Anda di halaman 1dari 7

MENTERI PEKERJAAN UMUM

REPUBLIK INDONESIA




PENATAAN RUANG UNTUK KAWASAN KEPENTINGAN UMUM

Disampaikan Oleh
MENTERI PEKERJAAN UMUM

Pada Acara
RAPAT KOORDINASI KAWASAN DAN OTORITA
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
Jakarta, 28-29 September 2005

Yang terhormat Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,
Yang terhormat para Gubernur, para Bupati dan para Walikota
serta Hadirin peserta Rapat Koordinasi Kawasan dan Otorita Yang
Berbahagia

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Salam sejahtera bagi kita semua,
Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami
menyambut baik permintaan untuk menyampaikan paparan dengan tema
Penataan Ruang untuk Kawasan Kepentingan Umum dalam acara Rapat
Koordinasi Kawasan dan Otorita yang diprakarsai Direktorat J enderal
Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri. Penataan ruang merupakan
prasyarat bagi pembangunan kawasan kepentingan umum, agar terpadu, baik
dengan pembangunan sektor lain maupun terpadu antar wilayah dan diantara
pemangku kepentingan untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan
berkelanjutan.

Peserta Rakor Kawasan dan Otorita yang saya hormati,
Sesuai UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, disiplin penataan
ruang terdiri atas 3 (tiga) unsur utama, yakni : perencanaan tata ruang yang
menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pemanfaatan ruang
berupa rancangan program dan kebutuhan investasi untuk pelaksanaan
pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjaga
konsistensi pelaksanaan pembangunan supaya sesuai dengan rencana tata
1
ruang. Ketiga unsur penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh dan saling terkait dalam suatu siklus yang berlangsung secara terus-
menerus, seiring dinamika kehidupan masyarakat.

Dalam aspek perencanaan, alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan
kepentingan umum dituangkan pada Pola Pemanfaatan Ruang dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan hirarkhinya. Untuk
kawasan kepentingan umum yang berskala pelayanan nasional diatur dalam
RTRW Nasional, berskala pelayanan provinsi dalam RTRW Provinsi, dan
berskala pelayanan Kabupaten dalam RTRW Kabupaten. Khusus untuk
Rencana Tata Ruang Kota, kawasan kepentingan umum dikembangkan tidak
hanya berskala internal kota, namun juga bersifat strategis nasional dan
regional sesuai dengan hirarki kota.

Sebagai ilustrasi, upaya penguatan kawasan kepentingan umum untuk
pelestarian alam seperti Taman Nasional sesuai hirarkinya tertuang dalam
RTRWN nasional dan didukung oleh sistem nasional antara lain untuk
aksesibilitasnya dengan jalan nasional. Taman Nasional Gunung Leuser di
Provinsi NAD dan Sumatera Utara dilayani dengan J alan Lintas Timur,
Tengah dan Barat dan feeder road yang menghubungkan Arteri Barat dan
Timur. Di tingkat Provinsi dilakukan penataan ruang wilayah provinsi
mencakup kawasan kepentingan umum untuk pelestarian alam dengan skala
pelayanan provinsi yang didukung jalan provinsi, dan demikian pula dalam
RTRW Kabupaten. Untuk Rencana Tata Ruang Kota dilakukan penataan
kawasan kepentingan umum, seperti taman kota yang didukung jalan kota,
maupun Taman Nasional dalam kota seperti Kebon Raya Bogor yang
didukung akses jalan nasional.

Pada skala perkotaan, pengembangan kawasan kepentingan umum dilakukan
dengan memperhatikan struktur, maupun fungsi dan bentuk kota. Struktur kota
sebagai kerangka kota yang mempunyai hirarki dapat berwujud terpusat,
linear, maupun multiple nuclei, dengan hirarki mulai pusat kota metropolitan,
kota atau kota satelit, kawasan sampai dengan skala lingkungan. Pada
masing masing elemen dalam struktur kota tersebut dilakukan perancangan
elemen kota sesuai dengan fungsinnya dengan mempertimbangkan
keharmonisan antara masyarakat dengan lingkungan alam dan lingkungan
buatan. Kawasan kepentingan umum yang antara lain berupa taman kota
2
sebagai bagian dari ruang terbuka hijau dikembangkan pada bagian bagian
kota sesuai hirarkinya, sehingga terbentuk taman skala kota atau metropolitan,
skala kota satelit skala kawasan sampai dengan taman terbuka publik pada
skala lingkungan seperti taman bermain anak. Penataaan ruang terbuka hijau
sebagai bagian kawasan kepentingan umum yang terstruktur tersebut
diarahkan untuk estetika perkotaan maupun sebagai ruang kesehatan
lingkungan perkotaan, fasilitas olahraga maupun rekreasi.

Hadirin peserta Rakor Kawasan dan Otorita yang saya hormati
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, wujud fisik kawasan kepentingan
umum dapat berupa jalur hijau seperti pedestrian, garis sempadan sungai,
danau dan pantai maupun di buffer zone yang bisa berfungsi sebagai jogging
track atau bicycle track; jalur biru seperti sungai, situ, waduk, telaga, dan
danau yang dapat berfungsi untuk kegiatan olahraga air; ruang terbuka seperti
taman-taman atau ruang terbuka hijau, area bermain anak-anak, plaza, alun-
alun, dan hutan kota. Namun demikian, dalam kenyataannya banyak ruang
publik tersebut yang telah berubah fungsi, seperti pedestrian dimanfaatkan
untuk pedagang kaki lima, sempadan sungai digunakan untuk hunian dan lain
sebagainya.

Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini kita belum sepenuhnya mampu
memenuhi harapan masyarakat yang terus meningkat terhadap keberadaan
ruang - ruang publik untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, terdapat
bebeberapa hal yang penting untuk dicermati bersama secara sungguh-
sungguh untuk kemudian kita sikapi dengan arif dan bijaksana.

Pertama, adanya kecenderungan penurunan luas ruang publik, terutama
ruang terbuka hijau (RTH) dalam 30 tahun terakhir secara signifikan di
berbagai kota besar di Indonesia, seperti J akarta, Surabaya, Medan, dan
Bandung. Luasan RTH di kota-kota besar tersebut telah berkurang dari 35%
awal tahun 1970-an menjadi kurang dari 10% terhadap luas kota secara
keseluruhan, akibat telah dikonversi menjadi fasilitas perkotaan lainnya,
seperti pusat perbelanjaan dan sarana komersial, kawasan permukiman
termasuk apartemen, maupun infrastruktur jalan.

3
Sementara berbagai kota besar di dunia, seperti New York, Manchester,
Singapura, Beijing, Shanghai, Melbourne, dan bahkan Curitiba telah
menerapkan konsep green cities dengan meningkatkan proporsi luasan RTH
hingga mencapai lebih 20% dari total luas kota, demi kesehatan, kenyamanan
dan kesegaran warga kotanya. Penerapan konsep tersebut secara konsisten
dan didukung kerjasama semua pemangku kepentingan kota-kota tersebut,
ternyata telah mampu memberi manfaat ekonomi seiring meningkatnya citra
kota yang ramah lingkungan, dan ruang visual yang indah sehingga memiliki
nilai jual tersendiri bagi pengembangan pariwisata.

Kedua, keberadaan ruang publik di dalam lingkungan kota pada saat ini
cenderung semakin tidak kondusif untuk mendukung aktivitas bagi warga kota.
Hal ini terutama karena faktor pencemaran udara yang semakin berat serta
faktor iklim yang semakin panas sebagai akibat keberadaan berbagai unsur
pencemar udara dari kegiatan seperti transportasi, industri, dan permukiman
dalam skala masif, yang dalam jangka panjang akan sangat membahayakan
kesehatan warga kota. Di sisi lain, keberadaan taman kota sebagai ruang
teduh dan filter gas pencemar pun semakin berkurang luasannya.

Ketiga, sampai dengan saat ini belum tersedia regulasi yang mewajibkan
penyediaan ruang publik atau standar minimal kualitas dan kuantitas ruang
publik dalam suatu kota, sehingga masih banyak pemerintah daerah tanpa
sadar belum memenuhi kebutuhan minimal penyediaan ruang publik
sebagaimana di negara-negara lain. Sebagai perbandingan, dalam penerapan
standar luasan ruang publik, terkait pelayanan fasilitas olahraga outdoor,
rasio yang berlaku pada kota-kota di J epang 5 m
2
/penduduk, Inggris 7 11,5
m
2
/penduduk, Malaysia 2 m
2
/penduduk, sementara di Bandung saat ini rasio
baru mencapai 0,45 m
2
/penduduk dan di J akarta 0.55 m
2
/penduduk. Untuk itu,
kebutuhan produk hukum yang dapat memayungi kewajiban penyediaan
ruang publik pada saat ini, sangat mendesak.

Hadirin yang saya hormati
Dengan memperhatikan segenap uraian diatas, beberapa hal yang kiranya
penting dan perlu dielaborasi lebih lanjut dalam rapat koordinasi yang sangat
penting ini adalah :
4
Pertama mengenai pengembangan standar minimal jumlah dan ukuran ruang
publik yang wajib disediakan oleh pemerintah. Keberadaan standar minimal ini
diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk lebih
mempertegas alokasi ruang publik pada rencana tata ruang wilayahnya
dengan penjabaran yang lebih detail tentang tata aturan intensitas kegiatan-
kegiatan di disekitar ruang publik tersebut. Seluruh potensi pemanfaatan
ruang publik khususnya pada jalur hijau, jalur biru dan ruang terbuka lainnya
perlu didorong pemanfaatan dan pengelolaannya.

Kedua, bentuk dan mekanisme keterlibatan masyarakat, baik dalam hal
pengelolaan dan pemeliharaan ruang publik, dimana masyarakat tidak hanya
memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas ruang publik, namun juga sekaligus
memiliki kewajiban untuk memeliharanya. Didalam Undang-Undang
No.24/1992 tentang Penataan Ruang, pasal 5, disebutkan bahwa: (a) setiap
orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan (b)
setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Dengan keterlibatan masyarakat, terutama dalam pemeliharaan dan
pengelolaan, maka jaminan keberlanjutan fungsi dari ruang publik tersebut
akan dapat lebih besar. Dalam hal ini, masyarakat seyogyanya dipandang
sebagai elemen vital, yang paling memahami hal-hal yang menjadi
kebutuhannya sehingga ruang publik tercipta sesuai dengan kebutuhan
komunitasnya. Pada gilirannya hal ini akan mendorong tumbuhnya rasa
memiliki pada ruang publik tersebut.
Pada hakikatnya masyarakat harus pula dilibatkan dalam proses penyusunan
Rencana tata Ruang Wilayah dan hasilnya harus pula diumumkan. Dengan
demikian dalam pembangunan kawasan kepentingan umum ini, penerapan
mekanisme dan prosedur pengadaan tanah sebagaiamana diatur Perpres
36/2005 pada dasarnya sudah selaras dengan aspirasi masyarakat.
Ketiga, bentuk dan mekanisme kemitraan pemerintah dengan dunia usaha.
Walaupun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin tersedianya
ruang publik, namun penyediaanya dapat diserahkan kepada dunia usaha,
seperti para pengembang pada sektor properti. Dalam hal ini pemerintah
dapat bertindak sebagai fasilitator dan regulator melalui berbagai perangkat
pengaturannya dan sekaligus sebagai pengawas yang menjamin penyediaan
fasilitas ruang publik sesuai dengan kebutuhan warga kota.
5
Keempat, kemungkinan upaya penegakan hukum secara lebih tegas dan
implikasi kelembagaannya guna menjamin tersedianya fasilitas ruang publik.
Instrumen yang dapat digunakan sebagai landasan penegakan hukum,
disamping Rencana Tata Ruang Kota, adalah peraturan mintakat (zoning
regulations) yang juga ditetapkan melalui Perda. Instrumen ini memungkinkan
adanya peran yang kuat dari para ahli perencanaan kota, arsitektur-landskap,
lingkungan, dan sosial-budaya, untuk bersama-sama duduk dalam Komisi
Perencanaan Kota yang terus memantau penyelenggaraan pengaturan
zoning, khususnya zoning yang ditetapkan sebagai ruang-ruang publik.
Kelima kemungkinan penerapan instrumen kontrol melalui ijin disertai insentif-
disinsentif yang memerlukan pula piranti Zoning Regulation. Sebagai ilustrasi
antara lain dapat melalui mekanisme DAU, dimana Pemerintah Pusat dapat
mendorong Pemerintah Daerah untuk secara pro-aktif mengembangkan dan
mengelola ruang publik dengan kondisi dan kualitas yang memenuhi
persyaratan yang telah dikemukakan di atas. Instrumen ini pun diharapkan
dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk menjamin adanya pemihakan
yang tegas terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah agar dapat
memiliki akses dan alternatif yang sama dengan kelompok lainnya. Instrumen
lain yang dapat dikembangkan antara lain memberi insentif misalnya dapat
membangun dengan jumlah lantai lebih banyak apabila menyediakan ruang
publik di lantai dasar atau menyediakan ruang terbuka hijau lebih luas di lokasi
bangunan atau di daerah kumuh maupun bantaran sungai. Konservasi
bangunan publik bersejarah dapat pula dilakukan pada bangunan tertentu
dalam rangka pelestarian budaya untuk kepentingan publik dengan memberi
insentif membangun kepada pemilik di lokasi yang lain.
Keenam, mendorong seluruh pemerintah daerah untuk memenuhi standar
pelayanan minimal dalam penyediaan ruang publik. Hal ini tentunya perlu
disesuaikan dengan karakteristik geografis, penduduk, sosial-ekonomi, dan
lingkungan di daerah yang bersangkutan. Dukungan atas program-program
lintas sektor yang mengarah terhadap peningkatan kualitas ruang publik,
seperti program penanaman pohon, dan pengurangan polusi udara, perlu
terus digalakkan.



6
Hadirin peserta Rakor Kawasan dan Otorita yang saya hormati
Sebagai penutup dari uraian ini, perlu ditekankan pentingnya komitmen dan
konsistensi para pemangku kepentingan dalam mengimplementasi rencana
tata ruang sebagai prasyarat pelaksanaan pembangunan kawasan
kepentingan umum agar secara optimal dapat mendukung berbagai aktivitas
masyarakat.
Demikian, atas perhatian seluruh peserta Rapat Koordinasi, kami
mengucapkan terimakasih.

Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Menteri Pekerjaan Umum

DJOKO KIRMANTO


7

Anda mungkin juga menyukai