Anda di halaman 1dari 51

1

TUGAS BIMBINGAN
Pemeriksaan Fisik







Pembimbing:
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp. THT


Penyusun:
Karina Sandra A 2008730018
Mariany Melati 2008730023


Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
RS ISLAM JAKARTA SUKAPURA
Periode 19 November 2012 23 Desember 2012


2


1. KELAINAN-KELAINAN PADA AURIKULA
A. Kongenital
1. Mikrotia
Pada Mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna.
Mikrotia adalah kelainan kongenital berupa malformasi daun telinga yang
memperlihatkan kelainan bentuk dengan derajat kelainan dari ringan sampai berat,
daun telinga berukuran kecil sampai tidak terbentuk sama sekali (anotia). Pada
kelainan ini daun telinga mengandung sisa kartilago yang tidak terbentuk dengan
baik yang melekat pada jaringan lunak lobul dan posisinya tidak sesuai dengan
telinga normal.
Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia)
liang telinga dan kelainan tulang pendengaran. Jika terjadi pada satu telinga akan
disebut sebagai unilateral microtia. Sedangkan apabila terjadi pada dua telinga
akan disebut sebagai bilateral microtia. Bentuk unilateral lebih banyak terjadi jika
dibandingkan dengan bilateral ( 90% angka kejadian microtia adalah unilateral).
Bila ditemukan mikrotia yang bilateral pikirkan kemungkinan adanya sindroma
kraniofasial (sindroma Treacher cillins dan sindroma nager)

Grade I : Deformitas ringan, helix dan antihelix yang sedikit dismorfik.
Termasuk dalam grup ini adalah low-set ears, lop ears, cupped ears,
dan mildly constricted ears. Semua struktur telinga luar masih lengkap hingga
derajat tertentu.








3













Grade II : Stuktur pinna masih ada, namun terjadi defisiensi jaringan dan
deformitas yang cukup signifikan

Grade III : dikenal juga sebagai mikrotia klasik/ telinga kacang karen Terdapat
bagian-bagian aurikula sudah tidak dapat dikenali. Lobulus biasanya
masih ada dan terdapat pada daerah anterior. Termasuk pada grade ini
adalah anotia, yaitu daun telinga yang tidak terbentuk sama sekali.







2. Telinga caplang/jebang (bats ear)
Daun telinga tampak lebih lebar dan lebih menonjol. Fungsi pendengaran tidak
terganggu. Namun karena bentuknya yang tidak normal serta tidak enak
dipandang kadang kala menimbulkan masalah psikis sehingga perlu dioperasi

Stahl ear
Protruding ear
Anotia Microtia grade III

Cupped ear
Lop ear
4


3. Fistula preaurikular
Fistula preaurikula terjadi bila terdapat kegagalan penggabungan
tuberkelkesatu dengan tuburkel kedua. Fistula dapat ditemukan di depan tragus dan
sering terinfeksi. Pada keadaan tenang tampak muara fistula berbentuk bulat atau
lonjong, berukuran seujung pensil, dan dari muara tersebut sering keluar secret
yang berasal dari kelenjar sebasea.









4. Lobus aksesori
Biasanya ditemukan di anterior dari tragus, biasanya dihilangkan untuk alasan
kosmetik. Nodul kartilago yang kecil dapat ditemukan pada kelainan ini.







B. Infeksi
1. Perikondritis
Adalah radang pada tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga. Biasa
terjadi akibat trauma, operasi daun telinga yang terinfeksi dan sebagai komplikasi
pseudokista daun telinga. Pus akan terkumpul diantara kartilago dan lapisan
Fistula preaurikular Fistula preaurikular terinfeksi
5

jaringan ikat di sekitarnya (perikondrium). Pemilihan antibiotik berdasarkan
beratnya infeksi dan bakteri penyebabnya Bila pengobatan antibiotik gagal dapat
timbul komplikasi berupa mengkerutnya daun telinga akibat hancurnya telinga
rawan yang menjadi kerangka daun telinga (cauliflower ear).





2. Erisipelas
Erisipelas adalah infeksi pada dermis yang disebabkan oleh Streptokokus
hemolitikus grup A yang memberikan gejala berupa nyeri, eritema, bengkak, keras,
dan panas. Eritema dan pembengkakan tidak mengikuti batas anatomis tapi
berbatas tegas. Gejala sistemik berupa demam dan malaise juga dapat ditemukan.
Infeksi ini diobati dengan penisilin oral. Karena penyakit ini berjalan dengan
progresif dan berpotensi mengurangi kualitas hidup, penanganan dibutuhkan sedini
mungkin. Terapi yang diberikan adalah injeksi penisilin atau eritromisin.

Cauliflower ear
6


C. Neoplasma
Neoplasma pada aurikula dapat bersifat jinak maupun ganas. Jenis tumor
jinak pada aurikula misalnya pappilioma, chondroma dan fibroma. Jenis tumor
ganas yang terjadi terbanyak adalah kanker sel basal (rodent ulcer) dan kanker sel
skuamosa ( epithelioma). Keganasan seringkali tumbuh pada telinga luar setelah
pemaparan sinar matahari yang lama dan berulang-ulang. Pda stadium dini, bisa
diatasi dengan pengangkatan kanker (wide excision) atau terapi penyinaran.



D. Trauma
1. Laserasi
Laserasi hebat pada aurikula harus dieksplorasi untuk mengetahui apakah ada
kerusakan tulang rawan. Tulang rawan perlu diperiksa dengan cermat sebelum
dilakukan reparasi plastik pada kulit. Luka seperti ini perlu benar-benar diamati
akan kemungkinan infeksi pada perikondrium. Berikan antibiotik profilaktik bila
ada kontaminasi nyata pada luka atau bila tulang rawan terpapar.

2. Hematoma
Cedera pada telinga luar (misalnya pukulan tumpul) bisa menyebabkan memar
diantara kartilago dan perikondrium. Jika terjadi penimbunan darah di daerah
tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa
berwarna ungu kemerahan. Darah yang tertimbun ini (hematoma) harus dikeluarkan
Ephitelioma
Rodent ulcer
7

secara steril untuk mencegah infeksi yang akan menyebabkan perikondritis. Selain
itu bisa menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago sehingga terjadi
perubahan bentuk telinga. Kelainan bentuk ini disebut telinga bunga kol, yang
sering ditemukan pada pegulat dan petinju. Untuk membuang hematoma, biasanya
digunakan alat penghisap dan penghisapan dilakukan sampai hematoma betul-betul
sudah tidak ada lagi (biasanya selama 3-7 hari). Dengan pengobatan, kulit dan
perikondrium akan kembali ke posisi normal sehingga darah bisa kembali mencapai
kartilago. Jika terjadi robekan pada telinga, maka dilakukan penjahitan dan
pembidaian pada kartilagonya. Pukulan yang kuat pada rahang bisa menyebabkan
patah tulang di sekitar saluran telinga dan merubah bentuk saluran telinga dan
seringkali terjadi penyempitan. Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui
pembedahan.








E. Lain-lain
1. Pseudokista
Terdapat benjolan di daun telinga yang disebabkan oleh adanya kumpulan cairan
kekuningan di antara lapisan perikondrium dan tulang rawan telinga. Kumpulan
cairan harus dikeluarkan secara steril untuk mencegahnya perikondritis. Lalu
dibalut tekan dengan bantuan semen gips selama 1 minggu supaya perikondrium
melekat pada tulang rawan kembali.




8


2. Impetigo
Berhubungan dengan infeksi staphylococcus pada kulit superfisial. Terdapat
berbagai vesikel yang mengandung serum didalamnya. Terapi yang diberikan
biasanya pembersihan dengan saline atua pengolesan salep Neosporin.

3. Nodulus
Nodulus pada heliks dapat merupakan kondritis setempat yang dikenal sebagai
kondrodermatitis superior atau antiheliks. Walaupun kadang-kadang dapat diatasi
dengan injeksi steroid, eksisi lokal dapat pula memberikan kesembuhan dan
diagnosis patologik.

Sumber :
- Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. USA: McGraw-Hill; 2008.
- Effendi H, editor. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed ke-6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
- Brown FE et al. Correction of Congenital Auricular Deformities by Splinting in the
Neonatal Period. Pediatrics 1986; 78: 406.
- Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.

2.KARAKTERISTIK SEKRET TELINGA DAN BAKTERI DALAM TELINGA

- Sekret yang sedikit, biasanya berasal dari otitis eksterna
- Sekret yang banyak dan mukoid, berasal dari otitis media
- Sekret yang berbau dan bewarna kuning abu-abu kotor, menandakan adanya kolesteatoma
- Sekret yang bercampur darah, dicurigai infeksi akut yang berat atau keganasan
- Sekret yang keluar seperti air jernih, harus dicurigai berasal dari cairan serebrospinal


9


Bakteri yang banyak terdapat pada Telinga :
Streptococcus
Staphylococcus
Hemophylus influenzae

3. OTITIS MEDIA AKUT ( OMA )
Klasifikasi stadium otitis media akut:
a. Stadium Oklusi : gambaran retraksi membran timpani pada telinga ke arah dalam akibat
tekanan negatif dalam telinga tengah, yang yang ditimbulkan oleh sumbatan dan absorbsi
udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi pada stadium ini. Stadium ini sukar
dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
Th/ : dekongestan (A < 12th: HCl ephedrine 0.5% dalam lar fisiologis, A >12 th: HCl
efedrine1% dalam lar fisiologis), antibiotic, analgetic, antipyretic.
b. Stadium Hiperemis : tampak pembuluh darah melebar di membran timpani / seluruh
membran timpani tampak hiperemis atau edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin
masih bersifat eksudat yang serous sehingga sulit terlihat, dan ada rasa nyeri.
Th/ : dekongestan, analgetik, antibiotic local, amoxicillin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam
3 dosis, ampicillin 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, eritromicin 40
mg/kgBB/hari.
c. Stadium Supurasi : edema pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di cavum timpani, menyebabkan membran
timpani bulging ke arah liang telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat, nyeri telinga bertambah hebat. Bila tekanan di cavum timpani tidak
berkurang, terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler serta trombophlebitis pada vena-
vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani
terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan
terjadi ruptur.
Th/ : antibiotic local, amoxicillin, ampicillin, eritromicin, miringotomy, antipiretik,
analgesik.
10

d. Stadium Perforasi : karena terlambatnya pemberian antibiotic atau virulensi kuman
yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran tympani dan nanah keluar mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang,
suhu badan menurun dan anak dapat tertidur nyenyak.
Th/ dewasa : H2O2 3% 5 gtt 3 dd 1 selama 3-5 hari, antibiotic local.
e. Stadium Resolusi : perlahan-lahan membran timpani akan sembuh, normal kembali jika
robekan tidak terlalu lebar. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
akhirnya kering. Tetapi jika robekan lebar, stadium perforasi dapat menetap dan berubah
menjadi Otitis Media Supuratif Kronik.
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi
walau tanpa pengobatan.

Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah selama lebih dari 3
minggu, maka kondisi ini disebut sebagai Otitis Media Supuratif Subakut ( OMSS ).
Sedangkan bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar selama lebih dari 1.5 bulan, maka
kondisi ini disebut sebagai Otitis Media Supuratif Kronis ( OMSK )

Sumber:
11

Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.

OTITIS MEDIA DENGAN EFUSI ( OME )
OME adalah suatu kondisi terkumpulnya cairan di dalam cavum timpani / telinga tengah,
tanpa adanya infeksi pada telinga.
Patogenesis
Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya OME adalah setiap keadaan
yang mempengaruhi muara/ujung proksimal tuba eustachius (TE) di nasofaring ataupun
mekanisme mukosiliari klirens dari TE. TE dianggap sebagai katup (valve) penghubung telinga
tengah dan nasofaring. Struktur ini menjamin ventilasi telinga tengah, sehingga menjaga tekanan
tetap equal di kedua sisi gendang telinga (membrana timpani = MT). Karena itu berbagai keadaan
yang merubah integritas normal TE dapat menyebabkan akumulasi cairan di telinga tengah dan
mastoid.
Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung proksimal TE
di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens TE. Keadaan lain seperti: alergi hidung,
barotrauma, penekanan terhadap muara/torus tuba oleh massa seperti adenoid yang membesar
ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas anatomi TE ataupun deformitas celah palatum, benda
asing seperti nasogastrik atau nasotrakeal tube, dapat pula menjadi faktor predisposisi. Selain itu
terdapat pula beberapa faktor resiko pada anak, antara lain:
1. Faktor resiko anatomi: anomali kraniofasial, down syndrome, celah palatum, hipertrofi
adenoid, dan GERD.
2. Faktor resiko fungsional: serebral palsy, down syndrome, kelainan neurologis lainnya, dan
imunodefisiensi.
3. Faktor resiko lingkungan: bottle feeding, menyandarkan botol di mulut pada posisi tengadah
(supine position), rokok pasif, status ekonomi rendah, banyaknya anak yang dititipkan di
fasilitas penitipan anak.
Diagnosis
Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak
bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala seperti
12

nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi baik oleh orang tuanya,
guru, bahkan oleh anaknya sendiri.
Diagnosis OME ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dengan menemukan
cairan di belakang MT yang normalnya translusen. Pada pemeriksaan dengan menggunakan
otoskopik dapat ditemukan :
- MT yang retracted (tertarik ke dalam), dull, dan opaque.
- Warna MT bisa merah muda cerah hingga biru gelap.
- Short process maleus terlihat sangat menonjol dan long process tertarik medial dari MT.
- Adanya level udara-cairan (air fluid level) membuat diagnosis lebih nyata.

Tatalaksana
Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga tengah.
Akan lebih baik menangani faktor predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan barotrauma, maka
aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti penerbangan atau
menyelam, sebaiknya dihindarkan. Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka
pengobatan medis mulai diindikasikan, seperti:
1. Antihistamin atau dekongestan
Rasionalisasi kedua obat ini adalah sebagai hasil komparasi antara sistem telinga tengah
dan mastoid terhadap sinus paranasalis. Karena antihistamin dan dekongestan terbukti
membantu membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di sinonasal, maka
tampaknya logis bahwa keduanya dapat memberikan efek yang sama untuk OME. Jika
ternyata alergi adalah faktor etiologi OME, maka kedua obat ini seharusnya memberikan
efek yang menguntungkan terhadap OME.


13

2. Mukolitik
Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk memperbaiki
transport mukus dari telinga tengah melalui TE ke nasofaring. Namun demikian mukolitik
ini tidak memegang peranan penting dalam pengobatan OME.
3. Antibiotika
Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati. Karena OME bukanlah infeksi
yang sebenarnya (true infection). Meskipun demikian OME seringkali diikuti oleh OMA,
di samping itu isolat bakteri juga banyak ditemukan pada sampel cairan OME. Organisme
tersering ditemukan adalah S. pneumoniae, H. influenzae non typable, M. catarrhalis, dan
grup A streptococci, serta Staphyllococcus aureus. Controlled studies menunjukkan
antibiotika golongan amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaklor, eritromisin,
trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-sulfisoksazole, dapat memperbaiki klirens
efusi dalam 1 bulan. Pemberian antibiotika juga meliputi dosis profilaksis yaitu dosis
yang digunakan pada infeksi akut. Namun demikian perlu dipertimbangkan pula
hubungan antara antibiotika profilaksis dengan tingginya prevalensi dan meningkatnya
spesies bakteri yang resisten.
4. Kortikosteroid
Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi respon
inflamasi di kompleks nasofaring-TE dan menstimulasi agent-aktif di permukaan TE
dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui TE. Pemberian dapat berupa
kortikosteroid oral atau topikal (nasal), ataupun kombinasi. Berdasarkan clinical guidance
1994, pemberian steroid bersama-sama antibiotika pada anak usia 1-3 tahun mampu
memperbaiki klirens OME dalam 1 bulan sebesar 25%. Namun demikian karena hanya
memberikan hasil jangka pendek dengan kejadian OME rekuren yang tinggi, serta resiko
sekuele maka kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan.
OTITIS EKSTERNA
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akibat infeksi bakteri. Beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya otitis eksterna, yaitu :
a. Derajat keasaman (pH)
pH basa mempermudah terjadinya otitis eksterna. Sedangkan pH asam berfungsi sebagai
protektor terhadap kuman.
14

b. Udara
Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman bertambah banyak.
c. Trauma
Trauma ringan misalnya setelah mengorek telinga.
d. Berenang
Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah terkena air.
Klasifikasi
Ada 2 jenis OE yaitu otitis eksterna akut dan otitis eksterna kronik. Otitis eksterna akut
sendiri terbagi atas 2 yaitu : otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) dan otitis eksterna
difus.
1. Otitis Eksterna Akut
i. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)
Adalah infeksi pada 1/3 luar liang telinga, khususnya adneksa kulit, yakni
pilosebaseus (folikel rambut & kelenjar sebaseus) dan kelenjar serumen akibat infeksi
bakteri Staphylococcus aureus & Staphyloccus albus.

Gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul), yaitu :
- Nyeri hebat
Nyeri ini tidak sesuai dengan besarnya furunkel (bisul). Nyeri timbul saat kita
menekan perikondrium karena jaringan ikat longgar tidak terkandung dibawah
kulit. Gerakan membuka mulut juga menjadi pemicu nyeri karena adanya sendi
temporomandibula.
- Gangguan pendengaran
15

Akibat furunkel (bisul) yang sudah besar dan menyumbat liang telinga.
Terapi otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) yang sudah membentuk abses, yaitu
:
Aspirasi steril untuk mengeluarkan nanah
Antibiotik topical (salep antibiotik) misalnya polymixin B dan bacitracin
Antiseptik : asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%.
Insisi : diakukan pada furunkel (bisul) yang berdinding tebal.
Pasang salir (drain) untuk mengalirkan nanah.
Obat simptomatik : analgetik dan penenang.
X Antibiotik sistemik biasanya tidak diperlukan.
ii. Otitis Eksterna Difus
Merupakan infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri. Umumnya
bakteri penyebab utamanya yaitu Pseudomonas, selain itu dapat pula terjadi akibat
Staphylococcus albus, Escheria coli. Kulit liang telinga terlihat hiperemis dan edem yang
batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul).
Gejala sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kadang-
kadang kita dapat menemukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir (mucin).
Lendir (mucin) merupakan sekret yang berasal dari cavum timpani dan kita temukan pada
kasus otitis media.
Terapi otitis eksterna difus, yaitu :
Tampon yang mengandung antibiotik.
Antibiotik sistemik jika diperlukan.




Otitis externa, diffuse desquamative type.
Layers of wet soggy white shed skin are partially blocking the ear
canal. Red swollen inflamed skin is preventing a proper view of the
eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. Until the
eardrum has been fully examined, it is impossible to know whether
or not there is an underlying middle ear disease such as
cholesteatoma.
16





2. Otitis Eksterna Kronik
Otitis eksterna kronik adalah infeksi liang telinga yang berlangsung lama dan ditandai
oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Terbentuknya jaringan ini menyebabkan liang telinga
menyempit. Otitis eksterna kronik dapat disebabkan oleh :
Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak adekuat.
Trauma berulang.
Benda asing.
Alat bantu dengar (hearing aid) : penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid.
Terapi otitis eksterna kronik dengan operasi rekonstruksi liang telinga.
Otitis externa secondary to infected grommet or ventilation tube.
Mucoid discharge with bubbles from middle ear.
Otitis externa. Mixed fungal and bacterial infection. Viewed with
operating microscope

c = conidiophores
m = mycelium
p = pus
Otitis externa. Suspicious for infected cholesteatoma.
Red granulation tissue overlying the bone of the left ear canal,
behind the eardrum. Layers of wet soggy white shed skin are stuck
to the eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. In
this case it was too painful to complete the cleaning in out-
patients. Microsuction under a general anaesthetic confirmed the
diagnosis.
17


Sumber:
Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H.
Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.


4. KARAKTERISTIK MEMBRAN TIMPANI DAN REFLEKS CAHAYA
Membran timpani
Membrane timpani adalah suatu membrane yang tipis dan tersusun dari jaringan fibrosa yang
berwarna abu-abu mutiara (pearly grey). Membrane berada berbentuk konkaf dari lateral dan
bagian terdalam dari lengkungan konkaf disebut sebagai umbo. Umbo adalah bagian membrane
timpani yang berhubungan dengan tulang malleus. Ketika membrane disinari cahaya, misalnya
melalui pemeriksaan otoskop, bagian konkaf akan memberikan reflex cahaya ( cone of light) yang
terletak anterior inferior dari umbo. Membrane timpani berbentuk sirkular dan berukuran diameter
kurang lebih 1 cm. beberapa bagian dari membrane timpani mengikuti bentuk hubungannya dengan
tulang pendengaran dibelakangnya. Perlekatan tulang maleus dengan membrane timpani terjadi
pada permukaan bagian dalam dari membrane timpani pada membrane mukoid. Membrane timpani
adalah bagian yang sangat sensitive terhadap nyeri, dipersyarafi oleh nervus auriculotemporal dan
cabang auricular dari nervus vagus.
Fungsi dari membrane timpani adalah: membantu menyalurkan gelombang suara menuju telinga
bagian tengah (tulang pendengaran). Membrane timpani akan bergetar ketika dilalui oleh
gelombang suara dan getaran ini yang akan disalurkan ke telinga bagian tengah. Tekanan pada
bagian lateral dan medial membrane timpani adalah sama (tekanan atmosfir). Bagian lateral
berhubungan langsung dengan udara luar sedangkan bagian dalam berhubungan dengan udara luar
melalui tuba eustachius yang menghubungkan telinga bagian tengah dengan nasopharing. Pada
keadaan normal, tuba eustachius tertutup, akan terbuka pada keadaan-keadaan dimana terjadi
18

perbedaan tekanan antara telinga luar dan dalam. Terbukanya tuba eustachius akan kembali
menyeimbangkan tekanan di telinga luar dan tengah.














Membrane timpani
dan reflex cahaya
kanan
Membrane timpani
dan reflex cahaya kiri
19


Membran timpani mempunyai reflex cahaya meredup pada:
1. Membran timpani yang menebal : radang akibat timbunan kolagen terhialinisasi pada
bagian tengah.
2. Membran timpani yang menebal : hilangnya lapisan tengah (membrana propria), sebagai
akibat dari disfungsi ventilasi tuba eustachius.
3. Retraksi Membran timpani : akibat vakum pada telinga tengah.
4. Menonjol : akibat massa atau infeksi pada telinga tengah.
5. Membran timpani meradang : miringitis.

Sumber :
- Snell RS. Clinical Anatomy 7
th
ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2004.
- Sherwood, Lauralee. Human Physiology from Cell to System 6
th
ed. USA: Thompson;
2007.

5.PERFORASI MEMBRAN TIMPANI
a. Perforasi sentral (sub total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran timpani.
Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani.
b. Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau
sulkus timpanikum. Tipe marginal perforasi berada di pinggir membran timpani.
c. Perforasi atik (pars flacid). Letak perforasi di pars flaksida membran timpani.
d. Perforasi tipe tuba: perforasi dekat muara timpani dengan tuba eustachius.

tipe perforasi marginal
20

Ini menandakan bahwa tulang pada margo timpani telah mengalami destruksi

tipe perforasi sentral
tipe perforasi attic (pars flaksida)
Ini menandakan bahwa sudah ada kholesteatoma pada epi timpanum .
tipe perforasi tuba

Ukuran perforasi membrana timpani dibagi menjadi
1. Kecil : hanya melibatkan 1 kuadran atau < 10% pars tensa
21


2. Sedang : melibatkan 2 kuadran atau 10 40 % pars tensa

3. Besar : melibatkan 3 4 kuadran atau > 40% dari pars tensa dengan sisa membrana
timpani yang masih lebar .

4. Subtotal : melibatkan 4 kuadran dan mencapai annulus fibrosus
22



5. Total : perforasi seluruhnya dari pars tensa dan anulus fibrosus


* Perforasi membran timpani karena trauma umumnya berukuran kecil, dengan tepi yang tidak
rata dan kebanyakan memiliki bekuan darah, sedangkan perforasi membran timpani karena otitis
media ukurannya beradam dengan tepi yang rata dan tanpa bekuan darah.
23



6. PUCAT PADA MUKOSA KAVUM NASI
Pucat pada mukosa kavum nasi dapat disebabkan oleh Rhinitis alergi ataupun rhinitis
vasomotor
Rhinitis alergi: pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak, bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi.
Rhinitis vasomotor: pada rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa
edemamukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua atau bahkan pucat.
7. KONKA DAN MEATUS DI CAVUM NASI
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha
inferior.Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian
yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
24

celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media
disebut meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan
celah yanglebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara
dari sinus maksilla,sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulat sabit yangdi kenal s ebagai i nf undi bul um. Ada s uat u muar a
at au f i s ur a yang ber bent uk bul an s abi t menghubungkan meat us medi us
dengan i nf undi bul um yang di namakan hi at us s emi l unar i s . Di ndi ng i nf er i or
dan medi al i nf undi bul um membent uk t onj ol an yang ber bent uk s eper t i l aci
dan di kenal s ebagai pr oces us uns pi nat us .
25


Fungsi konka dan meatus:
Konka:
1. Fungsi turbinasi udara yang masuk dalam cavum nasi
2. Memperluas permukaan mukosa hidung
3. Mengatur kondisi udara (air conditioning) yang masuk
Fungsi hidung sebagai pengataur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk kedalam alveolus paru.
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembapan udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembapan udara, fungsi ini dilakukan oleh palut lender ( mucous blanket ).
26

Uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
keadaan sebaliknya.
Mengatur suhu, fungsi ini demungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37 derajat celcius.

Meatus :
Meatus inferior : terletak di bawah konka inferior dan merupakan meatus terbesar dari meatus
lainnya. Meatus tersebut merupakan muara dari duktus nasolakrimal ipsilateral
Meatus medius : terletak diantara konka inferior dan konka medius. Meatus tersebut menerima
drainase cairan dari sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sel udara ethmoid anterior.
Meatus superior : terletak di bawah konka superior dan di atas konka medius. Meatus ini
menerima drainase cairan dari sel udara ethmoid posterior.
Perforasi membran timpani karena trauma umumnya berukuran kecil, dengan tepi yang tidak rata
dan kebanyakan memiliki bekuan darah, sedangkan perforasi membran timpani karena otitis
media ukurannya beradam dengan tepi yang rata dan tanpa bekuan darah.
Sumber:
- Snell RS. Clinical Anatomy 7
th
ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2004.
- Sherwood, Lauralee. Human Physiology from Cell to System 6
th
ed. USA: Thompson;
2007.
- Anatomi dan fisiologi hidung. Available from
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf



27

8. Bagaimana keadaan konka yang normal, hipertrofi, atrofi ? Terjadi pada kelainan apa ?
Bagaimana membedakan konka hipertrofi dengan poloip cavum nasi ?

Kelainan pada Konka
- Hipertrofi, dapat terjadi pada rhinitis alergi, rhinitis simpleks dan rhinitis hipertrofi.
- Atrofi , dapat terjadi pada rhinitis atrofi.

Hipertrofi konka atrofi konka




Polip Nasi
Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan
polip berwarna putih bening atau keabu abuan, mengkilat, lunak karena banyak
mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi
kekuning kuningan atau kemerah merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat
28

bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang,
muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi
pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui
dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal
seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan
lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam
rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang
(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip
biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak,
polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain

:
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler dan
kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari bagian
mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling sering berasal
dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan masuk ke ronga
hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip koana. Secara
makroskopik polip tershat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau keabu-abuan.
Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel tidak bertambah
banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma sedangkan letaknya
berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf dan kelenjar sangat sedikit
dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.
29

Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip hidung sulit
ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara lain:
Proses inflamasi yang multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter
Aktivasi respon imun lokal
Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering
adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama
dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi
ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip.
Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di
antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang
berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak
adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam
kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.



30

Manifestasi klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung
yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.

Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama: hidung terasa tersumbat, rhinore jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia, bersin-bersin, nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai
infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rhinore purulen.
31

Gejala sekunder: bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, dan gangguan tidur. Juga
dapat menyebabkan gejala pada saluran nafas bawah, batuk kronik dan mengi.
Stadium-stadium polip nasi menurut Mackaydan Lund :
- stadium 0 : tidak ada polip
- stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
- stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
- stadium 3 : polip yang masif

Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak
mekar. Pada rhinoskopi anterior terlihat massa pucat berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan.
Tatalaksana
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,
kemudian dosis diturunkan perlahan lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc,
tiap 5 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk
rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn
kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih
aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan
menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drenase sinus.
Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat
adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan
keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus
paranasal tidak boleh dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian
dekongestan dan anestesi lokal.
32

Pada kasus polip yang berulang ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh
karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni :
1. Intranasal
2. Ekstranasal

Sumber :
1. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
2. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Febiger 14th edition. Philadelphia 1991
3. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
4. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
http://www.cipladoc.com/publications/Respiratory/Publication/nosematters/noseIssue03.htm
9. MIKROORGANISME PADA CAVUM NASI
Associations Between Humans and the Normal Flora



Table 1. Bacteria commonly found on the surfaces of the human body.
BACTERIUM Skin
Con-
junc-
tiva
Nose Pharynx Mouth
Lower
GI
Ant.
ure-
thra
Vagina
Staphylococcus epidermidis (1) ++ + ++ ++ ++ + ++ ++
Staphylococcus aureus* (2) + +/- + + + ++ +/- +
Streptococcus mitis

+ ++ +/- + +
Streptococcus salivarius

++ ++

Streptococcus mutans* (3)

+ ++

33

Enterococcus faecalis* (4)

+/- + ++ + +
Streptococcus pneumoniae* (5)

+/- +/- + +

+/-
Streptococcus pyogenes* (6) +/- +/-

+ + +/-

+/-
Neisseria sp. (7)

+ + ++ +

+ +
Neisseria meningitidis* (8)

+ ++ +

+
Enterobacteriaceae*(Escherichia
coli) (9)
+/- +/- +/- + ++ + +
Proteus sp.

+/- + + + + + +
Pseudomonas aeruginosa* (10)

+/- +/- + +/-

Haemophilus influenzae* (11)

+/- + + +

Bacteroides sp.*

++ + +/-
Bifidobacterium bifidum (12)

++

Lactobacillus sp. (13)

+ ++ ++

++
Clostridium sp.* (14)

+/- ++

Clostridium tetani (15)

+/-

Corynebacteria (16) ++ + ++ + + + + +
Mycobacteria +

+/- +/-

+ +

Actinomycetes

+ +

Spirochetes

+ ++ ++

Mycoplasmas

+ + + +/- +


++ = nearly 100 percent + = common (about 25 percent) +/- = rare (less than 5%)
* = potential pathogen
Saluran Napas atas manusia (hidung, faring) mengandung berbagai macam mikroorganisme.
Mikroorganisme tersebut antara lain: golongan bakteri aerobic (mis: Staphylococcus,
Corynebacterium, Stomatococcus, Micrococcus, dan Mycoplasma) dan anaerobic (mis,
Veillonella, Peptostreptococcus,Fusobacterium, Porphyromonas, Bacteroides, Prevotella,
34

Actinomyces, Lactobacillus, Bifidobacterium, and Propionibacterium). Beberapa dari
mikroorganisme yang menghuni saluran napas atas ada yang merupakan flora normal namun ada
juga yang merupakan flora pathogen. Staphylococcus aureus adalah salah satu jenis
mikroorganisme pathogen yang cukup berbahaya. Selain Staphylococcus aureus, organisme
pathogen lainnya adalah Streptococcus pneumoniae, beta-hemolytic streptococci, dan
Haemophilus influenza. Mikroorganisme ini berpotensi menyebabkan infeksi pada saluran napas
atas seperti sinusitis, pneumonia atau otitis. Organisme lain yang cukup berbahaya dan
berkolonisasi di hidung adalah Neisseria meningitides.
Sumber:
- Todar, Kenneth. Online Textbook of Bacteriology-The Normal Bacterial Flora of
Humans. Available from: http://www.textbookofbacteriology.net/normalflora.html
- Luck,urlich. Ingested Probiotics Reduce Nasal Colonization with Pathogenic
Bacteria (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, and
-hemolytic streptococci). Am J Clin Nutr 2003;77:51720
10. Jelaskan mengenai Rhinoskopi anterior dan posterior ! ( alat, persiapan pasien,
prosedur pelaksanaan, gambar )
a. Rhioskopi Anterior
RA dilakukan dengan menggunakan speculum hidung yang disesuaikan dengan besarnya
lubang hidung pasien. Spekulum hidung dipegang dengan tangan pemeriksa yang dominan.
Spekulum digenggam sedemikian rupa sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas dengan
menggunakan jari tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari telunjuk digunakan sebagai fiksasi
disekitar hidung. Lidah spekulum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke
dalam rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah
speculum terlalu dalam atau membuka lidah speculum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah
speculum dari rongga hidung, lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk
menghindari terjepitnya bulu-bulu hidung.
Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga hidung,
konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga hidung,
ada tidaknya massa, benda asing dan secret. Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka
inferior. Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala.
35

Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitupergerakan
palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf i. Pada waktu melakukan
penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata pemeriksa sejajar dengan
dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil
mengamati turun-naiknya palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf i. Fenomena
Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi
pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatin.
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon
kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan kedalam rongga hidung untuk
mengurangi edema mukosa.

b. Rhinoskopi Posterior
Prinsip: Menyinari koane dan dinding-dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan
oleh suatu cermin yang ditempatkan dalam nasofaring.
Syarat yang harus dipenuhi:
- Harus ada tempat yang cukup luas untuk menempatkan kaca. Untuk itu lidah tetap di
dalam mulut dan ditekan ke bawah dengan spatula.
- Harus ada jalan yang lebar antara uvula dan faring, agar cahaya yang dipantulkan oleh
cermin dapat masuk ke dalam nasofaring.
Cara bernapas: Penderita harus bernafas dari hidung, sehingga palatum molle akan
bergerak ke arah bawah, untuk memberi jalan bagi udara dari kavum nasi
ke paru-paru dan sebaliknya
Alat-alat:
- Cermin kecil
- Spatula
- Lampu spiritus
- Solusio tetrakain (efedrin ) 1%
36

Teknik pemeriksaan:
1. Pada penderita yang sangat sensitif, pemeriksaan baru dapat dimulai 5 menit setelah
kedalam faring diberikan tetrakain 1% (3-4x). Spatula dipegang dengan tangan kiri,
cermin dipegang dengan tangan kanan.
2. Memegang cermin dengan menggunakan tangan kanan, punggung cermin dipanasi pada
lampu spiritus. Temperatur cermin dicek dengan menyentuhkan pada punggung tangan
kiri (panasnya harus lebih sedikit dari 37
o
C). Tangkai cermin dipegang seperti memegang
pensil dan cemin diarahkan ke atas.
3. Mulut dibuka lebar-lebar, lidah ditarik ke dalam mulut, tidak boleh digerak-gerakkan dan
tidak boleh dikeraskan. Penderita diminta bernafas lewat hidung.
4. Ujung spatula diletakkan pada punggung lidah, di muka uvula. Lidah ditekan ke bawah,
hingga diperoleh tempat yang cukup luas untuk menempatkan cermin. Karena pada
median terdapat uvula, maka tempat yang cukup luas itu lebih cepat diperoleh bila lidah
ditekan di paramedial kanan dari penderita.
5. Memasukkan cermin ke dalam faring antara faring dan palatum molle kanan.
6. Cermin disinari.

4 tahap pemeriksaan pada rhinoskopi posterior :
Tahap I : Pemeriksaan septum nasi (margo posterior), koane, dan tuba kanan
Karena cermin letaknya para median, maka kelihatan kauda konka media kanan. Putar
tangkai cermin ke medial sehingga kelihatan margo posterior septum nasi di tengah tengah
cermin. Selanjutnya memutar kembali tangkai cermin ke kanan sehingga kelihatan konka
inferior ( yang paling besar), konka superior, meatus medius, ostium dan dinding-dinging
tuba.
Tahap II : Pemeriksaan septum nasi (margo posterior), koane, dan tuba kiri
Tangkai cermin kita putar kembali ke medial, hingga tampak margo posterior dari septum
nasi. Putar terus tangkai cermin ke kiri sehingga tampak berturut-turut konka media kanan
dan tuba kanan.
Tahap III : Memeriksa atap nasofaring
37

Tangkai cermin mulai diputar kembali ke medial sehingga pada cermin kelihatan kembali
margo posterior septum nasi. Sesudah itu tangkai cermin dimasukkan sedikit atau cermin
direndahkan sedikit.
Tahap IV : Memeriksa kauda konka inferior
Tangkai cermin direndahkan, atau cermin dinaikkan. Biasanya kauda konka inferior tidak
dapat dilihat. Dapat dilihat bila konka inferior hipertrofi, bentuknya seperti murbei
(berdungkul-dungkul).
Kelainan yang harus diperhatikan:
- Radang: pus pada meatus medius dan meatus superior, adenoiditis, ulkus pada dinding-
dinding nasofaring (tbc).
- Tumor: contohnya poliposis dan karsinoma

Sumber:
Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.
11. GRANULA PADA DINDING POSTERIOR OROPHARING
Granula : dinding posterior orofaring yang tidak rata
Menandakan adanya : faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yagn dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma, toksin dan lain-lain.
38

Faringitis dibagi menjadi faringitis akut dan kronik berdasarkan perjalanan penyakitnya
1. Faringitis akut : faringitis viral, bacterial,fungal, gonorea
2. Faringitis kronik : faringitis kronik hiperplastik dan faringits kronik atrofi
3. Faringitis spesifik: faringitis luetika, faringitis tuberculosis

12. Jelaskan anatomi tonsil normal ! Bagaimana menilai pembesaran tonsil ? Apabila
terjadi pelebaran kripta dan detritus, hal tersebut menandakan apa ?
a) Anatomi tonsil normal

39



b) Menilai pembesaran tonsil

Standardized tonsillar hypertrophy grading scale :
(0) Tonsils are entirely within the tonsillar fossa
(1+) Tonsils occupy less than 25 percent of the lateral dimension of the oropharynx as
measured
between the anterior tonsillar pillars.
40

(2+) Tonsils occupy less than 50 percent of the lateral dimension of the oropharynx.
(3+) Tonsils occupy less than 75 percent of the lateral dimension of the oropharynx.
(4+) Tonsils occupy 75 percent or more of the lateral dimension of the oropharynx

c) Kripta dan dentritus
Kripta merupakan alur-alur yang terdapat pada tonsil normal.
Dentritus terdiri dari sel epitel yang mati, sel leukosit yang manit dan bakteri yang
menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan.
Proses peradangan tonsil dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang
berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, shingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta
akan melebar.
Secara klinis, kripta ini akan tamapa diisi oleh dentritus. Proses ini meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris.

Sumber:
1. Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
2. http://www.aafp.org/afp/2004/0301/p1147.html

13. GANGGUAN PADA PALATUM MOLLE YANG MENYEBABKAN PALATUM
ASIMETRIS

41


Abses Peritonsil
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah di daerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi
tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitarfaring menyebabkan
pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsultonsil tetapi tetap dalam batas otot
konstriktor faring
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah)
yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringanperitonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut
atauinfeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanyakuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateraldan lebih sering pada
anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupunyang bersifat
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan absesperitonsiler
adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),Staphylococcus aureus,
dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
42

Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk
kebanyakan abses peritonsiler diduga karena kombinasi kuman aerob dan anaerob.

Manifestasi klinis yang ditimbulkan Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga
odinofagia (nyerumenelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri
telinga(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah(hipersalivasi),
suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membukamulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher(limitation in neck
mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy danperadangan otot tengkuk (cervical muscle
inflammation)1. Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle
aspiration).Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrinedan
jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran10cc. Aspirasi
material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, danmaterial dapat dikirim untuk
dibiakkan.

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2:
1.Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.

2.Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi absesparafaring. Kemudian
dapat terjadi penjalaran ke mediastinummenimbulkan mediastinitis.

4. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak
5. .
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTAdiabaikan. Beratnya
komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.Untuk itulah diperlukan penanganan
dan intervensi sejak dini.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obatsimtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin padaleher. Antibiotik yang diberikan ialah
43

penisilin 600.000-1.200.000 unit atauampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin
3-4 x 250-500 mg,metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudiandiinsisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang palingmenonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasaruvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukandengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan pemeriksan Sebagian penulis menganjurkan
tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingatkemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagimenganjurkan tonsilektomi segera10

Sumber :
- Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Headand
Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher.Philadelphia.
P :1224, 1233-34.
- Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam:
Boies, Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta
-. Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery.
USA: McGraw-Hill; 2008.


14. Jelaskan mengenai Laringoskopi direk dan indirek ! ( alat, persiapan pasien, prosedur
pelaksanaan, gambar )
Laringoskopi direk dan indirek
A. Laringoskop indirek
Suatu pemeriksaan untuk memeriksa keadaan tenggorok dan adneksanya secara tidak
langsung atau menggunakan reflektor.
Alat: - kaca reflektor yang sudah dihangatkan
- kassa

44

Cara pemeriksaan:
1. Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar kemudian menjulurkan lidahnya
semaksimal mungkin.
2. Dengan menggunakan kasa, pemeriksa memegang dan menarik lidah pasien.
3. Dengan hati-hati, pemeriksa memasukkan kaca reflektor ke rongga mulut pasien,
dengan kaca ke arah bawah.
4. Dengan menggunakan kaca reflektor, pemeriksa mengangkat uvula untuk
mendapatkan gambaran laring yang lebih baik.

Organ yang dilihat pada laringoskopi:
- Sinus piriformis
- Valecula
- Dinding faring
- Pita suara
- Trakea bagian atas melalui pita suara

B. Laringoskopi direk
Pemeriksaan dengan menggunakan alat laringoskop.

a. Laringoskop fleksibel
Inspeksi menggunakan laringoskop fleksibel diindikasikan untuk diagnostik,
misalnya ketika pasien mengalami suara serak, kesulitan bernafas, atau nyeri
tenggorokan yang parah. Pengamatan langsung terhadap laring diperlukan untuk
45

mengkonfirmasi diagnosis, misalnya paralisis dari pita suara, arthritis dari struktur
penunjang (cricoarytenoid arthritis), atau adanya massa pada leher atau laring.
Beberapa kelainan kongenital juga dapat didiagnosis dengan laringoskopi
fleksibel misalnya laryngomalacia ("floppy" larynx); stenosis subglotis; vascular rings
(abnormalitas dari pembuluh darah utama jantung atau paru); congenital laryngeal
webs (adanya membran yang menutup pita suara); dan laryngocele (kista).




b.
Laringoskop rigid
Penggunaan laringoskopi rigid lebih bersifat terapeutik, misalnya untuk
pengambilan jaringan (biopsi), pengambilan benda asing atau mukus yang tebal, atau
dapat juga dikombinasikan dengan operating microscope atau laser untuk membuang
polip atau kista pada pita suara.











46

16. Jelaskan mengenai drainase kelenjar getah bening daerah colli !
Rantai jugular profunda terbentang dari dasar tengkorak sampai klavikula dan
membentuk kelompok superior, media, dan inferior dari nodul-nodul limfe.
Nodus jugular profunda superior menerima drainase utama dari palatum molle, tonsil,
palatoglossal, dan arcus palatofaringeal, lidah posterior, dasar lidah, sinus piriformis, dan laring
di atas vocal cord. Kelompok nodul limfe ini juga menerima drainase dari nodus superior dari
kepala bagian atas, dan leher (retrofaringeal, spinal aksesorius, parotis, cervicalis superior, dan
nodul submandibula).
Nodul jugular profunda yang media menerima drainase utama dari laring di atas pita
suara, sinus piriformis bagian bawah, dan cricoid posterior. Sedangkan drainase sekunder dari
nodul jugular profunda diatasnya dan nodul retrofaringeal bagian bawah.
Nodul jugular profunda inferior menerima drainase utama dari tiroid, trakea, dan
esofagus bagian cervical. Sedangkan drainase sekunder dari nodul jugular profunda di atasnya
dan nodul paratrakeal.nodus retrofaringeal dan paratrakeal berada di posterior dari visera bagian
midline. Nodul ini menerima drainase dari organ visera dan struktur organ dalam di midline
kepala contohnya : nasofaring, kavita nasal bagian posterior, sinus paranasal, orofaring posterior.
Nodul ini didrainese menuju rantai jugular profunda.
Nodul superfisial cenderung mengalir menuju nodus profunda. Nodul superfisial terdiri
submental, cervical superficial, submandibular, spinal aksesorius, dan skalenus anterior. Nodus
submental mengalir menuju dagu, bibir bawah bagian tengah, ujung lidah, dan mulut bagian
anterior. Nodul ini mengalir ke nodul submandibula. Nodul submandibula mengalir menuju
nodul jugular profunda superior. Nodul cervical superfisial berada sepanjang vena jugular
externa, yang didrainese dari kutaneus linfatik dari wajah, khususnya dari glandula parotis,
belakang telinga, nodul parotis dan oksipital.
Nodus pada segitiga posterior berada sepanjang nervus spinalis aksesorius. Nodul ini
menerima aliran dari regio parietal dan oksipital dari kulit kepala.nodus yang bagian atas
mengalirkan ke nodul profunda superior sementara yang bagian bawah mengalir menuju nodul
supraklavikular.
Nodus skalenus anterior (Virchow) menerima drainase dari duktus thorasikus dan berada
pada sambungan dari duktus thorasikus dan vena subklavia kiri. Biasanya merupakan tempat
metastase dari tubuh bagian bawah. Nodul supraklavikular menrimadrainase dari nodul spinalis
47

aksesoris dan dari bagian infraklavikular. Semua sistem limfatik mengalir menuju sistem vena,
bersamaan dengan duktus torasikus bagian kiri atau duktus limfatikus kanan.












Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada
rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang selalu terlibat dalam
metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian jugularis interna, yang terbentang antara
klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna ini dibagi dalam kelompok
superior, media, dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adlah submental,
submandibula, servikalis supervisial, retrofaring, paratrakeal, spinalis asesorius, skalenus
anterior dan supraklavikula.
Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal dari daerah
palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring.
Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius,
parotis, servikalis superficial dan kelenjar limfa submandibula.
Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal langsung dari
subglotik laring, sinus pirimormis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima
aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan kelenjar limfa
retrofaring bagian bawah.
48

Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran aliran limfa yang berasal
lansung,glandula tiroid, trakea, esophagus, bagian servikal. Juga menerima aliran limfa yang
berasal dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan media, dan kelenjar limfa paratrakea.
Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental diantara palstima dan
m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari
dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian servikal
bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi
homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa
jugularis interna.
Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam
kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur
submandibula,bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian kelopak mata,
palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis
interna superior.
Kelenjar limfa servikal superficial, terletak di sepanjang vena jugularis eksterna,
menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis dan kelenjar limfe
oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior.
Kelenjar limfe retrofaring, terletak diantara faring dan fasia pravertebrata, mulai dari
dasar tengkorak samapi ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima liran limfa
dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferern mengalirkan
limfa ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior.
Kelenjar limfa paratrakea, menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian bawah,
hipofaring, esophagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen
mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfe mediastinum
superior.
Kelenjar spinal asesorius, terlatk di sepanjang saraf spinal asesoris, menerima aliran limfa
yang berasal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian belakang leher. Kelenjar limfa
parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dari sinus paranasal.pembuluh
eferan mengalirkan limfa kelenjar limfa supraklavikula.
Rangkaian kelenjar jugularis interna megalirkan limfa ke trunkus jugularis dan
selanjutnya masuk ke duktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dengan untuk sisi yang sebelah
49

kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung ke system vena pada pertemuan vena
jugularis interna dan vena subklabia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan
menerima aliran limfa dari kelenjar limfa supraklavikula.











Daerah Kelenjar Limfe Leher
Letak kelenjar limfe leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification di bagi dalam lima daerah mnyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah:
1. kelenjar yang terletak di segitiga submental, dan submandibula
2. kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior,
kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior.
3. kelenjar limfa jugularis diantara bifurcatio karotis dan persilangan m.omohioid
dengan m. sternokleidomastoideus dan batas posterior m. sternokleidomastoideus.
4. grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
5. kelenjar yang berada di segitiga jugularis dan supraklavikula


50

Cara memegang otoskop
Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan kanan untuk
memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi
otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan pada pipi
pasien.

Terapi sinusitis
Pada sinusitis kronik perlu diberikan terapi antibiotika untuk mengatasi infeksinya dan
obat-obatan simtomatis lainnya. Antibiotika diberikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu.
Selain itu dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus
yang sakit.
Tindakan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan untuk membantu memperbaiki
drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi
dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis etmoid, sinusitis frontal atau sinisitis sfenoid
dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus ini dilakukan 2 kali dalam
seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekrer
purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka
perlu dilakukan operasi radikal.
Untuk mengetahui perubahan mukosa sinus masih reversible atau tidak, dapat juga
dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi, yaitu melihat antrum (sinus maksila) secara langsung
dengan menggunakan endoskop.

X.1 Pembedahan Radikal
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal yaitu mengangkat mukosa
yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan
operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang bisa
dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal).
51

Drenase sekret pada sinus frontal dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) operasi
dari luar(ekstranasal), seperti pada operasi Killian. Drenase sinus sfenoid dilakukan dalam
hidung (intranasal).

X.2 Pembedahan Tidak Radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasl dengan menggunakan
endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah membuka
dan membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi, sehingga ventilasi dan dranase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan
demikian mukosa sinus akan kembali normal.

Anda mungkin juga menyukai