Anda di halaman 1dari 4

Aktualisasi Islam dan Fiqh Substansi

Fiqh substansi adalah pendekatan untuk menjawab kebingungan bagaimana


cara beragama dalam konteks kemoderenan tanpa harus menanggalkan pesan agama.
Tapi banyak diselewengkan Abd Rauf Amin *)
Dalam memahami Islam lalu megaktualisasikannya dalam kehidupan, Islam
mengadopsi apa yang disebut “Fiqh”. Fiqh penting, bukan hanya karena ia sebagai
kata kunci memahami apa yang menjadi kewajiban dan larangan Ilahi atas manusia,
tapi ia pun menjadi instrument yang sangat vital untuk memahami segala bentuk
pesan dan misi agama terutama hukum syariah. Karena itulah di dalam instrument
Fiqhi terdapat berbagai pendekatan-pendekatan metodologis dalam memahami dan
menerapkan ajaran agama.
Fiqh substansi adalah satu pendekatan yang diperlukan untuk menjawab
kebingungan yang muncul dari pertanyaan; bagaimana cara beragama dalam konteks
kemoderenan tanpa harus menanggalkan pesan dan ajaran agama?.Lalu benarkah
tuduhan Islam tidak lagi mampu memenuhi dan merespon kecenderungan-
kecenderungan penganutnya dalam bingkai modernitas. Artikel ini adalah upaya
sederhana untuk menjawab kebingungan tersebut dengan mendekati Fiqh substansi
Makna yang terkandung dalam “Fiqh subtansi” adalah bahwa setiap teks
hukum disamping mengandung makna dan hukum juga mengandung tujuan/substansi
hukum. Setiap fiqhi atau ijtihad mesti mengetahui dan memperhatikan tujuan hukum
yang dikandung sebuah teks hukum, setelah mengerti makna dan hukumnya sendiri.
“Tujuan hukum” lebih mampu mengekspresikan hakikat keinginan Tuhan dibanding
makna atau hukum yang dikandung sebuah teks. Alasannya sangat logis yaitu
memperoleh “tujuan hukum” bukan hanya dari satu teks hukum tapi dari lebih dari
satu teks yang semuanya mengindikasikan satu tujuan hukum. Atau hukum dan
makna teks hanya ditunjuk oleh satu teks tapi tujuan hukum ditunjuk oleh berbagai
teks.
Misalnya, dalam Surah al-Maidah, Allah berfirman; “Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”.
Dalam teks ini terdapat makna, hukum, juga tujuan Hukum. Makna teksnya
adalah perintah untuk memotong tangan setiap orang yang melakukan pencurian,
sedangkan hukum yang dikandung teks ini adalah kewajiban memotong setiap orang
yang melakukan pencurian, dan tujuan hukumnya adalah pemotongan tangan diduga
kuat untuk menjerah pelakunya dan memelihara harta rakyat dari setiap bentuk
pencurian. tujuan hukum ini diperoleh dari beberapa teks yang berbicara tentang
Jinayah/Kriminal dalam semua bentuk, bukan hanya diperoleh dari teks diatas.
Yang menarik untuk dicermati, pakar hukum Islam mempertegas bahwa setiap
hukum diharapkan mampu mewujudkan tujuan hukumnya. Karena itu, bila mana
dalam sebuah kasus, sebuah hukum tidak lagi mampu membumikan tujuannya maka
hukum harus diganti dengan hukum yang lain yang diyakini mampu mewujudkan
tujuan hukum. Proses pembumian sebuah hukum harus paralel dengan sasaran dan
tujuannya dan tidak boleh membenturnya .
“Fiqh substansi” adalah sebuah kecenderungan pemikiran hukum yang hidup
sejak masa nabi sampai pertengahan abad keempat hijriah ketika institusi ijtihad
sudah mengalami kebekuan. Sejak itu Fiqh substansi tenggelam dalam lautan sejarah
dan berhasil dihidupkan kembali oleh Imam Syatibi pada abad ke delapan hijriah
dengan sebuah karya monumentalnya “Al-Muwafaqat” yang sangat dikagumi baik di
barat maupun di timur. Beberapa abad setelah Syatibi meninggal, Fiqh subtansi
kembali terkubur oleh sejarah sampai muncul Muhammad Abduh yang
merekomendasikan kemestian mengadopsi fiqh substansi yang telah dibangun oleh
Syatibi. Sejak itulah karya Syatibi serta merta menjadi sebuah rujukan utama bagi
semua pemerhati kajian pemikiran yurisprudensi Islam. Kini, “fiqh substansi” sedang
mengambil bagian sebagai wacana yang sedang mengglobal bukan hanya dalam
diskursus pemikiran hukum, tapi juga dalam semua level pemikiran keislaman.
Sebagai contoh kasus fiqh substansi, pada masa nabi sampai pemerintahan
umar, kriminal Miras(minuman keras) diberi sanksi 40 kali dera. Saat itu, kasus
minuman keras relatif jarang ditemukan dibanding pada masa umar. Ketika Umar
menjabat sebagai Khalifah, beliau menyaksikan sebuah kecenderungan kriminal miras
yang lebih intens dari masyarakat. Umar ketika itu mendialogkan antara hukum miras
dengan substansi atau tujuan hukum miras. Beliau menemukan bahwa hukum 40 kali
dera yang dikandung oleh beberapa teks tidak lagi mampu membendung pelecehan
hukum miras. Lalu Umar mengajak para sahabat untuk meninjau ulang hukum miras.
Ali mengusulkan supaya ditambah sampai 80 kali dera. Ali Sadar bahwa hukum 40
tidak lagi mampu mewujudkan tujuan hukum yaitu penjeraan prilaku miras. Kata
sejarah, semua sahabat yang dilibatkan dalam sidang sepakat atas usulan Ali. Atas
nama konsensus, Umar menetapkan 80 kali dera sebagai hukuman bagi pelaku miras.
Pada kasus yang lain, Umar pernah melakukan pemberhentian hukum alquran
yang mewajibkan orang-orang yang dibujuk hatinya karena baru masuk Islam harus
diberi bagian zakat. Umar sadar bahwa tujuan hukum teks itu adalah agar orang yang
diberi bagian zakat dari orang-orang itu tidak mudah kembali ke agamanya dan agar
orang-orang kafir yang lain tidak terpancing untuk melakukan agresi ke Umat Islam
sementara kondisi Islam dan umatnya masih lemah. Umar juga sadar bahwa umat
Islam sudah tidak butuh lagi untuk membujuk hati mereka karena umat Islam sudah
memiliki kekuatan. Atas nama fiqh substansi, Umar memutuskan untuk tidak
menyalurkan lagi zakat kepada mereka, karena tujuan hukum tidak lagi terwujud.

Penyesatan Fiqh
Dalam wacana “fiqh substansi” kita menemukan dua kecenderungan yang
tidak menguntungkan. Contohnya, ada sebagaian kalangan yang sengaja
mengeksploitasi fiqh substansi untuk tujuan-tujuan negatif yang menyesatkan.
Misalnya mereka mengklaim tidak perlu shalat, tapi yang perlu adalah mengingat
Tuhan, karena, meneurut mereka, inti, tujuan atau substansi dari semua bentuk ibadah
adalah mengingat dan mengabdi kepada Tuhan. Dulu kecenderungan ini popular
dipelopori oleh gerakan “bathiniyya”. Mereka mengaku di dalam teks agama ada
dhahir(makna implisit) ada juga bathin(makna eksplisit). Akibatnya, mereka banyak
membuang formalitas-formalitas Islam. Sekarang kecenderungan itu banyak diadopsi
oleh kalangan yang menamakan diril sebagai Jariangan Islam Liberal (JIL).
JIL dengan tidak menyodorkan metodologi fiqh subtansi yang baku juga
banyak meneriakkan pengabaian formal-formal-agama. JIL tidak mampu
menyuguhkan metodologi pembedaan antara mana yang menjadi tujuan hukum dan
mana sarana. Konsekwensinya JIL sering terjebak pada jurang inkonsistensi ilmiyah
yang membingungkan.
Dalam konteks kemoderenan yang kita sedang hidupi bersama, kita semua
merasakan, menyaksikan bahwa hukum kita di Indonesia sedang menghadapi
tantangan berat menyangkut korupsi. Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah
sebuah kriminal besar yang dilakukan oleh mafia yang melibatkan beberapa pejabat
secara kolektif. Kasus korupsi jauh lebih besar implikasi negatifnya dari kasus
pencurian yang jelas hukum dan tujuan hukumnya dalam Al-Qur’an. Korupsi bukan
hanya menyengsarakan satu dua orang tapi semua lapisan masyarakat ikut tersiksa
karena korupsi. Karena uang lari ke kantong pejabat, akhirnya banyak komponen
masyarakat yang mati kelaparan. Karena uang tidak tersalur, banyak anak bangsa
yang jadi bodoh, karena pendidikannya terlantar. Ketika anak bangsa jadi bodoh, saat
masyarakat mati kelaparan, maka harus disadari bahwa saat itu pula terjadi pelecehan
Tujuan utama dari semua hukum yaitu bahwa Islam datang untuk memelihara hak
asasi manusia dengan menghormati nyawa masyarakat, memelihara, mengembangkan
pikiran masyarakat menjadi pikiran yang hidup dan cemerlang demi terwujudnya
pengabdian kepada-Nya.
Dalam kasus korupsi misalnya, para pakar dan lembaga hukum kita sedang
mendapat tantangan berat untuk menentukan sanksi yang tepat bagi pelakunya.
Semua sadar bahwa korupsi telah berpengaruh negatif dengan volume yang besar
terhadap kesejahteraan dan kesengsaraan rakyat. Mereka sadar bahwa tujuan utama
dari hukum-hukum kriminal adalah efek jera. Dan hampir semuanya tahu apa yang
membuat mereka bisa jera.Tetapi yang membingungkan, kenapa seolah-olah semua
sepakat tidak ada yang mau menempuh prosedur-prosedur penjeraan yang benar.
Karena korupsi lebih besar dari pencurian, maka harus diberi sanksi lebih
besar dari sanksi pencurian. Korupsi telah memiliki peran besar terhadap
kesengsaraan rakyat sampai pada level mati kelaparan, pembodohan rakyat, maka
sanksi korupsi lebih berat dari sekedar pembunuhan atau hukum layaknya peminum
miras.
Salah satu pesan yang ingin disampaikan “Fiqh substansi” dalam artikel ini
adalah bahwa kita menyadari jati diri kita sebagai umat Islam sejati, tetapi kenapa
tidak pernah mencoba menunjukkan keberanian untuk melakukan eksperimen
terhadap prosuder-prosuder penjeraan yang disuguhkan Allah SWT. Yang tak kalah
penting, jika hukum Tuhan disuguhkan kepada kita, sebagaian kita bahkan berani
menuduh hukuman yang ditawarkan Tuhan tidak efektif dan tidak kredibel. Sebagaian
bahkan menuduhnya kurang manusiawi dan melanggar HAM tanpa pernah
mencobanya sekalipun. Bukankah eksperimen dan pengalaman telah banyak
melahirkan teori- teori baru dalam ilmu pengetahuan?. Maka, mengapa kita mencoba
hukum yang ditawarkan Tuhan? Benarlah firman Allah, “Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut karena ulah manusia sendiri”. Wallahu a’lam bissawab.
*) Penulis adalah dosen IAIN Alauddin, Makassar. Kini kandidat doktor Filsafat
Hukum Islam Univ.al-Azhar Kairo

Anda mungkin juga menyukai