Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

IMUNODEFISIENSI

Dosen ; Ns. Priyanto. S kep. M kep. Sp KMB



Di susun oleh ;

Kelompok 11
Niken Pratiwi (010111a084)
Tri setyo Nugroho (010111a118)
Tumpuk (010111a119)




PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN
2014

KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirobbil alamin. Pada kesempatan ini tiada kata yang pantas terucap selain untaian
syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak limpahan rahmat, anugerah
dan karunianya yang begitu luar biasa sehingga penulis masih bisa merasakan indahnya nikmat
ini dan Nabi Muhamad SAW sebagai suri tauladan untuk setiap perbuatan dan ucapan
terimakasih khususnya kepada pihak-pihak yang banyak membantu dalam menyelesaikan
makalah ini
Dalam makalah ini membahas tentang Imunodefisiensi. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, baik isi maupun dalam hal penyampaiannya.
Untuk itu penulis memohon maaf, serta selalu mengharapkan segala kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca yang budiman serta para pembimbing yang bijak
Akhir kata semoga makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi rekan-rekan semua dan semoga dapat bermanfaat


penulis








BAB 1. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perubahan terbentuknya sistem imunokompeten penting untuk melindungi organisme tubuh
terhadap invasi dari luar. Karenanya setiap defisiensi pada salah satu komponen dari sistem
imun itu dapat mengganggu aktivitas sistem pertahanan tubuh. Perubahan patologis pada
sistem imunologi yaitu syndrome imunodefisiensi, dimana Imunodefisiensi itu adalah keadaan
dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara
primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan,serta secara
sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika,
radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut
dan malnutrisi (Kekurangangizi). Immunodefisiensi tampak secara klinis sebagai
kecenderungan yang abnormal untuk menderita infeksi. Imunodefisiensi perlu dicurigai ada
pada penderita yang menderita infeksi oleh organisme yang tidak patogen pada individu
normal.Pasien dengan imunodefisiensi mengalami infeksi yang tidak akan hilang tanpa
menggunakan anti biotik dan sering kambuh antara satu atau dua minggu setelah pemakaian
anti obiotik selesai. Pasien-pasien ini seringkali memerlukan berbagai jenis antibiotik tiap
tahun untuk tetap sehat. Ada beberapa bentukimunodefisiensi dan diantaranya sangat parah
dan mengancam kehidupan. Beberapa lebih ringan, tapi cukup penting dalam menyebabkan
infeksi parah yang
B. Tujuan
Dari penulisan makalah ini diharapkan agar mahasiswa lebih mengerti tentang:
1. Imunodefisiensi pada manusia.
2. Bentuk-bentuk imunodefisiensi.
3. Tindakan keperawatan imunodefisiensi


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Penyakit imunodefisiensi disebabkan menurunya atau gagalnya fungsi salah satu atau
lebih komponen sitem imun. Imunodefisiensi spesifik dapat melibatkan kelainan pada sel
T atau sel B yang merupakan komponen sistem imun spesifik, sedangkan kelompok
imunodefisiensi non spesifik yang melibatkan komponen komponen sitem imun yang
terutama terdiri atas sistem fagosit dan komplemen.
(Siti Boedina Kresno, 2003)
Imunodefisiensi adalah kelainan imunodefisiensi yang lebih sering ditemukan sebagai
penyakit sekunder akibat obat obatan, mal nutrisi atau infeksi namun dapat pula
disebabkan oleh kelainan genetic
(Benjamin w.s, 2011)
Imunodefisiensi adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh defek atau defisiensi pada
sel sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau komplemen.
(Brunner&Suddarthh, vol3)


Jenis Jenis Imunodefisiensi
1. Imunodefisiensi primer
Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara genetik dan
mempengaruhi bagian humoral dan/atau seluler dari imunitas adaptif (dimediasi oleh
sel limfosit B dan T), atau dapat juga mempengaruhi mekanisme defensif dari imunitas
bawaan (sel NK, fagosit, atau komplemen). Defek pada imunitas adaptif umumnya
disubklasifikasikan pada komponen yang terutama terkait (sel B/T/keduanya). Akan
tetapi, pembagian ini masih kurang jelas karena adanya keterkaitan antara satu
komponen dengan komponen yang lain yang menyebabkan pembedaan antar
komponen penyebab menjadi sulit. Walau umumnya dianggap cukup jarang, bentuk
ringan dari imunodefisiensi primer ini dapat ditemukan di banyak orang. Sebagian
besar imunodefisiensi ini bermanifestasi pada usia bayi (6 bulan-2 tahun) dan
terdeteksi karena bayi mengalami infeksi rekuren. Berikut dijelaskan secara singkat
berbagai kelainan imunodefisiensi yang paling sering ditemukan.

a. Brutons Agammaglobulinemia
Kelainan ini ditandai oleh kegagalan prekursor sel B (sel pre-B dan pro-B)
berkembang menjadi sel B matur. Hal ini disebabkan oleh adanya defek pada gen
pada kromosom X (q21.22) yang mengkode tirosin kinase sitoplasma yang
bernama Bruton tyrosine kinase (Btk).1 Btk dibutuhkan sebagai suatu signal
transducerdalamrearrangement dari light-chain imunoglobulin sehingga komponen
yang dibutuhkan untuk maturasi sel B lengkap. Penyakit ini paling sering
ditemukan pada pria, walau terdapat kasus sporadik pada wanita. Penyakit ini
mulai terlihat pada usia 6 bulan setelah imunoglobulin maternal mulai habis,
ditandai dengan adanya infeksi rekuren pada saluran pernafasan, terutama oleh
Haemophilius influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Staphylococcus aureus.
Infeksi Giardia lamblia juga dapat menjadi tanda dari keberadaan penyakit ini.
Karakteristik utama dari penyakit ini meliputi :
Absennya sel B di sirkulasi, serta penurunan level semua imunoglobulin di
serum
Kurang berkembangnya nodus limfa, Peyers patches, appendiks, dan tonsil
Absennya sel plasma di seluruh tubuh
Umumnya penyakit ini diatasi dengan pemberian replacement therapy berupa
imunoglobulin.

b. Common Variable Immunodeficiency
Sesungguhnya CVI merupakan kumpulan dari berbagai penyakit yang memiliki
beberapa kesamaan fitur pada pasien, yaitu hipogammaglobulinemia, yang
umumnya mempengaruhi semua kelas antibodi tetapi dapat juga hanya menyerang
IgG. Diagnosis CVI didapatkan setelah mengekslusikan penyakit lain. Belum
ditemukan pola penurunan pada CVI yang familial. Berbeda dengan Brutons
agammaglobulinemia, level sel B pada pada darah dan sel limfoid berada pada
level mendekati normal, akan tetapi mereka tidak dapat berdiferensiasi menjadi sel
plasma, diduga karena adanya mutasi pada beberapa molekul seperti ICOS atau
BAFF.1 Manifestasi klinis dari penyakit ini menyerupai Brutons
agammaglobulinemia.

c. Isolated IgA Deficiency
Imunodefisiensi primer ini cukup sering ditemukan, terutama pada ras kaukasian.
Seseorang dengan kondisi ini akan memiliki level IgA yang rendah di serum dan
yang disekresikan. Penyebabnya dapat disebabkan genetik maupun infeksi karena
toksoplasma, measles virus, atau infeksi virus lain. Sebagian besar orang dengan
penyakit ini tidak memunculkan simptom, akan tetapi karena IgA berpengaruh
pada imunitas pada mukosa, terdapat kemungkinan lebih tinggi dalam terkena
infeksi di traktus respirasi, gastrointestinal, dan urogenital. Defisiensi IgA ini
disebabkan oleh kegagalan diferensiasi limfosit B naif menjadi sel penyekresi IgA
oleh karena penyebab yang belum diketahui.

d. Hyper-IgM Syndrome
Pada sindrom ini, pasien dapat memproduksi IgM tetapi mengalami defisiensi
produksi IgG, IgA, dan IgE. Hal ini menyebabkan defek pada aktivasi respons
imun oleh sel T helper, dimana maturasi sel B dalam menyekresikan
imunoglobulin berbeda akn terhambat. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada
gen pengkode CD40L pada lokus Xq26.1Secara klinis, seseorang dengan penyakit
ini mengalami infeksi bakteri piogenik rekuren, serta memiliki suspektiblitias
terhadap pneumonia yang tinggi.

e. DiGeorge Syndrome
Sindrom DiGeorge merupakan suatu kondisi dimana terjadi defisiensi sel T karena
kegagalan perkembangan pharyngeal pouch ketiga dan keempat, yang berkaitan
dengan perkembangan timus, paratiroid, dan sebagian clear cell tiroid. Hal ini
menyebabkan munculnya beberapa tanda sindrom ini, yaitu menurunnya level sel
T, tetanus, dan defek jantung kongenital. Tampakan wajah, mulut, dan telinga
dapat menjadi abnormal. Sindrom ini disebabkan karena delesi gen pada
kromosom 22q11

f. Severe Combined Immunodeficiendcy
Penyakit ini merupakan gabungan dari beberapa sindrom yang memiliki defek
umum baik pada imunitas humoral dan seluler. Umumnya bayi yang terkena
sindrom ini mengalami kandidiasis oral, diaper rash, dan kegagalan berkembang.
Mereka juga sangat mudah terkena infeksi rekuren dan berat oleh banyak patogen,
termasuk Candida albicans, P. jiroveci, dan Pseudomonas. Bentuk yang paling
sering adalah yang disebabkan oleh defek kromosom X, dimana terjadi mutasi
gamma-chain reseptor sitokin yang mengkode interleukin. Bila terjadi defek, maka
bahkan mulai dari perkembangan limfosit pun akan terpengaruh. Sebagian besar
kasus SCI lainnya diturunkan secara autosomal resesif, seperti pada defisiensi
enzim ADA (adenosine deaminase) yang menyebabkan toksisitas limfosit T
imatur. Pilihan penatalaksanaan utamanya berupa transplantasi sumsum tulang.

g. Wiskott-Aldrich Syndrome
Sindrom ini merupakan sindrom X-linked yang ditandai dengan trombositopenia,
eksema, dan vulnerabilitas terhadap infeksi rekuren sehingga menyebabkan
kematian dini. Terdapat deplesi limfosit T secara sekunder di darah perifer dan
nodus limfe, dengan ketiadaan antibodi untuk polisakarida serta level IgM yang
menurun. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi gen WASP pada lokus p11.23.

h. Genetic Deficiencies of the Complement System
Umumnya defisiensi komplemen disebabkan oleh faktor genetik. Defisiensi
komplemen yang paling sering adalah defisiensi komplemen C2, akan tetapi
efeknya lebih kepada peningkatan suspektibilitas seseorang terhadap penyakit
autoimun. Akan tetapi, defisiensi C3 juga dapat menyebabkan peningkatan
suspektibilitas terhadap infeksi rekuren bakteri piogen. Defisiensi C5-9
menyebabkan adanya peningkatan kemungkinan infeksi Neisseria karena efek litik
C5-9 hilang. Defek pada inhibitor komplemen C1 menyebabkan terjadinya
angioedema pada kulit dan permukaan bermukosa.

2. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisensi sekunder dapat dijumpai pada individu dengan berbagai kondisi.
Penyebab yang paling sering adalah virus HIV. Secara umum, imunodefisiensi sekunder
disebabkan oleh dua mekanisme utama, yaitu imunosupresi yang muncul akibat
komplikasi dari penyakit atau keadaan lain, dan imunodefisiensi iatrogenik yang muncul
sebagai efek samping dari suatu terapi atau perlakuan lain.
Malnutrisi. Penyakit/keadaan yang dapat menyebabkan imunodefisiensi sekunder
meliputi: Malnutrisi protein-kalori sering ditemukan di negara berkembang dan
diasosiasikan dengan gangguan imunitas selular dan humoral pada mikroorganisme
yang disebabkan oleh gangguan proses metabolik tubuh. Gangguan ini dikarenakan
defisiensi konsumsi protein, lemak, vitamin, dan mineral, dan akan mempengaruhi
maturasi serta fungsi dari sel-sel imun
Kanker. Pasien dengan kanker yang telah menyebar luas umumnya mudah terinfeksi
mikroorganisme karena defek pada respons imun humoral dan selular. Tumor bone
marrow dan leukemia yang muncul di sumsum tulang dapat menggangu pertumbuhan
limfosit dan leukosit normal. Selain itu, tumor dapat memproduksi substansi yang
menghambat perkembaangan atau fungsi limfosit, seperti pada penyakit Hodgkin.
Dapat pula terjadi anergi, yaitu suatu kondisi dimana sistem imun tidak dapat
menginduksi respon imun terhadap antigen.
Infeksi. Selain infeksi HIV, infeksi lain juga dapat menyebabkan kelainan respons
imun, contohnya pada virus measles dan HTLV-1 (Human T-cell Lymphothropic
Virus-1) yang keduanya menginfeksi limfosit. HTLV-1 merupakan retrovirus mirip
HIV, akan tetapi HTLV-1 bekerja dengan mengubah sel T helper menjadi sel T
neoplasma yang malignan, disebut juga ATL (adult T-cell Leukemia). HTLV-1 dapat
menyebabkan berbagai infeksi oportunistik. Selain virus, infeksi kronik
Mycobacterium tuberculosis, berbagai jenis fungi, dan berbagai jenis parasit dapat
juga menyebabkan imunosupresi.
Sementara itu, terapi atau perlakuan lain yang dapat menyebabkan imunodefisiensi
adalah :
Pemberian obat. Beberapa obat diberikan untuk menyupresi respon imun, seperti
kortikosteroid dan siklosporin. Selain itu, kemoterapi pada penderita kanker juga
memliki efek samping imunosupresi berupa efek sitotoksik pada limfositselama
beberapa saat, sehingga pasien kanker yang baru menjalani kemoterapi akan
mengalami satu periode dimana dia akan lebih mudah terinfeksi suatu
mikroorganisme.
Pengangkatan lien. Seseorang yang mengalami pengangkatan lien sebagai terapi
karena trauma atau kondisi hematologik dapat menyebabkan adanya peningkatan
suspeksibilitas terhadap infeksi, terutama terhadap bakteri encapsulated seperti
Streptococcus pneumoniae. Hal ini disebabkan oleh defek klirens mikroba
teropsonisasi di darah yang semestinya dilakukan lien.[ps]


: http://www.pustakasekolah.com/pengertian-imunodefisiensi.html#ixzz2xFZ0zphP
B. Etiologi
Immunodefisiensi bisa timbul sejak seseorang dilahirkan (immunodefisiensi kongenital)
atau bisa muncul di kemudian hari. Immunodefisiensi kongenital biasanya diturunkan.
Terdapat lebih dari 70 macam penyakit immunodefisiensi yang sifatnya diturunkan
(herediter). Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun pada penyakit
lainnya, jumlah sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan.
Pada sebagian penyakit lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi
komponen sistem kekebalan lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi yang didapat biasanya terjadi akibat suatu penyakit. Immunodefisiensi
yang didapat lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan,
sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel
darah putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur
Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami immunodefisiensi. Limpa
tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme infeksius
lainnya yang masuk ke dalam peredaran darah, tetapi juga merupakan salah satu tempat
pembentukan antibodi.
Jika limpa diangkat atau mengalami kerusakan akibat penyakit (misalnya penyakit sel
sabit), maka bisa terjadi gangguan sistem kekebalan.
Jika tidak memiliki limpa, seseorang (terutama bayi) akan sangat peka terhadai infeksi
bakteri tertentu (misalnya Haemophilus influenzae, Escherichia coli dan Streptococcus).
Selain vaksin yang biasa diberikan kepada anak-anak, seorang anak yang tidak memiliki
limpa harus mendapatkan vaksin pneumokokus dan meningokokus.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme :
Diabetes
Sindroma Down
Gagal ginjal
Malnutrisi
Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
Kemoterapi kanker
Kortikosteroid
Obat immunosupresan
Terapi penyinaran
3. Infeksi
Cacar air
Infeksi sitomegalovirus
Campak Jerman (rubella kongenital)
Infeksi HIV (AIDS)
Campak
Infeksi bakteri yang berat
Infeksi jamur yang berat
Tuberkulosis yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
Agranulositosis
Semua jenis kanker
Anemia aplastik
Histiositosis
Leukemia
Limfoma
Mielofibrosis
5. Pembedahan dan trauma
Luka bakar
Pengangkatan limpa

C. Manifestasi klinis
Pasien yang menderita infeksi kronis cenderung pucat dan kurus. Mereka juga menunjukkan
adanya ruam kulit, pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa, dan pembuluh darah
rusak terutama didekat permukaan kulit mengakibatkan tanda hitam kebiruan. Sistem
kekebalan tubuh terdiri dari kumpulan sel, organ khusus dan protein dalam darah yang
bekerja secara kolektif untuk mempertahankan tubuh terhadap zat-zat asing yang menyerang
tubuh dari lingkungan eksternal. Sejumlah besar gen yang diperlukan untuk membuat
komponen-komponen sistem kekebalan tubuh. Cacat gen adalah penyebab penyakit
defisiensi imun. Genetik seperti defisiensi imun sering menyebabkan bakteri, virus atau
infeksi jamur dan dikenal untuk meningkatkan kemungkinan kanker,rheumatoid arthritis dan
jenis tertentu anemia yang dihasilkan dari kerusakan dini RBC.Ketika sistem kekebalan
tubuh terganggu selama perkembangan janin, hal itu menghasilkan kelainan bawaan
defisiensi imun. Imunodefisiensi kongenital dapat terjadi sebagai akibatdari cacat dalam B-
limfosit, T limfosit atau keduanya.Sekunder atau penyakit defisiensi imun yang diperoleh
relatif lebih umum daripada kelainan utama. Kategori ini penyakit defisiensi imun
berkembang karena sakit, luka traumatik atau konsumsi obat terapeutik yang merusak fungsi
sistem kekebalan.Penyebab paling umum dari acquired immunodeficiency adalah gizi buruk,
beberapa jenis kanker dan infeksi. Orang-orang yang berat badan kurang dari 70 persen dari
berat rata-rata orang dari usia dan jenis kelamin yang sama dianggap kurang gizi. Infeksi
virus seperti campak Jerman atau rubella, campak, Epstein-Barr virus dan human
immunodeficiency virus atau HIV dapat merusak sistem kekebalan tubuh.

D. Patofisiologi
Defisit kekebalan humoral yaitu diperantarai oleh antibodi biasanya mengganggu pertahanan
melawan bakteri virulen, banyak bakteri seperti ini yang mengkapsul dan merangsang
pembentukan nanah. Pejamu yang mengalami gangguan fungsi anti bodi mudah menderita
infeksi berulang digusi, telinga bagian tengah, selaput otak, sinus paranasal, struktur
bronkopulmonal. Pemeriksaan imunoglobulin serum dengan alat nefolometri sekarang telah
banyak digunakan untuk mengukur kadar IgG, IgA, IgM, dan IgD pada serum manusia.
Metode yang digunakan untuk mengevaluasi antibodi yang sepesifik terhadap anti gen yang di
fokuskan pada penentuan titer anti bodi sebelum dan setelah mengimunisasikan bahan non
viabel yang mengunakan protein (vaksin tetanus taksoit dan influensa) pneumokokal
polisakarida (pneumovax) dan uji schick pada orang sebelumnya di imunisasi dengan difteri
toksoid dan penentuan antibodi ( IgM) yang terdapat secara alamiah pada golongan darah
ABO yang tidak ada pada eritrosit subyek bentuk imunodefisiensi bergantung pada anti body
lanjutan yang paling sering dijumpai adalah kekurangan IgA selektif, yang terjadi pada 1
dalam 500 sampai1000 individu.
Pasien laki laki yang menderita hipogama globulinemia terkait X (bruton) memperlihatkan
defisiensi selektif fungsi imun humoral yang paling parah dapat juga di jumpai di beberapa
defeksel T. Imun defisensi humoral terutama pada beberapa penyakit kegaganasan tertentu.
Seperti mioloma multipel dan leukimima limfositik kronik dan perlu dapat perhatian bila sel
sel tumor menginfiltarasi struktur linfotikular . Fungsi imun yang di perantarai sel tidak
memadai pada banyak penyakit juga sebagai defek primer atau di sebabkan oleh beberapa
ganguan seperti AIDS serkoidosis, penyakit hodgkin, neoplama non hodgkin tertentu dan
uremia . fungsi sel T yang relatif benar benar tidak ada terjadi bila timus gagal berkembang
(seperti pada sindrom digeorge) dan bayi yang terkena secara imunologi telah pulih ke fungsi
yang adekuat yang tandur jaringan timus fetus dini. Perhatian yang serius terhadap seorang
yang menderita defisiensi sel T yang jelas adalah pada ketidakmampuanya untuk
membersikan sel sel asing termasuk lekosit variable dari darah lengkap yang ditransfusikan.

E. Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan oleh gangguan immunodeficiency bervariasi, tergantung pada
apa gangguan tertentu yang Anda miliki. Mereka dapat mencakup:
1. Infeksi berulang
2. Gangguan autoimun
3. Kerusakan jantung, sistem paru-paru, saraf atau saluran pencernaan
4. Memperlambat pertumbuhan
5. Peningkatan risiko kanker
6. Kematian dari infeksi serius, seperti meningitis

F. Pencegahan
Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit imunodefisiensi:
a. Mempertahankan gizi yang baik
b. Memelihara kebersihan badan
c. Menghindari makanan yang kurang matang
d. Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
e. Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
f. Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
g. Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.
h. Kepada penderita yang mengalami kekurangan limfosit B atau limfosit T hanya
diberikan vaksin virus dan bakteri yang telah dimatikan (misalnya vaksin polio, MMR
dan BCG).
Jika diketahui ada anggota keluarga yang membawa gen penyakit imunodefisiensi, sebaiknya
melakukan konseling agar anaknya tidak menderita penyakit ini. Beberapa penyakit
imunodefisiensi yang bisa didiagnosis pda janin dengan melakukan pemeriksaaan pada
contoh darah janin atau cairan ketuban
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui penyakit
imunodefisiensi. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai dengan
kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat dilakukan
pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:
1. Pemeriksaan darah tepi
1. Hemoglobin
2. Leukosit total
3. Hitung jenis leukosit (persentasi)
4. Morfologi limfosit
5. Hitung trombosit
2. Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)
3. Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)
1. Titer antibodi Tetatus, Difteri
2. Titer antibodi H.influenzae
4. Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)
5. Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita cari.
Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun
Defisiensi Sel B
Uji Tapis:
Kadar IgG, IgM dan IgA
Titer isoaglutinin
Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)
Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)
Kadar subklas IgG
Kadar IgE dan IgD
Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli
Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus
Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid
Riset:
Fenotiping sel B lanjut
Biopsi kelenjar
Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen
Ig-survival in vivo
Kadar Ig sekretoris
Sintesis Ig in vitro
Analisis aktivasi sel
Analisis mutasi

Defisiensi sel T
Uji tapis:
Hitung limfosit total dan morfologinya
Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts
Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberkulin
Foto sinar X dada : ukuran timus
Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)
Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik
HLA typing
Analisis kromosom
Riset:
Advance flow cytometry
Analisis sitokin dan sitokin reseptor
Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)
Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside purin/PNP)
Pencitraan timus dab fungsinya
Analisis reseptor sel T
Riset aktivasi sel T
Riset apoptosis
Biopsi
Analisis mutaasi

Defisiensi fagosit
Uji tapis:
Hitung leukosit total dan hitung jenis
Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil
Titer IgE
Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin
White cell turn over
Morfologi spesial
Kemotaksis dan mobilitas random
Phagocytosis assay
Bactericidal assays
Riset:
Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)
Oxidative metabolism
Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)
Analisis mutasi

Defisensi komplemen
Uji tapis:
Titer C3 dan C4
Aktivitas CH50
Uji lanjutan:
Opsonin assays
Component assays
Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
Riset:
Aktivitas jalur alternatif
Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)

h. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis untuk imunodefisiensi primer dapat mencakupterapi pengganti
dengan suntikan gamaglobilin IV dan terapi rekonstitusi dengan sel sel prekusor yang
memperbarui diri sendiri melalui transplantasi sum sum tulang serta kelenjar timus janin.
Penatalaksanaan medis diarahkan pada penanganan proses penyakit yang mendasari dan
pengendalian gejala.
Imunodefisiensi sekunder mencakup penegakan diagnosis dan pelaksanaan terapi terhadap
proses penyakit yang mendasari.
2. Penatalaksanaan keperawatan bagi orang yang kekebalannya terganggu mencakup
penilaian yang cermat terhadap status imun masing-masing. Karena pasien yang
kekebalannya terganggu menghadapi resiko tinggi untuk mengalami infeksi, pengkajian
difokuskan pada riwayat infeksi pada masa lalu, khususnya tipe dan frekuensi infeksi
tanda-tanda dan gejala setiap infeksi kulit, respiratorius, gastrointestinal, ataupun
urogenetal yang baru saja terjadi dan tingkat pengetahuan pasien terhadap penyakit dan
tindakan untuk mencegah infeksi. Pengkajian juga harus difokuskan pada status nutrisi,
tingkat stress serta keterampilan untuk mengatasi masalah, penggunaan alkohol, obat-
obatan atau tembakau, dan hygiene imun. semua faktor ini akan mempengaruhi fungsi
imun

h. Konsep asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktifitas/istirahat
Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, progresi
kelelahan/ malaise,Perubahan pola tidur
Tanda :
kelelemahan otot, menurunnya massa otot respons fisiologis terhadap aktivitas, seperti
perubahan dalam TD, frekuensi jantung, pernafasan
b. Sirkulasi
Gejala : proses penyembuhan luka yang lambat (bila anemia),
perdarahan lama pada cidera (jarang terjadi)
Tanda :
takikardia, perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer, pucat atau
sianosis
c. Eliminasi
Gejala : diare yang intermiten, terus menerus, nyeri panggul
Tanda : feces encer dengan atau tanpa disertai mukus atau darah
Diare pekat yang seringNyeri tekan abdomen, lesi atau abses rektal
Perubahan dalam jumlah, warna, dan karakteristik urine.
d. Makanan/cairan
Gejala : tidak nafsu makan, perubahan dalam kemampuan mengenali
makanan, mual atau muntah, disfagia
Tanda : penurunan BB yang cepat, dapat menunjukan adanya bising usus hiperaktif,
Penurunan BB ; perawakan kurus, menurunnya lemak subkutan / masa otot, Turgor
kulit buruk, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna,
kesehatan gigi atau gusi yang buruk

2. Diagnosa keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebih
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan
masukan oral
c. Resti Infeksi terhadap awitan opurtunistik

3. Intervensi Keperawatan


No Tujuan Intevensi
1. mempertahankan hidrasi cairan yang
dibutuhkan oleh normalnya kadar
elektrolit dengan
Kriteria hasil : Terpenuhinya
kebutuhan cairan secara
Adekuat defekasi kembali normal,
maksimal 2x sehari

1. Kaji turgor kulit, membran mukosa,
dan rasa haus
2. Pantau masukan oral dan
memasukkan cairan
sedikitnya 2500ml/hari
3.Hilangkan makanan yang potensial
menyebabkan
diare, yakni yang pedas/ makanan
berkadar lemak tinggi,
kacang, kubis, susu.
4. Berikan makanan yang membuat
pasien berselera. Mungkin dapat
mengurangi diare.
5.Meningkatkan asupan nutrisi secara
dekuat.
Kolaborasi
1. Berikan obat-obatan sesuai indikasi
:antiemetikum,
antidiare atau Indikator tidak langsung
dari statuscairan.
2. Mempertahankan keseimbangan
cairan, mengurangi
rasa haus,melembabkan mukosa.
3.Mengurangi insiden
muntah,menurunkan jumlah
keenceran fesesmengurangi kejang
usus dan peristaltik.
4. Mewaspadai adanya gangguan
elektrolit dan
menentukan kebutuhan elektrolit.
5.Pantau hasil pemeriksaan
laboratorium
2. Tuj
uan : perbaikan status nutrisi
Kriteria hasil: Mempertahankan berat
badan atau memperlihatkan
peningkatan berat badan yang
mengacu pada tujuan yang
diinginkan.

Mendemonstrasikan keseimbangan
nitrogen positif bebas dari tandatanda
malnutrisi dan menunjukan perbaikan
tingkat energi

1. Kaji faktor-faktor yang
mempengaruhi masukan oral
2. Rencanakan diet dengan pasien atau
orang terdekat
3. Berikan perawatan mulut yang terus
menerus
4. Gunakan serangkaian pengukuran
berat badan dan
antropometrik
5. Auskultasi bising usus
6. Instruksikan pasien tentang cra untuk
memberikan
suplemen nutrisi
Kolaborasi :
1. Konsul dengan dokter tentang
makanan pengganti

3. Tidak adanya infeksi
Kriteria Hasil: Mengidentifikasi atau
ikut serta dalam perilaku yang
mengurangi resiko infeksi. Mencapai
masa penyembuhan luka. Tidak
demam dan bebas dari pengeluaran
purulen dan tanda-tanda lain dari
kondisi infeksi

1.Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak perawatan
dilakukan
2. Berikan lingkungan yang bersih dan
ventilasi baik
3. Pantau tanda-tanda vital
4. Kaji frekuensi pernapasan
5. Slidiki keluhan sakit kepala








4. Implementasi
Menurut Doenges (2000) Implementasi adalah perawat mengimplementasikan
intervensi intervensi yang terdapat dalam rencana perawatan. Menurut Allen
(1998) komponen dalam tahap implementasi meliputi tindakan keperawatan mandiri,
kolaboratif, dokumentasi, dan respon pasien terhadap asuhan keperawatan

5. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan , diharapkan tercapai tujuan intervensi dari
setiap diagnose keperawatan yaitu masalah kurang nutrisi teratasi ditandai dengan
proses metabolisme dalam keadaan normal, resiko infeksi berkurang atau tidak
adanya resiko infeksi ditandai dengan peningkatan daya tahan tubuh, klien tidak
dehidrasi














BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Imunitas adalah kekebalan terhadap penyakit, terutama penyakitinfeksi.Imunsistem
adalah semua hal yang berperan dalam proses imun seperti sel, protein, anti bodi dan
sitokin/kemokin. Fungsi utama sistem imun adalah pertahanan terhadap infeksi mikroba,
walaupun substansi non infeksious juga dapat meningkatkan kerja sistem imun.
Sedangkan Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan
respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya
disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit
utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obat
animunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi
(Kekurangan gizi).

B. Saran

Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memberikan
pelayanan keperawatan dan dapat menerapkanya dalam kehidupan sehari hari. Dan
untuk para tim medis agar dapat meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam
bidang kegawat daruratan sehingga dapat memaksimalkan kita untuk memberikan health
education dalam penanganan imunodefisiensi









DAFTAR PUSTAKA

Sears, W Benjamin.2011.Mikrobiologi dan Imunologi.EGC: Jakarta

Wahab Samik.2002. Sistem Imun dan Penyakit Imun.Widya Medika:
Jakarta

Kresno, B Siti. 2003. Imunologi. FKUI: Jakarta

Smeltzer, Suzzane C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, vol3. EGC:
Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, hal 164. EGC :
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai