) dari BUN dan
kreatinin namun reversibel (resolusi dalam 1 minggu) dan paling umum terjadi
pada individu dengan insufisensi renal kronik, DM, CHF, hipovolemik, atau
myeloma multipel. Sindrom ini sepertinya terkait dengan dosis dan insidennya
sedikit berkurang pada individu resiko tinggi dengan memakai agen kontras yang
lebih mahal, nonionik kontras.
Toksisitas langsung terhadap sel epitel tubuler dan atau obstruksi
intratubuler adalah kejadian patofisiologis utama pada GGA yang disebabkan oleh
antibiotik dan antikanker. Zat yang sering merusak adalah agen antimicrobial
seperti acyclovir, foscarnet, aminoglikosida, amphotericin B, dan pentamidini, dan
agen kemoterapi seperti cisplatin, carboplatin, dan ifosfamide. GGA terjadi pada
10 sampai 30% penggunaan aminoglikosida walaupun dengan kadar terapeutik.
Amfoterisin B menyebabkan GGA- terkait dosis melalui vasokonstriksi intrarenal
dan toksisitas langsung pada epitel tubulus. Cisplatin dan carboplatin seperti
aminoglikosida terkumpul oleh sel tubulus proksimalis dan memprovokasi GGA
setelah 7 hingga 10 hari dari paparan dengan cara merusak mitokondria, inhibisi
dari aktivitas ATPase, transpor larutan, trauma yang dimediasi radikal bebas
terhadap membran sel, apoptosis, dan nekrosis.
Sebagai tambahan, hemoglobin dan myoglobin adalah penghambat yang
kuat dari bioactivitas nitrit-oxide dan dapat mencetuskan vasokonstriksi intrarenal
dan inskemik pada pasien dengan hypoperfusion ringan. Serpihan padat
intratubuler ini mengandung immunoglobulin rantai ringan dan protein lainnya,
termasuk Tamm-Horsfall protein yang diproduksi oleh sel thick ascending limb ,
yang merupakan pemicu utama terjadinya GGA pada pasien dengan multiple
(myeloma cast nephropathy). Sebagai tambahan, rantai ringan dapat secara
langsung menjadi racun untuk sel epithelial tubuler. Obstruksi intratubuler juga
merupakan sebab penting terjadinya GGA pada pasien dengan hyperuricosuria
atau hyperoxaluria. Nephropati asam urat akut biasanya muncul pada pengobatan
gangguan lymphoproliferative atau myeloproliferative namun lebih sering terjadi
akibat hyperurisemia jika urin terkonsentrasi.
Pathologi dari GGA Iskemik
(1)

Gambaran patologis klasik dari GGA iskemik yaitu nekrosis fokal dari
epitel tubuler dengan adanya pelepasan dari membran dasarnya dan oklusi lumen
tubulus oleh serpihan padat yang terbentuk dari sel epitel yang degenerasi, debris
seluler, Tamm-Horsfall mucoprotein, dan pigmen. Akumulasi lekosit juga sering
telrihat pada vasa recta, namun morphologis dari glomeruli dan vasculature ginjal
biasanya normal. Necrosis paling parah terlihat pada bagian pars recta dari tubulus
proksimalis namun dapat juga terdapat pada bagian meduler dari thick ascending
limb pada loop of Henle.
Pada GGA nephrotoksik, perubahan morfologis cenderung terlihat jelas
baik pada convoluted dan pars recta tubulus proksimalis. Nekrosis sel tubuler
lebih jarang terlihat dibandingkan GGA iskemik.
Penyebab lain GGA Renal.
Pasien dengan atherosclerosis berat dapat mengalami GGA setelah
manipulasi aorta atau arteri renalis pada saat operasi atau angiography, setelah
suatu trauma, atau yang lebih jarang, adanya embolisasi kristal kolesterol pada
pembuluh darah ginjal (atheroembolic GGA). Kristal kolesterol tersumbat di
dalam lumen arteri berukuran kecil atau sedang. Kemudian memicu reaksi sel
giant dan reaksi fibrosis di dalam dinding pembuluh darah dengan penyempitan
atau penyumbatan dari lumen pembuluh darah. Atheroembolic GGA biasanya
ireversibel.
Sangat banyak struktur agen pharmalogis yang memicu GGA akibat reaksi
hipersensitivitas berupa interstitial nephritis, suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya infiltrate pada tubulointerstritium berupa granulosit (biasanya namun tidak
selalu, eosinophils), makrofag, dan/atau limfosit dan dengan interstitial oedema.
Obat yang tersering adalah antibiotic seperti penicillins, cephalosporins,
trimethoprim, sulfonamides, rifampicin dan NSAID
(4)

c. GGA POSTRENAL
Prevalensi bstruksi saluran kemih sebagai penyebab GGA kurang dari 5%
kasus GGA. Hal ini dikarenakan ginjal mempunyai kapasitas klirens untuk
mengeksresi produk limbah nitrogenous setiap harinya, GGA akibat obstruksi
hanya terjadi jika terdapat sumbatan aliran urin dari urethral meatus externum dan
kandung kemih, obstruksi bilateral ureter, atau sumbatan ureter unilateral pada
pasien dengan 1 ginjal yang berfungsi.Obstruksi buli-buli merupakan sebab umum
terjadinya GGA postrenal dan biasanya disebabkan oleh penyakit prostate (seperti
Bengn Prostat Hypertrophy, tumor, atau infeksi). Penyebab yang lebih jarang
yaitu obstruksi saluran kemih bagian bawah termasuk bekuan darah, calculus, dan
urtheritis disertai spasme. Obstruksi ureter dapat disebabkan oleh obstruksi
intraluminal (kalkulus), infiltrasi dinding ureter (neoplasia) atau kompresi
eksternal (retroperitoneal fibrosis, neoplasia, atau abses) Selama tahap awal
obstruksi (jam sampai hari), filtrasi glomerulus yang berkontinu akan
meningkatkan tekanan intraluminal di atas dari lokasi obstruksi. Sebagai hasilnya,
terjadi distensi berangsur dai ureter proksimal, renal pelvis, dan calyces, dan
penurunan pada GFR
(2)
. Obstruksi akut mulanya berkaitan dengan peningkatan
ringan aliran darah ginjal namun vasokonstriksi arteriolar segera terjadi
mendadak, mengarahkan pada penurunan filtrasi glomerulus lebih lanjut.
d. MANIFESTASI KLINIS DAN DIFERENSIAL
DIAGNOSIS
Pasien yang datang dengan gagal ginjal sebaiknya segera diniliai untuk
menentukan penurunan pada GFR apakah perjalanannya akut atau sudah kronis.
Proses akut dengan mudah ditentukan jika pemeriksaan laboratorium sebelumnya
memperlihatkan peningkatan dari kadar blood ureum nitrogen dan creatinin,
namun pengukuran sebelumnya tidak selalu tersedia. Penemuan yang
memperlihatkan keadaan gagal ginjal kronis termasuk anemia, neuropati, dan
bukti radiologis adanya osteodistrophi ginjal atau ginjal berukuran kecil dengan
jaringan parut. Namun, harus diketahui bahwa anemia juga dapat ditemukan pada
GGA dan ukuran ginjal normal arau lebih sedikit besar dibandingkan ginjal pada
beberapa penyakit ginjal kronis (nephropaty diabetic, amyloidosis, dan polycystic
kidney disease). Setelah diagnosis GGA ditegakkan, beberapa hal perlu ditentukan
segera: (1) identifikasi penyebab dari GGA, (2) eliminasi dari zat-zat pemicu
(nephrotoxin) dan/atau prosedur terapi spesifik dan (3) pencegahan dan
penatalaksanaan komplikasi uremik.
e. PENILAIAN KLINIS
Petunjuk klinis pada GGA prerenal adalah gejala kehausan dan pusing
pada saat berdiri tegak dan bukti pemeriksaan fisis berupa adanya hipotensi
orthostatic dan tachycardia, penurunan tekanan vena jugularis, penurunan turgor
kulit, membrane mukosa yang kering, dan berkurangnya keringat pada aksiler.
Riwayat adanya penurunan progresif dari produksi urin dan berat badan serta
riwayat penggunaan NSAID
(4)
, ACE Inhibitor
(5)
, atau angiotensin reseptor
blocker. Dari pemeriksaan klinis secara seksama akan dapat terlihat stigmata dari
penyakit hati kronis dan hipertensi portal, gagal jantung, sepsis, atau penyebab
lain yang mengurangi volume darah arterial efektif.
GGA renal akibat iskemik biasanya terjadi setelah adanya hipoperfusi
ginjal berat akibat hipovolemic atau septic shock atau setelah operasi besar.
Kemungkinan GGA iskemik akan dapat berkembang lebih jauh jika GGA
menetap walaupun terdapat normalisasi hemodinamika sistemik. Diagnosis dari
GGA akibat nephrotoxic membutuhkan peninjauan terhadap data klinis,
farmakologis, perawatan, dan riwayat radiology sebagai suatu bukti terhadap
paparan dari pengobatan nephrotoxin atau agen radiokontras atau terhadap toxin
endogen (myoglobin, hemoglobin, asam urat, protein myeloma, atau peningkatan
kalsium dalam serum).
Walaupun persentasi GGA iskemik dan nephrotoxic 90% dari kasus GGA
renal, penyakit parenkim ginjal yang lain juga patut dipertimbangkan. Nyeri
pinggul juga merupakan gejala umum akibat adanya oklusi dari arteri atau vena
ginjal dan dengan penyakit parenkim ginjal yang membuat kapsul ginjal distensi
(glomerulonephritis berat dan pyelonephritis). Nodul subcutaneous, livedo
retikularis, plaq oranye retinal arteriolar, nadi kaki yang teraba merupakan tanda
dari adanya atheroembolization. GGA yang berhubungan dengan oligouria,
edema, hipertensi, dan sediment urin aktif (sindrom nefritik) menunjukkan
adanya glomerulonephritis atau vaskulitis. Hipertensi malignan sepertinya juga
penyebab GGA pada pasien dengan hipertensi yang berat dan bukti adanya
kerusakan akibat hipertensi pada organ lain (left ventricular hypertrofi, retinopati
hipertensif, papiledema, atau gangguan neurologist). Demam, arthralgia, dan
bercak eritematous yang gatal terjadi setelah paparan obat yang menyebabkan
adanya interstitial nephritis allergic, walaupun tanda dari hipersensitivitas sistemik
biasanya tak muncul.
GGA postrenal memperlihatkan gejala nyeri pada suprapubik dan pinggul
akibat distensi dari buli-buli dan pada saluran pengumpulan urin di ginjal serta
kapsul ginjal. Nyeri kolik pinggul yang dapat merambat ke pangkal paha
menunjukkan suatu obstruksi akut ureter. Penyakit prostat diduga jika terdapat
riwayat nokturia, frekuensi, dan hesitansi serta pembesaran atau indurasi dari
prostate pada pemeriksaan rectal. Neurogenik bladder dicurigai terjadi pada
pasien yang mngkonsumsi obat-obatan antikolinergik atau adanya bukti klinis
disfungsi autonom. Diagnosis definitif dari GGA postrenal sangat bergantung
pada investigasi radiologik dan respon penyembuhan yang cepat setelah hilangnya
sumbatan.
f. URINALYSIS
Anuria memberi informasi adanya sumbatan total namun dapat merupakan
penanda beberapa kasus GGA prerenal dan renal. Output urin yang berfluktuasi
menimbulkan kemungkinan adanya obstruksi intermitten dimana terdapat pasien
dengan obstruksi saluran kemih parsial mengalami poliuria akibat gangguan
mekanisme mengkonsentrasi urin.
Pada GGA prerenal, sediment bersifat aseluler dan mengandung serpihan
hyaline transparan (urin sediment jinak, inaktif, dan lemah). Serpihan jyalin
terbentuk pada urin yang tekonsentrasi dari unsur normal pembentuk urin
utamanya protein Tamm-Horsfall, dimana disekresi oleh sel epithelial dari Loop
of henle. Terdapat juga GGA postrenal dengan sediment inaktif, walaupun
hematuria dan pyuria umum pada pasien dengan obstruksi intralumen atau
penyakit prostat serpihan berpigmen coklat lumpur dan serpihan yang
mengandung sel epitel tubulus adalah tanda dari ATN
(6)
dan dapat juga
menunjukkan adanya GGA iskemik atau nefrotoksik. Serpihan ini biasanya
ditemukan berkaitan dengan hematuria mikroskopik atau pada proteinuria
tubuler ringan (<1g/dl). style=""> serpihan granuler yang umum adalah ciri dari
penyakit ginjal kronis dan kemungkinan menunjukkan adanya fibrosis interstitial
dan dilatasi tubulus. Jika dilakukan dengan pewarnaan Hansels, eosinophilria
(>5% dari leukosit) umum ditemukan (~90%) pada nephritis interstitial allergic
yang disebabkan oleh antibiotic. Tetapi lymphosit lebih dominant pada nephritis
interstitial allergic akibar NSAIDs. Eosinophilluria merupakan tanda dari GGA
atheroembolic. Kristal asam urat sering ditemukan pada urin terkonsentrasi pada
GGA prerenal namun juga menunjukkan adanya nephropaty urat akut jika
ditemukan dalam jumlah yang besar. Kristal oxalat dan hippurat meningkatkan
kemungkinan keracunan ethylene glycol.
Proteinuria dengan >1 g/dl memberitahukan adanya kerusakan pada
glomerular ultrafiltration barrier (proteinuria glomerular) atau eksresi dari
myeloma rantai ringan. Yang terakhir tidak terdeteksi dengan dipstick biasa (yang
mendeteksi albumin) dan harus direndam di asam sulfosalisilat atau tes
immunoelectrophoresis. Proteinuria berat juga sering ditemukan (~80%) pada
pasien yang mengalami interstitial nephritis allergic dan glomerulopathy kelainan
minimal jika mengkonsumsi NSAIDs. Keadaan serupa dapat dipicu oleh
pemberian ampicilin, rifampisin, atau interferon A. Hemoglobinuria atau
myoglobunuria harus dipertimbangkan jika tes dipstick menunjukkan positif kuat
pada heme namun mengandung sedikit sel darah merah dan jika supernatant dari
urin yang tersentrifugal positif heme bebas. Bilirubinuria memberikan petunjuk
akan adanya sindrom hepatorenal.
g. TANDA KEGAGALAN GINJAL
Analisis urin dan kimia darah sangat penting untuk membedakan antara
GGA prerenal dan GGA iskemik dan nephrotoksik yang merupakan GGA renal.
Fraksi eksresi sodium (FENa) paling berguna dalam hal ini. FENa
menghubungkan antara klirens natrium terhadap klirens kreatinin. Natrium
banyak direabsorbsi oleh filtrasi glomerulus pada pasien dengan GGA prerenal
sebagai usaha untuk mempertahankan volume intravaskuler tetapi tidak pada
GGA renal akibat adanya kerusakan dari sel epitel tubulus. Kontrasnya, kreatinin
tidak di reabsorbsi pada kedua keadaan tersebut. Konsekuensinya, pasien dengan
GGA prerenal biasanya mempunyai kadar FENa <1%>1% indeks kegagalan
ginjal memperlihatkan perbandingan informasi karena variasi klinis dari
konsentrasi natrium serum relative kurang. Konsentrasi natrium pada urin kurang
sensitive untuk membedakan antara GGA prerenal dari GGA iskemik dan
nephrotoksik dikarenakan nilai yang sama pada keduanya. Tidak jauh beda,
indikator kemampuan mengkonsentrasikan urin seperti berat jenis, osmolalitas,
rasio urea urin-plasma, dan rasio ureum-kreatinin, informasinya terbatas untuk
menentukan differensial diagnosis
Perhatian lebih diberlakukan jika terdapat informasi kimiawi atas
kegagalan ginjal. FENa dapat >1% pada GGA prerenal jika pasien mengkonsumsi
diuretik, bicarbonaturia (bersamaan dengan natrium untuk mempertahankan
electronetralitas), gagal ginjal kronis yang dipersulit oleh natrium wasting, atau
insufisiensi adrenal. Kontrasnya, FENa <1%>
h. LABORATORIUM
Pengukuran kreatinin serum berulang dapat memberikan informasi
penyebab GGA. GGA prerenal ditandai dengan kadar berfluktuasi yang parallel
dengan perubahan fungsi hemodinamik. Kreatinin meningkat drastis (24 sampai
48 jam) pada pasien dengan GGA akibat iskemik, atheroembolisasi, dan paparan
kontras radiologik. Kadar kreatinin puncak dapat terlihat setelah 3 sampai 5 hari
pada nephropati kontras dan kembali pada kadar dasar setelah 5 sampai 7 hari.
Sebaliknya, pada GGA iskemik dan penyakit atheroembolic, kadar kreatinin
mencapai puncak setelah 7 sampai 10 hari. Peningkatan awal kreatinin serum
biasanya muncul setelah 2 minggu terapi aminoglikosida dan cisplatin dan
kemungkinan menunjukkan dibutuhkannya akumulasi zat ini dalam sel sebelum
GFR menurun.
Hyperkalenia, hyperphospatenia, hypocalcemia, dan peningkatan asam
urat serum dan kadar kreatinin kinase menunjukkan diagnosis rhabdomyolisis.
Hyperuricemia [>890 umol/L (>15 mg/dL)] yang berkaitan dengan hyperkalemia,
hyperphosphatemia, dan peningkatan kadar peredaran enzim intraseluler seperti
laktat dehidrogenase mengindikasikan adanya nephropaty urat akut dan tumor
lysis syndrome setelah menjalani kemoterapi. Anion serum dan osmolal gap yang
luas (osmolalitas serum terukur dikurangi dengan osmolaltas serum yang dihitung
dari konsentrasi natrium, glukosa, dan ureum) mengindikasikan adanya anion atau
osmole yang tidak biasanya dalam sirkulasi dan merupakan tanda dari keracunan
ethylene glycol atau methanol. Anemia berat tanpa disertai perdarahan
meningkatkan kemungkinan adanya hemolisis, multiple myeloma, atau
microangiopathi trombotik. Eosinofilia sistemik menandakan adanya nephritis
interstitial allergic dan juga tanda penyakit atheroembolic dan polyangiitis nodosa.
i. PENEMUAN RADIOLOGIK
Pencitraan saluran kemih dengan USG sangat berguna menyingkirkan
diagnosis GGA postrenal. CT-Scan dan MRI merupakan modalitas alternative
yang dapat digunakan. Dimana dilatasi pelvicaliceal sering terjadi pada obstruksi
saluran kemih (~98% sensitivitas), dilatasi dapat tidak ditemukan pada permulaan
obstruksi dan pada penekanan diluar sistem ureter (missal pada fibrosis
retriperitoneal dan neoplasia). Retrograde pyelography adalah investigasi yang
lebih definitive pada kasus yang kompleks dan memberikan lokalisasi spesifik
lokasi obstruksi. Foto polos abdomen, dengan tomography jika perlu, adalah
teknik skrining awal pada pasien yang dicurigai mempunyai batu saluran kemih.
USG Doppler dan magnetic resonance angiography berguna untuk menilai
keadaan arteri dan vena ginjal pada pasien yang dicurigai adanya obstruksi
vaskulet, bagaimanapun angiographi dengan kontras biasanya dibutuhkan untuk
diagnosis definitif.
j. BIOPSI GINJAL
Biopsi hanya dilakukan pada keadaan dimana kemungkinan diagnosis
GGA postrenal dan prerenal telah disingkirkan dan penyebab dari GGA renal
belum diketahui. Biopsi ginjal penting pada saat pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan laboratorium menunjukkan diagnosis selain trauma iskemik atau
nephrotoksik yang kemudian dapat menjadi pedoman terapi khusus untuk
penyakit tersebut. Misalnya glomerulonephritis, vasculitis, sindrom hemolitik-
uremik, purpura thrombotik thrombositopenia, dan interstitial nephritis allergic.
k. KOMPLIKASI
GGA mengganggu eksresi natrium, kalium, dan air dan merusak
homeostasis divalensi kation serta mekanisme pengasaman urine. Akibatnya,
GGA sering mempersulit volume overload pada intravaskuler, hyponatremia,
hyperkalemia, hyperphosphatemia, hypocalcemia, hypermagnesemia, dan asidosis
metabolik. Sebagai tambahan, pasien tidak dapat mengeskresi produk limbah
nitrogen dan cenderung terkena syndrome uremik. Kecepatan dari perkembangan
dan keparahan dari komplikasi ini memperlihatkan derajat kerusakan ginjal dan
keadaan katabolisme dari pasien.
Ekspansi volume cairan extraseluler merupakan suatu konsekuensi mutlak
dari berkurangnya eksresi air dan natrium pada pasien anuria atau oligouria.
Dimana bentuk yang lebih ringan ditandai dengan peningkatan berat badan, rales
paru, peningkatan tekanan vena jugular, dan edema. Ekspansi volume
berkelanjutan dapat mempresipitasi edema pulmoner yang berbahaya.
Hypervolemia dapat menjadi dilemma pada pasien yang sedang menjalani
pengobatan intravena dan nutrisi enteral atau parenteral. Pemberian berlebihan air
baik dengan cara biasa maupun dengan nasogastrik tube dan pemberian intravena
larutan hipotonik atau larutan dekstrose isotonic dapat menyebabkan
hipoosmolaliti dan hiponatremia, dimana jika parah dapat menyebabkan edema
serebral dan abnormalitas neurologis termasuk kejang.
Hiperphospatemia ringan adalah komplikasi tersering dari GGA.
Hiperphospatemia berat dapat berkembang pada pasien dengan katabolisme tinggi
atau setelah rhabdomyolysis, hemolysis, atau tumor lysis. Deposisi metastatik dari
kalsium fosfatase dapat menyebabkan hipocalcemia, terlebih jika kadar
konsenstrasi kalsium dan fosfat melebihi 70 mg/dL. Faktor lainnya yang
berkontribusi pada hipocalcemia termasuk resistensi jaringan terhadap pengaruh
hormon paratirhoid dan penurunan kadar 1,25-dihydroxyvitamin D.
Hypocalcemia biasanya asimptomatis namun dapat menyebabkan paresthesia
perioral, keram otot, kejang, halusinasi, dan perubahan berkepanjangan dari T-
wave serta QT interval pada pemeriksaan EKG.
GGA berat yang berkepanjangan akan dapat berkembang menjadi sindrom
uremik. Diuresis aktif dapat terjadi selama fase penyembuhan GGA, dapat juga,
pada beberapa keadaan, menyebabkanpenurunan volume intravaskuler dan
lambatnya penyembuhan GFR. Hipernatremia dapat juga menjadi komplikasi
pada fase penyembuhan jika pengeluaran cairan melalui urin hipotonik tidak
digantikan secara tepat dengan larutan saline hipertonik. Hypokalemia,
hypomagnesemia, hypophosphatemia, dan hypocalcemia adalah komplikasi
metabolik yang lebih jarang pada fase ini.

l. PENGOBATAN
i. Pencegahan
Karena tidak ada terapi spesifik untuk GGA iskemik dan nephrotoksik,
pencegahan merupakan hal yang paling penting. Bayak kasus GGA iskemik dapat
dihindari dengan adanya perhatian lebih tinggi pada fungsi kardiovaskuler, seperti
pada pasien beresiko tinggi seperti lansia dan seseorang yang telah memiliki
insufisiensi renal sebelumnya. Restorasi agresif volume intravaskuler telah
menunjukkan penurunan dramatis terhadap insiden GGA iskemik setelah
terjadinya operasi mayor atau pada trauma berat dan luka bakar. Insiden GGA
nephrotoxic dapat diturunkan dengan penyesuaian obat nephrotoksik terhadap
ukuran badan dan GFR. Sebagai contoh, mengurangi dosis atau frekuensi
pemakian obat pada pasien yang memiliki kerusakan ginjal sebelumnya. Dalam
hal ini, perlu diketahui bahwa kadar kreatinin serum relative kurang sensitive
untuk mengetahui GFR dan dapat terlihat lebih tinggi pada pasien berukuran kecil
atau pada lansia. Untuk tujuan menentukan dosis obat, sangat dianjurkan untuk
menggunakan formula Cockcroft-Gault dimana faktor berat badan dan umur
mempengaruhi hasilnya.
Menyesuaikan dosis obat berdasarkan kadar obat yang bersirkulasi juga
sepertinya mengurangi resiko cedera di ginjal pada pasien yang mengkonsumsi
antibiotik aminoglycoside, cyclosporine, or tacrolimus. Diuretics, cyclooxygenase
inhibitors, ACE8 inhibitors, angiotensin II receptor blockers, dan vasodilator
lainnya harus digunakan dengan perhatian lebih pada pasien yang dicurigai
memiliki hypovolemia yang nyata atau penyakit renovaskuler karena zat-zat ini
dapat merubah GGA prerenal menjadi GGA iskemik di masa depan. Allopurinol
dan diuresis alkaline berguna sebagai profilaksis pada pasien dengan beresiko
tinggi terkena nephropati asam urat akut (misalnya pada kemoterapi kanker
hematologik) dengan cara membatasi pembentukan asam urat dan mencegah
presipitasi kristal urat pada tubulus ginjal. Provokasi diuresis alkalin dapat juga
mencegah atau mengurangi GGA pada pasien yang mengkonsumsi methotrexat
dosis tinggi atau menderita rhabdomyolisis. N-acetylcysteine membatasi cedera
ginjal yang disebabkan oleh acetaminophen jika diberikan 24 jam pertama setelah
asetaminofen dikonsumsi. Ethanol menghambat metabolisme ethylene glycol
menjadi asam oxalic dan hasil metabolit toksik lainnya dan merupakan tambajan
penting pada hemodialisis pada penanganan kegawatdaruratan intoksikasi
ethylene glycol.
ii. Terapi spesifik
Pada dasarnya, GGA prerenal dapat reversible secara cepat setelah
memperbaiki abnormalitas hemodinamika primer dan GGA postrenal dapat
disembuhkan setelah obstruksi dihilangkan. Sampai sekarang, tidak ada terapi
spesifik untuk GGA renal karena iskemik atau nephrotoxic. Penanganan terhadap
kelainan ini berfokus pada menghilangkan penyebab abnormalitas hemodinamika,
menghindari paparan lanjutan dari toxin, dan pencegahan serta penanganan
komplikasi. Terapi spesifik GGA renal yang disebabkan oleh keadaan lainnya
tergantung patologis penyebab.
m. GGA PRERENAL.
Komposisi dari terapi penggantian cairan pada GGA prerenal akibat
hipovolemia harus menyesuaikan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemi berat
akibat perdarahan sebaiknya diterapi dengan transfuse packed red cells, dimana
saline isotonic hanya tepat untuk terpati penggantian cairan pada perdarahan
ringan atau sedang atau kerusakan plasma (luka bakar, pankreatitis). Komposisi
cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi namun biasanya
hipotonik. Larutan hipotonik (mis. Saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai terapi pengganti awal pada GGA prerenal akibat meningkatnya
kehilangan cairan kemih dan gastrointestinal, walaupun salin isotonic dapat
berguna pada kasus yang lebih berat. Terapi berkesinambungan sebaiknya
berdasarkan pada pengukuran kandungan ion dan volume cairan yang
dieksresikan. Kadar potassium serum dan status asam-basa sebaiknya dimonitor
secara seksama. Gagal jantung membutuhkan penatalaksaan aktif dengan
inotropik positif, agen penurun preload dan afterload, obat antiaritmia, dan alat
bantu mekanik seperti balon intraoaortik. Pengawasan hemodinamika invasif
dibutuhkan sebagai pedoman terapi komplikasi pada pasien yang secara klinis
fungsi kardiovaskulernya dan volume intravaskuler sulit dinilai.
n. GGA RENAL.
Banyak pendekatan yang berbeda telah diteliti kemampuannya dalam
mengurangi cedera atau mempercepat penyembuhan GGA iskemik dan
nephrotoxic. Termasuk ANP, dopamine dosis rendah, antagonis endothelin, loop
diuretics, calcium channel blockers, a-adrenoreceptor blockers, analog
prostaglandin, antioxidants, antibody leukocyte adhesion molecules, dan insulin-
like growth factor type I. Walaupun kebanyakan dari pendekatan ini bermanfaat
pada model penelitian GGA iskemik dan nephrotoxic, namun tidak
memperlihatkan manfaat yang konsisten (hasilnya bervariasi) dan terbukti tidak
efektif pada manusia.
GGA renal akibat penyakit intrinsic renal lainnya seperti
glomerulonephritis akut atau vaskulitis dapat berespon terhadap kortikosteroid,
alkylating agents, dan/atau plasmapheresis, tergantung dari patologi primernya.
Glucocorticoids juga dapat mempercepat remisi pada kasus nephritis interstitial
allergic. Pengendalian aktif terhadap tekanan arteri sistemik juga sangat penting
dalam mengurangi cedera ginjal pada malignant hypertensive nephrosclerosis,
toxemia pada kehamilan, dan penyakit vakuler lainnya. Hipertensi dan GGA
akibat scleroderma dapat sangat sensitive dengan pengobatan ACE inhibitors.
o. GGA POSTRENAL
Penanganan GGA postrenal membutuhkan kolaborasi mendalam dari ahli
nephrology, urology, dan radiology. Obstruksi urethra atau kandung kemih
biasanya diatasi pertama-tama dengan kateter transurethra, yang akan memberikan
penyembuhan temporer, sementara lesi obstruksi diidentifikasi dan kemudian
diberikan terapi definitive. Mirip dengan itu, obstruksi ureter dapat diterapi mula-
mula dengan katerisasi percutaneous terhadap pelvis renalis atau ureter yang
terdilatasi. Obstruksi biasanya dapat disingkirkan secara percutaneous (mis,
calculus) atau bypass dengan memasukkan stent ureter (misal, karsinoma).
Sebagian besar pasien mengalami diuresis yang tidak biasanya selama beberapa
hari setelah terapi obstruksi. Sekitar 5% pasien akan mendapatkan sindrom salt-
wasting yang memerlukan pemberian salin intravena untuk menjaga tekanan
darah.
7. GANGGUAN GINJAL KRONIK
Pada penderita gagal ginjal kronik, akan mengalami penurunan fungsi
ginjal, produk akhir metabolisme protein ( ureum, kreatinin, asam urat
yang normalnya dieksresikan kedalam urine ) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat.( Brunner & Suddart 2002 : 1448

a. Penurunan laju filtrasi glomerolus ( GFR )
Penurunan GFR terjadi akibat tidak berfungsinya glomeruli, kliriens
kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin sereum meningkat. Selain itu kadar
nitrogen urea darah ( BUN ) akan meningkat.
b. Retensi cairan dan natrium.
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan
urine secara normal pada penyakit ginjal tahap terakhir, respon ginjal yang sesuai
terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.
Penahanan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal
jantung kongesti dan hipertensi. Hipertensi dapat terjadi aktivasi aksis renin-
angiotensin-aldosteron. Mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam
mencetuskan resiko hipertensi dan hipovolemi.
c. Asidosis
Terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal
mengeksresikan muatan asam (H
+
) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam
terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresikan amonia
(NH3
+
) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO
3

-
). Nilai normal adalah 16-
20 mEq/L. penurunan eksresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Pada
sebagian klien GGK asidosis metabolik terjadi. pada tingkatan ringan dengan Ph
darah tidak kurang dari 7,35. nilai normalnya 7,35-7,45.
d. Anemia
Terjadi akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat (racun uremik
dapat menginaktifkan eritropoetin atau menekan sum-sum tulang terhadap
eritropoetin). Memendeknya usia sela darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan mengalami perdarahan terutama disaluran gastrointestinal, anemia
akan menyebabkan kelelahan, dapat timbul dispneu sewaktu penderita
melakaukan kegiatan fisik. Anemia GGK akan timbul apabila kreatinin serum
lebih dari 3,5 mg/100 ml atau GFR menurun 30 % dari normal.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Dengan menurunnya filtrasi ginjal dapat meningkatkan kadar fosfat serum
dan sebaliknya serta peningkatan fospat serum menyebabkan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid tapi pada GGK tubuh tidak berespon normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon dan akibatnya kalsium tulang menurun
sehingga menyebabkan perubahan pada tulang. Selain itu metabolik aktif vitamin
D (1,25 dehidrosikolekalsiferol) yang secara normal dibuat diginjal menurun
seiring perkembanagan gagal ginjal.
f. Ketidakseimbangan kalium
Hiperkalemia timbul pada klien GGK yang mengalami Oligouri disamping
itu asidosis sistemik dapat menimbulkan hiperkalemia melalui pergesaran K
+
dari
sel kecairan ekstra seluler. Bila K
+
antara 7-8 mEq/ L akan timbul disritmia yang
fatal bahkan henti jantung.
g. Hipermagnesemia
Uremia akan mengalami penurunan kemampuan meneksresikan
magnesium, sehingga kadar magnesium serum meningkat ( nilai normal 1,5-2,3
mEq/L).
h. Hiperurisemia
GGK dapat menimbulkan gangguan eksresi asam urat sehingga kadar
asam urat meningkat ( nilai normal 4-6 mg/100 ml ) sehinggfa dapat
menimbulkan serangan arthithis Gout akibat endapan garam urat pada sendi dan
jaringan lunak.
i. Penyakit tulang uremik
Osteodistropi renal terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fospat dan
ketidakseimbangan parathormon.
j. Kelainan metabolisme
Merupakan ciri khas syndrome uremik, meski mekanismenya belum jelas.
Terjadi akibat gangguan metabolisme protein akibat dari sintesa protein abnormal.
Gangguan metabolisme karbohidrat juga terjadi, kadar gula darah puasa
meningkat tapi tidak lebih dari 200 mg/100ml. Akibatnya jaringan perifer tidak
peka terhadap insulin, dimana ginjal gagal menonaktifkan 1-5 % insulin dari
uremia. Metabolisme lemak terjadi akibat peningkatan kadar trigliserida serum
karena peningkatan glukosa dan insulin serta penggunaan asetat dalam dialisat.

8. PENGGUNAAN STEM CELLS DALAM PENGOBATAN
PENYAKIT GINJAL

Para ahli saat ini sedang giat melakukan berbagai penelitian untuk
menggunakan stem cell dalam mengobati berbagai penyakit. Penggunaan stem
cells untuk mengobati penyakit dikenal sebagai Cell Based Therapy. Prinsip
terapi adalah dengan melakukan transplantasi stem cells pada organ yang rusak.

Tujuan dari transplantasi stem cells ini adalah
1. Mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel baru yang sehat pada
jaringan atau organ tubuh pasien
2. Menggantikan sel-sel spesifik yang rusak akibat penyakit atau cidera tertentu
dengan sel-sel baru yang ditranspalantasikan.

Sel stem embryonic sangat plastik dan mempunyai kemampuan untuk
dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel seperti neuron, kardiomiosit,
osteoblast, fibroblast, sel-sel darah dan sebagainya, sehingga dapat dipakai untuk
menggantikan jaringan yang rusak. Sel stem dewasa juga dapat digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit degeneratif, tetapi kemampuan plastisitasnya sudah
berkurang. Keuntungan dari penggunaan sel stem dewasa yaitu tidak atau kurang
menimbulkan masalah dan kontroversi etika.

a. Prinsip Pengobatan Stem Cell
Stem cell adalah sel induk yang berada dalam tubuh kita sendiri yang
memiliki kemampuan memperbaharui dan memulihkan. Dalam kondisi seperti ini,
ia dapat dikelompokkan sebagai sel multifungsi. Prinsip metode stem cell
terhadap penyakit gagal ginjal : Stem cell melalui injeksi pada pembuluh atau
metode intervensi lainnya dimasukkan ke ginjal, dapat membantu regenerasi sel
pada ginjal yang rusak, menghambat proses kerusakan ginjal, hingga memulihkan
fungsi ginjal tersebut.
Stem cell dapat mengobati glomerulonefritis kronik, kerusakan ginjal yang
disebabkan oleh metabolisme yang tidak normal, nefropati pada pembuluh darah,
penyakit ginjal turunan, Infeksi pada Ginjal, Penyakit sistemik, Nefropati
Beracun, Nefropati obstruktif, dan penyakit ginjal yang disebabkan oleh faktor
lainnya. Metode pengobatan ini sangat efektif bagi pasien penderita gagal ginjal
stadium I, II, III, maupun IV (uremia).

b. Kelebihan Terapi Stem Cell
Teknologi stem cell adalah bioteknologi klinis yang digunakan di abad 21
ini, metode pengobatan ini memiliki kelebihan-kelebihan seperti, tingkat risiko
yang rendah, efeknya cepat terlihat, rasa sakit yang dirasakan sedikit, dan sangat
efektif, dan bila dibandingkan dengan metode cuci darah, metode obat-obatan
serta pencangkokkan ginjal, metode ini lebih menonjolkan kelebihan dari
bioteknologi.
1. Hasil yang efektif
Hasil bisa terlihat setelah 1 minggu terapi, sebagian besar pasien yang
telah melakukan terapi tahap ke 2, fungsi ginjalnya kembali normal, urin yang
berkurang, pembengkakan, hipertensi, anemia, serta gejala-gejala lainnya pun
berkurang atau bahkan hilang.
Sedangkan untuk metode obat-obatan dan cuci darah, ini hanya terpusat
pada gejala yang terlihat saja, tidak menyembuhkan pusat kerusakan pada ginjal.
Dalam pencangkokkan ginjal, ginjal yang sehat dimasukkan ke dalam tubuh
pasien, terdapat risiko dan kemungkinan penolakan dari tubuh, ditambah dengan
tuntutan dari pendonor, sehingga pemulihannya tergolong lambat.

2. Keamanannya terjamin
Stem cell tidak memiliki efek samping, kecil kemungkinannya terjadi
penolakan dari tubuh, kecil kemungkinan terjadi respon yang tidak diinginkan,
tindakan dilakukan dengan teknologi minimal invasif, tidak dilakukan
pembedahan, tidak ada rasa sakit, dan efeknya dapat terlihat dalam waktu singkat.
Pengobatan dengan metode obat-obatan dapat menimbulkan perlawanan
dari penyakit, menambah beban pada organ ginjal. Metode cuci darah dapat
menimbulkan reaksi ketidakseimbangan serta reaksi merugikan lainnya, selain itu
pasien yang memiliki gangguan pada pembuluh darah, tidak dapat melakukan cuci
darah. Setelah pasien melakukan pencangkokkan ginjal, risiko terkena penyakit
seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, kolesterol, hiperurikemia, dan
penyakit lainnya akan bertambah.
3. Dengan menggunakan metode stem cell tidak perlu menunggu,
autologous, berbagai sel induk yang diperlukan tersedia, dan bersifat
menyebar pada tubuh manusia

Stem cell umumnya terdapat pada sebagian besar organ yang ada pada
tubuh manusia, yang utama meliputi, sel induk pada sum sum tulang, sel induk
pada darah perifer, sel induk pada tali pusat, dsb. Karena stem cell memiliki
kemungkinan penolakan yang kecil, autologous, dan berbagai sel induk yang
diperlukan tersedia.
Pencangkokkan ginjal adalah salah satu metode baik yang bisa digunakan
untuk mengobati penyakit ginjal, tetapi ginjal yang tersedia sangat terbatas, dan
pendonornya pun sedikit. Menurut data yang diterbitkan oleh WHO, lebih dari
80% penderita gagal ginjal sedang menunggu donoran ginjal yang cocok.
4. Jangkauan pengobatan
Metode pengobatan stem cell sangat efektif untuk gagal ginjal yang
disebabkan oleh berbagai hal, efektif untuk pasien penderita gagal ginjal stadium
I, II, III, maupun IV (uremia).
Metode stem cell sangat efektif untuk gagal ginjal stadium I, metode cuci
darah biasa digunakan untuk penderita stadium lanjut. Pencangkokan ginjal,
adalah salah satu metode pengobatan yang tidak bisa dihindari untuk mengobati
penyakit ginjal yang sudah berkembang menjadi gagal ginjal
5. Proses terapi sel induk
Proses jalannya terapi stem cell, termasuk sebelum, pelaksanaan, dan setelah
terapi, biasanya memerlukan waktu sekitar 10 hari, berikut perinciannya :

a. Sebelum terapi
Hari ke 1 : Masuk Rumah Sakit. Registrasi.
Hari ke 2 : Pemeriksaan. Menjalani pemeriksaan secara keseluruhan,
dengan indikator terkait, memastikan pelaksanaan terapi stem cell.
Hari ke 3-6 : Tahap awal terapi. Berdasarkan kondisi dan perkembangan
penyakit pasien, dilaksanakan terapi stem cell dan pengontrolan kondisi
tubuh.

b. Terapi Stem cell
Hari ke 7 : Pelaksanaan transplantasi stem cell melalui pembuluh arteri.
Melalui bagian yang sudah dibius secara lokal, melakukan transplantasi
stem cell.

c. Setelah terapi
Hari ke 8-9 : Pengamatan. Penilaian terhadap efektifitas, serta mengatur
dan membantu pasien dalam menjalani terapi konsolidasi.
Hari ke 10 : Keluar rumah sakit dan pelaksanaan pemeriksaan kembali.
Dokter akan menginformasikan kepada pasien mengenai waktu untuk
melakukan pemeriksaan kembali.

Biaya pengobatan didasarkan pada kondisi pasien dan metode pengobatan.

1. Penyakit yang berbeda membutuhkan jenis dan jumlah stem cell yang
berbeda; walaupun penyakitnya sama, tahap penyakitnya berbeda-beda,
maka jumlah dan jenis stem cell yang digunakan pun berbeda, tidak dapat
disamakan.
2. Biaya pengobatan termasuk: biaya pengembangbiakan stem cell dan biaya
transplantasi, pemeriksaan medis, rawat inap, obat-obatan pendukung (bila
diperlukan), dan biaya terapi pemulihan (bila diperlukan).

Ada 4 tipe dari stem sel yang bias dipertimbangkan dalan memberbaiki sel pada
ginjal, yaitu:
1. Stem sel sumsum tulang belakang
2. Hematopoetik
3. Mesencimal
4. Intrinsik renal progenitor


1. Stem Sel Sumsum tulang belakang
Sebuah studi oleh Gupta et al. menyarankan bahwa BMSC hanya
menyerang ginjal terluka. Dengan demikian, sel-sel tubular membawa kromosom
Y yang ditemukan hanya dalam donor perempuan biopsi ginjal pasien laki-laki
yang mengembangkan tubular nekrosis pasca-transplantasi. Sebaliknya, tidak ada
Y-chromosomepositive

2. Hemtopoetik
Setelah injeksi sistemik hematopoietik manusia sel induk (HSC) 24 jam
pasca-cedera pada tikus imunodefisiensi, Li et al. menunjukkan perekrutan yang
selektif dan lokalisasi Sel-sel sumsum tulang yang diturunkan ke pembuluh darah
ginjal akibat dalam perbaikan struktural dan fungsional pemulihan serta
peningkatan kelangsungan hidup

3. Mesencimal
Studi membandingkan MSC dan HSC fraksi dengan Morigi et al.
dipamerkan bahwa MSC, tapi tidak HSC, kontribusi terhadap manfaat terapeutik,
dibedakan menjadi sel tubular dan mempercepat pemulihan struktural setelah
cisplastin-induced cedera ginjal akut. Namun, beberapa peneliti telah
menunjukkan bukti bahwa MSC berfungsi melalui efek parakrin daripada
engraftment dan proliferasi untuk menengahi perbaikan ginjal. Kunter et l.
menunjukkan bahwa setelah 6 hari, sebagian besar transplantasi MSC gagal
berdiferensiasi menjadi jenis sel lain dengan immunostaining untuk endotel,
mesangial, atau monosit / garis keturunan makrofag.

4. Intrinsik renal Progenitor
Sel induk ginjal terdiri alternatif untuk sumsum tulang sel untuk regenerasi
berbasis sel induk ginjal. Identifikasi sel induk ginjal didasarkan pada identifikasi
sel-sel dalam ginjal mengekspresikan CD24 dan CD133, dan berbagi sifat
fungsional dari sel induk seperti mereka waktu bersepeda khas lambat ditunjukkan
oleh BrdU pelabelan. Nenek moyang ginjal telah ditemukan di beberapa situs
dalam ginjal termasuk tubuli proksimal, glomeruli, kapiler peritubular, dan
papilla. CD133-mengekspresikan sel ginjal diisolasi dari tubular sebagian kecil
dari pemulihan korteks disempurnakan dari glycerolinduced tubulo nekrosis
dengan mengintegrasikan ke proksimal dan tubulus distal. Penyakit ginjal timbul
dari cacat bawaan juga kondisi yang diperoleh yang dihasilkan dari ginjal akut
cedera (AKI) atau penyakit ginjal kronis (CKD) . AKI melibatkan cepat hilangnya
fungsi ginjal secara tiba-tiba kerusakan sel ginjal, yang dapat dipicu oleh iskemia,
racun, atau sepsis. CKD ditandai dengan progresif hilangnya fungsi ginjal dari
waktu ke waktu karena fibrosis dan erosi jaringan sehat. Penyakit ginjal
menyebabkan kegagalan organ, yang dikenal sebagai stadium akhir penyakit
ginjal (ESRD), yang memerlukan terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau
transplantasi.
Meskipun gagal ginjal dapat dikelola klinis, ia memiliki angka kematian
yang tinggi dan memerlukan intensif, perawatan jangka panjang. Hal ini
menempatkan beban yang cukup pada pasien dan keluarga mereka, dan sosial
ekonomi yang luar biasa ketegangan pada sistem kesehatan. Kebutuhan akan
metode baru untuk meringankan, menyembuhkan, atau mencegah penyakit ginjal
telah memicu minat yang besar dalam topic ginjal biologi sel induk. Selama lebih
dari satu dekade sekarang, yang penggunaan sel induk untuk pengobatan
regeneratif telah luas digembar-gemborkan sebagai datangnya era baru dalam
kesehatan. Sayangnya, besarnya semata-mata kegembiraan, berharap, dan janji
seputar gagasan sel induk terapi telah disaingi oleh besarnya tantangan dalam
membuat seperti pendekatan kenyataan. Sebuah rintangan utama dihadapi peneliti
nefrologi adalah bahwa manusia ginjal telah klasik didefinisikan sebagai non-
proliferasi dan organ non-regeneratif. Namun, dengan penemuan el induk dewasa
dalam organ yang dulunya dianggap non-regeneratif (seperti otak), make-up
selular ginjal telah datang untuk dievaluasi. Ada yang muncul bukti bahwa ginjal
manusia memiliki regeneratif bawaan kemampuan. Sebagai contoh, pasien
diabetes dengan CKD pengembalian dipamerkan lesi fibrosis dalam sepuluh ginjal
mereka tahun setelah menerima transplantasi pankreas. baru upaya penelitian
telah difokuskan pada pemahaman yang lebih baik bagaimana ginjal dapat
sembuh setelah cedera, dan menentukan apakah ginjal mengandung sel-sel induk
yang memediasi penggantian jaringan. Di sini kita mendefinisikan peran sel induk
dalam pengembangan ginjal, membahas bagaimana ginjal dewasa merespon
merusak, dan menggali pengetahuan saat ini tentang keberadaan sel induk dewasa
ginjal.
Ginjal berkembang dari kolam beberapa sel induk selama organogenesis.
Seperti pada mamalia lain, ginjal manusia berasal dari mesoderm menengah (IM)
dan hasil melalui tiga tahap progresif, masing-masing ditandai dengan
pembentukan ginjal lebih maju: pronefros, yang merupakan organ yang belum
sempurna dan non-fungsional, Mesonefros, yang hanya berfungsi waktu yang
singkat selama
perkembangan embrio, dan metanephros, yang menjadi bentuk definitif ginjal
dewasa. Unit struktural dasar dari setiap bentuk ginjal adalah nefron, tabung epitel
yang menyelesaikan ekskresi limbah. Nefron memiliki tiga bagian utama: (1) a
glomerulus yang menyaring darah, (2) tubulus yang mengubah filtrat untuk
menyerap dan mengeluarkan zat terlarut sebagai melewati fluida melalui
proksimal, segmen menengah, dan distal, dan (3) saluran yang membawa urin
menjadi terpusat Sistem pengumpulan. Pronefros dan Mesonefros erbuat dari IM
yang berkembang menjadi nefron sederhana yang terhubung ke sepasang nephric
(Wolffian) saluran, dan jaringan ini merosot dalam suksesi sebagai metanephros
bentuk. Ginjal metanephric diproduksi ketika suatu wilayah lokal dari bentuk
saluran nephric sebuah hasil yang dikenal sebagai ureter bud (UB). The UB
menyerang IM yang berdekatan, yang pada tahap ini disebut mesenkim
metanephric (MM), dan mengalami perulangan percabangan morfogenesis untuk
membuat kompleks jaringan saluran.


Jaringan seluruh pameran tubuh mamalia yang berbeda-beda tingkat
turnover selular selama kehidupan dewasa. Epitel yang dihadapkan dengan derajat
stres yang tinggi lingkungan menggunakan tingkat turnover hampir konstan sel
induk dewasa dan / atau keturunan mereka transiently memperkuat sebagai
strategi untuk menjaga integritas jaringan, seperti yang terlihat di kulit dan lapisan
saluran pencernaan di mana jutaan sel yang diganti setiap hari. Nefron ginjal dan
pengumpulan saluran epitel terkena bagian berkesinambungan dari filtrat, dan
ribuan sel-sel hidup dari saluran kemih manusia yang sehat diekskresikan setiap
hari. Misalnya, menghitung sel tubular nefron dikelupas bernomor ~ 78.000 sel
per jam pada pria dan ~ 68.000 sel per jam wanita. Sel dari ini disebut sedimen
urin bisa terisolasi dan berbudaya, dan termasuk sel epitel gudang dari ginjal,
ureter, kandung kemih, dan uretra. Sedangkan besarnya pergantian sel ginjal lebih
rendah dibandingkan organ lain, mekanisme homeostatis masih diperlukan untuk
mempertahankan fungsi ginjal.




KEPUSTAKAAN
McNeish, J. (2004) Embryonic Stem Cells in Drug Discovery Nat. Rev. Drug
Discov. 3, 70-80
Davila, J.C., Cezar, G.G., Thiede, M., Strom, S., Miki, T., Trosko J. (2004) Use
and Application of Stem Cells in Toxicology. Toxicol. Sci. 79, 214-223
The stem Cell- Stem cell information- The Official national Institute of Health
Resource for Stem Cell Research .
Anatomy 101: Stem cell-Reeve Irvine Research Center-
http/www.reeve.uci.edu/anatomy/stem cells.php.
Sell, S. (2004) Stem cells. Stem Cell Handbook ed. by Sell, S. 1-18.
FOXNews.com - New Stem-Cell Procedure Doesn't Harm Embryos, Company
Claims - Biology | Astronomy | Chemistry | Physics
Therapeutic use of cell nuclear replacement: Therapeutic cloning-Research in
focus- MRC (Medical Research Council)
For review: Floss,T., Wurst, W. (2002) Functional Genomics by Gene-trapping in
ES cells. Embryonic Stem Cells Methods and Protocols ed. by Turksen, K.
347-379
What are stem eclls? CSA guide to discovery http://www.csa.com/discovery
guide/stem cell//overview.php
Liu S, Qu Y, Stewart TJ et al. Embryonic stem cells differentiate into
oligodendrocyts and myelinated in culture and after spinal cord
transplantation. PNAS 2000: 97(11):6126-6131
Li Y, Chen J, Chen XG, et al. Human marrow stromal cell therapy for stroke in
rat: neurotrophins and functional recovery Neurology 2002;59:514 523
Zhao LR, Duan WM, Reyes M, et al. Human bone marrow stem cells exhibit
neural phenotypes and ameliorate neurological deficits after grafting into the
ischemic brain of rats. ExpNeurol 2002;174:1120)
Bartinek J, Vanderheyden M, Vandekerchove B et al., Intracoronary injection of
CD133-positive enriched bone marrow progenitor cells promotes cardiac
recovery after recent myocardial infarction. Circulation 2005; 112 (9
suppl): 78-83

Anda mungkin juga menyukai