JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai, pemerintah telah melupakan peran penting apoteker, terutama dalam menyusun kerangka infrastruktur ke arah pelayanan kesehatan semesta seperti diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Dalam Rakernas yang digelar di Jakarta pada tanggal 15-16 Februari dan diikuti oleh apoteker dari seluruh Indonesia, IAI memberikan beberapa catatan kritis atas kinerja apoteker dalam dunia kesehatan belakangan ini. Dan salah satu kesimpulan penting dari Rakernas ini adalah perlunya dilakukan dialog dengan pemerintah untuk memastikan peranan apoteker di dalam perangkat penunjang keberhasilan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Semesta mendapatkan porsi yang layak.
Saat ini, apoteker masih dilihat hanya sebagai penjual obat, atau bahkan pembantu penjual obat. Padahal, apoteker merupakan profesi kesehatan yang penting dalam mendukung pemerintah melaksanakan amanat UU SJSN, maka dari itu peranan dan fungsinya dalam tatanan SJSN pun harus dipertimbangkan. Bukan sekedar dilihat hanya sebagai penjual obat, ungkap Dani melalui siaran persnya di Jakarta, Senin (25/2/2013).
Saat ini, kami apoteker belum dilihat sebagai salah satu mitra profesi kesehatan di dalam SJSN, tambah Dani.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Dani menjelaskan, yang dihitung dalam proporsi reimbursement yang dilakukan oleh BPJS terhadap klaim dari pelayanan kesehatan hanyalah porsi harga obat, penggunaan alat medis dan jasa dokter saja.
Jasa apoteker tidak diperhitungkan di dalamnya, ujarnya.
Padahal, berdasarkan pasal 108 UU No.36/2009 tentang Kesehatan, segala pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker. Dani juga menjelaskan bahwa secara profesi, apoteker dapat menunjang hasil diagnosa dari dokter dengan memberikan pendapat dari segi efektifitas pengobatan dan kinerja dari obat itu sendiri.
Seringkali dokter kurang memahami mengenai reaksi obat yang satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan materi yang dikuasai oleh seorang apoteker. Dengan adanya dialog interaktif antara dokter dengan apoteker, tentunya masyarakatlah yang akan lebih diuntungkan. Rumah sakit juga bisa lebih efektif dalam menyusun budget pembelian obatnya, jelas Dani lagi.
Perlu sinergi
Dani juga mengemukakan pentingnya sinergi antara apoteker dan dokter. Menurutnya, profesi apoteker menguasai berbagai hal yang terkait dengan reaksi obat, molekul dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan obat. Sedangkan bidang kedokteran mempelajari anatomi tubuh manusia beserta penyakitnya. Komunikasi yang efektif antara kedua profesi ini dapat memberikan masyarakat kepastian akan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, tidak hanya dalam diagnosanya saja tetapi juga molekul obat yang cocok untuk dirinya.
Bila saja ada sinergi antara dokter yang melakukan diagnosa atas penyakit dan apotekernya mengenai obat yang kiranya cocok untuk kesehatan pasien, tentunya akan sangat membantu masyarakat, jelas Dani.
Selain itu, tingkat rasionalitas penggunaan obat pun akan meningkat. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli berbagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan. Kemudian akan ada mekanisme check and balance antara dokter dan apoteker untuk mencari obat yang cocok.
Jadi bukan sekedar mengakomodasi pesan sponsor dari perusahaan farmasi, seperti yang sudah sering disinyalir, tutur Dani.
Dani menjelaskan, jika profesi apoteker diberi peranan yang memadai dalam kerangka SJSN, apoteker dapat membantu penghematan pengeluaran rumah sakit dalam hal pembelian dan pengadaan obat. "Apoteker adalah profesi yang mempelajari mengenai obat-obatan. Kelebihan dan kekurangan suatu molekul obat merupakan bidang yang dikuasai oleh apoteker. Karena itu, jika apoteker diberi peran konsultatif dalam penatalaksanaan penyakit, kami akan dapat melakukan penyortiran dari molekul-molekul obat yang lebih dibutuhkan oleh RS dengan mempelajari demografi pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut dan jenis penyakit yang sering ditangani oleh RS tersebut, papar Dani.
Editor : Asep Candra
Kamis, 04 April 2013 | 15:25 Kemkes: Jumlah Apoteker Hanya 20% dari Total RS dan Puskesmas Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemkes) menyatakan, jumlah Puskesmas maupun Rumah Sakit (RS) yang tersebar di Indonesia adalah 10 ribu RS dan Puskesmas sedangkan jumlah apoteker yang terdaftar di Kemkes hanya berjumlah 1.938 orang. Kemkes menyatakan jumlah apoteker ini baru mencapai 20% dari total jumlah RS dan Puskesmas yang ada di Indonesia. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemkes Maura Linda Sitanggang mengatakan, pada 1 Januari 2014 pemerintah akan menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Menurut dia, dengan jumlah apoteker yang masih terlalu sedikit membuat pelayanan kesehatan tidak optimal. Menurut Maura, Kemkes akan terus menambah jumlah apoteker dengan terus bekerja sama dengan beberapa Universitas maupun sekolah tinggi farmasi. Tujuan pemerintah jika BPJS Kesehatan mulai diberlakukan adalah memberikan pelayanan kesehatan terbaik, termasuk peran apoteker, khususnya dalam bidang farmasi. Sekarang jumlah apoteker masih minim, kami akan bekerja keras mulai saat ini untuk menambah jumlah apoteker, ujar dia dalam acara Peran Apoteker dalam Implementasi SJSN di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (4/4). Dia mengatakan, peran apoteker dalam implementasi SJSN adalah melakukan praktek kefarmasian yang meliputi pembuatan (termasuk pengendalian), pengadaan, dan pendistribusian obat atas resep dokter. Menurut dia, apoteker juga bertanggung jawab dalam memberikan informasi tentang pengembangan obat, bahan obat serta obat tradisional. Apoteker tidak berhubungan langsung dengan pasien terkait penyembuhan penyakitnya, sehingga apoteker tidak berhak mendapatkan jasa medis yang dilakukan tenaga medis seperti dokter maupun perawat, ujar dia. Maura menambahkan, sesuai UU 40/2004 tentang SJSN, seorang apoteker bekerja di rumah sakit, tempat dokter praktek, klinik, laboratorium, serta apotik. Menurutnya, apoteker juga tidak boleh membedakan pasien berdasarkan status Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau bukan, jika pasien tersebut datang untuk meminta atau mengambil resep dokter. Dia menilai seorang apoteker merupakan ujung tombak kesuksesan SJSN, terutama dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk itu diperlukan seorang apoteker yang tidak hanya andal dalam SDM, tetapi juga ramah kepada masyarakat. Penulis: C-05/NAD Sumber:Investor Daily
Apotek Menjamur, Peran Apoteker Justru Diabaikan
INILAH.COM, Jakarta -Pengembangan bisnis ritel apotek terus berkembang pesat, tak hanya di sekitar lingkungan rumah atau dekat perkantoran, melainkan kian mudah ditemui di sejumlah pusat perbelanjaan. Ironisnya, peran apoteker dalam dunia kesehatan seringkali diabaikan oleh pemerintah.
Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Dani Pratomo mengungkapkan hal ini dalam acara Media Gathering paparan soal hasil Rakernas Sistem Jaminan Sosial (SJSN) di Jakarta, Senin (25/2).
Menurutnya, saat ini apoteker masih dilihat hanya sebagai penjual obat atau bahkan pembantu penjual obat. Padahal apoteker merupakan profesi kesehatan yang penting dalam mendukung pemerintah melaksanakan amanat UU SJSN.
"Pemerintah melupakan peran penting apoteker terutama dalam menyusun kerangka infrastuktur ke arah pelayanan kesehatan semesta seperti yang diamanatkan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)," jelasnya.
Lebih jauh, Dani menguraikan, apoteker belum dilihat sebagai salah satu mitra profesi kesehatan di dalam SJSN. Karena itu, pemerintah perlu untuk menata peranan dan posisi Apoteker dalam tatanan SJSN bukan hanya sekedar dilihat hanya sebagai penjual obat.
"Jasa apoteker tidak diperhitungkan di dalamnya," ujar Dani. Padahal, lanjut Dani, berdasarkan pasal 108 UU No 36/2009 tentang Kesehatan, segala pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker.
Secara profesi, apoteker menunjang hasil diagnosa dari dokter dengan memberikan pendapa dari segi efektivitas pengobatan dan konerja obat tersebut.
Penghematan Rumah Sakit (RS)
Dani menambahkan,jika profesi apoteker diberi peranan yang memadai dalam kerangka SJSN, apoteker dapat membantu penghematan pengeluaran Rumah Sakit dalam hal pembelian dan pengadaan obat. Apoteker adalah profesi yang mempelajari mengenai obat-obatan. Kelebihan dan kekurangan suatu molekul obat merupakan bidang yang dikuasai oleh apoteker.
Karena itu jika apoteker diberi peran konsultatif dalam penatalaksanaan penyakit. "Kami akan dapat melakukan penyortiran dari molekul-molekul obat yang lebih dibutuhkan oleh RS dengan mempelajari demografi pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut dan jenis penyakit yang sering ditangani oleh RS tersebut, tambahnya. Menurutnya, dengan demikian sistem pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi pasien dapat terwujud. Dengan demikian, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit tersebut pun akan meningkat dan pendapatan bagi rumah sakit pun akan bertambah. Pengeluaran pun dapat ditekan sehingga akan tercapai penghematan yang efektif, tutur Dani.[mor]
Kemajuan Farmasi Klinik, Kebangkitan Apoteker Rumah Sakit 15/03/2011 tags: apoteker, Farmasi klinik, IFRS, rumah sakit by Monika Oktora
Begitu mendengar kata rumah sakit, sepertinya yang terbayang oleh pikiran kita mengenai pelayanan rumah sakit adalah sosok dokter dengan jas putih bersihnya atau perawat dengan seragam khasnya. Lalu bagaimana dengan apoteker di rumah sakit? Mungkin memang tidak banyak orang yang aware dengan profesi yang satu ini. Tapi sebenarnya apoteker memegang peranan penting juga dalam proses pelayanan pasien. Apoteker di rumah sakit banyak bergerak di bawah bendera instalasi farmasi rumah sakit atau IFRS. IFRS adalah suatu unit di rumah sakit yang merupakan fasilitas penyelenggaraan kefarmasian di bawah pimpinan seorang apoteker yang kompeten. IFRS bertanggungjawab dalam mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh aspek penyediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit yang dapat berupa pelayanan farmasi nonklinik dan pelayanan farmasi klinik. Tanggungjawab apoteker dalam pelayanan farmasi nonklinik berupa pelayanan produk, yaitu berupa perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, dan distribusi obat-obatan yang dibutuhkan di rumah sakit, sedangkan pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung dan memerlukan interaksi dalam pelaksanannya baik dengan pasien maupun dokter dan perawat, antara lain pelayanan obat atas order dokter, pendistribusian obat dan produk farmasi pada pasien dan perawat, serta pelayanan konseling dan informasi obat. Tanggungjawab dan wewenang apoteker selanjutnya diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan kesehatan, orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser lebih ke arah pelayanan kefarmasian klinik (Pharmaceutical Care), yaitu bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal inilah yang menjadi poin penting peran apoteker di rumah sakit. Peran farmasi klinik sendiri memberikan dampak yang baik terhadap berbagai outcome terapi pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil review publikasi Inditz et al (1999) antara tahun 1984-1995 menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan dan juga efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini diperoleh terutama dengan melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat. Namun seperti yang telah disinggung di atas, peran apoteker tersebut tampaknya memang tidak banyak disadari dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Berbeda dengan apa yang terjadi di dunia internasional, di Amerika apoteker klinik termasuk profesi papan atas, baik dalam hal popularitas, tanggungjawab, bahkan salary. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris. Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Memang banyak faktor yang menyebabkan pelayanan farmasi klinik dan peran profesi apoteker di Indonesia tidak sepesat negara lain. Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia sendiri relatif baru berkembang pada sekitar tahun 2000-an. Konsep farmasi klinik sendiri belum seutuhnya diterima oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, sehingga pelayanan farmasi klinik di Indonesia berkembang cukup lambat. Paradigma apoteker terjun ke bangsal pasien, memantau pengobatan pasien, memberikan informasi dan konseling secara rutin, serta memberikan rekomendasi penrobatan masih belum lazim, karena fungsi apoteker di IFRS dianggap hanya berfungsi dalam menyiapkan obat. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Selain itu, faktor apoteker sendiri yang belum secara utuh menjalankan fungsinya sehingga mengakibatkan masyarakat awam dan pasien kurang mengenal profesi apoteker, khususnya di rumah sakit. Kebanyakan rumah sakit pun hanya memiliki tenaga apoteker yang minim, hanya sekitar satu atau beberapa saja. Tentunya akibat sedikitnya tenaga apoteker yang ada, maka apoteker tidak bisa mendampingi pasien secara utuh dalam penggunaan obat dan terapinya. Melihat fenomena ini, tentunya peran generasi calon-calon apoteker muda dalam perkembangan pelayanan farmasi klinik khususnya di rumah sakit sangat dibutuhkan. kita tidak bisa hanya tinggal diam sementara dunia terus melakukan perubahan. Yes, Its our time pals, lets bring a change, a new fresh air for Indonesia.
Referensi: Ikawati, Zullies. 2010. Pelayanan Farmasi Klinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangnan dan Peluang. Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM Inditz MES, Artz MB, 1999, Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci Med, 48:647-60. Siregar, Charles J.P., Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan,Penerbit Buku Kedokteran EGC.