Anda di halaman 1dari 5

ASAL-USUL DAN PENGALAMAN RASIALISME DUNIA

ASAL-USUL DAN PENGALAMAN RASIALISME DUNIA

Oleh : DR. Steven Iwanggin ~ SNB

Pandangan mencibir dan merendahkan bangsa lain mulai tumbuh ketika system
penghisapan ekonomi melalui perbudakan mulai dijalankan. Perdudakan dimulai ketika para
penguasa melihat pentingnya mendapat tenaga kerja yang murah dan loyal. Menggunakan
rakyat sendiri sebagai pekerja akan merugikan legitimasi penguasa. Oleh karena itu tenaga
kerja murah itu haruslah didapat dengan menaklukan bangsa lain dan menggunakan rakyat
dari bangsa lain sebagai budak. Bangsa–bangsa yang kalah perang dianggap inferior dari
bangsa-bangsa pemenang perang. Karena inferior itu, bangsa pemenang perang boleh
melakukan apa saja terhadap bangsa yang kalah perang. Perbudakanpun dimulailah.
Barangkali dari sinilah lahir dari berkembangnya rasialisme.

Karena bangsa budak boleh dijadikan apa saja, maka merekapun dipaksa bekerja semau
para penguasa. Tanpa dibayar, tanpa hak apapun. Besar sekali keuntungan para penguasa
dengan adanya perbudakan ini. Mereka dapat membangun candi-candi dan monument-
monumen besar dan megah, istana-istana yang mewah, semua dengan biaya yang hampir-
hampir tidak ada.

Namun demikian, bangsa-bangsa Romawi atau Yunani belum lagi mengenal konsep
perbedaan rasial dengan menggunakan warna kulit, kebudayaan, atau agama sebagai
pembeda. Kelas budak berasal dari bangsa manapun yang kalah perang melawan mereka,
atau yang mampu mereka beli dari pedagang budak.

Rasialisme yang seperti kita kenal sekarang baru muncul pada akhir abad ke – 16 ketika
perdagangan budak mulai marak Budak-budak ini didatangkan dari Afrika menuju Inggris
atau Amerika. Perdagangan budak ini demikian bertentangan dengan konsepsi Kristianitas
yang dianut sebagian besar warga Eropa dan Amerika ketika itu. Untuk membuat
perdagangan budak ini disahkan oleh rakyat, para pedagang budak menyebarkan paham
bahwa para budak ini adalah kelas yang inferior dan patut diperdagangkan. Rasialisme
adalah satu ideology untuk membenarkan penghisapan ekonomi secara sistematis dan
terorganisir.

Pembedaan manusia berdasarkan warna kulit dan asal-usulnya sudah terjadi sejak abad-
abad yang lalu. Rasialisme adalah salah satu persoalan yang telah menghantui sebagian
besar sejarah peradaban manusia. Namun, perjuangan untuk menghapuskan pembedaan ini
masih terhitung baru jika kita menghitung dengan skala sejarah peradaban itu sendiri.

Umat manusia baru mulai menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh rasialisme sejak
terjadinya pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Hilter dan Nazi-nya secara
sistematis sepanjang Perang Dunia II. Namun, horor yang disebarkan dari kamp konsentrasi
itulah yang telah memicu kebangkitan semangat penghapusan rasialisme.

Seluruh warga dunia dikejutkan oleh kenyataan betapa kemanusiaan telah direncah dengan
demikian keji dengan alas an perbedaan warna kulit dan ras. Hak-hak manusia yang paling
dasar telah dilanggar melalui proses kebiadaban yang tak terpikirkan. Bukannya sama sekali
umat manusia belum pernah melihat kebiadaban semacam itu:: masa inkuisis di Eropa jauh
lebih kejam daripada itu. Bahkan Tomas de Torquemada (1420-1498), kepala Pengadilan
Inquisisi Spanyol, telah membantai 2000 orang dengan siksaan dan mengusir 200 ribu orang
Yahudi dari Spanyol selama masa jabatannya yang hanya 15 tahun itu. Hanya saja,
pengejaran terhadap orang Yahudi dibawah Nazi berlangsung secara amat sistematis dan
kolosal. Hal inilah yang sesungguhnya mengejutkan bagi dunia.

Pertama-tama, tentunya rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar yang terusik dengan
pembantaian kaun Yahudi itu. Dan, tentu saja, perjuangan pertama yang dilakukan untuk
menghapuskan rasialisme ditujukan untuk membebaskan kaum Yahudi dari kemungkinan
pengejaran dan pembantaian serupa di masa depan. Sejalan dengan perjuangan yang
semula hanya ditujukan untuk melindungi masa depan kaum Yahudi itu, para pejuang
kemanusiaan menemukan bahwa prkatek-praktek rasialisme telah berlangsung secara
meluas di seluruh dunia dan menimpa berbagai macam kaum. Disini kita menyadari bahwa
rasialisme adalah problem seluruh umat manusia. Rasialisme adalah perusak simpul saraf
moralitas dan kemanusiaan kita.

Orang mulai melihat kasus-kasus yang menimpa kaum Indian Amerika sebagai salah satu
praktek diskriminasi rasial. Kedatangan orang kulit putih di sana tidak membawa kebaikan
bagi kaum penduduk asli (Indegenous people) benua itu. Dimulai dengan pertempuran-
pertempuran kecil untuk memperebutkan tanah antara kaum pendatang kulit putih dengan
kuam Indian. Kemudian, kaum pendatang membawa penyakit yang tidak dikenal
sebelumnya di tanah Amerika, yang menimbulkan banyak korban pada kaum Indian. Lalu,
datanglah berpeti-peti “air api”, minuman keras yang menimbulkan kebiasaan mabuk-
mabukan di kalangan pemuda Indian. Lalu, lahirlah Indian Removal Act di tahun 1830 ~~
sebuah peraturan yang memungkinkan pengusiran kaum Indian dari tanahnya untuk
kepentingan pemukinan kaum kulit putih, lebih dari 70 ribu orang Indian digiring keluar dari
tanahnya, akibatknya ribuan orang meninggal secara mengenaskan dalam perjalanan.

Walaupun sudah ada peraturan yang demikian mengekang, kaum kulit putih masih saja
menerobos wilayah Indian yang sudah demikian sempit. Terutama setelah ditemukannya
tambang-tambang emas di wilayah barat, terutamaCalifornia. Oleh karena itu, pertengahan
abad 1800-an diwarnai dengan banyak perang antara kaum Indian dengantentara kalvari
Amerika Serikat. Perang-perang ini telah melahirkan cerita-cerita ternama dari Karl may
dalam film Rin Tin Tin. Lagi-lagi pemerintah berpihak pada kaum kulit putih dan
mengeluarkan dawes Act di tahun 1887 yang menjatah tanah bagi kaum Indian per kepala
keluarga. Ini semakin mempersempit lahan bagi kaum kulit merah itu.Beberapa orang
berusaha memperbaiki kehidupan kaum Indian. Setelah melalui perjuangan yang panjang,
kaum Indian akhirnya memperoleh status kewarganegaraan Amerika Serikat pada tahun
1934 disahkan Indian Reorganisasi Act, yang juga menghentikan semua bentuk pengusiran
orang Indian dari tanahnya. Namun demikian, orang-orang Indian tetap diberi tempat yang
disebut reservation area, yang prakteknya berfungsi seperti ghetto bagi kaum Indian.

Barulah pada tahun 1944 didirikan National Congress of American Indian yang merupakan
organisasi nasional bagi kaum Indian, yang memperjuangkan hak-hak kaum Indian dimata
hukum Amerika Serikat. Sejak berdirinya organisasi ini, mulailah hak orang Indian
dikembalikan sedikit demi sedikit.

Namun demikian, pemerintah Amerika Serikat masih berusaha untuk membuat


pembatasan-pembatasan. Di tahun 1953, dikeluarkan kebijakan yang disebut termination
policy, yang menghentikan bantuan bagi beberapa suku Indian tertentu. Berkat tentangan
keras dari warga Indian, kebijakan ini akhirnya dibatalkan.

Pengalaman mengorganisasi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang diskriminatif


ini membuahkan American Indian Movement AIM di tahun 1968. Sejak berdirinya AIM, hak-
hak kaum Indian kembali dengan cepat. AIM mengorganisir aksi-aksi protes dan
pendudukan gedung-gedung pemerintah yang berkaitan dengan masalah Indian.

Di tahun 1971, dikeluarkanlah Alaska Native Claims Settlement Act yang mengatur
pengembalian hak tanah pada kaum Indian Alaska. Di tahun 1972 President Nixon
mengeluarkan perintah untuk mengembalikan Mount Adamskepada suku Indian Yakima di
daerah Washington DC. Dan pada tahun 1980, pemerintah membayar ganti rugi sebesar 105
juta dollar kepada suku Sioux untuk tanah yang dirampas pada tahun 1877. Suku Sioux
menolak ganti rugi berupa uang saja, mereka juga menuntut (dan akhirnya memenangkan)
pengembalian Black Hill di South Dakota. Barulah di tahun 1990-an tampak perbaikan
tingkat kesejahteraan yang mencolok di kalangan kaum Indian. Apa yang tidak berhasil
mereka dapat dengan perang-perang suku mereka telah mereka rebut dengan berbagai
macam organisasi yang memperjuangkan nasib mereka secara politik.

Perjuangan kaum Indian memang masih panjang. Suku-suku Indian yang tinggal di Amerika
Tengah dan Amerika Latin belum lagi menikmati apa yang saudara-saudara mereka nikmati
di Amerika Serikat.

Demikian pula kasus-kasus yang menimpa kaum kulit hitam Amerika mulai dilihat sebagai
kasus-kasus diskriminasi rasial. Sekalipun mereka telah di -“bebas”- kan dari perbudakan
melalui Perang Budak (1861-1865) dimasa President Abraham Lincoln, mereka tetap
menjadi warga Negara kelas 2 sampai tahun 1960-an. Berbagai kebijakan segregasi
dijalankan, seperti keharusan menaiki bus khusus, atau hanya diperbolehkan makan di
reatoran khusus, atau bersekolah di sekolah khusus ~~ yang tentu mutunya kalah
dibandingkan fasilitas untuk kaum kulit putih.
Nasib kaun kulit hitam Amerika baru mulai berubah setelah Martin Luther King, Jr
memimpin aksi-aksi tanpa kekerasan menentang politik diskriminasi itu. Di mulai dengan
boikot bus kota selama setahun yang dimulai tahun 1956. King memimpin kaum kulit hitam
Amerika Serikat untuk mendapatkan Civil Right Act di tahun 1964 yang melarang
diskriminasi di tempat public dan persamaan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan
dan pendidikan. Peraturan ini keluar setelah King dan para aktivis lainnya mengorganisir
rally yang dihadiri oleh 200 ribu orang di Lincoln Memorial Washington DC.

Tahun 1965, King mengorganisir protes di Selma, Alabama untuk menentang pembatasan


hak pilih bagi kaum kulit hitam. Aksi-aksi protes yang masif ini menghasilkan peraturan
pemerintah yang melarang segala bentuk pembatasan semacam itu ~ ~ hanya dalam waktu
beberapa bulan.

Di tahun itu juga, King mulai melihat bahwa perjuangan kaum kulit hitam bukanlah milik
kaum kulit hitam belaka. Perjuangan kaum kulit hitam adalah bagian dari perjuangan kaum
miskin secara keseluruhan. Ia mulai mengorganisir Poor People’s Compaign, yang akan
menyatukan semua warga masyarakat dari semua ras untuk meraih kesejahteraan dan
keadilan social. Di tengah-tengah upaya menyatukan semua ras untuk kesejahteraan
bersama ini ia gugur sebagai martir di tangan seorang penjahat kambuhan yang rasialis.

Orang juga mulai melihat apartheid sebagai bentuk baru yang merupakan reinkarnasi politik
diskriminasi rasial Nazi Jerman. Apalagi, politik apartheid baru mulai diterapkan di Afrika
Selatan tahun 1948 ketika Partai Nasional yang beraliran ultra-nasionalis memenangkan
pemilu disana. Dan mulailah timbul peraturan-peraturan segregasi yang kasar terhadap
kaum kulit hitam. Disana, diskriminasi sudah menjadi hal biasa semenjak kemenangan kaum
kulit putih dalam pertempuran-pertempuan memperebutkan tanah dengan suku-suku kulit
hitam. Namun, setelah Partai Nasional berkuasa, diskriminasi rasial ini dibawa ke tingkat
yang menakutkan dan diresmikan melalui Undang-undang.

Batu penjuru untuk berdirinya struktur apartheid adalah Population Registration Act (1949)
dimana semua penduduk Afrika Selatan didaftar berdasarkan rasnya. Mulailah politik
segregasi dijalankan. Dengan Bantu Selt-Government Act (1959) mulai dibuat ghetto-ghetto
bagi kaum kulit hitam dengan maksud menghilangkan hak-hak mereka untuk memilih dalam
system politik Afrika Selatan. Kaum kulit hitam juga hanya boleh mempelajari budayanya
sendiri, harus memilikisurat jalan jika keluar dari wilayahnya, dan dilarang melakukan
perkawinan antar ras.

Perlawanan terhadap system apartheid ini terutama dilakukan oleh Afrika National Congress
(ANC). Di bawah kepemimpinan James Maroko dan Albert Luthuli, di tahun 1950-an. ANC
mulai melakukan perlawanan terbuka terhadap politik apartheid. Bersama South African
Communist Party dan Pan African Congress, ANC membentuk aliansi untuk melawan
pemerintahan apartheid Afrika selatan, aliansi yang masih bertahan sampai saat ini. ANC
mengalami pasang-surutnya perlawanan. Mereka telah mempergunakan berbagai cara
perlawanan: dari mulai aksi-aksi di parlemen (sampai saat mereka tidak lagi memiliki hak
politik), aksi boikot dan pembangkangan sipil, sampai pembentukan Umkhonto we Siewe
(Lembing Bangsa) sebagai sayap bersenjata mereka. Setelah ribuan kader mereka gugur
dalam perlawanan dan ratusan pimpinan mereka terpaksa mengecap ganasnya
penjara Rubben Island, akhirnya perjuangan itu mencapai kemenangan di penghujung
decade 1980-an.

Berbagai kasus diskriminasi rasial masih terjadi pula di Eropa, yang sudah demikian maju
dalam demokrasi itu, sampai penghujung abad ini. Apa yang terjadi di Kosovo
dan Bosnia tela cukup menggetarkan hati kita dan mengingatkan kita bahwa kita tak pernah
boleh berpuas diri akan hasil-hasil perjuangan yang sudah kita kecap. Demikian pula halnya
dengan sikap rasialisme Masyarakat Eropa terhadap Turki, dimana Masyarakat Eropa
menolak keanggotaan Turki dikarenakan ras yang berbeda: bahwa Turki bukanlah bangsa
“asli” Eropa, melainkan asimilasi dari bangsa Eropa dan asia.

Beberapa kasusu diatas cukuplah menggambarkan bahwa perjuangan mengembalikan


manusia padahakekatnya sebagai mahluk yang diciptakan setara adalah perjuangan yang
panjang dan penuh onak duri. Juga menggambarkan bahwa perjuangan itu adalah misi yang
harus dipikul oleh begitu banyak orang. Bahwa perjuangan itu menuntut pengorbanan, dan
kesediaan untuk bersabar ~ tak mengharapkan hasil-hasil seketika. Perjuangan anti
diskriminasi ras dan etnis adalah perjuangan entitas kemanusiaan itu sendiri dalam rangka
mengembalian harkat martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang paling beradab.

Anda mungkin juga menyukai