Penyesatan Fiqh
Dalam wacana “fiqh substansi” kita menemukan dua kecenderungan yang
tidak menguntungkan. Contohnya, ada sebagaian kalangan yang sengaja
mengeksploitasi fiqh substansi untuk tujuan-tujuan negatif yang menyesatkan.
Misalnya mereka mengklaim tidak perlu shalat, tapi yang perlu adalah mengingat
Tuhan, karena, meneurut mereka, inti, tujuan atau substansi dari semua bentuk ibadah
adalah mengingat dan mengabdi kepada Tuhan. Dulu kecenderungan ini popular
dipelopori oleh gerakan “bathiniyya”. Mereka mengaku di dalam teks agama ada
dhahir(makna implisit) ada juga bathin(makna eksplisit). Akibatnya, mereka banyak
membuang formalitas-formalitas Islam. Sekarang kecenderungan itu banyak diadopsi
oleh kalangan yang menamakan diril sebagai Jariangan Islam Liberal (JIL).
JIL dengan tidak menyodorkan metodologi fiqh subtansi yang baku juga
banyak meneriakkan pengabaian formal-formal-agama. JIL tidak mampu
menyuguhkan metodologi pembedaan antara mana yang menjadi tujuan hukum dan
mana sarana. Konsekwensinya JIL sering terjebak pada jurang inkonsistensi ilmiyah
yang membingungkan.
Dalam konteks kemoderenan yang kita sedang hidupi bersama, kita semua
merasakan, menyaksikan bahwa hukum kita di Indonesia sedang menghadapi
tantangan berat menyangkut korupsi. Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah
sebuah kriminal besar yang dilakukan oleh mafia yang melibatkan beberapa pejabat
secara kolektif. Kasus korupsi jauh lebih besar implikasi negatifnya dari kasus
pencurian yang jelas hukum dan tujuan hukumnya dalam Al-Qur’an. Korupsi bukan
hanya menyengsarakan satu dua orang tapi semua lapisan masyarakat ikut tersiksa
karena korupsi. Karena uang lari ke kantong pejabat, akhirnya banyak komponen
masyarakat yang mati kelaparan. Karena uang tidak tersalur, banyak anak bangsa
yang jadi bodoh, karena pendidikannya terlantar. Ketika anak bangsa jadi bodoh, saat
masyarakat mati kelaparan, maka harus disadari bahwa saat itu pula terjadi pelecehan
Tujuan utama dari semua hukum yaitu bahwa Islam datang untuk memelihara hak
asasi manusia dengan menghormati nyawa masyarakat, memelihara, mengembangkan
pikiran masyarakat menjadi pikiran yang hidup dan cemerlang demi terwujudnya
pengabdian kepada-Nya.
Dalam kasus korupsi misalnya, para pakar dan lembaga hukum kita sedang
mendapat tantangan berat untuk menentukan sanksi yang tepat bagi pelakunya.
Semua sadar bahwa korupsi telah berpengaruh negatif dengan volume yang besar
terhadap kesejahteraan dan kesengsaraan rakyat. Mereka sadar bahwa tujuan utama
dari hukum-hukum kriminal adalah efek jera. Dan hampir semuanya tahu apa yang
membuat mereka bisa jera.Tetapi yang membingungkan, kenapa seolah-olah semua
sepakat tidak ada yang mau menempuh prosedur-prosedur penjeraan yang benar.
Karena korupsi lebih besar dari pencurian, maka harus diberi sanksi lebih
besar dari sanksi pencurian. Korupsi telah memiliki peran besar terhadap
kesengsaraan rakyat sampai pada level mati kelaparan, pembodohan rakyat, maka
sanksi korupsi lebih berat dari sekedar pembunuhan atau hukum layaknya peminum
miras.
Salah satu pesan yang ingin disampaikan “Fiqh substansi” dalam artikel ini
adalah bahwa kita menyadari jati diri kita sebagai umat Islam sejati, tetapi kenapa
tidak pernah mencoba menunjukkan keberanian untuk melakukan eksperimen
terhadap prosuder-prosuder penjeraan yang disuguhkan Allah SWT. Yang tak kalah
penting, jika hukum Tuhan disuguhkan kepada kita, sebagaian kita bahkan berani
menuduh hukuman yang ditawarkan Tuhan tidak efektif dan tidak kredibel. Sebagaian
bahkan menuduhnya kurang manusiawi dan melanggar HAM tanpa pernah
mencobanya sekalipun. Bukankah eksperimen dan pengalaman telah banyak
melahirkan teori- teori baru dalam ilmu pengetahuan?. Maka, mengapa kita mencoba
hukum yang ditawarkan Tuhan? Benarlah firman Allah, “Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut karena ulah manusia sendiri”. Wallahu a’lam bissawab.
*) Penulis adalah dosen IAIN Alauddin, Makassar. Kini kandidat doktor Filsafat
Hukum Islam Univ.al-Azhar Kairo