Anda di halaman 1dari 10

Tugas Farmasi Klinik: Resume Drug Induced Liver

Kelompok 3 :
1. Amelia Fiqrianty 10. Zakiah
2. Khairul Nazrin 11. Merisa Paska P.
3. Errena Erfena 12. Finlinda Hery R.
4. Wita Aguistha 13. Achmad Nabil
5. Nita Yulianti 14. Asmiliati
6. Nicki Rizki K. 15. M. Rahimi
7. Khairun Nafis 16. Angga M. R.
8. Siti Rahayu 17. M. Iqbal Fadillah
9. Rismaya Amini

1. Definisi
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan obat atau agen non-infeksius. Kerusakan hati didefinisikan sebagai
peningkatan level alanine aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari
batas atas nilai normal, dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih
dari dua kali dari batas atas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine
(TBL) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan
peningkatan alanine aminotransferase atau alkaline phosphatase (Dhingra, 2006).
2. Epidemiologi
Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak
diketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian secara prospektif pada
populasi yang mengalami kerusakan hati oleh obat masih relatif rendah. DILI
adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius.
Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek sehari-hari
(Tajri & Shimizu. 2008). Penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik,
antikonvulsan dan agen psikotropika. Asetaminofen, amoksisilin/klavulanat, INH,
nitrofurantoin dan florokuinolons adalah penyebab DILI yang terbanyak. Herbal
dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari DILI (Fontana et al, 2010).
Kerusakan hati akibat obat termasuk relatif jarang, namun jika terjadi akan
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Banyak obat yang
diduga mengakibatkan masalah pada hati, dan spektrum hepatotoksisitas akibat
obat sangatlah luas. Rentang spektrum ini dapat dimulai dari perubahan reversibel
yang asimptomatis pada tes fungsi hati sampai dengan nekrosis hati akut yang

fatal, tetapi yang paling sering terjadi adalah jaundice dan hepatitis (Aslam et al,
2003).
3. Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara
parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang
lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan
kerusakan pada sel-sel hati. Penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine,
Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti
Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi
Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan
Cytarabine (2,9%), Antibiotik (8,7%) seperti Trovafloxacin (3,2%),
Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan Clarithromycin (2,8%), Anestesi seperti Halothane
(4,8%), Obat Anti-tuberculosis, Isoniazid (3,2%), Diklofenak (3,1%) dan
Oxycodone (3,1%) (Tajri & Shimizu. 2008).
4. Kerusakan Hepatosit
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella
intraseluler yang terpengaruh antara lain:
a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan
ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang
aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat
mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan
gangguan pompa transport misal multidrug resistance associated protein 3
(MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan
sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
d. Apoptosis hepatosit

Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF menyebabkan berkumpulnya
caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria
Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada -
oksidasi (mempengaruhi produk energi dengan cara menghambat sintesis
dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin yang
menyebabkan menurunnya produksi ATP dan enzim rantai respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris
Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan
epitel duktus biliaris.
(Lee, 2003).
5. Mekanisme Kerusakan Hati
Mekanisme kerusakan hati akibat obat dapat dibagi menjadi
hepatotoksisitas intrinsik dan hepatotoksisitas idiosinkratik. Walaupun demikian,
kedua tipe tersebut dapat menyebabkan pola kerusakan hati yang hampir sama
dan beberapa obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis kerusakan. Pada
umum, hepatotoksisitas akibat obat akan memberikan prognosa yang baik ketika
obat penyebabnya dihentikan, tetapi prognosa itu sendiri sebenarnya dipengaruhi
oleh tipe kerusakan hati, lamanya keadaan tersebut dan apakah kerusakan hati
tersebut irreversibel (Aslam et al, 2003).
a. Predictable Drug Reactions (intrinsik)
merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan
kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang
cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada
pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan
metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung
merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya
ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang
merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya
parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin
(Setiabudy, 1979).

Hepatotoksisitas intrinsik dapat diprediksi, tergantung dosis dan
melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat dalam jumlah tertentu.
Rentang waktu antara mulainya pengobatan dan timbulnya kerusakan hati
sangat bervariasi (dari beberapa jam sampai beberapa minggu).
Tabel 1. Contoh efek samping obat pada hati
Tipe masalah pada hati Obat yang terlibat
Nekrosis Karbon tetraklorida, dantrolen, penyalahgunaan
obat (kokain ekstasi), halotan, isoniazid,
parasetamol (pada overdosis)
Steatosis (Fatty liver)
Hepatitis
Amiodaron, natriun valproat, steoid, tetrasiklin
Alkohol (setelah konsumsi dalam jumlah sangat
besar pada suatu periode jangka pendek),
amiodaron, azatioprin, dantrolen, halotan dan
metoksifluran, isoniazid, penghambat monoamin
oksidase MAO), metildopa, nitrofurantoin,
rifampisin, salisilat, dan sulfasalazin, natrium
valproat
Hipersensitivitas Alopurinol, metidopa, penisilin, fenitoin, kuinidin,
sulfonamida
Kolestasis Amitriptilin, ko-amoksiclav (komponen asam
klavavulanat), siklosporin, eritromisin (paling
sering dilaporkan bersama sediaan estolat), asam
fusidat, glibenklamid, fenotiasin (contoh:
klorpromazin, proklorperazin, haloperidol), hormon
seks
Fibrosis Vitamin A (dosis tinggi untuk periode jangka
panjang), metotreksat (penggunaan jangka panjang)
Adenoma Kontrasepsi oral, anabolik steroid

Contohnya:
1. Parasetamol (asetaminofen) menyebabkan mekrosis hati yang dapat
diprediksi pada pemberian overdosis.

2. Metotreksat dapat menyebabkan fibrosis dan sirosis pada pengobatan
berkelanjutan jangka panjang.
3. Tetrasiklin menyebabkan microvesicular fatty liver.
4. Siklofosfamid dapat menyebabkan, walaupun jarang, nekrosis sel hati
akut.
5. Kontrasepsi oral dapat menyebabkan kolestasis (juga meningkatkan risiko
adenoma).
(Aslam et al, 2003)
b. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions
Merupakan kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena
toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang
hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat
idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya
terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi
yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu
karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme (Setiabudy,
1979).
Respons ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis yang
diberikan. Hal ini terjadi pada kurang dari 1% individu yang terpapar. Masa
inkbasinya bervariasi, tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Contohnya:
a. Klorpromazin dapat menyebabkan kolestasis yang parah dan dapat terjadi
selama berminggu-minggu setelah obat dihentikan. Obat yang lain di
antaranya adalah ko-amoksiclav, eritromisin, asam fusidat, glibenklamid,
fenotiazin, natrium valproat.
b. Halotan biasanya mengakibatkan sedikit kenaikan serum transaminase
yang bersifat sementara. Walaupun jarang, halotan dapat menyebabkan
nekrosis sel hati yang dan mengarah pada gagal yang berat (fulminant
hepatic failure) dengan mortalitas yang tinggi.
c. Isoniazid dapat menyebakan peningkatan transaminase pada 10% pasien
dan menyebabkan jaundice pada 1% pasien dalam 2 bulan pertama.

Isoniazid dapat pula menyebabkan hepatitis akut maupun hepatitis aktif
kronis.
d. Hepatotoksisitas yang diakibatkan sulfonamid dapat menyerupai hepatitis
virus.
e. Nitrofurantoin menyebabkan kolestasis dan hepatitis akut maupun kronis.
(Aslam et al, 2003)
Tabel 2. Reaksi Obat Idiosinkrasi dan Sel-Sel yang dipengaruhinya

(Lee, 2003).
Beberapa Obat yang Dapat Mengakibatkan DILI
1. Hepatotoksisitas obat anti tuberkulosis (OAT)
Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
dan etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat
hepatotoksik. Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan
adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi
alkohol, memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis
viral yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia,
tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status

asetilatornya. Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-
minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap
metabolit toksik obat (Bayupurnama, 2006).
2. Hepatotoksisitas obat kemoterapi
Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu
disebabkan oleh kemoterapi itu sendiri. Klinisi harus memperhatikan faktor-
faktor lain seperti reaksi obat terhadap antibiotik, analgesik, antiemetik, atau
obat lainnya. Problem-problem medis yang sudah ada sebelumnya, tumor,
imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi lain, serta defisiensi nutrisi atau
nutrisi parenteral total, semuanya mungkin mempengaruhi kerentanan hospes
terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas obat
bersifat idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi pada respons
metabolik pejamu (Bayupurnama, 2006).
3. Hepatotoksisitas obat anti inflamasi non steroid
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu obat
yang sering diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran.
Resiko epidemiologik hepatotoksisitas golongan obat ini rendah (1-8 kasus per
100.000 pasien pengguna OAINS). Hepatotoksisitas karena OAINS dapat
terjadi kapan saja setelah obat diminum, tetapi efek samping berat sangat
sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal pengobatan. Ada dua pola klinis
utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama, adalah hepatitis akut dengan
ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi, dan kadang-kadang
dijumpai eosinofilia. Tes fungsi hati dapat kembali normal dalam 4-8 minggu
sejak penghentian obat penyebab. Dua mekanisme utama bertanggungjawab
atas jejas hati oleh OAINS, yaitu hipersensitivitas dan aberasi metabolic
(Bayupurnama, 2006).
Reaksi hipersensitivitas sering mengalami titer anti-nuclear factor atau
antibodi anti smooth-muscle yang bermakna, limfadenopati, dan eosinofilia.
Aberasi metabolik dapat terjadi karena polimorfisisme genetic yang dapat
mengubah kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang
mengalami hepatotoksisitas karena OAINS harus dianjurkan untuk tidak

minum OAINS lagi selamanya. Parasetamol merupakan obat pilihan untuk
analgesic sedangkan aspirin dapat digunakan sebagai pengganti OAINS,
karena toksisitas OAINS berhubungan dengan struktur molekul cincin
diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin (Bayupurnama, 2006).
6. Tes Fungsi Hati
Gangguan fungsi hati akibat obat adalah salah satu alasan untuk
menghentikan obat yang sudah diberikan. Para dokter harus waspada dalam
mengidentifikasi gangguan fungsi hati akibat obat, karena deteksi dini dapat
menurunkan tingkat keparahan jika obat tersebut dihentikan secepatnya.
Manifestasi klinis gangguan fungsi hati akibat obat umumnya bervariasi, mulai
dari peningkatan enzim hati yang asimtomatik sampai kegagalan hati fulminan.
Pengetahuan tentang obat yang terlibat serta kecurigaan yang tinggi sangat
dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis (Rianyta & Utami, 2013).
Tes fungsi hati hanyalah indikator tidak langsung dari fungsi hati yang
merupakan petunjuk yang lemah mengenai kapasitas hati untuk
memetabolisme obat. Tes ini sangat bermanfaat pada pemantauan arah
perkembangan penyakit hati (setelah diagnosa ditetapkan) dan respon pasien
terhadap pengobatan
a. Serum bilirubin
Bilirubin adalah pigmen empedu primer yang berasal dari perusakan sel
darah merah di limpa dan sumsum tulang. Bilirubin merupakan hasil akhir
degradasi bagian heme haemoglobin yang terkandung dalam sel darah
merah. Kenaikan konsentrasi serum bilirubin dapat disebabkan oleh
kerusakan sel hati, kolestasis (obstruksi aliran empedu) dan haemolysis
(perusakan sel darah merah). Kenaikan diatas 50 mikromol/liter akan
menyebabkan jaundice. Serum bilirubin berguna untuk memantau
perkembangan dan keparahan penyakit hati.
b. Serum transaminase
Serum aspartate aminotransferase/transaminase (AST) atau
SerumGlutamic-Oxaloacetic Transaminase(SGOT)
Serum alanine aminotransferase/transaminase (ALT) atau Serum
Glutamic-Pyruvic Transaminase (SGPT)

AST dan ALT adalah indikator yang sensitif terhadap kerusakan sel hati.
Keduanya ada pada sel hati dan adanya proses penyakit akut (contoh :
hepatitis virus) yang merusak struktur sel hati akan mengakibatkan
pelepasan enzim tersebut ke dalam darah
c. Serum alkaline phosphatase (ALP)
Obstruksi saluran empedu akan menstimulasi produksi ALP dalam sel
hati. Jika ALP meningkat bersamaan dengan meningkatnya bilirubin maka
ini merupakan indikasi kolestasis. Jika ALP saja yang meningkat maka hal
ini dapat menjadi indikasi infiltrasi hati. ALP tidak spesifik untuk hati.
Konsentrasi ALP juga meningkat pada penyakit tulang dan trimester
ketiga kehamilan.
d. Gamma glutamyl transferase (GGT, GT, transpeptidase)
Nilai GGT meningkat pada kebanyakan tipe penyakit hati, tetapi terutama
sekali pada obstruksi saluran empedu (kolestasis).
e. Albumin plasma
Albumin plasma disintesis di hati dan perubahan konsentrasi serumnya
merupakan petunjuk yang berguna terhadap fungsi sintesis hati maupun
tingkat penyakit hati kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun pada
penyakit hati kronis tetapi cenderung normal pada tingkat awal hepatitis
akut.
f. Prothombin time (PT)
Protombin adalah faktor pembekuan darah yang disintesis di hati dan
mempunyai waktu paruh dua sampe tiga hari. Prothombin time yaitu
waktu yang diperlukan untuk dihasilkannyakat fibrin clot dalam plasma
pada kondisi standar. Prothombin timesangat bermanfaat untuk
memperkirakan tingkat keparahan penyakit hati, baik yang akut maupun
yang kronis.
Tabel. Karakteristik rentang nilai baku dalam serum orang dewasa normal
Tes laboratorium Rentang nilai baku
Bilirubin
(bilirubin total)
Bilirubin (direct)
2-20 mmol/liter



(mengukur bilirubin yang
terkonjugasi)
Aspartate transaminase (AST)
Alanin transaminase (ALT)
Alkaline phospatase (ALP)
Gamma Glutamyl Transferase (GGT)
Albumin
Prothombin time (PT)
International Normalised Ratio (INR)
3-17 mikromol/liter

0-35 unit/liter
0-35 unit/liter
25-100 unit/liter
5-45 UI/liter
35-55 g/liter
Sekitar 10-14 detik
1-1,2
(Aslam et al, 2003)

Pustaka:
Aslam, M., C. K. Tan, & A. Prayitno. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy).
Elex Media Komputindo, Jakarta.

Bayupurnama, P. 2006. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Dhingra, M. S. 2006. Drug Induced Liver Injury.

Fontanam, R. J., L. B. Seeff, R. J. Andrade, E. B. Msson, C. P. Day, & C.
Serrano. 2010. Meeting report: Standardization of Nomenclature and
Causality Assessment in Drug-Induced Liver Injury: Summary of a
Clinical Research Workshop. Hepatology. 52: 730742

Lee, W.M. 2003. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med (349): 474485

Rianyta & S. Utami. 2013. Drug-Induced Liver Injury(DILI) pada Penggunaan
Propiltiourasil (PTU). CDK-203. vol. 40 no. 4

Setiabudy, R. 1979. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta.

Tajiri, K. & Shimizu Y. 2008. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol. 14:
67746785.

Anda mungkin juga menyukai