Anda di halaman 1dari 5

Amir Hamzah: Penyair yang Terbunuh

(Sebuah Analisis Struktural : Senyum Hatiku Senyum)


Oleh: Andriansyah Nur Hidayat
NIM: 1112013000024
UTS Mata Kuliah Kajian Puisi

Hanya satu permintaan kanda kepada dinda, Uyah. Apapun yang terjadi dengan
kakanda, janganlah adinda kelak mendendam kepada orang-orang tertentu. Karena semua
kejadian adalah takdir Tuhan. Jaga dan asuhlah anak kita sebaik-baiknya, demikian pesan
Amir kepada sang istri sebelum ia dijemput.
Kesetiaan Amir pada raja untuk setia kepada Langkat berujung pada suatu subuh di
perladangan Kuala Begumit. Peradilan Rimba, demikian istilah orang-orang yang melakukan
penghukuman itu, menjatuhkan hukuman pancung pada kemenakan Sultan Langkat itu.
Tuduhannya: bersifat feodal dan tunduk pada Sultan.
Tuan-Tuan janganlah bertanya-tanya lagi, karena saya sedang bersiap-siap akan
menghadap Tuhan, begitulah penyair masyhur ini menuturkan kalimat terakhirnya.
20 Maret 1946, parang algojo Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di
Istana Langkat, pun jatuh ke kuduk Sang Tengku. Dan jasad Amir pun ditumpuk dengan jenazah
ke-26 tengku lainnya.
1

Begitulah akhir hidup seorang penyair yang telah berjuang untuk bangsanya namun
dibalas dengan hukuman pancung yang dilakukan oleh saudara-saudara sebangsa sendiri.
Penyair yang lahir di Tanjungpura, Langkat, 28 Februari 1911 ini memang merupakan
kaum bangsawan. Namun hal tersebut tak menjamin hidupnya akan selalu berbahagia. Pada
kenyataannya kehidupan pribadinya begitu menyedihkan. Ketika dia kembali ke Sumatra dari
bersekolah di Jakarta (1929) dia mengetahui bahwa kekasih remajanya, Adja Bun, telah kawin
dengan abangnya, Tengku Husin Ibrahim, dengan persetujuan malahan anjuran dari ibunya.
Ibunya meninggal dunia pada 1931, bapaknya pada 1932.
2

Amir Hamzah pastilah sangat terpukul dengan peristiwa buruk yang terjadi hanya dalam
4 tahun itu. Tiga orang yang sangat dicintainya meninggalkan dirinya. Dalam keadaan ini

1
Ken Miryam Vivekananda Fadlil, Ku Busu yang Bukan Peragu. Artikel diakses pada 05 Mei 2014 dari
http://www.lenteratimur.com/ku-busu-yang-bukan-peragu/. Artikel tersebut ditulis berdasarkan buku Nh. Dini
yang berjudul Amir Hamzah, pangeran dari seberang.
2
Harry Aveling, Rumah Sastra Indonesia. (Magelang: IndonesiaTera. 2002) h. 163.
penyair meredam rasa sedihnya dengan menganggap semua itu adalah takdir dari Tuhan yang
harus dijalani.
Hal ini terlihat dalam puisinya Senyum hatiku senyum
Senyum Hatiku, Senyum
Senyum hatiku, senyum
Senyum hatiku, gelak
Dukamu tuan, aduhai kulum
Walaupun hatimu, rasakan retak
Dalam bait pertamanya penyair mencoba untuk meredam rasa sedih dan sakit hatinya
dengan berkata kepada hatinya untuk tersenyum, hal ini diulang kembali di baris kedua dan
mengubah kata senyum menjadi gelak yang lebih bermakna bahagia. Ini menunjukkan betapa
penyair ingin hatinya bahagia.
Pada baris selanjutnya, terjadi penambahan tokoh mu/tuan. Ini bisa ditafsirkan sebagai
penyair berkata kepada diri sendiri. Seolah-olah sisi bahagia dari dirinya berkata pada sisi sedih
dari dirinya untuk tak mengumbar dukanya. Atau ada orang lain yang menghibur diri sang
penyair untuk tidak mengumbar dukanya. Ini merupakan ambiguitas yang membuat puisi ini
menarik.
Aku (aku/-ku) pada puisi tersebut pastilah seorang penyair yang menulis puisi ini, bisa
dikatakan bahwa Aku dalam puisi ini adalah Amir Hamzah.
Engkau (mu, tuan, engkau)pada puisi tersebut bisa dikatakan sebagai sisi lain dari
pengarang atau merupakan tokoh lain yang muncul dalam puisi tersebut.
Dalam bait-bait berikutnya tokoh tersebut selalu berulang, 2 bait pertama merupakan
kebahagiaan yang kemudian dibandingkan dan seolah-olah mencemooh bait ke 3 dan ke 4 yang
merupakan kesedihan. Hal ini bisa dilihat dalam bait puisi berikut.
Kuketahui, tekukur sulang-menyulang
Murai berkicau melagukan cinta
Tetapi engkau aduhai dagang
Umpama pungguk merayukan purnama.

Bila dikaitkan dengan sosok amir Hamzah, bait di atas sangatlah menggambarkan
kehidupan percintaannya. Ketika ia kembali lagi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya Amir
Hamzah jatuh cinta dengan gadis Jawa, Iiek Sundari.
3



3
Ibid. h. 163
Kisah tersebut berawal ketika ia harus membiayai sendiri kuliahnya, sedangkan
pendapatan sebagai guru di Perguruan Rakyat tidaklah memadai. Sementara, kiriman dari
Langkat datang tak lagi teratur. Surat kakak-kakaknya yang ia terima hanya berisi ejekan,
mencibir si bungsu yang dalam pekerjaan dan tulisan-tulisannya sepertinya sedang berambisi
untuk menjadi seorang pemimpin besar.
Tiba-tiba, tanpa Amir ketahui sebabnya, mendadak datang kiriman uang dari Langkat
untuk ongkos pulang secukupnya. Seperti sudah mendapat firasat sebelumnya, Amir segera
menelegram kekasihnya. Kekasih Amir adalah Ilik Sundari, orang Solo pemeran Siti Nurbaya
yang menjadi lawan mainnya sewaktu mementaskan teater di Solo. Selama menjalin kasih
dengan Amir, Ilik sempat diperingatkan ayahnya untuk tidak menjadi pungguk merindukan
bulan mengingat Amir adalah Pangeran Melayu.
Ketika Amir mesti kembali ke Langkat, Ilik saat itu sedang menempuh studi di Lembang.
Dalam telegram, Amir memberitahu bahwa ia akan pulang dan tak dapat berlibur dengan Ilik ke
Majalengka.
Sekembali ke Jakarta, wajahnya Amir tak lagi ceria. Sultan Langkat, pamannya yang
kemudian membiayai kuliah Amir, sudah berpesan untuk memusatkan diri pada kuliah,
mengurangi aktivitas sebagai kaum pergerakan, dan jangan suka main wanita karena dapat
merusak citra istana Langkat. Sejak itu, Amir pun membatasi pergaulannya.
4

Pada waktu ia kembali ke Sumatra ternyata ia juga di suruh untuk mengawini anak
perempuan Sultan Langkat yang telah membiayai pendidikannya. Amir Hamzah menikah
dengan Kamalah pada tahun 1935 dan dikaruniai 5 orang anak namun 4 diantaranya meninggal
dunia ketika masih muda.
Dari segi pemilihan diksi dalam puisi senyum hatiku senyum banyak terdapat kata-kata
yang agak asing ditelinga, seperti melur yang berarti bunga, fakir yang berarti orang yang tak
berkecukupan, sulang-menyulang yang berarti sedang minum dalam pesta. Kata-kata tersebut
dipilih oleh Amir Hamzah karena pada hakikatnya Amir Hamzah sangat mencintai bahasa
Melayu.




4
Ken Miryam Vivekananda Fadlil, Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah (100 Tahun Tengku Amir Hamzah).
Artikel diakses pada 05 Mei 2014 dari http://www.lenteratimur.com/sang-pangeran-yang-selalu-berada-di-tengah-
100-tahun-tengku-amir-hamzah/ Artikel tersebut ditulis berdasarkan buku Bunga rampai esai berjudul Amir
Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair yang ditulis oleh Achdiat K. Mihardja, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Goenawan
Mohamad, Abdul Hadi W.M., dan H.B. Jassin.
Ini dapat dilihat dalam sepucuk suratnya pada Armijn Pane, November 1932, Amir
menunjukkan kecintaannya terhadap bahasa Melayu.
Engkau kudengar telah menjadi Guru sekarang, apa yang kauajarkan? Bahasa Melayu
tentu, baik-baik Pane, jangan kau lipu-lipukan bahasa yang semolek itu.
5

Gagasan inti puisi ini adalah penyair mencoba untuk meredam rasa sakit hatinya dengan
menghibur dirinya sendiri. Penyair juga menganggap semua ini adalah takdir Tuhan yang harus
dijalani, karena sumuanya pasti akan kembali pada Tuhan seperti pada bait berikut.
Senyap, hatiku senyap
Adakah boleh engkau merana
Sudahlah ini nasib yang tetap
Engkau terima dipangkuan bunda.

Begitu pula Amir Hamzah yang harus kembali pada Tuhan dengan cara yang sangat
mengenaskan. Kematian Tengku Amir Hamzah adalah ironi sebuah revolusi. Di satu pihak, ia
adalah wakil yang harus melindungi Sultan dan kebesaran kerajaan, tapi di pihak lain ia adalah
bupati Indonesia yang seharusnya bergabung dengan massa untuk memimpin revolusi. Inilah
fakta sejarah, betapa kejamnya sebuah revolusi yang tak pernah mengenal siapa lawan dan siapa
kawan.
6

Rakyat menjadi hakim! Hidup Rakyat! Musnahkan kaum bangsawan! Yang di dalam
istana tidak menghiraukan Amir Hamzah. Mereka berkeliling dari ruangan satu ke ruangan lain.
Amir sebagai Kepala Luhak atau pun Bupati tidak diindahkan sama sekali
7

Dia difitnah telah berpihak kepada musuh, hingga ia menjadi salah satu korban suatu
ketidakadilan. Peristiwa kematiannya menjadi semacam dosa yang harus dipertanggungjawabkan
bangsa ini.







5
Ibid.
6
Ibid.
7
Nh. Dini, Amir Hamzah, pangeran dari seberang. (Jakarta: Gaya Favorit Press, 1981) h. 143.
Daftar Pustaka

Dini Nh., Amir Hamzah, pangeran dari seberang. Jakarta: Gaya Favorit Press. 1981.
Harry Aveling, Rumah Sastra Indonesia. Magelang: IndonesiaTera. 2002.
Fadlil, Ken Miryam Vivekananda, Ku Busu yang Bukan Peragu. Artikel diakses pada 05 Mei
2014 dari http://www.lenteratimur.com/ku-busu-yang-bukan-peragu/. Artikel tersebut
ditulis berdasarkan buku Nh. Dini yang berjudul Amir Hamzah, pangeran dari seberang.
Fadlil, Ken Miryam Vivekananda, Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah (100 Tahun
Tengku Amir Hamzah). Artikel diakses pada 05 Mei 2014 dari
http://www.lenteratimur.com/sang-pangeran-yang-selalu-berada-di-tengah-100-tahun-
tengku-amir-hamzah/ Artikel tersebut ditulis berdasarkan buku Bunga rampai esai
berjudul Amir Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair yang ditulis oleh Achdiat K.
Mihardja, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M., dan H.B.
Jassin.

Anda mungkin juga menyukai