Anda di halaman 1dari 31

1

ASITES ET CAUSA SIROSIS HEPATIS




Yenti Puspita Sari
10-2009-012*
*mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
E-mail: voxaga_fairy@yahoo.com
Pendahuluan
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum
dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar, yaitu transudasi dan eksudasi. Asites yang ada
hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi portal adalah salah satu contoh penimbunan
cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini
paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik
pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi
semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites lebih memperberat perjalanan penyakit
dasarnya, sehingga asites harus dikelola dengan baik.

Skenario
Bapak T berusia 65 tahun datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sesak napas sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan disertai rasa mual, cepat merasa lelah, tidak nafsu makan, dan
bengkak pada kedua tungkai sejak 4 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan fisik tampak sakit
berat, tekanan darah 110/75 mmHg, denyut nadi 68x/menit, suhu afebril, sklera kuning. Perut
tampak membuncit, hepar tidak teraba, lien teraba di Schuffner 1, edema kedua tungkai.
Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 9 g/dL, kadar albumin 2g/dL, globulin 4 g/dL.
Dari kasus di atas, diagnosis bandingnya antara lain asites et causa sirosis hati, karsinoma
hepatoseluler, dan Hepatitis C.
2

Sirosis Hati
Pemeriksaan
Pemeriksaan dibagi menjadi 3, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis, ditanyakan nama, umur, jenis kelamin, keluhan utama, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan riwayat obat.
Keluhan utama
Keluhan utama pasien sirosis hati biasanya meliputi nyeri di kuadran kanan atas, mual,
anoreksia, perut buncit, bengkak pada kaki, dan cepat lelah.
Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan apakah pernah mengalami penyakit kuning sebelumnya dan bagaimana
penanganannya.
Riwayat penyakit sekarang
Ditanyakan adanya mual atau muntah, frekuensi terjadinya, warna muntahan, disertai darah
atau tidak, jumlah muntahan, terasa asam atau tidak, dan berkaitan dengan nyeri atau tidak.
Bila ada keluhan nyeri abdomen, ditanyakan lokasi nyeri, penjalaran nyeri, dan onset nyeri.
Bila ada anoreksia ditanyakan ada/tidaknya penurunan berat badan, nafsu makan normal atau
tidak ada, atau takut makan akibat nyeri. bila ada keluhan sesak napas, ditanyakan berapa
jauh jarak yang ditempuh sehingga merasa sesak, dapat berbaring telentang atau tidak,
terbangun pada malam hari atau tidak karena sesak. Bila ada pembengkakan pada
pergelangan kaki disertai sesak napas dicurigai adanya kelainan pada jantung. Pada ikterus
ditanyakan onsetnya dan warna urin ketika sakit.
Riwayat pribadi dan sosial
Ditanyakan ada riwayat konsumsi alkohol atau tidak, berapa banyak alkohol yang
dikonsumsi. Bila dianggap perlu, dapat pula ditanyakan riwayat penggunaan obat-obatan
terlarang, baik menggunakan jarum suntik atau tidak, riwayat transfusi darah, dan riwayat
penggunaan obat-obatan lain (yang mungkin mempengaruhi hati).dates
3

2. Pemeriksaan fisik
Pada pasien sirosis hati, dilakukan pemeriksaan keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda
vital, dan pemeriksaan abdomen lengkap (inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi)
Pemeriksaan keadaan umum
Amati dan nilai tingkat kesadaran pasien. Perhatikan postur tubuh, otot dan keadaan kulit
pasien. Cari tanda-tanda awal ikterus pada kulit atau sclera dan tanda anemia di konjungtiva.
Kemudian cari tanda-tanda penyakit hati (stigmata sirosis) pada tangan, seperti eritema
palmaris karena penurunan metabolisme estrogen di hati, kontraktur Dupuytren (deformitas
fleksi pada jari keempat dan kelima) pada penyakit hati dan penyalahgunaan alkohol,
leukonikia (dasar kuku yang memutih akibat hipoproteinemia), spider naevi (malformasi
vaskular kecil berwarna merah akibat kelebihan estrogen, berasal dari arterior sentral dan
dapat dibuat pucat dengan menekan arteriol tersebut).
Pemeriksaan tanda-tanda vital
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain mengukur suhu tubuh pasien, menghitung frekuensi
nadi dan pernapasan, dan mengukur tekanan darah pasien.
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi untuk melihat apakah ada vena-vena kolateral pada dinding anterior abdomen,
apakah ada caput medusae, apakah ada massa tumor sehingga abdomen tampak tidak
simetris, dan dilihat juga apakah ada pembuncitan abdomen. Pada auskultasi didengarkan
suara bising usus, ada tidaknya bruit sistolik yang dapat didengar pada aneurisma aorta atau
pada pembesaran hati karena hepatoma. Pada palpasi, cari ada/tidaknya massa, ada/tidaknya
pembesaran hati atau limpa, dan ada nyeri tekan atau tidak. Pada perkusi, dilakukan
pengetukan pada dinding abdomen. Normalnya akan didapatkan bunyi timpani pada seluruh
dinding abdomen (kecuali daerah hepar). Pada keadaan asites, dimana di dalam abdomen
terdapat cairan bebas sedangkan di sampingnya udara bebas, dilakukan pemeriksaan shifting
dullness untuk menilai pekak yang berpindah yang menandakan adanya perpindahan cairan.
Bila shifting dullness tidak dapat dilakukan karena asites yang masif, dilakukan pemeriksaan
undulasi untuk merasakan adanya gelombang cairan.
1

4

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar bilirubin
total dan albumin, dan globulin serum, pemeriksaan alkali fosfatase, AST, ALT, dan PT
(Protrombin Time), pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan histologi dari biopsi hati.
Pada sirosis hati, pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan adanya anemia, leucopenia,
atau trombositopenia. Hipersplenisme menyebabkan leucopenia dan trombositopenia,
sedangkan defisiensi vitamin dan kehilangan darah kronis menyebabkan anemia. Defisiensi
vitamin K menyebabkan pemanjangan PT karena faktor pembekuan yang tidak seimbang.
2

Kadar bilirubin total cenderung meningkat, lebih dari 1.1 mg/dL (normalnya 0-1.1 mg/dL),
kadar globulin serum cenderung meningkat (normalnya 1.5-3.0 g.dL) dan kadar albumin
serum cenderung menurun, normalnya 3.8-5.1 g/dL.
3
Pasien sirosis dapat memiliki kadar
AST dan ALT yang normal, namun peningkatan AST dan ALT dapat terjadi pada pasien
dengan hepatitis autoimun, hepatitis virus, hepatitis alkoholik, dan cedera hati karena obat.
Pasien dengan penyakit hati karena kolestasis biasanya mengalami peningkatan alkali
fosfatase, -glutamiltranferase, dan bilirubin direk.
Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis antara lain pemeriksaan serologi untuk
hepatitis B (HbsAg), C (anti HCV), pemeriksaan jumlah besi dan gen HFE untuk analisis
hemokromatosis herediter, pemeriksaan Cu pada serum dan urin 24 jam dan kadar
seruloplasmin untuk penyakit Wilson, kadar 1-antitripsin dan genotip terhadap antitrypsin
defisinsi, dan pemeriksaan serum autoantibodi dan serum immunoglobulin kuantitatif untuk
diagnosis penyakit hati autoimun. Evaluasi secara periodic dengan tumor marker (alfa-
fetoprotein, CEA, dan CA 19-9) diindikasikan untuk mendeteksi komplikasi karsinoma
hepatoseluler primer.
Pemeriksaan radiologis tidak selalu dibutuhkan namun dapat memberiikan informasi
tambahan untuk screening karsinoma hepatoseluler primer dan kolangiokarsinoma.
Pemeriksaan ini dihubungkan dengan tumor marker yang biasanya dihubungkan dengan
sirosis karena berbagai penyebab.
Pemeriksaan histologi dari spesiemen biopsi seringkali merupakan kunci diagnosis. Pada
sirosis alkoholik, terdapat mikronodul, infiltrasi lemak, dan badan Mallory. Pada sirosis
biliaris primer, kolangitis sklerosis primer dan sekunder, dan hepatitis autoimun memiliki
5

gambaran histologi yang sama,
2
yaitu adanya infiltrasi limfosit pada daerah portal, terbentuk
bridging fibrosis, dan akhirnya terjadi sirosis.
4


Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja ditetapkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan histologi juga
penting untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebab sirosis.
Dari kasus di atas, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya ikterus pada sclera, adanya asites,
adanya oedem pada kaki, pembesaran limpa pada Schuffner 1, penurunan albumin, dan
peningkatan globulin, dapat disimpulkan bahwa Bapak T menderita asites et causa sirosis
hati.

Etiologi
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular,
dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum ada gejala
klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis
yang jelas.
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul > 3mm) atau
mikronodular (besar nodul < 3mm) atau campuran mikro dan makronodular.
5

Penyebab dari sirosis dapat dilihat pada tabel 1.
6





Tabel 1. Penyebab sirosis.
6

6

Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi
sirosis alkoholik, sirosis akibat hepatitis virus kronis (post-nekrotik), sirosis biliaris, dan
sirosis karena penyebab lain yang lebih jarang seperti sirosis kardiak dan sirosis kriptogenik.
5


Patofisiologi
1. Sirosis alkoholik/Sirosis Lannec
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit hati kronis,
termasuk perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik. Lebih parah,
konsumsi alkohol yang berlebihan dapat berperan pada kerusakan hati pada pasien dengan
kerusakan hati yang lain seperti hepatitis C, hemokromatosis, dan pasien yang mengalami
perlemakan hati karena obesitas. Konsumsi alkohol secara kronis dapat menyebabkan fibrosis
dimana ketiadaan proses perbaikan yang mendampingi inflamasi dan atau nekrosis. Ketika
fibrosis telah mencapai derajat tertentu, terjadi gangguan pada arsitektur normal hati dan
penggantian sel hati oleh nodul regeneratif. Pada sirosis alkoholik, diameter ukuran nodul
biasanya < 3mm, sehingga disebut mikronodular.
Perlemakan hati, akumulasi droplet trigliserid pada hati, adalah respon yang paling sering dan
paling awal dari penggunaan alkohol yang berlebihan (lebih dari 120-150 g/hari selama 2-3
minggu), dan studi klasik menunjukkan bahwa abstinensia selama 4 minggu merupakan
solusinya. Sintesis asam lemak dan trigliserid yang berlebihan dari kemampuan untuk
mengoksidasinya atau mengeluarkannya bersama partikel lipoprotein menyebabkan steatosis
hepatitis.

Etanol umumnya diabsorpsi di usus halus, dan sedikit di lambung. Gastric alkohol
dehidrogenase (ADH) memulai metabolismee alkohol. Ada 3 sistem enzim berperan pada
metabolismee alkohol di hati, yaitu ADH sitosolik, microsomal-oxidizing system (MEOS),
dan katalase peroksimal. Oksidasi etanol mayoritas terjadi dengan bantuan ADH di sitosol
membentuk asetaldehid, molekul sangat reaktif yang mempunyai banyak efek multiple, dan
NADH.
6
Peningkatan rasio NADH sitosolik dan mitokondrial menyebabkan terjadinya
kompetisi dengan substrat lain di rantai pernafasan sehingga menurunkan aktivitas siklus
asam sitrat, yang akhirnya menghambat oksidasi lemak. Penghambatan oksidasi asam lemak
ini meningkatkan esterifikasi asam lemak menjadi triasilgliserol (TG), menghasilkan
7

perlemakan hati.
7
Kemudian, asetaldehid masuk ke mitokondria dan dimetabolismee menjadi
asetat oleh aldehid dehidrogenase (ALDH). .Peningkatan konsumsi alkohol menyebabkan
akumulasi trigliserid intraselular karena peningkatan uptake asam lemak dan penurunan
oksidasi asam lemak dan sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi, dan sekresi tidak
seimbang. Kerusakan oksidatif pada membrane hepatosit terjadi karena pembentukan
senyawa reaktif oksigen, asetaldehid adalah molekul yang sangat reaktif yang berikatan
dengan protein membentuk protein-acetaldehid adducts. Adducts ini dapat bergabung dengan
aktivitas enzim spesifik, termasuk pembentukan mikrotubular dan penangkapan protein hati.
Bersama asetaldehid yang memediasi kerusakan hepatosit, senyawa reaktif oksigen tertentu
dapat menyebabkan aktivasi sel Kupffer. Sebagai hasilnya, sitokin profibrogenik diproduksi
dan menginisiasi dan mengabadikan aktivasi sel stelata, yang menghasilkan produksi kolagen
dan matriks ekstraselular yang berlebihan.
6


Jaringan ikat muncul di daerah periportal dan perisentral dan akhirnya menghubungkan triad
portal dengan vena sentralis membentuk nodul regeneratif. Nodul biasanya kecil, berukuran
1-3 mm dan ukurannya serupa.
4,8
Etanol menekan regenerasi sel hati, sehingga abstinensia
(tidak menggunakan alkohol) menyebabkan nodul regenerasi menjadi semakin meningkat ,
menghasilkan campuran mikro/makronodular atau sirosis makronodular.
8


Terjadi kehilangan hepatosit, dan bersama peningkatan produksi dan deposisi kolagen dan
destruksi hepatosit yang terus menerus, hati berkontraksi dan menyusut. Proses ini
memerlukan waktu tahunan sampai dekade.
6


2. Sirosis post-nekrotik (akibat virus hepatitis B atau C)
Dari pasien yang terpajan virus hepatitis C (HCV), hampir 80% berkembang menjadi
hepatitis C kronis, dan sekitar 20-80% menjadi sirosis dalam waktu 20-30 tahun. Kebanyakan
dari pasien ini juga mengonsumsi alkohol, dan insiden murni dari dari sirosis karena hepatitis
C belum diketahui. Virus hepatitis C adalah virus non-sitopatik, dan kerusakan hati
kemungkinan karena dimediasi oleh imun.

Progresi penyakit hati karena hepatitis C kronis dilihat dari adanya fibrosis di daerah portal
dengan bridging fibrosis dan pembentukan nodul, dan akhirnya memuncak pada sirosis. Hati
menjadi kecil dan mengerut disertai campuran sirosis mikro dan makronodul yang terlihat
pada biopsi hati. Selain terlihat peningkatan fibrosis, juga ditemukan infiltrat inflamasi di
8

daerah portal bersama dan kadang-kadang terdapat cedera lobular hepatoselular dan
inflamasi. Pada pasien dengan HCV genotip 3, sering terjadi steatosis.

Temuan yang sama didapatkan pada pasien dengan hepatitis B kronis. Dari pasien yang
terekspos hepatitis B, 5% berkembang menjadi hepatitis B kronis, dan kira-kira 20% menjadi
sirosis. HbsAg dan HbcAg akan positif, dan dapat ditemukan ground glass hepatosit yang
menunjukkan adanya HbsAg .


3. Sirosis karena hepatitis autoimun dan perlemakan non-alkoholik
Penyebab lain dari sirosis post-nekrotik meliputi hepatitis autoimun dan sirosis karena
steatohepatitis non alkoholik. Banyak pasien dengan hepatitis autoimun muncul bersama
dengan sirosis yang sudah ada. Secara khas, pasien ini tidak responsif terhadap terapi
imunosupresif seperti glukokortikoid atau azatioprin. Pada situasi ini, biopsi hati tidak
menunjukkan infiltrat inflamasi yang signifikan. Diagnosis kasus ini membutuhkan marker
autoimun yang positif seperti antinuclear antibody (ANA) atau antismooth-muscle antibody
(ASMA). Ketika pasien dengan hepatitis autoimun bersama dengan sirosis dan inflamasi
aktif, disertai peningkatan enzim hati, dapat dipikirkan penggunaan terapi imunosupresif.

Dari hasil penelitian, ditemukan peningkatan pasien dengan steatohepatitis non alkoholik
akan berkembang menjadi sirosis. Karena banyaknya kasus obesitas sekarang ini, semakin
banyak pasien yang diidentifikasi memiliki perlemakan hati non-alkoholik. Dari sejumlah
pasien ini, sejumlah orang mempunyai steatohepatitis non alkoholik dan dapat berkembang
menjadi fibrosis dan sirosis.

Selama beberapa tahun yang lalu, ditemukan peningakatan bahwa pasien yang didiagnosis
menderita sirosis kriptogenik pada dasarnya memiliki setatohepatitis non alkoholik.
6
Pada
pemerikasaan biopsi ditemukan peradangan campuran di parenkim hati berisi neutrofil dan
sel mononukleus, hepatosit yang mengandung hialin Malory.
8


4. Sirosis biliaris
Sirosis biliaris mempunyai gamabran patologis yang berbeda dari sirosis alkoholik arau
sirosis post-hepatitis, walaupun manifestasi akhirnya pada penyakit hari sama. Penyebab
9

utama dari sindrom kolestasis kronis adalah sirosis biliaris primer, kolangitis autoimun,
kolangitis sklerosing primer, dan idiopatik ductopenia dewasa.
a. Sirosis biliaris primer
Sirosis biliaris primer terdapat pada 100-200 individu tiap juta, dengan lebih banyak pada
wanita dan usia pertengahan sekitar 50 tahunan ketika didiagnosis. Penyebabnya belum
diketahui, gambarannya adalah inflamasi portal dan nekrosis kolangiosit pada duktus biliaris.
Gambaran kolestatis dan sirosis biliaris ditandai dengan peningkatan level bilirubin dan
kegagalan hati yang progresif.

Transplantasi hati adalah terapi piluhan untuk pasien dengan sirosis dekompensata karena
sirosis biliaris primer. Dari banyak pilihan terapi, baru asam ursodeoksikolat yang diterima
karena memperlambat progresi penyakit.

Antimitokondrial antibodi (AMA) positif pada 90% pasien dengan sirosis bilier primer.
Autoantibodi ini mengenali protein membrane intermitokondrial yang mengandung enzim
piruvat dehydrogenase complex (PDC), rantai cabang 2-oxacoid dehydrogenase complex,
dan 2-oxogluterate dehydrogenase complex. Autoantibodi ini tidak patogenik, tapi
merupakan marker yang berguna untuk pembuatan diagnosis.

b. Kolangitis sklerosing primer
Seperti pada sirosis biliaris primer, penyebab dari kolangitis sklerosing primer juga belum
diketahui. Kolangitis sklerosing primer merupakan sindrom kolestasis kronis yang ditandai
dengan inflamasi yang difus dan fibrosis duktus biliaris. Proses patologis ini menghasilkan
obliterasi kedua duktus biliaris, intra dan ekstrahepatik, sehingga menyebabkan sirosis
biliaris, hipertensi portal, dan gagal hati. Penyebab utamanya belum pasti, namun diduga
terkait infeksi bakteri dan virus, toksin, predisposisi genetik, dan mekanisme imunologik.

Perubahan patologis dapat terjadi pada kolangitis sklerosing primer yang menunjukkan
proliferasi seperti ductopenia dan kolangitis fibrosa (perikolangitis). Seringkali, perubahan
biopsi liver tidak patognomonik dan diagnosis kolangitis sklerosis primer harus mencakup
visualisasi (imaging) duktus biliaris. Fibrosis periductal kadang-kadang terlihat pada
spesimen biopsi dan dapat membantu dalam membuat diagnosis. Selama penyakit
berlangsung, sirosis biliaris adalah manifestasi tahap akhir dari kolangitis sklerosing primer.
6


10

5. Sirosis kardiak
Pasien dengan gagal jantung kanan dalam waktu lama dapat berkembang menjadi cedera hati
kronis dan sirosis kardiak. Pada gagal jantung kanan dalam waktu lama, terdapat
peningkatan tekanan vena melalui vena cava inferior dan vena hepatika, ke sinusoid-sinusoid
hati, yang menjadi dilatasi dan terisi oleh darah. Hati menjadi membesar dan bengkak, dan
pada kongesti pasif dalam waktu lama, dan relatif ischemia karena sirkualsi yang tidak baik,
hepatosit sentrolobuler dapat menjadi nekrosis, menuju ke fibrosis perisentral. Pola fibrosis
ini dapat meluas ke perifer sampai terjadinya sirosis.

Gejala klinisnya, pasien bisanya memiliki gagal jantung karena kongesti dan pembesaran
hati. Terjadi peningkatan level ALP, dan peningkatan AST lebih tinggi dari ALT.
6



Manifestasti Klinis
Pasien dapat asimptomatik atau muncul dengan gejala konstitusional yang tidak spesifik, atau
gejala gagal hati, komplikasi hipertensi portal, atau keduanya.
Gejala yang tidak spesifik seperti kelelahan, mual, muntah, anoreksia, perubahan pola tidur,
perubahan libido, nyeri perut, dan malaise.
2


Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat 2 tipe gangguan fisiologis: gagal
hepatoselular dan hipertensi portal.
1. Manifestasi gagal hepatoselular
Terjadi ikterus pada 60% penderita dan biasanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus
lebih sering terjadi. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis karena hormon korteks
adrenal, testis, dan ovarium diinaktivasi di hati, sehingga terjadi peningkatan hormon-hormon
tersebut dalam tubuh. Akibatnya, terjadi spider naevi pada kulit, atrofi testis, ginekomastia,
alopesia pada dada dan aksila, dan eritema palmaris, karena kelebihan estrogen dalam
sirkulasi.
Gangguan hematologik yang seing terjadi antara lain kecenderungan perdarahan karena masa
proterombin memanjang akibat kurangnya sintesis faktor pembekuan oleh hati. Anemia,
leucopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya
membesar (splenomegali), tapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi
sehingga dapat terjadi pansitopenia. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah
11

defisiensi folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan
peningkatan hemolisis eritrosit.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan terjadi karena hipoalbuminemia
dan retensi daram dan air akibat kegagalan hati menginaktifkan aldosteron dan hormon
antidiuretik. Fetor hepatikum (bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita, terutama
koma hepatikum) terjadi karena ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin.
Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatik atau
koma hepatikum, akibat kelebihan ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin.
Berkembangnya ensefalopati hepatik sering merupakan keadaan terminal sirosis.
9


2. Manifestasi hipertensi portal
Hipertensi portal secara langsung menyebabkan 2 komplikasi utama dari sirosis, yaitu
perdarahan varises dan asites. Selain itu, hipertensi portal juga menyebabkan splenomegali
dan hipersplenisme.
Hipertensi portal didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan vena
porta hepatika > 5 mmHg. Keadaan ini disebabkan oleh kombinasi 2 proses hemodinamik
yang berlangsung terus menerus, yaitu:
1. Peningkatan resistensi intrahepatik terhadap pasase aliran darah melewati hati karena
adanya sirosis dan nodul regeneratif, dan
2. Peningkatan sekunder aliran darah splanknikus karena vasodilatasi dari pembuluh
darah splanknikus.
6,9

Kombinasi kedua faktor ini menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal yang akhirnya
merangsang timbulnya aliran kolateral untuk menghindari obstruksi hepatik sehingga terjadi
varises. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat
pada esofagus bagian bawah sehingga terjadi varises esofagus. Perdarahan dari varises ini
sering menyebabkan kematian. Selain itu, sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial
dinding abdomen, sehingga mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (caput
medusae). Sistem vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena
berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid interna. Namun perdarahan
dari hemoroid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di daerah ini tidak setinggi
tekanan pada esofagus karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada
sirosis terjadi karena kongesti pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih
tinggi pada vena lienalis. Peningkatan tekanan portal juga menyebabkan peningkatan tekanan
12

hidrostatik pada kapiler usus dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbunemia
sehingga menyebabkan oedem dan asites.
9


Komplikasi
1. Perdarahan saluran cerna
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan paling berbahaya pada sirosis
adalah perdarahan dari varises esofagus yang merupakan penyebab dari sepertiga kematian.
Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi
gangguan ini meningkat), dan kecenderungan perdarahan akibat masa perdarahan yang
memanjang dan trombositopenia. Perdarahan saluran cerna ini bermanifestasi pada
hematemesis dan melena.

2. Asites
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Beberapa faktor yang
turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis hati antara lain:
1. Hipertensi portal
2. Hipoalbuminemia
3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati
4. Retensi natrium
5. Gangguan ekskresi air
Mekanisme primer penginduksi hipertensi portal adalah resistensi terhadap aliran darah
melalui hati. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam jaringan pembuluh
darah intestinal. Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis protein karena sel-sel
hati yang terganggu akibat sirosis. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan
osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat dengan tekanan
osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh darah intestinal menyebabkan terjadinya
transudasi cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya
Starling. Dalam hal asites, ruang interstisial yang dimaksud adalah peritoneum. Hipertensi
porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik, yang dialirkan dari hari ke rongga
peritoneum. Mekanisme ini dapat turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam
cairan asites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan rongga
peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskuler ke ruang
peritoneum. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air juga merupakan faktor penting dalam
berlanjutnya asites karena hiperaldosteronisme sekunder.
13

Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan yang nyata
dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma terdesak naik.

3. Ensefalopati hepatik (koma hepatikum)
Ensefalopati hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita
penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot, dan flapping
tremor yang disebut sebagai asteriksis.
Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikasi otak disebabkan oleh isi usus yang
tidak mengalami metabolismee dalam hati, karena kerusakan sel hati akibat nekrosis atau
terdapat pirau yang memungkinkan darah portal mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah
besar tanpa melewati hati. Metabolit yang menyebabkan intoksikasi pada otak adalah NH3
yang merupakan hasil pemecahan protein oleh bakteri pada saluran cerna dan seharusnya
diubah menjadi urea oleh hati. NH3 merupakan salah satu zat yang bersifat toksik dan
diyakini dapat mengganggu metabolisme otak.
Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang
menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis,
perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih
bersifat reversibel. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma biasanya dibagi dalam
4 stadium:
Stadium 1: sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, penampilan tidak terawatt baik,
pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, tidak mampu
memusatkan perhatian, tidak kooperatif, banyak tidur, sedikit letargi.
Stadium 2: perubahan perilaku yang tidak semestinya, pengendalian sfingter yang tidak dapat
terus dipertahankan, kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas,
perubahan sifat dan kepribadian, letargi, apraksia konstitusional (tidak dapat menulis dan
menggambar dengan baik)
Stadium 3: mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan perilaku, tidur sepanjang
waktu, elektroensefalogram (EEG) mulai berubah pada stadium 2 dan menjadi abnormal pada
stadium 3 dan 4, prognosis fatal.
Stadium 4: koma yang tidak dapat dibangunkan, timbul refleks hiperaktif dan tanda
Babinsky, adanya fetor hepatikum (merupakan tanda prognosis buruk dan intensitas baunya
sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan).
9



14

4. Peritonitis bakterial spontan
Peritonitis bakterial spontan adalah komplikasi umum dan parah dari asites, ditandai dengan
ainfeksi spontan pada cairan asites tanpa sumber dari intraabdomen. Translokasi bakteri
adalah mekanisme yang diasumsikan pada berkembangnya peritonitis bakterial spontan,
dengan flora usus yang melewati usus kemudian masuk ke nodus limfe mesenterikus, yang
mengarah pada bakteremia dan masuk ke cairan asites. Organisme yang paling sering adalah
Escherichia coli dan bakteri usus lain, dan dapat juga ditemukan bakteri gram positif seperti
Streptococcus viridans, Staphococcus aureus, and Enterococcus sp. Jika terdapat lebih dari 2
organisme, harus dipikirkan kemungkinan peritonitis bakterial sekunder karena perforasi.
Diagnosis peritonitis bakterial spontan dibuat ketika jumlah nautrofil pada cairan sampel
>250/mm3.
.
5. Sindrom hepatorenal
Sindrom hepatorenal adalah bentuk dari gagal ginjal fungsional tanpa kelainan ginjal
patologis yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis berat atau gagal hati akut.
Adanya gangguan pada sirkulasi arteri renalis pada pasien dengan sindrom hepatorenal, yaitu
peningkatan resistensi vascular (vasodilatasi splanknikus) dibarengi penurunan resistensi
vaskular sistemik (vasokonstriksi sistemik) menyebakan penurunan hebat aliran darah ginjal,
terutama korteks.. Alasan mengapa terjadi vasokonstriksi arteri renalis sepertinya
multifaktorial dan belum dapat dipahami. Diagnosis dibuat bila ada asites masif pada pasien
yang mengalami peningkatan kreatinin secara progresif. Sindrom hepatorenal tipe 1 ditandai
dengan ketidakseimbangan fungsi renal yang progresif dan penurunan bersihan kreatinin
yang signifikan selama 1-2 minggu. Sindrom hepatorenal tipe 2 ditandai dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR) karena penurunan perfusi ginjal akibat kerusakan hati lanjut
dengan peningkatan kadar serum kreatinin, namun keadaan ini lebih stabil dan diasosiasikan
dengan hasil yang lebih baik daripada tipe 1.
6
Fungsi ginjal akan pulih jika gagal hati dapat
diatasi. Gagal ginjal dapat mempercepat kematian pada pasien dengan penyakit hati fulminan
akut atau penyakit hati kronis lanjut.
8


Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan, dan pengobatan komplikasi.

15

Pengobatan sirosis kompensata
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya
menghentikan alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati.
Pada hepatitis autoimun, dapat diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis, flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi
normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati non-alkoholik, penurunan berat badan akan mencegah terjadinya
sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Pada hepatitis C kronis, kombinasi interferon denga ribavirin merupakan terapi
standar.
Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik saat ini lebih mengarah pada
peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, sel stelata akan ditempatkan
sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik sebagai terapi utama untuk
mengurangi aktivitasnya. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangna aktivitas sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen namun belum terbukti dalam
penelitian sebagai antifibrosis dan sirosis. Metotreksat dan viramin A juga dicobakan
sebagai antifibrosis.

Pengobatan sirosis dekompensata
Varises esofagus: sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta
bloker (propanolol). Waktu perdarahan akut, dapat diberikan preparat somatostatin
atau okreotide, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Asites: tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak
5.2 gram atau 90 mmol/ hari, dikombinasi dengan obat-obatan diuretic. Awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Repsons
diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0.5 kg.hari tanpa ada edema
kaki, atau 1 kg/hari bila ada edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat
dapat dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg.hari. pemberian
furosemid dapat ditingkatkan dosisnya bila tidak ada respons (dosis maksimal 160
mg.hari). parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites dapat
16

mencapai 4-6 Liter dan dilindungi dengan pemberian albumin IV untuk menghindari
ketidakseimbangan elektrolit seperti hipovolemia, hiponatremia, hipokalemia,
ensefalopati hepatikum dan gagal ginjal.
5

Ensefalopati hepatik: pengobatan awal adalah menyingkirkan semua protein dari diet
sampai 0.5g/kg BB per hari dan menghambat kerja bakteri terhadap protein usus.
Neomisin (suatu antibiotik yang tidak diabsorpsi)dengan dosis 4-12 g/hari digunakan
untuk mengurangi bakteri usus. Laktulosa membantu pasien mengeluarkan ammonia
yang kemudian diekskresi dalam feses.
5,9

Peritonitis bakterial spontan: pemberian antibiotik seperti sefotaksim intravena,
amoksilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal: mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur
keseimbangan garam dan air, tranplantasi hati.

Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimptomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu
pemeriksaan rutin kesehatan atau waktu autopsy. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika
diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati
alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa perlemakan
hati akan mengakibatkan steatohepatitis non alkoholik dengan prevalensi 4% dan berakhir
dengan sirosis hari dengan prevalensi 0.3%. prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis non
alkoholik dilaporkan 0.3% juga.

Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa
pusat pendidikan saja. Di RS Dr.Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1%
dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004, tidak
dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819
(4%) dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam.
5


Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya
kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.

17

Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani
operasi. Lihat tabel 2. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, C. Klasifikasi Child-Pugh
berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangusngan hidup selama satu tahun untuk
pasien dengan Child A 100%, Child B 80%, dan Child C 45%.

Tabel 2. Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan Fungsi Hati
Derajat Kerusakan Minimal Sedang Berat
Bil.serum
(mu.mol/dl)
<35 35-50 >50
Alb.serum (gr/dl) >35 30-35 <30
Asites nihil Mudah dikontrol Sukar
PSE/ensefalopati Nihil minimal Berat/koma
Nutrisi sempurna Baik Kurang/kurus

Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease, digunakan untuk
pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.
5


Preventif
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian sirosis hati antara
lain:
Menghindari konsumsi alkohol
Menurunkan berat badan pada pasien obesitas
Pemberian vaksin Hepatitis B untuk mencegah terinfeksi virus Hepatitis B
Tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
Tidak menggunakan narkoba

Karsinoma Hepatoselular (Hepatocellular Carcinoma/HCC)
Pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil
anamnesis ditemukan adanya nyeri tumpul yang konstan dan hebat di kuadran atas abdomen,
penurunan berat badan, riwayat hepatitis, riwayat sirosis, riwayat konsumsi alkohol
berlebihan, riwayat penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang melalui jarum suntik,
dan lesu. Keluhan lain yang biasa ditemukan adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau
18

diare. Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan diafragma, atau
karena sudah ada metastasis di paru.

Pada pemeriksaan fisik, temuan tersering adalah hepatomegali dengan atau tanpa bruit
hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam, dan atrofi otot.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain pemeriksaan penanda tumor alfa
fetoprotein (AFP) dan USG abdomen. Alfa fetoprotein adalah protein serum normal yang
disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.
Kadar AFP meningkat pada 60-70% pasien HCC. Rentang normal AFP serum adalah 0-20
ng/mL. peningkatan kadar AFP >400 ng/mL adalah diagnostic atau sangat sugestif untuk
karsinoma hepatoselular. Pemeriksaan USG untuk neoplasma hati memiliki sensitivitas 70-
80%, dengan gambaran khas pada HCC berupa gambaran mosaik, formasi septum, bagian
perifer sonolusen (ber-halo), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik,
serta penyangatan eko posterior. HCC yang diameternya kurang dari 2 cm mempunyai
gambaran bentuk cincin yang khas.


Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja ditegakkan bila ada tumor dengan diameter lebih dari 2 cm disertai penyakit
hati kronis, dengan satu gambaran radiologis yang menunjukkan hipervaskularisasi arterial
dan penurunan aliran vena, serta kadar AFP serum 400 ng/mL, atau jika lesi kurang dari 2
cm disertai dua gambaran radiologis secara bersamaan yang menunjukkan hipervaskularisasi
arterial dan penurunan aliran vena. Diagnosis histologi diperlukan bila tidak ada
kontraindikasi untuk lesi berdiameter. 2 cm dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan
pilihan terapi.
Untuk tumor berdiameter kurang dari 2 cm, sulit untuk menegakkan diagnosis secara non-
invasif (dengan radiologi) karena berisiko tinggi terjadinya diagnosis negatif palsu akibat
belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul.
4,5


Etiologi
Karsinoma hepatoselular (hepatocellular carcinoma=HCC) merupakan tumor ganas primer
pada hati yang berasal dari hepatosit.
5
Ada hubungan etiologis yang kuat antara HCC dengan
19

infeksi virus hepatitis B kronis dan virus hepatitis C, sirosis alkoholik, dan penyebab lain dari
penyakit hari kronis, dan pajanan terhadap diet yang mengandung aflatoksin.

Faktor risiko utama
1. Sirosis hati
Sirosis hati merupakan faktor risiko utama HCC di dunia dan melatarbelakangi lebih dari
80% kasus HCC. Setiap tahun, 3-5% dari pasien sirosis hati akan menderita HCC, dan HCC
merupakan penyebab utama kematian pada sirosis. Otopsi pada pasien sirosis hati
menunjukkan 20-80% telah menderita HCC. Pada sirosis hepatis makronodul, 60-80%
ditemukan adanya HCC, dan pada sirosis mikronodul, 3-10% ditemukan adanya HCC.
Prediktor utama HCC pada sirosis hati adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan AFP
serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.

2. Virus hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara
epidemiologis, klinis, maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik
HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi
HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik-HBV berinteraksi
dengan gen hati, yang menyebabkan perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel
yang aktif bereplikasi dan menentukan tingkat karsinogenesis hati.

3. Virus hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor risiko penting dari
HCC. Di daerah hiperendemik HBV, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC
dengan HBsAg negatif daripada HbsAg positif. Juga ditemukan prevalensi HCV RNA dalam
serum dan jaringan lebih tinggi pada pasien HCC dengan HbsAg negatif dibandingkan
dengan yang HbsAg positif. Hal ini menujukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam
pathogenesis HCC pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit
hati akibat transfusi darah dengan anti HCV positif, interval antara saat transfusi sampai
terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga
melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
5


4. Aflatoksin
20

Aflatoksin merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus. Ada paling sedikit 13 tipe aflatoksin, dimana aflatoksin B1 (AFB1)
dianggap paling toksik.
4
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen
utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA.
Salah satu mekanisme hepato-karsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi
mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Beberapa penilitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan adanya korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam
diet dengan morbiditas dan mortalitas HCC.

5. Obesitas, alkohol, dan Diabetes Mellitus
Obestitas dan alkohol berkaitan dengan meningkatnya insidensi perlemakan hati yang akan
menyebabkan sirosis hati yang meningkatkan risiko timbulnya HCC. Diabetes mellitus
dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth faktors (IGFs) yang
merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.

Faktor risiko lain
Selain yang telah disebutkan di atas, kondisi lain yang merupakan faktor risiko HCC namun
lebih jarang dibicarakan/ditemukan antara lain:
1. Penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun, sirosis biliaris primer)
2. Penyakit hati metabolic (hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin alfa-1,
penyakit Wilson)
3. Kontrasepsi oral
4. Senyawa kimia (thorotrast, vinil klorida, nitrosamine, insektisida organoklorin, asam
tanik)
5. Tembakau (masih kontroversial)
5



Patogenesis
Aktivasi onkogen dan inaktivasi tumor supresor gen memainkan peranan penting dalam
karsinogenesis. Aktivasi onkogen terjadi melalui aktivasi transkripsional, amplifikasi gen,
atau aktivasi gen yang mutasi. Inaktivasi tumor supresor gen dapat terjadi melalui delesi
genom, translokasi, mutasi, melalui modifikasi epigenetik seperti metilasi promoter. Sel
somatik manusia normal memiliki masa hidup dan akan mengalami penuaan sel yang dapat
diprediksi setelah mengalami beberapa kali pembelahan. Penuaan sel ini dipicu 2 mekanisme:
21

1. Induksi siklus sel akibat aktivasi tumor supresor gen, p53 dan pRb
2. Pemendekan telomer setiap pembelahan sel
Ketika mekanisme pengaturan sel ini tidak diaktivasi, maka pembelahan sel yang tidak
terkontrol akan menjadi kanker. Sel yang memiliki masa hidup lebih lama dari sel normal
karena regulasi faktor pertumbuhan ataupun karena cedera sel kronis dan regenerasi,
memiliki kecenderungan mengalami perubahan genom yang mengarah pada aktivasi onkogen
dan inaktivasi tumor supresor gen. Pajanan lingkungan terhadap karsinogen juga dapat
menyebabkan aktivasi onkogen atau inaktivasi tumor supresor gen. Lihat gambar 2.










Hipermetilasi pada gen promoter p16 adalah perubahan paling awal pada dari perkembangan
karsinoma hepatoselular. Pada daerah dengan pajanan makanan yang mengandung aflatoksin
tinggi, perkembangan mutasi pada gen p53 terjadi awal. Pada daerah dengan pajanan
aflatoksin rendah, kelainan jalur p53 dan dan pRb terjadi lebih lambat dalam
hepatokarsinogenesis.

Pada sirosis hati, nodul makroregeneratif dengan displasia hepatosit diindentifikasi lesi
praneoplastik dari HCC. Secara histologi, lesi displasia diklasifikasikan sebagai lesi dengan
sel kecil dan sel sel besar atau hiperplasia adenomatous. Bukti yang ada menyebutkan bahwa
displasia sel kecil dan hiperplasia adenomatous adalah lesi praneoplastik predominat.
Sayangnya, penelitian yang ada masih cukup jauh dari pengertian komprehensif tentang
karsinoma hati.
4



Karsinoma
hepatoselular
metastasis
Disfungsi Rb Mutasi p53
Karsinoma
hepatoselular
p21
WAF4/CIp1

Diet aflatoksin
Metilasi DNA yg
menyimpang
Inaktivasi
P16
INK4

Hepatitis kronis
dan sirosis
Hati normal
HBV, HCV,
Alkohol
Mutasi p53
Gambar 2. Jalur molekular mayor
hepatokarsinogenesis
4

22

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat
jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan
tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien sirosis hati yang makin memburuk
kondisinya, disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas, atau teraba pembangkakan local di
hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites,
perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat, atau pasien penyakit hati
kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara
mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan
lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa demam.

Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi, diare, sesak nafas.
Sebagian besar pasien HCC sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium
kompensasi, maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise,
anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus.

Temuan tersering pada HCC adalah hepatomegali, splenomegali, asites, ikterus demam, dan
atrofi otot. Sebagian dari pasien yang dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises
esofagus atau peritonitis bacterial spontan ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu laporan
serial nekrospi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah menderita asites hemoragik,
yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10-40% pasien dapat ditemukan
hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril
koenzim-A reduktase, karena tiadanya kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.

Komplikasi
Komplikasi dari karsinoma hepatoselular pada umumnya sama dengan kanker lain, yaitu
metastasis. Metastasis intrahepatik dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe atau infiltrais
langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika, vena porta, atau vena
cava. Dapat terjadi metastasis pada varises esofagus dan paru. Metastasis sistemik seperti ke
kelenjar getah bening di porta hepatis tidak jarang terjadi, dapat juga sampai di mediastinum.
Bila sampai di peritoneum, dapat menimbulkan asites hemoragik, yang berarti sudah
memasuki stadium terminal.


23

Penatalaksanaan
Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor,
serta derajat pemburukan hepatik.

1. Terapi non-medikamentosa
Meliputi terapi reseksi hepatik, transplantasi hati, terapi TACE (transarterial
emolozation/chemo embolization). Reseksi hepatic dilakukan pada pasien dalam kelompok
non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal. Parameter yang digunakan untuk
seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan
derajat hipertensi portal saja. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis
ekstrahepatik, HCC difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang
dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi.

Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberiikan kemungkinan untuk
menyingkirkan kemungkinan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami
disfungsi. Dilaporkan angka ketahan hidup 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan
pengobatan antiviral seperti lamivudin, ribavirin, dan interferon, angka ketahan hidup 5 tahun
mencapai 92%.
Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol, asam asetat) atau
dengan memodifikasi suhu (radiofrekuensi, gelombang mikro, laser dan krioablasi). Injeksi
etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi,
efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi,
nekrosis, oklusi vascular dan fibrosis. Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka
keberhasilan yang lebih itnggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor > 3cm
namun tidak berpengaruh pada harapan hidup pasien. Selain itu RFA lebih mahak dan efek
sampingnya lebih banyak dibandingkan PEI.

2. Terapi medikamentosa
Meliputi imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, okreotide,
kemoterapi arterial atau sistemik. Namun terapi ini masih memerlukan penelitian lanjut untuk
mendapatkan penilaian yang meyakinkan.



24

Epidemiologi
HCC meliputi 5.6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta menempati peringkat
kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia, dan
urutan ketiga dari kanker saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung.
Tingkat kematian HCC ada di urutan kedua setelah kanker pancreas. Tingkat kekerapan
tertinggi HCC( lebih dari 10 kasus per 100.00 penduduk) ada di Asia Timur dan Tenggara
serta di Afrika Tengah, yang diketahui sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis
virus.
5


Prognosis
Untuk melihat prognosis pada kanker, digunakan staging. Dalam staging klini HCC terdapt
pemilahan atas kelompok-kelompok yang prognosisnya berbeda berdasarkan parameter
klinis, biokimia, dan radiologis. Sistem staging yang ideal seharusnya juga mencantumkan
penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi hati, keadaan umum pasien, serta
keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien sirosis yang juga mengurangi
harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan untuk menilai status fungsional hati dan
prediksi prognosis pasien sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, tetapi sistem
ini tidak ditujukan untuk penialian staging HCC. Beberapa sistem yang dapat dipakai untuk
staging HCC dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Sistem klasifikasi berdsarkan derajat prognosis untuk karsinoma
hepatoselular
4

Klasifikasi Parameter
BCLC Status performansi, gejala konstitusional, invasi vaskular,
penyebaran ekstrahepatik
CLIP Stage Child-Turcott-Pugh, ukuran tumor atau nodularitas, invasi
vaskular, kadar -fetoprotein 400 mg/ml
GETHC Indeks Karnofsky <80%, bilirubin 3 mg/dl, kadar -fetoprotein
35 mg/ml, alkali fosfatase >2x BANN, invasi vaskular
Okuda Asites, ukuran tumor < 50% dari hati, albumin <3 g/L, bilirubin > 3
mg/dL.
Keterangan: BCLC, Barcelona Clinic Liver Cancer; CLIP, Cancer of the Liver Italian
Program; GETCHC, Group dEtude et de Traitement du Carcinoma Hepatocellulaire;
BANN, batas atas nilai normal.
25

Preventif
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah HCC antara lain:
Menghindari konsumsi alkohol
Menurunkan berat badan pada pasien obesitas
Pemberian vaksin Hepatitis B untuk mencegah terinfeksi virus Hepatitis B
Tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
Tidak menggunakan narkoba
Menghindari diet yang mengandung aflatoksin (pada kacang-kacangan yang terinfeksi
jamur Aspergillus)

Hepatitis C

Pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis, ditanyakan riwayat penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang melalui
jarum suntik, riwayat transfusi darah, riwayat sirosis, lesu, mual, bila ada ikterus ditanyakan
onsetnya. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan hepatomegali ringan dan nyeri tekan,
splenomegali ringan dan limfadenopati. Diperiksa juga ada atau tidaknya stigmata sirosis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain tes fungsi hati (AST, ALT), tes serologi
anti-HCV.

Diagnosis Kerja
Infeksi HVC diidentifikasi dengan memeriksa
antibodi yang dibentuk tubuh terhadap HVC (anti
HCV). Antibodi ini akan bertahan lama setelah
infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif.
Deteksi HCV RNA digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien
terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Lihat gambar 3.
Pada masa akut, terjadi peningkatan ALT, anti HCV positif dan HCV RNA positif. HCV
RNA merupakan penanda yang paling awal muncul pada infeksi akut. Pada masa kronis,
terjadi fluktuasi ALT dan HCV RNA dan anti HCV tetap positif.
5,6


Etiologi
Gambar 1. Skema laboratoris selama hepatitis C
akut menjadi kronis.
6

26

Hepatitis C adalah penyakit hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus ini
merupakan virus yang digolongkan dalam famili Flaviviridae bersama-sama dengan virus
hepatitis G, yellow fever, dan dengue, dan genus hepacivirus. HCV merupakan virus RNA
rantai tunggal, linear, berdiameter 50-60 nm, partikel sferis dengan inti nukelokapsid 33 nm.
Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar residu 3000 asam
amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiri atas protein struktural. Protein selubungnya
dapat menimbulkan antibody netralisasi. Dua pertiga dari poliproteinnya terdiri atas protein
non-struktural (dinamakan NS2,
NS3, NS4A, NS4B, dan NS5B)
terlibat dalam replikasi HCV. Lihat
gambar 4. Hanya ada satu serotype
yang dapat diidentifikasi, namun
terdapat banyak genotip dengan
distribusi yang bervariasi di seluruh dunia.

Seperti HBV, HCV diyakini terutama ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan
melalui pemakaian obat IV dan transfusi darah. Risiko penularan melalui hubungan seksual
masih menjadi pedebatan, namun efikasi dan frekuensinya rendah. Masa inkubasi berkisara
antara 15-160 hari, dengan rata-rata sekitar 50 hari. Infeksi yang berkaitan dengan HCV
(maupun HBV) melalui transfusi darah tidak lagi menjadi masalah utama karena semua darah
menjalani pemeriksaan sebelum transfusi. Namun, HCV merupakan sebagian besar penyebab
kasus hepatitis yang berkaitan dengan transfusi. Transmisi melalui maternal-neonatal efikasi
dan frekuensinya rendah dan transmisi melalui fekal-oral tidak terbukti
. 5,9

Patogenesis
Kerusakan sel hati akibat HVC atau partikel virus secara langusng masih belum jelas. Namun
beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan
sel-sel hati. Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh HVC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif
lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati, tetapi tidak
bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik HVC sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus menerus, sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang
ada semakin sedikit, sehingga mengarah pada kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.
5


Gambar 2. Organisasi genom virus Hepatitis C dan 3000 asam aminonya.
6

27

Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronis dapat ditemukan proses inflamasi
kronis berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal, yang
lebih lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan
bridging necrosis. Gamabaran yang agak khas untuk infeksi HVC adalah agregat limfosit di
lobulus hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat HVC.
4,5


Manifestasi klinis
Umumnya infeksi akut HVC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-
30% kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26
minggu) setelah terjadinya paparan. Gejala yang terlihat pada infeksi akut ini sama dengan
virus hepatitis A dan B, yaitu malaise, mual, ikterus, ALT meninggi beberapa kali di atas
batas atas nilai normal. Infeksi ini akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan seringkali
tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Dari pasien
hepatitis C kronis, 15-20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu 20-30 tahun.

Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik maupun
laboratorik, kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dengan ALT selalu normal, 18-
20% sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan pada pasien yang mengalami
peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat.

Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor risiko, yaitu:
1. Konsumsi alkohol
2. Ko-infeksi dengan HBV
3. Ko-infeksi dengan HIV
4. Jenis kelamin laki-laki
5. Usia tua saat terjadi infeksi
Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap
tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun hal ini amat jarang
terjadi.
5


Komplikasi
Komplikasi pada infeksi HCV antara lain:
1. Terbentuknya autoantibodi, seperti ANA, ASMA, dan antibody anti-tiroid pada
sekitar 40-65% pasien dengan infeksi HCV kronis
28

2. Kelainan ginjal, seperti vaskulitis sekunder yang menyebabkan krioglobulinemia,
proteinuria, hematuria mikroskopik, gagal ginjal akut, atau sindrom nefrotik. (Diduga
karena penumpukan kompleks imun pada glomerulus)
4,6

3. Kelainan endokrin, seperti diabetes mellitus tipe II dan tiroiditis autoimun
4. Kelainan rematologi, seperti krioglobulinemia, vaskulitis, sicca symptoms, mialgia,
arthritis, dan fibromyalgia.
5. Lesi pada kulit dan mukosa seperti lichen planus dan oral lichen planus.
6. Disfungsi jantung, seperti hipertrofi kardiomiopati, dialtasi kardiomiopati, dan
aritmia.
7. Limfoma hepatic primer, seperti imunositoma, limfoma zona marginal, limfoma sel
besar difus.
8. Karsinoma hepatoselular. Faktor risiko perkembangan infeksi HCV menjadi HCC
yaitu usia di atas 60 tahun, jenis kelamin laki-laki, pengguna alkohol, koinfeksi
dengna HBV, porfiria kutanea tarda, peningkatan jumlah Fe hepatik, dan sirosis
parah.
9. Kolangiokarsinoma.
4


Penatalaksanaan
Pengobatan hepatitis C kronis adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Bila
genotype HVC adalah genotip 1 dan 4, terapi diberikan selama 48 minggu dan bila genotype
2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu. Kontaindikasi terapi interferon dan
ribavirin ini adalah pasien dengna umur > 60 tahun, Hb < 10 g/dL, leukosit < 2500 /uL,
trombosit < 100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, adanya hipertiroid, adanya
gangguan ginjal.

Pada awal pemberian interferon dan ribavirin, dilakukan pemantauan klinis, laboratoris (Hb,
leukosit, trombosit, asam urat, dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan
setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb <8 g/dL, leukosit <1500/uL, neutrofil
<500/uL, trombosit < 50.000/uL, depresi berat yang ridak teratasi dengan pengobatan anti-
depresi, atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.

Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2-3 kali seminggu dengan dosis 3
juta unit subkutan setiap kali pemberiam. Untuk interferon yang telah diikat dengan poly-
ethylene-glycol (Peg-interferon), diberikan setiap minggu dengan dosis 1.5 ug/kgBB/kali
29

(untuk Peg-interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-interferon 40 KD). Pemberian
interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Dosis pemberian ribavirin berdasarkan berat badan
BB pasien Dosis
<50 kg 800 mg setiap hari
50-70 kg 1000 mg setiap hari
>70 kg 1200 mg setiap hari, dibagi dlm 2 kali pemberian

Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA
secara kualitatif, untuk mengetahui apakah HVC resisten terhadap pengobatan yang tidak
akan bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan interferon dan tidak memerlukan
pemeriksaan HCV RNA 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah
pengobatan dihentikan dengan memeriksa HCV RNA kualitatif. Beberapa peneliti
menganjurkan pemeriksaan HCV RNA kuantitatif 12 minggu setelah terapi dimulai untuk
menentukan prognosis keberhasilan terapi, dimana prognosis dikatakan baik bila HCV RNA
turun > 2log.
5


Epidemiologi
Infeksi HCV didapatkan diseluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang di seluruh
dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi HVC berbeda-beda di seluruh dunia. Di Indonesia belum
ada resmi mengenai infeksi HVC, tetapi laporan dari lembaga transfusi darah mengatakan
kurang lebih 2% terinfeksi HVC. Pada studi populasi umum di Jakarta, prevalensi VHC
kurang lebih 4%. Umumnya genotip yang didapatkan di Indonesia adalah genotip 1 ( 60-
70%) diikuti genotip 2 dan genotip 3. Dilaporkan adanya genotip khas untuk Indonesia yaitu
genotip 1c. Prevalensi yang tinggi didapatkan pada beberapa kelompok pasien seperti
pengguna narkoba suntik (>80%) dan pasien hemodialisis (70%). Pada kelompok pengguna
narkoba suntik, selain infeksi HVC tinggi, ko-infeksi dengan HIV juga dilaporkan tinggi
(>80%).
5
Hepatitis kronis terjadi pada sekitar 80% dari semua orang yang terinfeksi HCV,
dan sekitar 70% akhirnya berkembang menjadi sirosis hati dan kanker hati.
5,9


Prognosis
Mungkin, indikator prognosis yang terbaik untuk hepatitis C kronis adalah histology hati;
kecepatan fibrosis hati dapat lambat, moderat, atau cepat. Pasien dengan nekrosis dan
30

inflamasi ringan dengan fibrosis yang terbatas mempunyai prognosis yang baik dan sedikit
progresi ke sirosis. Sebaliknya, pasien dengan aktivitas nekroinflamasi moderat sampai
parah, atau fibrosis termasuk septal dan bridging nekrosis, progresi ke sirosis cukup tinggi
dalam waktu 10-20 tahun. Pada pasien dengan sirosis kompensata yang dihubungkan dengan
hepatitis C, angka ketahanan hidup 10 tahun mendekati 80%, angka kematian mencapai 2-6%
per tahun, angka pasien sirosis dekompensata 4-5% per tahun, dan pada HCC, 1-4% per
tahun.
6


Preventif
Tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
Tidak menggunakan narkoba

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien Bapak T
pada skenario di atas adalah asites et causa sirosis hati. Dengan demikian, karsinoma
hepatoselular dan Hepatitis C merupakan diagnosis bandingnya. Tabel perbedaan sederhana
yang membandingkan kondisi pasien dengan diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya dapat
dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan secara sederhana kondisi pasien dengan diagnosis kerja dan banding
Simpt+PF+PN OS Asites ec Sirosis
Hati
HCC Hepatitis C
Sesak nafas + + (karena asites) + (karena tumor) -
Mual + + + +
Cepat lelah + + + +
Anoreksia + + + +
Kaki bengkak + + - -
Tampak sakit berat + + + -
Suhu afebril + + + +
Sclera kuning + + - +
Splenomegali + + - +
Perut buncit + + + -
Penurunan BB - - + +
31

Anti HVC + - +/- +/- +
Adanya tumor - - + -
Albumin + + Tidak spesifik Tidak spesifik
Globulin + + Tidak spesifik Tidak spesifik
Riwayat jarum suntik - + +/- +
Riwayat alkohol - + +/- -
Keterangan: Simp+PF+PN= gejala+pemeriksaan fisik+pemeriksaan penunjang;
HCC=Hepatocellular carcinoma; OS= orang sakit, dalam kasus ini Bapak T, 65 tahun.


Daftar Pustaka
1. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Cetakan pertama.
Jakarta: EGC; 2005.h.109-134
2. Cirrhosis. Dalam: Runge, M. S., Greganti, M.A. Netters internal medicine. Edisi ke-
2. China: Elsevier Saunders; 2009.h.457-63.
3. Sutedjo, AY. Buku saku mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium.
Edisi revisi. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Amara Books; 2009.h.93-104.
4. Yamada, T. Textbook of gastroenterology. Volume 2. Edisi ke-5. Singapore:
Blackwell Publishing Ltd: 2009. h.2256-405.
5. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., setiati, S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Cetakan pertama. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.647-91.
6. Fauci, Braunwald, Kasper, Longo. Harrisons: principle of internal medicine [e-book].
Edisi ke-17. McGraw-Hill; 2008.h.2177-8, 2213-21.
7. Mayes, P.A., Botham, K.M. Lipid transport & storage. Dalam: Murray, R.K.,
Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. Harper illustrated biochemistry. Edisi ke-
26. USA: The McGraw-Hills Companies, Inc.; 2003.h.223-4.
8. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi Robbins. Volume 2. Edisi ke-7. Cetakan
pertama. Jakarta: EGC; 2007.671-83.
9. Lindseth, Glenda N. Sirosis hati. Dalam: Price, S.A., Wilson, L.M. Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1. Edisi ke-6. Cetakan pertama. Jakarta:
EGC; 2006.h.493-501

Anda mungkin juga menyukai