Anda di halaman 1dari 8

Pemerintah Melupakan Fungsi Apoteker

Senin, 25 Februari 2013 | 17:24 WIB



JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai, pemerintah telah melupakan
peran penting apoteker, terutama dalam menyusun kerangka infrastruktur ke arah pelayanan
kesehatan semesta seperti diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).

Dalam Rakernas yang digelar di Jakarta pada tanggal 15-16 Februari dan diikuti oleh apoteker dari
seluruh Indonesia, IAI memberikan beberapa catatan kritis atas kinerja apoteker dalam dunia
kesehatan belakangan ini. Dan salah satu kesimpulan penting dari Rakernas ini adalah perlunya
dilakukan dialog dengan pemerintah untuk memastikan peranan apoteker di dalam perangkat
penunjang keberhasilan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Semesta mendapatkan porsi yang
layak.

Saat ini, apoteker masih dilihat hanya sebagai penjual obat, atau bahkan pembantu penjual obat.
Padahal, apoteker merupakan profesi kesehatan yang penting dalam mendukung pemerintah
melaksanakan amanat UU SJSN, maka dari itu peranan dan fungsinya dalam tatanan SJSN pun
harus dipertimbangkan. Bukan sekedar dilihat hanya sebagai penjual obat, ungkap Dani melalui
siaran persnya di Jakarta, Senin (25/2/2013).

Saat ini, kami apoteker belum dilihat sebagai salah satu mitra profesi kesehatan di dalam SJSN,
tambah Dani.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Dani
menjelaskan, yang dihitung dalam proporsi reimbursement yang dilakukan oleh BPJS terhadap
klaim dari pelayanan kesehatan hanyalah porsi harga obat, penggunaan alat medis dan jasa dokter
saja.

Jasa apoteker tidak diperhitungkan di dalamnya, ujarnya.

Padahal, berdasarkan pasal 108 UU No.36/2009 tentang Kesehatan, segala pelayanan kesehatan
yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker. Dani juga menjelaskan
bahwa secara profesi, apoteker dapat menunjang hasil diagnosa dari dokter dengan memberikan
pendapat dari segi efektifitas pengobatan dan kinerja dari obat itu sendiri.

Seringkali dokter kurang memahami mengenai reaksi obat yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
merupakan materi yang dikuasai oleh seorang apoteker. Dengan adanya dialog interaktif antara
dokter dengan apoteker, tentunya masyarakatlah yang akan lebih diuntungkan. Rumah sakit juga
bisa lebih efektif dalam menyusun budget pembelian obatnya, jelas Dani lagi.

Perlu sinergi

Dani juga mengemukakan pentingnya sinergi antara apoteker dan dokter. Menurutnya, profesi
apoteker menguasai berbagai hal yang terkait dengan reaksi obat, molekul dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan penatalaksanaan obat. Sedangkan bidang kedokteran mempelajari anatomi
tubuh manusia beserta penyakitnya. Komunikasi yang efektif antara kedua profesi ini dapat
memberikan masyarakat kepastian akan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, tidak hanya dalam
diagnosanya saja tetapi juga molekul obat yang cocok untuk dirinya.

Bila saja ada sinergi antara dokter yang melakukan diagnosa atas penyakit dan apotekernya
mengenai obat yang kiranya cocok untuk kesehatan pasien, tentunya akan sangat membantu
masyarakat, jelas Dani.

Selain itu, tingkat rasionalitas penggunaan obat pun akan meningkat. Masyarakat tidak perlu
mengeluarkan banyak uang untuk membeli berbagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan.
Kemudian akan ada mekanisme check and balance antara dokter dan apoteker untuk mencari obat
yang cocok.

Jadi bukan sekedar mengakomodasi pesan sponsor dari perusahaan farmasi, seperti yang sudah
sering disinyalir, tutur Dani.

Dani menjelaskan, jika profesi apoteker diberi peranan yang memadai dalam kerangka SJSN,
apoteker dapat membantu penghematan pengeluaran rumah sakit dalam hal pembelian dan
pengadaan obat. "Apoteker adalah profesi yang mempelajari mengenai obat-obatan. Kelebihan dan
kekurangan suatu molekul obat merupakan bidang yang dikuasai oleh apoteker. Karena itu, jika
apoteker diberi peran konsultatif dalam penatalaksanaan penyakit, kami akan dapat melakukan
penyortiran dari molekul-molekul obat yang lebih dibutuhkan oleh RS dengan mempelajari
demografi pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut dan jenis penyakit yang sering ditangani
oleh RS tersebut, papar Dani.


Editor :
Asep Candra







Kamis, 04 April 2013 | 15:25
Kemkes: Jumlah Apoteker Hanya 20% dari Total RS
dan Puskesmas
Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemkes) menyatakan, jumlah Puskesmas maupun Rumah Sakit (RS) yang
tersebar di Indonesia adalah 10 ribu RS dan Puskesmas sedangkan jumlah apoteker yang terdaftar di Kemkes hanya
berjumlah 1.938 orang. Kemkes menyatakan jumlah apoteker ini baru mencapai 20% dari total jumlah RS dan
Puskesmas yang ada di Indonesia.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemkes Maura Linda Sitanggang mengatakan, pada 1
Januari 2014 pemerintah akan menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Menurut dia, dengan jumlah apoteker yang masih terlalu sedikit membuat
pelayanan kesehatan tidak optimal.
Menurut Maura, Kemkes akan terus menambah jumlah apoteker dengan terus bekerja sama dengan beberapa
Universitas maupun sekolah tinggi farmasi.
Tujuan pemerintah jika BPJS Kesehatan mulai diberlakukan adalah memberikan pelayanan kesehatan terbaik,
termasuk peran apoteker, khususnya dalam bidang farmasi. Sekarang jumlah apoteker masih minim, kami akan
bekerja keras mulai saat ini untuk menambah jumlah apoteker, ujar dia dalam acara Peran Apoteker dalam
Implementasi SJSN di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (4/4).
Dia mengatakan, peran apoteker dalam implementasi SJSN adalah melakukan praktek kefarmasian yang meliputi
pembuatan (termasuk pengendalian), pengadaan, dan pendistribusian obat atas resep dokter. Menurut dia, apoteker
juga bertanggung jawab dalam memberikan informasi tentang pengembangan obat, bahan obat serta obat
tradisional.
Apoteker tidak berhubungan langsung dengan pasien terkait penyembuhan penyakitnya, sehingga apoteker tidak
berhak mendapatkan jasa medis yang dilakukan tenaga medis seperti dokter maupun perawat, ujar dia.
Maura menambahkan, sesuai UU 40/2004 tentang SJSN, seorang apoteker bekerja di rumah sakit, tempat dokter
praktek, klinik, laboratorium, serta apotik. Menurutnya, apoteker juga tidak boleh membedakan pasien berdasarkan
status Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau bukan, jika pasien tersebut datang untuk meminta atau mengambil resep
dokter.
Dia menilai seorang apoteker merupakan ujung tombak kesuksesan SJSN, terutama dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Untuk itu diperlukan seorang apoteker yang tidak hanya andal dalam SDM, tetapi
juga ramah kepada masyarakat.
Penulis: C-05/NAD
Sumber:Investor Daily

Apotek Menjamur, Peran Apoteker
Justru Diabaikan

INILAH.COM, Jakarta -Pengembangan bisnis ritel apotek terus berkembang pesat, tak hanya
di sekitar lingkungan rumah atau dekat perkantoran, melainkan kian mudah ditemui di
sejumlah pusat perbelanjaan.
Ironisnya, peran apoteker dalam dunia kesehatan seringkali diabaikan oleh pemerintah.

Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Dani Pratomo mengungkapkan hal ini dalam acara Media
Gathering paparan soal hasil Rakernas Sistem Jaminan Sosial (SJSN) di Jakarta, Senin (25/2).

Menurutnya, saat ini apoteker masih dilihat hanya sebagai penjual obat atau bahkan pembantu
penjual obat. Padahal apoteker merupakan profesi kesehatan yang penting dalam mendukung
pemerintah melaksanakan amanat UU SJSN.

"Pemerintah melupakan peran penting apoteker terutama dalam menyusun kerangka infrastuktur ke
arah pelayanan kesehatan semesta seperti yang diamanatkan dalam UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN)," jelasnya.

Lebih jauh, Dani menguraikan, apoteker belum dilihat sebagai salah satu mitra profesi kesehatan di
dalam SJSN. Karena itu, pemerintah perlu untuk menata peranan dan posisi Apoteker dalam
tatanan SJSN bukan hanya sekedar dilihat hanya sebagai penjual obat.

"Jasa apoteker tidak diperhitungkan di dalamnya," ujar Dani. Padahal, lanjut Dani, berdasarkan
pasal 108 UU No 36/2009 tentang Kesehatan, segala pelayanan kesehatan yang berhubungan
dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker.

Secara profesi, apoteker menunjang hasil diagnosa dari dokter dengan memberikan pendapa dari
segi efektivitas pengobatan dan konerja obat tersebut.

Penghematan Rumah Sakit (RS)

Dani menambahkan,jika profesi apoteker diberi peranan yang memadai dalam kerangka SJSN,
apoteker dapat membantu penghematan pengeluaran Rumah Sakit dalam hal pembelian dan
pengadaan obat. Apoteker adalah profesi yang mempelajari mengenai obat-obatan. Kelebihan dan
kekurangan suatu molekul obat merupakan bidang yang dikuasai oleh apoteker.

Karena itu jika apoteker diberi peran konsultatif dalam penatalaksanaan penyakit. "Kami akan dapat
melakukan penyortiran dari molekul-molekul obat yang lebih dibutuhkan oleh RS dengan
mempelajari demografi pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut dan jenis penyakit yang
sering ditangani oleh RS tersebut, tambahnya.
Menurutnya, dengan demikian sistem pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi pasien dapat
terwujud. Dengan demikian, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit
tersebut pun akan meningkat dan pendapatan bagi rumah sakit pun akan bertambah. Pengeluaran
pun dapat ditekan sehingga akan tercapai penghematan yang efektif, tutur Dani.[mor]





















Kemajuan Farmasi Klinik, Kebangkitan Apoteker
Rumah Sakit
15/03/2011
tags: apoteker, Farmasi klinik, IFRS, rumah sakit
by Monika Oktora


Begitu mendengar kata rumah sakit, sepertinya yang terbayang oleh pikiran kita mengenai pelayanan
rumah sakit adalah sosok dokter dengan jas putih bersihnya atau perawat dengan seragam khasnya. Lalu
bagaimana dengan apoteker di rumah sakit? Mungkin memang tidak banyak orang yang aware dengan
profesi yang satu ini. Tapi sebenarnya apoteker memegang peranan penting juga dalam proses pelayanan
pasien.
Apoteker di rumah sakit banyak bergerak di bawah bendera instalasi farmasi rumah sakit atau IFRS.
IFRS adalah suatu unit di rumah sakit yang merupakan fasilitas penyelenggaraan kefarmasian di bawah
pimpinan seorang apoteker yang kompeten. IFRS bertanggungjawab dalam mengadakan, menyediakan,
dan mengelola seluruh aspek penyediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit yang dapat berupa
pelayanan farmasi nonklinik dan pelayanan farmasi klinik.
Tanggungjawab apoteker dalam pelayanan farmasi nonklinik berupa pelayanan produk, yaitu berupa
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, dan distribusi obat-obatan yang dibutuhkan di
rumah sakit, sedangkan pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung
dan memerlukan interaksi dalam pelaksanannya baik dengan pasien maupun dokter dan perawat, antara
lain pelayanan obat atas order dokter, pendistribusian obat dan produk farmasi pada pasien dan perawat,
serta pelayanan konseling dan informasi obat.
Tanggungjawab dan wewenang apoteker selanjutnya diatur dalam Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan kesehatan, orientasi
pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser lebih ke arah pelayanan kefarmasian klinik
(Pharmaceutical Care), yaitu bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam
pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal inilah yang menjadi poin penting
peran apoteker di rumah sakit.
Peran farmasi klinik sendiri memberikan dampak yang baik terhadap berbagai outcome terapi pada
pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih baik pada
penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil review publikasi Inditz et
al (1999) antara tahun 1984-1995 menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik efektif untuk
mengurangi biaya pelayanan kesehatan dan juga efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Hal ini diperoleh terutama dengan melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping
obat.
Namun seperti yang telah disinggung di atas, peran apoteker tersebut tampaknya memang tidak banyak
disadari dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Berbeda dengan apa yang terjadi di dunia
internasional, di Amerika apoteker klinik termasuk profesi papan atas, baik dalam hal popularitas,
tanggungjawab, bahkan salary. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan
farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan
kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris. Di Australia, 90% rumah
sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik.
Memang banyak faktor yang menyebabkan pelayanan farmasi klinik dan peran profesi apoteker di
Indonesia tidak sepesat negara lain. Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia sendiri relatif baru
berkembang pada sekitar tahun 2000-an. Konsep farmasi klinik sendiri belum seutuhnya diterima oleh
tenaga kesehatan di rumah sakit, sehingga pelayanan farmasi klinik di Indonesia berkembang cukup
lambat. Paradigma apoteker terjun ke bangsal pasien, memantau pengobatan pasien, memberikan
informasi dan konseling secara rutin, serta memberikan rekomendasi penrobatan masih belum lazim,
karena fungsi apoteker di IFRS dianggap hanya berfungsi dalam menyiapkan obat. Farmasis sendiri
selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Selain itu,
faktor apoteker sendiri yang belum secara utuh menjalankan fungsinya sehingga mengakibatkan
masyarakat awam dan pasien kurang mengenal profesi apoteker, khususnya di rumah sakit. Kebanyakan
rumah sakit pun hanya memiliki tenaga apoteker yang minim, hanya sekitar satu atau beberapa saja.
Tentunya akibat sedikitnya tenaga apoteker yang ada, maka apoteker tidak bisa mendampingi pasien
secara utuh dalam penggunaan obat dan terapinya.
Melihat fenomena ini, tentunya peran generasi calon-calon apoteker muda dalam perkembangan
pelayanan farmasi klinik khususnya di rumah sakit sangat dibutuhkan. kita tidak bisa hanya tinggal diam
sementara dunia terus melakukan perubahan. Yes, Its our time pals, lets bring a change, a new fresh air
for Indonesia.

Referensi:
Ikawati, Zullies. 2010. Pelayanan Farmasi Klinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangnan dan Peluang.
Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM
Inditz MES, Artz MB, 1999, Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci Med, 48:647-60.
Siregar, Charles J.P., Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan,Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai