Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Amubiasis merupakan infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit
Entamoeba histolytica. Parasit ini memiliki dua bentuk dalam siklus hidupnya,
yaitu bentuk aktif (trofozoit) dan bentuk pasif (kista). Trofozoit hidup di dalam
dinding usus atau hidup diantara isi usus dan memakan bakteri. Bila terjadi
infeksi, trofozoit bisa menyebabkan diare, yang juga akan membawa trofozoit
keluar dari tubuh kita. Di luar tubuh manusia, trofozoit yang rapuh akan mati. Jika
pada saat infeksi seseorang tidak mengalami diare, trofozoit biasanya akan
berubah menjadi kista sebelum keluar dari usus. Kista merupakan bentuk yang
lebih kuat dan bisa menyebar, baik secara langsung dari orang ke orang, atau
secara tidak langsung melalui air maupun makanan (Wulan, 2012).
Pemberian terapi pada amubiasis perlu mendapat perhatian, mengingat
sekitar 90% infeksi yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica di usus besar
tanpa gejala (asimtomatik), sedangkan sisanya menimbulkan manifestasi klinik
yang beragam dari disentri, perdarahan usus, perforasi usus, ameboma sampai
abses hati atau organ lain. Jenis obat, dosis dan lamanya pemberian disesuaikan
dengan keadaan klinis penderita serta manifestasi amubiasis itu sendiri. Pengobatan
amubiasis sampai saat ini masih relevan untuk dibahas mengingat
penyebarannya hampir di seluruh belahan bumi, menginfeksi sekitar 10%
jumlah penduduk dan menempati urutan ke tiga penyebab kematian akibat
parasit setelah schistosomiasis dan malaria (Wulan, 2012).
Metronidazole telah digunakan untuk pengobatan infeksi amubiasis selama
lebih dari 45 tahun dan masih berhasil digunakan untuk pengobatan trikomoniasis
serta giardiasis. Infeksi anaerob bakteri yang disebabkan oleh spesies Bacteroides,
dan Clostridia juga merespon positif terhadap terapi Metronidazole. Tingkat resistensi
terhadap Metronidazole umumnya masih rendah, namun beberapa penelitian telah
melaporkan penurunan kerentanan antara spesies Bacteroides, serta mekanisme yang
berbeda resistensi. Metronidazole memiliki aktivitas yang baik terhadap bakteri
anaerob patogen, farmakokinetik yang menguntungkan dan sifat farmakodinamik,
serta efek sampingnya ringan seperti sakit kepala, mual, dan mulut kering (Lofmark,
2010).
Hal diatas menunjukkan bahwa Metronidazole memiliki manfaat yang penting
dalam pengobatan amubiasis. Oleh karena itu kami ingin mengangkat topik,
Pengobatan Amubiasis dengan Metronidazole. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
cara kerja dari Metronidazole serta dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca mengenai topik ini.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 METRONIDAZOLE
2.1.1 Deskripsi
1. Nama Dan Struktur Kimia
1-(2-Hydroxyethyl)-2-methyl-5-nitroimidazole:1-(-Ethylol)-2-methyl-
5-nitro-3-azapyrrole; Sinonim : Metronidazole hydrochloride; 2-Methyl-5-
nitroimidazole-1-ethanol ; C
6
H
9
N
3
O
3
, Sinonim : C
12
H
12
N
2
O
2
S (Syarif, 2007).
2. Sifat Fisiko-kima
Dalam perdagangan metronidazole terdapat dalam bentuk basa dan
garam hidroklorida. Sebagai basa berupa serbuk kristal berwarna putih hingga
kuning pucat. Sedikit larut dalam air dan dalam alkohol, dan mempunyai pKa
2,6. Injeksi metronidazole jernih, tidak berwarna, larutan isotonik dengan pH
4,5 7, dengan osmolarity 297-314 mOsm/L dan mengandung natrium fosfat,
asam sitrat dan natrium klorida. Metronidazol hidroklorida sangat larut dalam
air dan larut dalam alkohol, dalam perdagangan berupa serbuk berwarna putih
( Syarif, 2007).

Metronidazole bersifat stabil di bawah suhu normal dan tekanan,
namun dapat berubah warna setelah terpapar cahaya. Fisiko-kimia
metronidazole dapat dilihat pada tabel berikut: ( Syarif, 2007)
Tabel I. Fisik-Kimia Metronidazole

3. Golongan/Kelas Terapi
Metronidazole merupakan salah satu golongan obat Anti-infeksi.
4. Bentuk Sediaan
Tablet, Cairan Infus, Suppositoria, Sirup.

5. Nama Dagang
- Flagyl - Tismazol - Fladex
- Promuba - Elyzol - Mebazid
- Corsagyl - Gravazol - Nidazole
- Fortagyl - Metronidazole fresenius
- Metrolet - Trichodazol
- Metrofusin - Metronidazole (generic)
2.2 INDIKASI
Dalam Daftar Obat Esensial WHO, Metronidazole diklasifikasikan sebagai
antiamuba, antigiardiasis, dan antibakteri. Literatur berbeda menyebutkan bahwa
metronidazol juga digunakan untuk mengobati Vincents infection, acne rosacea,
amoebiasis usus invasif, abses hati amuba, antibiotik terkait kolitis, balantidiasis,
infeksi gigi, gastritis atau ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helycobacter pylori,
dan penyakit radang usus, serta infeksi bakteri anaerob ( Syarif, 2007).
Metronidazole juga diindikasikan untuk drakunkuliasis sebagai alternatif
niridazol dan giardiasis. Metronidazole digunakan untuk profilaksis pasca bedah
daerah abdomen, infeksi pelvik, dan pengobatan endokarditis yang disebabkan
oleh B. fragilis. Selain itu, obat ini juga digunakan untuk kolitis
pseudomembranosa yang disebabkan oleh Clostridium difficile ( Syarif, 2007).


2.3 KONTRA INDIKASI
Hipersensitivitas terhadap metronidazole, turunan nitroimidazol, atau
komponen yang ada dalam sediaan, kehamilan (trimester pertama didapatkan efek
karsinogenik pada tikus).
2.4 DOSIS, CARA DAN LAMA PEMBERIAN
a. Infeksi anaerobik (pengobatan biasanya selama 7 hari dan 10 hari
untuk penggunaan antibiotika pada pengobatan kolitis), peroral dengan
dosis awal 800 mg kemudian 400 mg setiap 8 jam atau 500 mg setiap
8 jam; anak-anak 7,5 mg/kg setiap 8 jam; kemudian pemberian
dilanjutkan tiap 12 jam, anak-anak setiap 8 jam selama 3 hari,
kemudian pemberian dilanjutkan tiap 12 jam, umur hingga 1 tahun
125 mg, 1 5 tahun 250 mg, 5 10 tahun 500 mg, lebih dari 10 tahun
dosis dewasa; selama 3 hari, pemberian secara infus intravena lebih
dari 20 menit, 500 mg setiap 8 jam; anak-anak 7,5 mg/kg setiap 8 jam.
b. Ulser pada lengan : peroral 400 mg setiap 8 jam selama 7 hari
c. Bacterial vaginosis : peroral 400 500 mg dua kali sehari selama 5 7
hari atau 2 gram sebagai dosis tunggal.
d. Inflamasi pelviks : peroral 400 mg dua kali sehari selama 14 hari.
e. Acute ulcerative gingivitis : peroral 200-250 mg setiap 8 jam selama 3
hari; anak-anak 1-3 tahun 50 mg setiap 8 jam selama 3 hari; 3 7
tahun 100 mg setiap 12 jam; 7 10 tahun 100 mg setiap 8 jam.
f. Infeksi oral akut : peroral 200 mg setiap 8 jam selama 3 7 hari ;
anak-anak 1-3 tahun 50 mg setiap 8 jam selama 3 7 hari, 3 7 tahun
100 mg setiap 12 jam; 7 10 tahun 100 mg setiap 8 jam.

2.5 FARMAKODINAMIK
Metronidazole merupakan turunan 5-nitroimidazole yang memiliki aktivitas:
trikomoniasid, anaerobisid. Disposisi Metronidazole dalam tubuh dalam bentuk oral
dan injeksi i.v. adalah sama dengan eliminasi waktu rata-rata pada manusia sehat
adalah 8 jam. Metronidazole dapat dideteksi di dalam cairan serebrospinal, saliva dan
air susu dengan konsentrasi sama dengan yang terdapat di plasma. Konsentrasi
bakterisidal Metronidazole juga terdeteksi di dalam nanah dari abses hepatic (Gan,
2009).
Dalam sel atau mikroorganisme, Metronidazole mengalami reduksi menjadi
produk polar ferredoxin (terdapat pada parasit anaerobic). Hasil reduksi ini
mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat,
mempengaruhi anaerob yang mereduksi nitrogen membentuk intermediet (Gan,
2009).

2.6 FARMAKOKINETIK
2.3.1 Absorbsi
Metronidazole terutama digunakan untuk amubiasis, trikomoniasis, dan
infeksi bakteri anaerob. Metronidazole efektif untuk amubiasis intestinal
maupun ekstraintestinal, namun efeknya lebih jelas pada jaringan, sebab
sebagian besar metronidazol mengalami penyerapan di usus halus.( Syarif,
2007)
Absorbsi metronidazole berlangsung dengan baik sesudah pemberian
oral. Satu jam setelah pemberian oral dosis tunggal 500 mg diperoleh kadar
plasma kira-kira 10g/mL. Umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri
yang sensitive, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8g/mL. (Gan,
2009)
2.3.2 Distribusi
Metronidazole didistribusikan secara luas dan paling terlihat dalam
jaringan tubuh dan cairan. Kurang dari 20% dari metronidazole yang
beredar terikat dengan protein plasma. Volume distribusi berkisar antara 0,51
L/kg sampai 1,1 L/kg. (Gan, 2009)

2.3.3 Metabolisme
Metronidazole dimetabolisme di hati oleh oksidasi side-chain,
menghasilkan 1-($-hidroksietil)-2-hidroksimetil-5-nitroimidazole (sekitar
30% -65% dari kegiatan metronidazole) dan 2-metil-5-nitroimidazole-1-il-
asam asetat (tidak aktif) dan oleh konjugasi glukoronat. (Gan, 2009)

2.3.4 Eliminasi
Jalur utama eliminasi metronidazole dan metabolitnya adalah melalui
urin, di mana 60% -80% dari dosis diekskresikan (6-18% sebagai bentuk
asal). Urin mungkin berwarna coklat kemerahan karena mengandung
pigmen tak dikenal yang berasal dari obat. Sedangkan ekskresi melalui
tinja hanya 6 -15% dari dosis. Selain itu, metronidazol juga diekskresi
melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar
yang rendah. Proses ini berlangsung antara 6-14 jam, dengan nilai rata-
rata 8,5 jam. (Gan, 2009)



2.7 BIOAVAILABILITY
Dilaporkan bahwa metronidazole akan cepat diserap dengan bioavailabilitas
(BA) lebih dari 90% dan hampir 100% . Studi farmakokinetik yang dilaporkan
dalam literatur mendukung keberadaan BA tinggi. Dalam sebuah penelitian
dengan delapan sukarelawan pria sehat yang menerima metronidazol oral tablet
400 mg dan intravena, fraksi diserap dilaporkan lebih dari 0,98. Studi lain
melaporkan bioavailabilitas metronidazol yang diberikan per oral 500 mg adalah
111%. Farmakokinetik metronidazole juga dipelajari pada lima wanita sehat
setelah dosis oral tunggal dan diperoleh BA 100 5%. (Rhoihana, 2008)
Dosis oral 250 mg, 500, 750, dan 2000 memberikan konsentrasi plasma
maksimum (Cmax) dari 6, 12, 20, dan 40 g/mL dengan waktu untuk Cmax
(tmax) mulai dari 0,25 sampai 4 jam. (Rhoihana, 2008)
2.8 WAKTU PARUH ( t )
Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi
kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorbsi
yang buruk atau metabolisme yang terlalu cepat. (Gan, 2009)
2.9 TOKSISITAS
Efek samping hebat yang memerlukan penghentian pengobatan jarang
ditemukan. Efek samping yang paling sering dikeluhkan ialah sakit kepala,
mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Urin mungkin menjadi gelap atau
merah kecoklatan. Muntah, diare, dan spasme usus jarang dialami. Lidah
berselaput, glositis, dan stomatitis dapat terjadi selama pengobatan. ( Syarif,
2007)
Efek samping lain dapat berupa pusing, vertigo, ataksia, parestesia
ekstremitas, urtikaria, flushing, pruritus, disuria, sistitis, rasa tekan pada pelvik,
juga kering pada mulut, vagina, dan vulva.( Syarif, 2007)
Metronidazole adalah suatu nitroimidazol sehingga ada kemungkinan
dapat menimbulkan gangguan darah. Walaupun sampai saat ini belum pernah
dilaporkan adanya gangguan darah yang berat, pemberian metronidazol untuk
jangka lebih dari 7 hari hendaknya disertai dengan pemeriksaan leukosit secara
berkala, terutama pada pasien usia muda atau pasien dengan daya tahan rendah
(Syarif, 2007)
Neutropenia dapat terjadi selama pengobatan dan akan kembali normal
setelah pengobatan dihentikan. Pada pasien dengan riwayat penyakit darah atau
dengan gangguan SSP, pemberian obat ini tidak dianjurkan. Bila ditemukan
ataksia, kejang, atau gejala susunan saraf pusat yang lain, maka pemberian obat
harus segera dihentikan.( Syarif, 2007)












BAB III
PENELITIAN YANG TELAH DILAKUKAN ORANG LAIN

Pada tahun 1966, dilaporkan bahwa metronidazole sangat baik untuk
pengobatan amubiasis akut dan ekstraintestinal. Metronidazole merupakan obat
pilihan karena terbukti efektif membunuh E. Histolytica baik yang berbentuk kista
maupun trofozoit.(Andayasari, 2011).
Sampai pertengahan abad ke 20 beberapa obat untuk disentri amoeba antara
lain adalah emetin hidrokhlorin, quinin, khloroquin dan dehidroemetin. Tahun 1966,
dilaporkan bahwa metronidazol sangat baik untuk pengobatan amebiasis. Obat yang
digunakan untuk penderita amebiasis seharusnya punya sifat antara lain bekerja
sebagai tissue amoebicide, diserap langsung ke dalam mukosa usus dan segera
membunuh amuba, serta efektif membunuh kista dan trofozoit. (Andayasari, 2011).
Pada saat ini pilihan terhadap obat yang digunakan untuk penderita amubiasis
haruslah mempunyai sifat: bekerja sebagai tissue amoebicide, setelah diabsorbsi
langsung berdifusi ke dalam mukosa usus dan segera membunuh amuba, bekerja
sebagai lumen amoebicide dan sangat efektif untuk membunuh kista dan trofozoit
(Lubis, 2004).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS Pirngadi Medan, penelitian
dengan obat anti-amuba telah dimulai oleh Jo dan kawan-kawan sejak tahun 1967.
Dimulai dengan penggunaan Mexaform dan Entobex, kemudian oral Dehydro-
emetine, Flagyl dengan berbagai dosis, Tinidazole, Tinidazole dan Ornidazole dan
terakhir Metronidazole dan Secnidazole (Lubis, 2004).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS Pirngadi Medan sejak tahun 1967
sampai dengan sekarang ini oleh beberapa penulis telah dilakukan 10 kali penelitian
mengenai khasiat obat anti-amuba pada anak penderita disentri amuba (Lubis, 2004).
Tabel II. Penelitian mengenai obat Anti-Amuba

1. Mexaform
Pada 23 anak penderita amubiasis usus usia dibawah 6 tahun
telah dilakukan pemberian Mexaform dengan dosis 3 tablet perhari
untuk anak usia 3-6 tahun sedangkan untuk anak usia 1-3 tahun dengan
dosis separuhnya. 10 anak mendapat pengobatan selama 7 hari berturut
sedangkan 13 anak selama 2 minggu. Pada pemeriksaan hari ke 5,
didapati hasil 12 (52,15%) penderita telah negatif terhadap E.
histolytica, tetapi 8 diantaranya kembali positif pada pemeriksaan
minggu berikutnya (Lubis, 2004).
2. Entobex
Pada 18 anak penderita amubiasis usus diberikan pengobatan
dengan Entobex dengan dosis 3 tablet perhari selama 7-15 hari. Pada
pemeriksaan hari ke 5, didapatkan hasil 11 (61,1 %) penderita telah
negatif terhadap E. histolytica, tetapi 6 diantaranya kembali positif
pada pemeriksaan minggu berikutnya (Lubis, 2004).
3. Tinidazole
Pada 33 anak dengan amubiasis usus telah diberikan
pengobatan dengan Tinidazole dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis
tunggal selama 3 hari berturut. Evaluasi pada hari ke 2 dijumpai
penyembuhan parasitologik 66,6% sedangkan pada evaluasi hari ke 4
(satu setelah selesai makan obat), dijumpai penyembuhan parasitologik
93,9% (Lubis, 2004).
4. Tinidazole versus Ornidazole
Pada 40 anak dengan disentri amuba telah dilakukan uji
banding dengan penggunaan Tinidazole dan Ornidazole dengan dosis
50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut diberikan
pada 20 anak sedangkan 20 anak lagi mendapat Ornidazole dengan
cara yang sama (Lubis, 2004).
Tabel III. Hasil pemberian obat Tinidazole dan Ornidazole

5. Metronidazole versus Secnidazol
Pada 28 anak dengan disentri amuba telah diberikan
Metronidazole dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 1
hari pada sebagian dari anak dan sebagian lagi mendapat pengobatan
dengan Secnidazole 30 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 1 hari.
Pada evaluasi yang dilakukan dijumpai pada kedua kelompok
penyembuhan parasitologik sebesar 100% (Lubis, 2004).
Pemberian dosis tunggal selama 1 hari memungkinkan obat ini
dapat menjadi obat pilihan dalam pengobatan disentri amuba pada
anak. Disamping itu dosis tunggal ini akan menghemat biaya dan
memperpendek waktu pengobatan (Lubis, 2004).
Dari 10 kali penelitian yang telah dilakukan pada anak dengan disentri amuba
di RS.Pirngadi Medan terlihat bahwa obat antiamoeba dari golongan Metronidazole
maupun Secnidazole memberikan hasil yang sangat memuaskan dan tidak dijumpai
efek samping yang berarti saat pemberian obat maupun pada saat evaluasi (Lubis,
2004).
Penderita amubiasis akut dan ekstraintestinal sebaiknya diobati dengan
metronidazole. Metronidazole merupakan obat pilihan karena terbukti efektif
membunuh E. histolytica baik yang berbentuk kista atau pun trofozoit. Metronidazole
memberikan efek samping yang bersifat ringan seperti mual, muntah dan pusing.
Pemberian obat metronidazole pada anak-anak di RS Pimgadi Medan menunjukkan
hasil yang memuaskan dan tidak dijumpai efek samping yang berarti pada saat
pemberian maupun saat evaluasi.(Lubis, 2004).










BAB IV
PEMBAHASAN

Amubiasis adalah penyakit infeksi saluran pencernaan akibat tertelannya kista
Entamoeba histolityca yang merupakan mikroorganisme anaerob bersel tunggal dan
bersifat patogen. Bentuk klinis dari amubiasis ada dua, yaitu amubiasis intestinal
(akut dan kronis) dan amubiasis ekstra intestinal. Amubiasis intestinal akut gejala
mulainya infeksi terjadi secara perlahan, dimulai dari nyeri pada kuadran kanan
bawah dan diare. Pasien amubiasis akut yang tidak diobati dapat menyebabkan
amubiasis intestinal kronik. Pada amubiasis ekstra intestinal paling sering ditemukan
infeksinya di hati. Penyebarannya terjadi melalui aliran darah sampai di hati sehingga
mengakibatkan abses (Andayasari, 2011).
Metronidazole merupakan turunan nitro-imidazol yang dapat membunuh
trofozoit, bila diberikan secara oral dapat segera diabsorbsi dan langsung meresap ke
jaringan melalui proses difusi. Mekanisme kerja obat masuk ke dalam membran sel
melalui difusi pasif yang diaktivasi oleh reduksi kelompok nitro. Reduksi
metronidazole menyebabkan peningkatan gradien konsentrasi sehingga obat
diabsorbsi lebih banyak dan merangsang pembentukan radikal metronidazole.
Radikal metronidazole akan berinteraksi dengan asam nukleat menyebabkan
kehancuran dan ketidakstabilan asam nukleat sedangkan interaksi dengan protein
menyebabkan kematian parasit Entamoeba Histolityca (Rozaliyani, 2010).
Penggunaan Mexaform dengan dosis 3 tablet perhari untuk anak usia 3-6
tahun sedangkan untuk anak usia 1-3 tahun dengan dosis separuhnya. 10 anak
mendapat pengobatan selama 7 hari berturut sedangkan 13 anak selama 2 minggu.
Pada pemeriksaan hari ke 5, didapati hasil 12 (52,15%) penderita telah negatif
terhadap E. histolytica, tetapi 8 diantaranya kembali positif pada pemeriksaan minggu
berikutnya, sedangkan pada pemberian Entobex Pada 18 anak penderita amoebiasis
usus diberikan pengobatan dengan Entobex dengan dosis 3 tablet perhari selama 7-15
hari. Pada pemeriksaan hari ke 5, didapatkan hasil 11 (61,1 %) penderita telah negatif
terhadap E. histolytica, tetapi 6 diantaranya kembali positif pada pemeriksaan minggu
berikutnya.
Pada penggunaan Tinidazole dilakukan pada 33 anak dengan amubiasis usus
dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 3 hari berturut. Evaluasi pada hari ke 2
dijumpai penyembuhan parasitologik 66,6% sedangkan pada evaluasi hari ke 4
dijumpai penyembuhan parasitologik 93,9%. Sedangkan uji banding yang dilakukan
menggunakan Tinidazole dan Ornidazole dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dosis
tunggal selama 3 hari berturut-turut diberikan pada masing - masing 20 anak
menunjukkan hasil evaluasi hari ke 2 pada anak yang diberikan Tinidazole pada hari
pertama menunjukkan angka penyembuhan 85,7% sedangankan pada anak yang
diberikan Ornisazole 66,6%. Dan pada hari ke 3 menunjukkan penyembuhan masing
masing 100%.
Selanjutnya uji banding yang dilakukan dengan pemberian Metronidazole dan
Secnidazol pada 28 anak dengan disentri amoeba diberikan Metronidazole dengan
dosis 50 mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 1 hari pada sebagian anak dan sebagian
lagi mendapat pengobatan dengan Secnidazole 30 mg/kg BB/hari dosis tunggal
selama 1 hari. Pada evaluasi yang dilakukan sehari setelahnya dijumpai pada kedua
kelompok penyembuhan parasitologik sebesar 100%
Metronidazole efektif untuk pengelolaan infeksi anaerob, seperti infeksi intra-
abdominal, infeksi ginekologi, septikemia, endokarditis, infeksi tulang dan sendi,
infeksi sistem saraf pusat, infeksi saluran pernafasan, infeksi kulit dan kulit-struktur,
dan infeksi mulut dan gigi . Metronidazol juga digunakan sebagai profilaksis sebelum
prosedur bedah perut dan ginekologi untuk mengurangi risiko infeksi anaerob pasca
operasi. (Norad, 2010)
Jadi Metronidazole sangat aktif terhadap bakteri anaerob gram-negatif,
seperti B. fragilis, dan bakteri anaerob gram-positif, seperti C. difficile. Setelah
pemberian oral, metronidazol diserap dengan baik, dan konsentrasi plasma puncak
yang terjadi 1-2 jam setelah pemberian. (Norad, 2010)
Profil keamanan metronidazol sudah terkenal, dan efek sampingnya
memiliki tingkat keparahan dari ringan sampai sedang. Efek samping yang
paling umum dilaporkan banyak terjadi di saluran pencernaan. Maka dari itu
Metronidazole merupakan pilihan yang biasa digunakan dalam pengobatan
amoebiasis. (Norad, 2010)
















BAB V
KESIMPULAN

1. Amubiasis merupakan infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit
Entamoeba histolytica. Parasit ini memiliki dua bentuk dalam siklus
hidupnya, yaitu bentuk aktif (trofozoit) dan bentuk pasif (kista).
2. Metronidazole sangat baik untuk pengobatan amubiasis akut dan
ekstraintestinal, yang mempunyai sifat antara lain bekerja sebagai tissue
amoebicide, diserap langsung ke dalam mukosa usus dan segera membunuh
amuba, serta efektif membunuh kista dan trofozoit.
3. Metronidazole memiliki kemampuan yang baik sebagai anti amoeba menurut
penelitian yang dilakukan dalam pemberian dosis tunggal selama 1 hari
memungkinkan obat ini dapat menjadi obat pilihan dalam pengobatan disentri
amoeba, disamping itu dosis tunggal ini akan menghemat biaya dan
memperpendek waktu pengobatan.
4. Metronidazole memberikan efek samping yang bersifat ringan seperti mual,
muntah dan pusing serta menunjukkan hasil yang memuaskan.







BAB VI
SUMMARY

1. Amubiasis is an infection of the colon caused by the parasite Entamoeba
histolytica. This parasite has two forms in its life cycle, which is the active
form (trophozoite) and passive forms (cysts).
2. Metronidazole is very good for the treatment of acute amoebiasis and other
extraintestinal has worked as a trait among amoebicide tissue, is absorbed
directly into the intestinal mucosa and immediately kill the amoeba, and
effectively kill the cysts and trophozoites.
3. Metronidazole has a good ability of anti amoeba according to research
conducted in a single dose for one day allow these drugs may be the drug of
choice in the treatment of dysentery amoeba, besides that this dose will save
costs and shorten treatment time.
4. Metronidazole side effects that are mild as nausea, vomiting and dizziness and
showed satisfactory results.







DAFTAR PUSTAKA
Andayasari, L.( 2011) Kajian Epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
yang disebabkan oleh Amuba di Indonesia. Media Litbang Kesehatan, Vol 21
No 1.
Australian PI TGA.(2013) Metronidazole Data Sheet.Baxter Healthcare Ltd. New
Zealand
( Page 6 of 14)
Gan, G.S., Setiabudy, NR., Elysabeth.( 2009). Farmakologi dan Terapi..Edisi 5.
Jakarta: FKUI.
Lofmark.(2010). Metronidazole is still the drug of choice for treatment of anaerobic
infections. Departement of Laboratory Medicine, Karolinska University
Hospital.
Lubis, C. (2004). Penggunaan Obat Anti Amuba Pengalaman di Bangsal Anak
Rumah Sakit Pirngadi Medan. USU Repository: Universitas Sumatera Utara;
1-4.
Norad Carl Erik, Lofmark Sonja, Edlund Charlotta. (2010). Metronidazole Is Still the
Drug of Choice for Treatment of Anaerobic Infections. Department of
Laboratory Medicine, Division of Clinical Microbiology, Karolinska
University Hospital, Karolinska Institute, Stockholm. Sweden
Rhoihana DM. (2008). Perbandingan Bioavailabilitas In Vitro Tablet Metronidazol
Produk Generik Dan Produk Dagang. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rozaliyani. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Amubiasis. Makalah Kedokteran
Indonesia, Vol 60. Jakarta : Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Syarif A, Elysabeth. Amubisid. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Thaufiqurrakhman M. (2009). Metronidazole. Tugas Mandiri. Banjarbaru: Fakultas
Kedokteran Bagian Farmakologi Universitas Lambung Mangkurat
Wulan Chandra.(2012). Metronidazole. Makalah Mandiri. Banjarbaru: Fakultas
Kedokteran Bagian Farmakologi Universitas Lambung Mangkurat.

Anda mungkin juga menyukai