Anda di halaman 1dari 9

A. HAKIM ( PEMBUAT HUKUM / ALLAH ) 01.

Pengertian hukum hakim

Bila kita berbicara tentang soal hakim tentunya kita akan tau bahwasanya hakim itu sendiri adalah Allah SWT. di dalam Ilmu usul fiqih ini kalau di tinjau dari bahasa ada dua arti, yaitu : Pertama: pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua: yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyikapkan. Dalam hal ini hakim dalam Ilmu usul fiqih ini termasuk yang sangat penting bagi seorang yang memerlukan persoalan-persoalan hidup di dunia ini, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam atau pembentuk hukum syara, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan mendatangkan dosa bagi yang melanggar aturannya.dalam Ilmu usul fiqih ini hakim jaga disebut dengan syari Telah disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syariat Islam. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik dan buruknya segala sesuatu sehingga orang yang berbuat baik akan mendapatkan pahala dan orang yang berbuat buruk, maka dia akan mendapatkan yang setimpal yaitu keburukan. Dari pengertian di atas hakim. Dapat di ketahui bahwasanya hakim itu sendiri adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh orang mukallaf, tidak ada syaraat kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi ( wajib, sunnah, haram , makruh, dan muba ), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi ( sebab, syarat, halangan, sah, fasid, batal, azimah, dan rukhsah). Menurut para ulama semua hukum yang di atas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil dari ijtihad dan para mujtahid melalui berbagai cara atau teori istimbath yang di lakukan seperti qiyas, ijma. Dan metode istimbath lainnya untuk menyingkap dan mengetahui hukum-hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para ulama usul fiqih menetapkan kaidah sebagaimana yang difirmankan Allah: Artinya: Tidak ada hukum selain bersumber dari Allah SWT Dari pemahaman kaidah tersebut di atas bahwasanya para usul fiqih berpendapat dan mendefinisikan hukum sebagai titah atau ketetapan dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun wadhi Di antara alasan para ulama usul fiqih dalam mendukung hal ini di antaranya adalah:

Artinya: menetapakn hukum itu hanya Allah SWT, dia menerangkan yang sebenarnya, dan dia pemberi keputusan yang paling baik. (Al-anam: 57)

Oleh karena itu sudah jelas bagi kita semua bahwasanya hakim itu adalah Allah SWT, dialah yang menentukan dan menetapkan segala hukum yang berkaitan dengan orang mukallaf. Sebagaimana firmannya:

Artinya: Allah sekali-kali tidak akan memberi beban pada siapapun, kecoali dengan usahanya.

B. MAHKUM FIH DAN MAHKUM BIH (OBJEK DAN PERISTIWA HUKUM 02. Pengertian Mahkum Fih atau Mahkum Bih Untuk menyebutkan istilah peristiwa hukum atau objek para ulama usul fiqih. Menggunakan istilah mahkum fih karena didalam perbuatan tersebut itu hukum, baik yang wajib maupun yang haram, sebagian ulama menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan tersebut berkaitan dengan mukallaf yang disipati dengan hukum, baik yang bersifat perintah ataupun larangan. Menurut ulama usul fiqih yang dimaksud dengan mahkum bih adalah objek hukum, yaitu perbutan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syari ( Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memelih suatu pekerjaan; dan bersifat syara, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah dan batal. Para ulama sepakat bahwa seluruh perintah syari itu ada objeknya, yakni perbuatan orang mukallaf. Dan terhadap perbuatan orang mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya: Sebagaimana firmannya:

Artinya: Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat . (Al-Baqarah : 43) Ayat tersebut diatas berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mengerjakan shalat. Masih ada contoh lagi yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf. Sebagaimana Allah berfirman :

Artinya : Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.( Al-Anam : 151) Dalam ayat tersebut di atas terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan untuk membunuh orang tanpa ada hak, maka pembunuhan tanpa ada hak dilarang keras oleh hukum dan hukumnya adalah haram.

Dengan beberapa contoh di atas bahwasanya telah kita ketahui objek hukum tersebut adalah perbuatan mukallaf, berdasarkan hal itu ulama usul fiqih menetapkan kaidah : tidak ada taklif ( pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan.Oleh karena itu apabila ada hukum syara yang berupa wajib atuapun sunnah, maka perintah tersebut dua-duanya sudah pasti jelas, perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan untuk mengerjakan sesuatau yang diperintahkan. Sedangkan sunnah tersebut demikian, tetapi keduanya memiliki kesemaan dengan adanya perbuatan. Begitu pula dengan syara yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni menghindari diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.

03. Syarat-syarat Mahkum Bih Para ulama usul fiqih mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu: a. Mukallaf, harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan, sehingga tujuan tersebut dapat di tangkap dengan jelas dan dapat pula di laksanakan dengan benar. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan suatu perintah untuk mendirikan shalat manakala seorang mukallaf tersebut tidak tau persis, rukun, syarat, dan cara-cara shalat tersebut. Di dalam Al-quran perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: Dirikanlah shalat. Perintah dalam Al-quran ternyata masih global, maka Rasulullah SAW. Menjelaskan sekaligus memberi contoh, sebagaimana sabdanya, shalatlah sebagaimana aku shalat. Begitu pula perintahperintah syara lainnya seperti zakat, puasa, dan lain sebagainya. Tuntutan itu untuk melaksanakannya diangggap tidak sah sebelum dikatahui syarat-syarat, rukun, waktu, dan sebagainya. b. Mukallaf, harus mengetahui sumber taklifi. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan tersebut itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan sebenar-benarnya. Sebenaranya hal itu sama, dengan hukum yang berlaku dalam hukum yang positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya perintah yang jelas. Hal itu antara lain untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan suatu tuntutan syara. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Hal itu telah direalisasikan di dunia Islam. Ketika seorang tersebut bisa dikatakan telah sempurnya akalnya, maka dia berhak untuk melaksanakan perbuatan tersebut dan diperkirakan orang tersebut mampu mengetahui hukumhukum syara baik dengan cara mempelajarinya melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama. Namun tidaklah bisa diterima suatu halangan dengan alasan karena kebodohan, sesuai dengan pendapat para fuqaha: tidaklah diterima di dunia Islam, udzur (halangan) yang disebabkan oleh kebodohannya.

c. Mukallaf, Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau di tinggalkan,berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat antara lain: Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk di kerjakan atau ditinggalkan tanpa berdasarkan kesepakatan jumhur Ulama baik berdasarkan zatnya ataupun kemustahilannya itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil yang berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah suatu yang bisa di gambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh orang untuk terbang tanpa sayap, atau mengangkat gunung, dan lain sebagainya Di antara dalil yang dikemukakan oleh para jumhur Ulama adalah: (1) karena adanya firman Allah SWT. Bahwa Allah SWT tidak menuntut suatu perbuatan sesuai dengan kemampuan. (2) kalau tuntutan yang mustahil dianggap sah maka harus dilaksanakan. Padahal tidak mungkin berkumpulnya antara suatu kemustahilan dengan perbuatan. selain itu, apabila tuntutan dinyatakan dengan suatu yang mustahil, maka berarti perintah Allah SWT. itu tidaklah berguna baginya. Dalam hal ini mereka menggunakan dua alasan: (1) seandainya tidak sah tuntutan dengan sesuatu yang tidak kuat dilaksanakan, maka tentu tidak akan ada tuntutan. Padahal sudah terjadi dalam syara seperti taklif beriman untuk orang yang ingkar dan taklif Abu jahal (orang kafir). Kedua, para ulama usul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di takli-kan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak di benarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat untuk menggantikan bapaknya, dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan oleh seorang adalah menasehati, dan amar maruf nahyi mungkar. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:

Artinya: Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. (Qs: Luqman: 17) Hadits-hadits yang menyatakan demikian antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula tidak boleh berpuasa untuk orang lain. dan Aisyah berkata, berkata: janganlah kamu shalat untuk meggantikan orang yang telah mati, namun beri makanlah kepada mereka (pahala).kecuali haji yang dibolehkan menurut para jumhur Ulamadengan syarat-syarat tertentu. Namun hal ini tidak dibolehkan oleh Imam Malik. Golongan Asyari berpendapat bahwa

dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain yang berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan pendapat Mutazilah, seperti di bolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain. Bahkan, golongan Syafii, Al-Aujai dan hambali membolehkan wali menggantikan puasa untuk orang yang sudah meninggal. Diantara alasan mereka adalah:

Artinya: Siapa yang meninggal dunia dan ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa itu. Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut dan sebagainya karena hal itu berada di luar kendali manusia. Hal ini bisa dikaitkan dengan kecintaan seorang suami kepada istrinya yang satu dibanding dengan istri-istri yang lainnya. Dalam hal ini Rasulullah bersebda. Ya Allah ini adalah bagianku, maka jangan paksakan dengan apa yang engkau miliki, namun tidak aku miliki. Dengan demikian, walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan hal tersebut, maka nash itu dapat dipalingkan dari makna zdahirnya kepada sebab dan akibatnya. Seperti hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa: Artinya : Tidaklah beriman seseorang sehingga dia lebih mencintai Rasulullah SAW. Dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia. Maksud cinta di atas adalah, bukanlah cinta yang sesungguhnya, namun berhubungan dengan ketaatan kepada-Nya. Keempat, tercapainya suatu syarat taklif tersebut, seperti syarat Iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama usul fiqih, yaitu permasalahan, apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan hukum syara sekalipun dalam masalah keimanan mereka dibebani taklifi? Tidaklah diperselisihkan bahwa orang kafir diserukan untuk beriman, bermuamalah, dan diberi hukuman.karena Rasulullah diutus untuk seluruh manusia.

04. Al- Masyaqqah Telah dibahas di atas, bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilaksanakan. Disepakati hidup adalah usaha jihad. Dimana suatu cita-cita Sangat tergantung kepada adanya kesungguhan dan kuatnya keinginan. Begitu pula dalam merealisasikan syariat Islam tidaklah terlepas dari suatu rintangan dalam melaksanakannya. Untuk itu, disini akan di jelaskan maksud dari musyaqqah (halangan) serta pembagiannya: Masyaqqah terbagi menjadi dua bagian:

a. Musyaqqah mutadah, adalah kesulitan yang mampu untuk diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya pada dirinya sendiri. Kesulitan seperti itu tidak bisa dijadikan suatu alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakanya. Bahkan difinisi taklif adalah permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat kesulitan. Namun tidak berarti bahwa tujuan syariat mengetasi kesulitan. Tujuan utama syariat Islam adalah kemaslahatan dan ketertiban. Seperti diwajibkan shalat bukan dimaksudkan agar badan kita capek dan sehat serta membebani pikiran kita. Namun berlatih diri supaya bisa khusu dalam menghambakan diri kepada Allah SWT, bahkan lebih jauh lagi supaya bisa mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. b. Musyaqqah ghairu mutadah,(kesulitan tanpa tidak wajar), adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya apabila dipaksakan. Hal ini terjadi, biasanya melebih-lebihkan perbuatan yang sebenarnya bermanfaat, seperti puasa terus-menerus dan mewajibkan dirinya untuk selalu bangun setiap malam. Taklif seperti itu mungkin bisa masuk akal, akan tetapi tidak ada dalam syariat Islam. Allah SWT tidaklah menuntut kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan dan kemudaratan. Misalnya saya harus bangun tiap malam dan puasa terus-menerus, dan itu akan menjadi beban yang sangat berat bagi manusia dan itu tidak ada dalam syariat Islam. Alasan yang dikemukakan oleh ulama usul fiqih dalam hal ini adalah: Dalam hal ini Allah SWT telah menerangkan tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara. Misalnya Allah berfirman:

Artinya: Dan dia sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS: Al-Hajj: 78). Pembagian kemampuan menurut Ulama Hanafiah diantaranya adalah: Pertama, mutlaq adalah kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk melaksakan kewajiban, baik berupa harta ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, air mutlak diperlukan untuk berwudhu, atau adanya kemampuan mutlak diperlukan kalau akan melaksanakan ibadah haji, dan sebagainya. Kedua, sempurnya akal adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya foktor yang memudahkan dalam pelaksanaan kewajiban. Memang benar kewajiban sangat tergantung pada syariat ini, sehingga seakan-akan bisa dapat mengubah sesuatu yang sulit kepada sesuatu yang mudah. hal itu biasanya pada tuntutan yang berkaitan dengan harta, bukan dengan badan. Seperti kewajiban banyar zakat yang merupakan kelebihan dari harta. Di dalamnya disyaratkan harus bertemu satu tahun (haul). Dimaksudkan, anatra lain supaya model dari harta tidak habis, meskipun diwajibkan sebelum sampai satu tahun. Oleh karena itu, kewajiban zakat itu ada, selama adanya harta.

06. Macam-macam Mahkun fih Para ulama usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu:dari segi keberadaannya secara material dan syara. Serta dari hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. a. Dari segi keberadaannya secara material dan syara. Seperti perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara, seperti makan, minum dan lain sebagainya. b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara, yaitu hudud dan qishah. c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, seperti shalat dan zakat. d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara serta mengakibatkan adanya hukum syara yang lain seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa dan lain sebagainya. Perbuatan seperti ini secara material ada dan diakui secara hukum syara.

C. MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM) 01. pengertian Mahkum alaih Ulama usul figih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, yang di sebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum Sedangkan kalau kita tinjau dari Ilmu usul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum) mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak dan mengambil hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun yang dilarangan-Nya. Semua tindakan hukum yang

dilakukan oleh orang mukallaf akan dimenta tanggung jawabnya baik didunia maupun di akhirat kelak. Ia akan mendapatkan pahalanya jika dia memenuhi dan mematuhi perintahnya dan mendapatkan dosa bagi oarnag yang melanggar aturannya. 02. Taklif

Dalam Islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila dia berakal dan dapat dipahami secara baik dan benar, taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak berakal atau belum mamapu berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara (Allah dan Rasul-Nya).

Termasuk kedalam golongan ini, adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadarkan diri (hilang akal). Sebagaimana sabda rasul-Nya SAW. Artinya: Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur, sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (HR. Bukhari) 03. Syarat-syarat taklif Ulamausul fiqih telah sepakat bahwa apabila seorang mukallaf bisa dibebani atau dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat diantaranya adalah: a. Orang telah mampu memahimi khitab syari (tuntutan syara) yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui oleh orang lain. Seperti yang ditegaskan dengan firman Allah SWT: Artinya: Apabila anakmu sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin, seperti orangorang yang sebelum mereka minta izin. (QS: An-Nur: 59) b. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam Ilmu usul fiqih disebut dengan ahliyah. 04. Ahliyah, secara harfiyah ( etimologi), ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya ornag yang memiliki kemampuan dalam suatui bidang, maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Kemampuan untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan berkembangnya jasmani dan akalnya. Oleh sebab itu para Ulama usul fiqih, membagi ahliyah tersebut sesuai dengan tahapantahapan berkembangnya jasmani dan akal.diantaranya adalah: a. Ahliyah ada yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupan yang bersifat negatif. Menurut kesepakatan Ulamausul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseoramg telah memiliki ahliyah ada adalah aqil, baligh, dan cerdas. Kesepakatan ini mereka didasarkan oleh firman Allah SWT: Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cerdas( pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya. (QS: An-Nisa: 6) b. Ahliyah Al-wajib, yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya ia telah berhak untuk menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya dirusak oleh orang lain, ia pun dianggap mampu untuk menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris dari keluarganya. c. Ahliyah Al-wujub Al-naqishah, yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin ). Janin sudah dianggap memiliki ahliyah al-wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus dia

terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum dia lahir kedunia dengan selamat walaupun dengan sesaat. dan apabila dia sudah lahir, maka hak-hak yang dia terima akan menjadi miliknya. d. Ahliyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal sehat. Sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila. Dalam status ahliyah al-wujub (baik yang sempurna ataupun yang tidak sempurna), seseorang tidak bisa dibebani syara, baik yang bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupuh yang sifatnya tindakan-tindakan hukum duniawi, seperti transaksiyang bersifat perpindahan hak milik. Kita memulas kembali dari pembahasan yang pertama yaitu tentang ahliyah al-ada. Halangan yang bisa menyebabkan kecapakan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyah al-ada) hilang sama sekali, seperti, gila, tidur, lupa dan terpaksa.berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Diangkatkan (pebebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa.(HR :Ibnu majah dan Thabrani)

Anda mungkin juga menyukai