Anda di halaman 1dari 20

16

BAB II
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


A. Biografi Abdurrahman Wahid
Kehadiran Abdurrahman Wahid ditengah-tengah masyarakat
Indonesia saat ini (Presiden RI ke-4), tidak lain disebabkan oleh kualitas
pribadinya yang luar biasa, disamping faktor keluarga yang sangat
mendukung. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah cucu dari dua serangkai
pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Bapaknya KH.A. Wahid Hasyim adalah putra
Kyai Hasyim Asyari dan ibunya Shalihah, adalah putri Kyai Bisri Syamsyuri.
Sejak kanak-kanak Ibunya diberi isyarat bahwa Abdurrahman
Wahid, anaknya kelak akan mengalami garis hidup yang berbeda dan
memiliki kesadaran penuh akan tanggungjawab terhadap organisasi NU.
Menjelang remaja tanggungjawab tersebut secara dramatis meningkat, setelah
kematian Wahid Hasyim ayahnya dalam kecelakaan mobil, dan saat
kecelakaan terjadi Abdurrahman Wahid duduk disamping ayahnya, di jok
depan. Setelah kematian ayahnya (usia 40 tahun), ada sesuatu yang terasa
berubah secara tajam, yaitu bahwa Abdurrahman Wahid mulai sepi dari orang-
orang penting negeri ini.
1

Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1940, di
Jombang, Jawa Timur, dengan nama Abdurrahman al-Dakhil, dan ayahnya

1
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Demokrasi Indonesia, Pemikiran Neo
Modernisme, terj. Nanang Tahqiq, Paramadina dan the Ford Foundation, Jakarta, 1999, hlm. 326.
17
adalah KH. A. Wahid Hasyim, menteri agama R.I pertama dan aktif dalam
panitia sembilan yang merumuskan piagam Jakarta.
2
Dalam tradisi keturunan
ulama-ulama atau kyai di Jawa, anak seorang kyai disebut Gus, maka
Abdurrahman Wahid akrab dipanggil Gus Dur.
Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian pendidikan formal
Abdurrahman Wahid, ditempuh disekolah-sekolah sekuler. Ia lulus sekolah
rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Kemudian melanjutkan pendidikannya
pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta, tahun 1953-
1957. Dikota ini ia tinggal dirumah salah seorang anggota Majlis Tarjih
Muhammadiyah, KH. Junaidi.
Pergaulan dengan beberapa tokoh lintas NU ini telah membuka
cakrawala Abdurrahman Wahid dalam memandang komunitas keberagamaan
lain yang perlu dihormati. Dan bisa hidup sejajar secara humanis membangun
kehidupan bersama yang penuh keadilan dan demokratis.
Dari tahun 1957-1959 ia belajar di pesantren Tegal Rejo Magelang
dan kemudian pindah ke pesantren Muallimat Jombang sampai tahun 1963.
Kemudian ia juga pindah ke pesantren Krapyak Yogyakarta, dan menetap

2
KH. Abdul Wahid Hasyim telah dikenal sebagai seorang figur mata rantai yang
menjembatani peradaban pesantren dengan peradaban Indonesia modern. Pernah menjabat sebagai
ketua Masyumi, juga pernah menjabat menteri agama dalam tiga kebinet (Hatta, Natsir dan
Sukiman), terlibat sangat aktif pada pada persiapan kemerdekaan RI karena sebagai anggota
BPUPKI dan Panitia Sembilan (PPKI) yang bekerja keras menyiapkan wujud NKRI. Wahid
Hasyim adalah profil intelektual, negarawan dan juga agamawan serta seorang pendidik yang
bijaksana. Lihat Abu Bakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersier
(Djakarta : Panitya Buku Peringatan Alm. KH.A. Wahid Hasyim, 1957; Lihat juga Achmad Zaini,
KH.Abdul Wahid Hasyim, Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, Jakrta : yayasan
K.H.A. Wahid Hasyim dan Forum Indonesia Satu (FIS), 2003; Umaruddin Masdar, Membaca
Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm.
119.
18
dirumah tokoh terkemuka KH Ali Masum.
3
Disamping karena faktor
keturunan ulama dan juga gesekan-gesekan intelektual dan sosial inilah, Gus
Dur tumbuh menjadi tokoh yang cerdas, berwawasan luas dan menjadi
pemikir yang inklusif dan pluralis. Bisa disebut sebagai tokoh yang berfikir,
berbuat dan berprilaku diluar jangkauan manusia sezamannya.
Pada tahun 1964, Abdurrahman Wahid meninggalkan tanah air
menuju Kairo Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu agama di Mahad Al-Dimsat Al-
Islamiyah yang berada dilingkungan Al-Azhar Islamic University. Barangkali
tidak terlalu mengejutkan jika Gus Dur sangat kecewa dengan atmosfir
intelektual di Al-Azhar yang memadamkan potensi pribadi karena tehnik
pendidikannya yang masih bertumpu pada kekuatan hafalan. Sebagai
gantinya, ia kerap menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan yang
lengkap di Kairo, termasuk American University Library.
Biarpun pada satu sisi ia kecewa dengan Al-Azhar sebagai lembaga,
namun disisi lain ia tetap menikmati kehidupan kosmopolitan Kairo, bahkan
beruntung karena terbukanya peluang untuk bergabung dengan kelompok-
kelompok diskusi yang kegiatan tukar pikiran yang umumnya diikuti para
intelektual Mesir. Dari Kairo lalu ke Bagdad, di Bagdad ia lewati dengan
penuh bahagia, karena ia mempelajari sastra Arab, filsafat dan teori sosial
Eropa, disamping terpenuhinya hobi dia untuk menonton film-film klasik.
4


3
Almarhum KH. Ali Ma`sum adalah ulama yang sangat disegani dikalangan Nahdlatul
Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak; Pernah menjabat sebagai Rais `Am
PBNU Ibid,
4
Greg Barton, Op.Cit, hlm. 327.
19
Tahun 1971 ia mampir ke Eropa dengan harapan memperoleh
penempatan University, tetapi sayang, ternyata kualifikasi mahasiswa Timur
Tengah tidak diakui oleh Universitas-Universitas Eropa. Akhirnya ia pergi ke
MC Gill University Kanada, untuk mengkaji keislaman secara mendalam. Ia
memutuskan untuk kembali (1971) ke Indonesia, dan menjadi dosen bahkan
Dekan di Fakultas Ushuluddin University Hasyim Asyari Jombang tahun
1974 sampai 1980.
Pendidikan yang ditempuh dari segala disiplin ilmu pesantren,
pendidikan sekuler pribumu, sekuler Barat inilah menjadikan Gus Dur
menjadi tokoh yang liberal, humanis dan demokratis. Sekaligus prototip
manusia yang mengedepankan nilai-nilai kulturalnya.
Petualangan Gus Dur dalam pergerakan sosial di Indonesia sekan tak
pernah berhenti. Pada bulan Desember 1984, Gus Dur terpilih sebagai ketua
umum Tanfidziyyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Secara cepat
ia mengadakan perubahan di tubuh NU, dan ia berhasil mengadakan
perubahan tersebut, terutama pengembalian organisasi tersebut kepada khittah
sebagai lembaga sosial keagamaan.
Disamping itu di luar organisasi NU, Gus Dur terlibat dibanyak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk program-program pemberdayaan
masyarakat. mendirikan kelompok kerja Seperti aktif di Perhimpunan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), sebuah LSM yang sangat giat dalam
memberdayakan pendidikan pesantren dan masyarakat di Indonesia;
20
Terlibat aktif dalam Forum Demokrasi (FORDEM). Berdirinya
fordem merupakan hasil keprihatinannya terhadap prilaku rezim yang sangat
hegemonik terhadap rakyat. Dan juga asebuah kristalisasi keprihatinan atas
praktek-praktek penindasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan
pengabaian atas demokrasi. Negara yang semestinya melindungi rakyatnya
malah sebaliknya menindas, mengeksploitasi dan mengebiri hak-hak politik,
sosial, ekonomi dan budaya rakyatnya.
Pemaduan antara semangat religiusitas Gus Dur dengan semangat
kebangsaan melahirkan pemikiran dan gerakan yang jernih akan perjuangan
hati nurani membela rakyat yang tertindas. Kerap perjuangan Gus Dur
diwujudkan dalam bentuk tulisan-tulisannya di maas media sejak tahun 70-an
hingga 90-an di saat menghadapi rezim otoriter Soeharto, disamping melalui
gerakan bersama LSM dan Ormas kelompok pro demokrasi.
Sikap kritisnya menggila ketika harus menyebut Suharto orang
bodoh dalam A Nation in Waiting.
5
Menyebutnya sebagai Marcos, dan
kontrofersialnya antara lain mengganti Assalamualaikum menjadi selamat
pagi, termasuk perginya ke Israel. Sehingga muncul buku-buku anti Gus
Dur.
6
Seperti buku yang ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz dengan judul
bukunya Bahaya Pemikiran Gus Dur.
Abdurahman Wahid merupakan figur yang nyleneh, vokal dan
kontroversial, setidaknya sejak 1970-an dan dipertahankannya hingga
sekarang. Salim Said menyebut, sejak kemunculannya sebagai scientis sampai

5
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara, Dalam Kacung
Marijan (Ed), Grasindo, 1999, hlm. 22.
6
Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur, Pustaka Al-Kautsar, 1999, hlm. 79.
21
kemudian menjadi aktor politik (political player), yang paling mumpuni atau
sebagai politisi yang paling ulung di era 90-an.
Secara faktual asumsi ini tidak bisa dibantah, hanya saja menurut Al-
Zastrouw, bila dikaji secara lebih jauh apa yang dilakukan oleh Abdurrahman
Wahid sebenarnya hal yang wajar dan biasa dalam prosaes kehidupan. Jika
dikatakan nyleneh dan kontroversi adalah lantaran keberaniannya untuk
berbeda dan keluar dari kelaziman. Emha Ainun najib menyebut Gus Dur
sebagai orang gila dalam sejarah. Maksudnya adalah orang yang menggagas
apa yang tidak digagas orang lain, memikirkan apa yang tidak dipikirkan
orang lain dan membayangkan apa yang tidak dibayangkan orang lain.
7

Disamping sikap kontroversialnya (kenyelenehannya) dan
kevokalannya, ia juga dikenal sebagai orang yang mengedepankan watak
dalam faham inklusivisme dan komitmennya dalam upaya menciptakan
budaya demokratis. Semangat kebangsaan dan kebersamaan selalu
dikedepankan dalam setiap gerak langkahnya dalam upaya membangun
bangsa yang adil, demokratis dan damai.
Dalam rangka menciptakan situasi dan kondisi yang lebih
demokratis di Indonesia Gus Dur dalam tulisannya lebih banyak bicara
tentang Islam dan demokrasi, dengan melihat Islam masa Nabi, sahabat dan
pemikir Islam, kemudian ia melihat ke depan menuju masyarakat Indonesia,
karyanya banyak dimuat dalam Majalah, Koran, dan beberapa Jurnal di
Indonesia, maupun di luar negeri.

7
Lihat Ibid, halaman 17-18
22
Gus Dur juga aktif berceramah di dalam dan luar negeri berbagai
persoalan-persoalan kegamaan, kemanusiaan, kebangsaan dan juga politik
serta issu-issu tentang perdamaian dunia. Berbagai penghargaan demi
penghargaan telah ia terima atas jasanya yang luar biasa dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, perdamaian, demokrasi dan HAM. Perhatiannya yang
cukup besar pada perdamaian dunia, pemimpin-pemimpin dunia menaruh
hormat yang luarbiasa. Bahkan sempat dipercaya sebagai dewan pendiri
Universitas Siomon Perez, Israel yang banyak mendatangkan kontroversi dan
hujatan dari kalangan Islam sendiri.
Beberapa tulisan yang dibukukan antara lain: Bunga Rampai
Pesantren; Muslim Di Tengah Pergumulan; Kyai Nyentrik Membela
Pemerintah; Mengurai Hubungan Agama Dan Negara; Islam, Negara dan
Demokrasi; dan karya lain dalam bentuk makalah, semenjak menjadi presiden
masih banyak karyanya yang belum terbukukan.
8

Suara kritisnya tidak berhenti kendatipun belaiau telah menjadi
presiden RI ke-4, sehingga kerap menjadi makanan yang empuk untuk
menghantam Gus Dur oleh lawan-lawan politiknya. Kendatipun hanya
menjadi presiden selama dua tahun, tapi sangat mengesankan dan membuat
rakyat Indonesia menjadi cerdas, kritis dan mandiri.
Gus Dur dapat juga disebut sebagai tokoh multi dimensi. Dia dapat
disebut sebagai seorang ulama, politisi, budayawan, seniman, dan scintis yang

8
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, Dalam Muntaha Azhari, (Peny), Islam
Indonesia Menatap Masa Depan, P3M, Jakarta, 1989, hlm. 81-82.
23
pendapat-pendapatnya sangat disegani oleh para pemikir lain. Pembacaan dan
pembicaraan Gus Dur tentang relasi agama dan negara tidaklah diragukan.

B. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Agama dan Negara
1. Pengertian Agama dan Negara
Kata agama adalah sebuah agama dari bahasa Sansekerta yang
mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu
Syiwa, bernama agama, namun kegunaannya sekarang dipahami sebagai
nama jenis keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat
sebagaimana kata darma (Sansekerta), religi (Latin) dan al-diin (Arab).
Ada beberapa definisi agama yang perlu diketahui: Pertama,
agama dipahami sebagai sistem simbol atau semata-mata berkaitan dengan
individu atau pribadi. Kedua, agama dipandang secara historis, di mana
agama lebih dilihat sebagai bagian dari praktek kegiatan manusia secara
umum, sehingga tak ada alasan untuk melihatnya sebagai fenomena yang
berdiri sendiri.
9

Adapun negara adalah organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. negara
adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah efektif, mempunyai
kesatuan politik dan kedaulatan, sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.

9
Harun Nasution, dkk, Agama Dalam Ensiklopedia Islam Indonesia, Jambatan, Jakarta,
1992, hlm. 63.
24
Dalam Al-Quran pengertian agama tidak diterangkan secara
definitif, akan tetapi diterangkan bahwa Islam adalah al-Diin yang
diturunkan pada Muhammad SAW, dengan petunjuk Al-Quran dan
berarti juga risalah yang diwahyukan dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, dan
Isa dan selanjutnya disempurnakan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai rasul dan nabi terakhir.
10

Dalam al-quran disebutkan:

) : (
Artinya: pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi
agama bagimu (QS. Al-maidah:3)
11


Mengenai hubungan antara agama dengan negara, al-quran
memberikan gambaran bahwa agama mempunyai tugas dalam ikut campur
mengatur hubungan manusia dalam batas-batas persoalan umum
kemanusiaan dan kemasyarakatan, termasuk kebersamaan, kerukunan,
menegakkan keadilan, termasuk mengatur kepemimpinan yang benar dan
menafikan kekuasaan yang semena-mena, dengan demikian tidak terdapat
penjelasan yang mendetail tentang persoalan negara.
Pertama yang perlu dibahas disini adalah bagaimana kedudukan
manusia diatas bumi. Dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa manusia

10
Syuyuthi Pulungan, Fiqh Syiyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hlm. 2.
11
Departemen agama R.I., al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah atau Penafsir al-Quran, Jakarta, 1971, hlm. 157.
25
mempunyai kedudukan penting dibumi ini, yaitu sebagai khalifah,
sebagaimana firman Allah:

) (
Artinya: Hai daud, sesungguhnya menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS.
Shood: 26)
12


Dalam sebuah hadits dinyatakan prinsip dan tanggungjawab
seorang pemimpin adalah sebagai berikut:

.
...........
Artinya: Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab terhadap
pemimpinnya, seorang kepala negara atas mereka dan seorang
laki-laki adalah pemimpin penghuni rumahnya dan
bertanggungjawab atas mereka. (HR. Muttafak alaih)

Itulah beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan pengertian
dan pembahasan agama dan kekuasaan atau kepemimpinan, kiranya perlu
juga mengungkapkan fungsi agama sebagai dasar moral dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Agama memerintahkan persatuan antara kaum
khususnya dalam negeri meskipun berbeda agama dan suku bangsa.

12
Departemen Agama R.I., Op.Cit., hlm. 736.
26
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, membahas persoalan
agama erat kaitannya dengan persoalan budaya. Agama adalah ajaran
(doktrin) yang bersumberkan wahyu dan mempunyai norma-norma
(aturan), karena bersifat normatif dan agama bersifat permanen.
Sedangkan budaya adalah buatan manusia, karena itu budaya cenderung
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan berubah sesuai
dengan kebutuhan.
13

Agama adalah hal yang sakral dan budaya adalah hal yang profan.
Negara merupakan salah satu dari bentuk budaya manusia yang akan
selalu berubah sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman.
Sementara Agama akan selalu permanen menbawakan ajaran-ajaran suci
seperti kedamaian, kebnaran, kejujuran dan keadilan.
Agama oleh Gus Dur dirumuskan sebagai suatu hal yang bersifat
membebaskan. Hal itu dimaksudkan sebagai usaha meninjau agama
(Islam) kembali dari sudut historis, dimana Islam lahir sebagai sebuah
proses ketidak adilan ditengah masyarakat komersial arab. Setiap agama
menurut Gus Dur, dalam pertama lahirnya memiliki kekhususan (unikum)-
nya sendiri yang secara mendasar harus ditundukkan kepada persoalan
umum, agar mencapai nilai-nilai umum tersebut, agama harus dirumuskan
kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia,

13
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari, Islam Indonesia
Menatap Masa Depan, P3M, Jakarta, 1989, hlm. 81-82.
27
kesejajaran diatas undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama
umat manusia.
14

Dari sudut pemahaman agama, upaya menuju Islam pada watak
pembebasan, maka Gus Dur mengusulkan agar membedakan ajaran Islam
yang merupakan nilai-nilai dasar adalah nilai-nilai dasar dan kerangka
operasionalnya. Nilai dasar adalah nilai-nilai yang mendasari kehidupan
masyarakat adalah: keadilan, persamaan, dan demokrasi atau syura.
Prinsip operasionalisasi nilai-nilai dasar ini sudah dirumuskan
dalam kaidah fiqh tindakan pemikiran kekuasaan rakyat ditentukan oleh
kemaslahatan dan kesejahteraan mereka. Dengan demikian undang-
undang harus menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, keadilan sosial, dan
demokrasi. Prinsip teersebut harus melandasi segala wujud, baik wujud
kelembagaan maupun produk hukum.
15

Pesan moral agama pembebasan harus menjadi ruh setiap pemeluk
agama. Sehingga agama bukan tampil dengan wajahnnya yang simbolistik,
formalistik dan sangar sehinggga pesan-pesan kemanusian menjadi hilang.
Agama harus mampu menjawab fenomena-fenomena sosial yang kerap
kali terjadi, yang harus segera mendapatkan pemecahan.
Sedangkan pengertian negara bagi Abdurrahman Wahid adalah
sebagaimana pemahaman Ibn Khaldun, yaitu sebagai setiap bentuk
pemerintahan manusia, yang berdiri dengan ikatan solidaritas (ashabiah),
yang penting, suatu negara harus ditegaskan atas banyak pilar yang

14
Umaruddin nmasdar, op.cit, hlm. 127.
15
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, Op.cit, hlm. 92.
28
mengindahkan keagamaan masyarakat dimana negara itu dibangun. Fungsi
negara adalah sebagai penyerap heterogenitas masyarakat dan
kepentingannya.
16

Negara mestinya menjadi ruang bertemu antar berbagai
hetroginitas kemauan, harapan, keyakinan bahkan agama dari masing-
masing penduduknya. Semuanya merasa nyaman dengan pranata-pranata
kenegaraan yang dibuatnya. Sehingga misi agama sebagai pembebas dapat
dijalankan melalui penyelengaraan negara yang adil dan demokratis.

2. Relasi (hubungan) Agama dan Negara
Mengenai hubungan antara agama dan negara, Gus Dur melihat
agama secara historis, terutama proses mulai Islam lahir di Jazirah Arab
yang kecil, hingga penyebarannya keseluruh dunia, selanjutnya Islam
berubah-ubah wataknya, dari Islam ideologis hingga Islam transformatif.
Dalam prosesnya Islam juga dikatakan pernah melakukan gesekan dengan
peradaban lain atau peperangan, sehingga melahirkan watak yang keras,
akan tetapi semua itu bagi Gus Dur dianggap sebagai hikmah kaum
muslimin untuk lebih akomodatif terhadap perlunya aktualisasi ajaran
Islam terutama nilai-nilai moral, nilai persamaan, keadilan, kesejahteraan
dan demokrasi.
17

Bentuk masyarakat sejak zaman nabi yang berukuran kecil, yaitu
masyarakat antara keluarga dalam suku yang sama (Quraisy). Setelah tiga

16
A. Gafar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, LKIS, Jogjakarta,
1992, hlm. 105.
17
Ibid hlm. 106-107.
29
belas tahun lamanya hidup dilingkungan seperti itu, Islam menjadi
pegangan hidup masyarakat antar suku dikota Madinah, yang sebelumnya
bernama Yasrib. Keadaan demikian terus bertahan hingga menjelang saat
nabi Muhammad saw wafat di tahun 10 H. bentuk masyarakat lebih luas
tercapai ketika dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Kawasan
masyarakatnya bukan lagi di Madinah akan tetapi telah menjangkau
jazirah arabiyah secara keseluruhan, bahkan dikembangkan lagi kawasan
kaum muslimin menjadi sebuah imperium dunia, dari tepian sungai Indus
di timur membentang ketepian timur samudra atlantik disebelah Barat.
Selanjutnya oleh orientalis disebut peradaban-peradaban penting.
18

Pada abad modern ini menurut Gus Dur mau tidak mau, Islam
harus berinteraksi dengan sederetan fenomena global termasuk persoalan
negara bangsa (nation state). Namun untuk berinteraksi tersebut
nampaknya Islam merasa kesulitan, padahal hal itu merupakan keharusan
histories dan dari kesulitan inilah yang menjadikan kegaduhan dialog
intern dalam Islam itu sendiri, termasuk muncul apa yang disebut sebagai
fundamentalisme Islam, dengan hal-hal yang sejenis adalah salah satu dari
interaksi intensif antara Islam dengan wawasan kebangsaan, atau Islam
dengan negara bangsa.
19

Sikap inklusif Gus Dur setidaknya tercermin pada dua hal,
pertama, pengakuan dan penerimaan yang tulus terhadap keberadaan
agama selain Islam. Dalam pandangan Gus Dur, agama-agama selain

18
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan, Op.Cit, hlm. 71.
19
Ibid hlm. 71-72.
30
Islam perlu memperoleh apresiaisi secara positif-konstruktif karena di
dalamnya terkandung kebenaran dan kebaikan universal. Pandangan
seperti ini memberikan makna dan arah yang lebih substantif terhadap
hubungan antar ummat beragama yang sejauh ini masih mementingkan
kerukunan, yaitu hidup berdampingan secara damai (Peaceful
Coexistence), meskipun seringkali tidak mengerti. Lebih dari sekedar
toleransi, hubungan antar ummat beragama menurut Gus Dur perlu
didasarkan pada rasa kebersamaan dan pengertian yang mendalam
terhadap makna ajaran pada masing-masing agama, terutama yang selama
ini menjadi pemicu terjadinya pertentangan antar ummat beragama seperti
konsep ke-Tuhanan, tempat ibadah dan lain sebagainya.
Dalam pandangan Gus Dur, meskipun secara formal agama
memiliki sejumlah perbedaan, misalnya dalam konsep ketuhanan dan
tempat ibadah, pada dasarnya disatukan dengan pesan perenial yang sama,
yaitu kepasrahan secara total kepada Tuhan, dan komitmen kepada
kemanusiaan. Kedua hal inilah yang seharusnya menjadi titik tolak dan
titik tuju dalam membina dan mengembangkan kehidupan beragama, maka
dengan begitu dapat dihindari kecenderungan mempolitisi agama yang
bertujuan mengukuhkan kepentingan suatu kelompok agama di satu pihak,
dan memarginalkan kepentingan kelompok lain hanya karena berbeda dari
segi agama.
20


20
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, Ittaqa Press, 2000, hlm. 132-
133
31
Dalam faham aswaja, dalam nama GusDur menyandarkan
pemikirannya, negara sebagai pelembagaan atau obyektifikasi kekuasaan
merupakan sesuatu yang niscaya keberadaannya sebagai insrtrumen dalam
menjaga dan mempertahankan kemaslahatan bersama (maslahah
musytarakah): keniscayaan negara dalam faham aswaja bukan dalam
pengertian keharusan mendirikan negara yang sama sekali baru
meskipun sudah terbentuk. Dalam hal pendirian negara para penganut
biasanya mendasarkan pada kaidah fiqh yang tersembunyi: ma la yudraku
kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh,
tidak boleh ditinggalkan semuanya).
Gus Dur sangat menyadari,bahwa agama tidak bisa dipisahkan
dengan politik. Oleh karena itu agar politik dapat memberikan
kemaslahatan kepada publik agama perlu diperankan, bukan dalam
wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam
pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan
moral terhadap seluruh proses politik. Aktifitas politik terutama yang
dilakukan oleh penguasa, harus didasarkan kepada keempat prinsip
fundamental dalam Islam, yaitu syura (musyawarah), al-Adl (keadilan), al-
Hurriyah (kebebasan), al-Musyawa (kesetaraan derajat), maka dengan
begitu dapat dikatakan, yang terpenting dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara adalah dasar etik dan moral yang digunakan, apakah sesuai dengan
semangat demokrasi dan penegakan HAM atau sebaliknya.
32
Dalam konteks kehidupan bernegara, kita juga bisa menaruh
harapan yang sama setelah dalam rentang waktu yang cukup lama, agama
lebih sering difungsikan sebagai instrumen untuk mengokohkan
kepentingan politik tertentu baik yang ada pada level kekuasaan negara
maupun masyarakat politik, dalam merekonstruksi kehidupan berbangsa
dan bernegara agar sesuai dengan semangat yang berkembang dalam
masyarakat madani kita perlu membangun Indonesia baru agar sesuai
dengan prinnsip moral dan etika antara agama dan negara.
21

Gus Dur setuju dengan pancasila sebagai dasar ideology negara,
karena latar belakang historis sosiologis. Menurutnya ideology masuk ke
Indonesia dengan dua macam model: pertama, ideology sekuler, yang
menghendaki agar agama jangan sampai menjadi salah satu kekuatan
penentu kehidupan kenegaran. Ideology sekuler tersebut antara lain:
nasionalisme, kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Kedua, ideology
universal yang ada di Indonesia, dimana menginginkan agar agama
menjadi kekuatan yang utama (teokrasi) atau negara syariah. Perdebatan
keduanya, menurut Gus Dur memungkinkan untuk membuat ideology
nasional yang tidak sekuler dan tidak teokratis, maka Gus Dur setuju bila
pancasila sebagai dasar negara (ideology nasional).
22

Menurut Gus Dur hubungan antara agama dan negara tidak
dikaitkan secara konstitusional, namun demikian hak melaksanakan
syariah tetap dibenarkan oleh negara. hal itu terjadi, karena bentuk

21
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama,Op. Cit hlm. 135-137
22
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan, Op.Cit, hlm. 83.
33
hubungan antara agama (Islam) dengan negara harus didudukkan dalam
persepektif kesejahteraan yang tepat. Bagaimana mungkin didirikan
negara Islam, kalau tidak ada kejelasan mengenai siapa yang akan
mengambil keputusan tertinggi atau badan fiqhnya atau Ahl al-Halli Wa
al-Aqd, begitu juga persyaratan tentang pemimpin negara, masihkah dapat
dipertahankan syaratnya dimana ia termasuk keturunan Quraisy, begitu
peliknya persoalan ini, sehingga tidak mungkin terselesaikan.
23

Gus Dur mempunyai alasan secara historis setelah melakukan
penelitiannya. Secara sosio politik dan histories menurut Gus Dur, relasi
antara agama dan negara terlihat empat model, antara lain model Aceh,
model Minangkabau, model goa Malaka/ Malaysia, dan model Jawa, yang
merupakan pusat kekuasaan lokal nusantara.
24

a. Pola Aceh. Dalam pola Aceh, agama muncul dari kampung orang
Islam, yang sering mengatakan hukum bak kata marhum, hukum itu
apa kata Sultan. Sultan di aceh mempunyai persyaratan utama, yaitu
ulama. Karena mereka adalah penguasa-penguasa yang tumbuh
bersama kerajaan yang tadinya adalah kampung-kampung kaum
muslim, Perak, Samudra Pasai dan lain-lain. Karena itu hukum agama
menyatu dengan hukum negara, artinya hukum agama adalah hukum
negara, maka terjadilah titik temu yang optimal antara agama dan
negara.
25


23
Ibid, hlm. 92..
24
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan, Op.Cit, hlm. 93.
25
Muhammad Nadjib, Demokrasi dalam Perspektifan Budaya Nusantara, LKPSM,
Yogyakarta, hlm. 4-7.
34
b. Model Minangkabau, Sumatra Barat. Disini agama Islam datang
menghadapi hukum adat, karena tidak ada pusat kekuasaan atau
kerajaan yang besar yang bisa memenangkan adat atau syariah.
Akhirnya terjadi perang paderi, yaitu perang karena problem bahwa
Islam mau dijadikan hukum negara, tetapi masyarakat menolak, karena
masyarakat sudah mempunyai hukum adat. Perang teersebut
berlangsung selama 16 tahun. Baru setelah kedatangan Belanda 1836,
perang selesai dan kedudukannya diakui, akhirnya lahirlah slogan adat
bersendi syara, dan syara bersendi kitabullah, artinya eksistensi
hukum adat di akui, asal tidak bertentangan dengan ketentuan syariah
agama Islam.
26

c. Model Goa, (Malaysia). Dalam model kerajaan Goa, yang sekarang
diteruskan oleh kesultanan disemenanjung Malaysia. Dengan
pemerintahan ini ada sesuatu kerajaan yang kuat yang menggunakan
adat istiadat dan hukum, serta tata cara dan hukum pra Islam.
Kemudian datang Islam melalui para pedagang ulama, dan para
penyebar agama melalui keraton secara bertahap melalui perkawinan
dan aliansi-aliansi ekonomi. Keduanya, antara adat pra Islam dengan
hukum agama Islam, tidak ada pertentangan, tidak ada konflik, karena
keduanya berjalan seiring.
27

d. Model Jawa. Dalam model kerajaan Jawa, panembahan senopati secara
sadar memberikan tempat kepada tradisi pra-Islam dalam bentuk

26
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan, Op.Cit, hlm. 107-108.
27
Ibid., hlm. 108-109.
35
Hindu Budha yang digabung dalam sistem kepercayaan sebelum
Hindu datang. Kemudian ini menjadi budaya keraton atau yang
sekarang dianggap budaya asli Jawa (sesuatu yang sebelumnya
anomaly karena tidak ada yang asli di Jawa ini), maka budaya asli
Jawa diberi tempat sama tinggi dengan agama.
28

Dalam hubungan antara agama dan negara memang bersifat
dualistis: negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada,
termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa
ini memberikan legitimasi pada negara-negara tidak harus berbentuk
negara Islam, asal tidak bertentangan dengan agama Islam.
Dengan demikian secara historis berlaku hubungan antara agama
dan negara yang memang bersifat dualistis. Di Indonesia. Mengingat
demikian adanya sebuah ideologi nasional, maka dalam wacana pluralitas
agama yang ada sangat diperlukan yaitu pancasila.

28
Ibid., hlm. 109

Anda mungkin juga menyukai