Anda di halaman 1dari 4

4436b7458ae67f77c8d2378dc0b497f9

Melihat Islam Dari Luar Masjid

Berbicara agama memang terkait sangat erat dengan persoalan ritual dan
spiritual. Memperbincangkan agama tanpa mengaitkan dengan kegiatan
ritual sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Sebab agama adalah ritual dan
setiap ritual selalu terkait dengan agama. Sehingga, tidak akan mungkin
berbicara agama tanpa bicara ritual.

Namun agak berbeda tatkala berbicara Islam. Perbincangan tentang Islam


tidak hanya menyangkut agama. Sebab, Islam bukan sebatas agama,
melainkan juga menyangkut ilmu, ekonomi, politik, social, dan peradaban
yang lebih luas lainnya. AL Qurán dan hadits Nabi sebagai sumber ajaran
Islam, tidak saja berisi tata cara peribadatan sebagai kegiatan ritual, tetapi
lebih luas dari pada itu.

Ayat-ayat al Qurán yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad melalui Malaikat Jibril, adalah justru terkait dengan ilmu
pengetahuan. Ayat itu berisi perintah untuk membaca. Sedangkan aktivitas
membaca adalah pintu utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Sedemikian pentingnya aktivitas membaca itu untuk kehidupan ini, sampai-
sampai ayat pertama al Qurán yang diturunkan adalah tentang perintah
membaca.

Lebih dari itu, selain perintah membaca, ayat yang pertama kali turun
dirangkai dengan salah satu nama Allah yang mulia, ialah Maha Pencipta.
Sehingga hal itu bisa dipahami bahwa selain memperkenalkan tentang
pentingnya membaca, melalui ayat yang turun pada fase awal itu juga
memperkenalkan Allah, sebagai Yang Maha Pencipta. Dengan demikian, di
antara asmaúl husna yang berjumlah 99 itu, ternyata yang diperkenalkan
pertama kali adalah tentang penciptaan.

Ayat tersebut kiranya memberi tuntunan kepada pikiran kaum muslimin


hingga pada kesimpulan bahwa betapa pentingnya mengenali aspek
penciptaan atau krestifitas ini dalam ber-Islam. Seakan-akan, ----atau
memang demikian, Tuhan menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah ajaran
yang menjadikan makhluknya, ------ yang bernama manusia, agar kreatif atau
menghormati dan menguasai ilmu pengetahuan.

Pemahaman tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan tersebut juga


sejalan dengan ayat yang menerangkan tentang sejarah penciptaan
manusia. Tatkala Allah memberitahu kepada Malaikat, bahwasanya akan
menciptakan makhluk berupa manusia, juga selanjutnya diterangkan pula
bahwa, Allah mengajarinya nama-nama benda kepadanya. Sekalipun
makhluk baru bernama Adam ini diciptakan dari tanah, tetapi karena
menyandang ilmu pengetahuan, maka kemudian diposisikan lebih mulia dari
lainnya, tidak terkecuali dari Malaikat sekalipun.

Hanya saja, hal yang agaknya perlu dipertanyakan kemudian adalah,


ternyata oleh pemeluknya sendiri, Islam hanya dipahami sebagaimana
agama pada umumnya. Islam lebih banyak dilihat dari aspek ritualnya.
Tatkala berbicara Islam ternyata lebih banyak terkait dengan ritual dan
spiritual. Perbincangan tentang Islam hanya terkait dengan hal-hal di sekitar
tempat ibadah, menyangkut ritual, semisal tentang sholat, zakat, puasa, haji,
doa dan sejenisnya. Selain itu, berbicara Islam sebatas terkait persoalan
kelahiran, pernikahan, waris, kematian dan sejenisnya. Kalaupun berbicara
tentang ekonomi, politik atau lainnya hanya melihatnya dari sisi hukum
fiqhnya seperti halal atau haram. Tentu, itu semua bukan hal salah. Tetapi,
berbicara Islam semestinya tidak sebatas berada pada wilayah itu.

Jika beberapa ayat yang diturunkan pertama kali dan juga sejarah penciptaan
Adam sebagai manusia pertama saja sudah berkaitan dengan ilmu, maka
semestinya tatkala berbicara Islam juga berbicara tentang ilmu pengetahuan.
Islam adalah sangat memuliakan ilmu pengetahuan serta siapa saja yang
mencari dan mengembangkannya. Berbicara Islam semestinya dimulai dari
berbicara tentang ilmu pengetahuan dan kehidupan yang luas. Sebagaimana
isi kandungan al Qurán, ilmu yang dimaksudkan adalah menyangkut
ekonomi, politik, social budaya, pendidikan dan lain-lain.

Oleh karena itu, semestinya Islam juga dibicarakan di luar masjid atau
tempat ibadah. Para cendekiawan muslim, sebagai wujud komitmen dan
integritasnya terhadap Islam, maka harus gigih, tanpa mengenal waktu,
selalu mengembangkan ilmu pengetahuan. Cendekiawan muslim di manapun
berada selalu menggali ilmu pengetahuan sebagai bukti pengabdian dan
identitasnya sebagai seorang muslim yang taat. Identitas kemuslimannya
bukan sebatas telah berada di lingkungan masjid, sekalipun tempat ibadah
itu tidak boleh ditinggalkan. Islam seharusnya dipahami sebagai ajaran yang
selalu mengajak, mendorong, menuntun, dan bahkan agar menjadi pelopor
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan
penciptaan, manusia, alam semesta, dan lain-lain yang bersifat applied
seperti persoalan ekonomi, politik, social, pendidikan dan sebagainya.

Islam semestinya dipahami, selain mendorong agar selalu memakmurkan


masjid juga memajukan pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Semestinya, jika ada laboratorium sebagai pusat pengembangan ilmu,
perpustakaan, pusat-pusat kajian yang maju di dunia, selalu tampak bahwa
para pelopornya adalah kaum muslimin. Jika ada perdebatan sengit di antara
kaum muslimin, maka selalu memperdebatkan temuan-temuan hasil
penelitian. Bukan seperti yang terjadi selama ini, sebatas memperdebatkan
tentang jumlah rakaát dalam sholat tarweh, berapa kali membasuk telinga
dalam berwudhu, qunut atau tidak dalam sholat subuh, adzan dua atau satu
dalam sholat jumát dan semacamnya, yang selalu ramai diperdebatkan itu.

Sudah barang tentu, berdebat tentang aspek yang terkait dengan ritual
tersebut memang perlu. Tetapi semestinya tidak dilakukan oleh setiap ulama
dari zaman ke zaman tentang hal yang sama, seolah-olah tidak mengenal
akhir. Perdebatan di antara cendekiawan muslim, -------jika hal itu terjadi,
sudah terkait dengan temuan hasil penelitian, gagasan atau pemikiran terkait
dengan ilmu pengetahuan yang selalu berkembang tanpa mengenal henti.

Selanjutnya, jika kemudian muncul aliran atau madzhab, maka bukan lagi
sebatas madzhab fiqh, melainkan madzhab atau aliran dalam memahami
ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam itu. Perbedaan dalam pemahami
ilmu adalah niscaya. Hasil-hasil penelitian selalu dapat dilihat dari perspektif
yang berbeda-beda. Dengan memasuki wilayah yang luas seperti ini, maka
perdebatan dan bahkan perselisihan antar ilmuwan muslim, bukan saja
sebatas menyangkut persoalan ritual, tetapi adalah dalam wilayah luas, yakni
terkait dengan berbagai macam jenis ilmu pengetahuan. Di sinilah kiranya,
yang dimaksud bahwa perbedaan itu selalu membawa rakhmat.

Oleh karena itu, berbicara Islam bisa mengambil tema dan tempat di mana-
mana. Selain di pusat-pusat pengembangan ilmu, semisal laboratorium,
pusat-pusat percobaan, perpustakaan dan lain-lain juga di pusat-pusat
pengembangan ekonomi, politik, social, pendidikan dan lain-lain. Namun hal
yang perlu diingat, tidak kemudian boleh meninggalkan masjid atau tempat
ibadah. Bukan begitu. Sebagai seorang muslim dalam melakukan penelitian,
kajian, atau bacaan apapun harus dimulai dengan basmallah. Hal itu niscaya,
karena ayat yang turun pertama kali, yakni perintah membaca, dimulai
dengan menyebut asma Allah, yaitu bismirabbikaladzi kholaq.

Akhirnya, berangkat dari pandangan ini maka menjadi terasa jelas bahwa
Islam bukan sebatas tuntunan ritual belaka. Islam menyakut berbagai aspek
kehidupan secara utuh dan komprehensif. Sebagaimana al Qurán sendiri
telah membentangkan, bahwa kitab suci ini berisi petunjuk, penjelas,
pembeda, ar-rakhmah, dan juga sebagai ash-shifa’ dalam seluruh kehidupan
ini. Cara pandang seperti ini menjadikan Islam tidak hanya dilihat dari dalam
masjid atau tempat ibadah semata, melainkan juga dari pusat-pusat
pengembangan ilmu pengetahuan yang luas dan juga lapangan kehidupan
lainnya secara menyeluruh. Jika ingin diketahui perbedaannya, apakah
aktivitas itu masih berada pada wilayah Islam atau tidak, maka secara jelas
bisa dilihat dari niat, sumber motivasi, -----sebagai ibadah, dan juga pada
koridor prinsip-prinsip keimanan, amal sholeh, dan akhlak mulia. Wallahu
a’lam.

Anda mungkin juga menyukai