Anda di halaman 1dari 3

Antropologi Kebudayaan:

Filsafat Modern dan Filsafat Nusantara



Saduran : Estetika Nusantara Sony Dharsono., 2008

Memahami Kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai, dan
symbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya.
Kemudian akan menjadi acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan
sebagai system symbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui
kode-kode simbolik. Pengertian kebudayaan tersebutmemberikan konotasi bahwa
kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan, dan tingkah laku
manusia dalam komunitasnya. Artefak seni yang lahir dari bumi Nusantara
merupakan eksresi kebudayaan masyarakatnya dengan segala falsafah dan filsafat
yang melatar belakanginya. Pembahasan ini mencoba mempertanyakan tentang
Estetika Nusantara yang selama ini dianggap tidak punya paugera (paradikma
yang diyakini) terhadap karya-kaerya seni Nusantara. Pertanyaan yang selalu
muncul adalah apakah di Indonesia (Nusantara) ini tidak mempunyai filsafat
yang berhubungan dengan antropologi? Sehingga pembelajaran di Perguruan
Tinggi masih menekankan pada filsafat modern dan estetika modern.
Di dalam kehidupan rohani, yang menjadi dasar, dan member isi kebudayaan
Jawa, benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar awal segala sesuatu,
renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir dari pencarian
sebabterdalam dari padanya , yaitu perincian tentang Arti Hidup Manusia,
Asal Mula, dan Akhir Kehidupan (Sangkan Paraning Dumadi)dan juga
hubungan antara Manusia dengan Tuhan dan Alam Semesta. Bukankan
semua pertanyaan dan pencarian, dapat pula disebut Filsafat? Filsafat dapat
diartikan sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakekat segala
wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar. Maka semua usaha
untuk mengartikan hidup dan dengan segalapengejawantahannya, manusia dengan
tujuan akhirnya , hubungan yang tampak dan yang gaib, yang silih brganti dengan
yang abadi, tempat manusia dalam alam semesta, seperti yang kita dapatkan
dalam banyak perenungan di Jawa dapatkah disebut Filsafat?

Renungan Metafisik yaitu Renungan tentang ada (being) diwujudkan dalam
pribadi (personifikasi) Dewa Siwa, yang digambarkan sebagai sarining
paramatatwa: inti dari kebenaran tertinggi, hana tanhana: ada atau tiada,
sang sangkanparaning sarat: asal dan tujuan (the where from end where to,
origin and destiny) alam semesta, sakala dan niskalatmaka: wujud lahir dan
batin. Hubungan manusia dengan Siwa dinyatakan wahya dhyatmika
sembahaning hulun: wujud lahir dan batin (exoteric/esoteric)
Renungan tentang tata laku susila (etika) didapatkan dalam dialog antara
Arjuna dan Batara Indra, bukan merupakan refleksi teoritis belaka, melainkan
merupakan prilaku baik baik sebagai sarana mencapai kesempurnaan, yaitu
menjalankan dharma ksatria: adalah kewajiban seorang ksatria. Bilamana
kewajiban ini senantiasa dilakukan dengan baik maka putusan sang hyang
kalepasan dia akan mencapai kamuksan atau kebebasan (liberatin) juga.
Ulasan : pengertian sangkan paran merupakan inti filsafat Nusantara Indonesia.
Fenomena hidup alam semestabukannya dianggap diam statis, melainkan bergerak
dinamis, demikian pula mengenai manusia. Antropologi filsafati bukanlah
pertama-tama menanyakan: apakah manusia itu, melainkan: dari mana asal
manusia dan kemana dia pergi. Eksistensi manusia ditinjau secara menyeluruh
dahulu dan baru ditinjau citranya (image) dalam konteks tujuan mutakhirnya.
Etika tidak lepas dari sangkan paran ini.
Memang benar ada perbedaan yang dalam dalam system-sistem filsafat modern
dengan ungkapan-ungkapan renungan filsafat Jawa (Nusantara) yang sering
bersifat fragmentaris dan kurang Nampak adanya hubungan yang jelas.
Terdapatlah perbedaan sebagian filsafat barat dan timur, para ahli filsafat timur
mengatakan ; Bukan untuk menciptakan filssafat untuk filsafat sendiri.
Pengetahuan hanya senantiasa merupakan sarana untuk mencapai
kasampurnan. Suatu langkah kejalan menuju kalepana (verlossing) atau malahan
mencapainya: Yaitu satu-sdatunya jalan bagi manusia untuk sampai kepada tujuan
akhirnya.

Berlainan dengan kebanyakan pemikiran barat, disini tidak kita dapatkan
pertentangan antara filsafat dengan pengetahuan tentang Tuhan. Justru
didapatkan pada filsafat Nusantara (Jawa) bahwa kearifan tertinggi, yang
merupakan puncak filsafat adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang yang
Mutlak dan hubungan-Nya dengan manusia. Kalau filsafat barat selalu
mempertanyakan tentang hidup ini secara logika maka filsafat Nusantara selalu
mempertanyakan tentang perjalanan hidup dalam mencapai
kasampurnan(ditinjau dari sudut Antropologi).
Bilamana kita pakai bahasa Jawa sendiri, maka filsafat berarti: ngdi
kasampurnan (berusaha untuk mencari kasampurnan sejati). Sebaliknya
philosopi Yunani dibaca dengan bahasa Jawa menjadi: ngudi kawicaksanan
(berusaha untuk memperoleh kepandaian/kepinteran).

Yogya , Tengah Peb.2010
N.

Anda mungkin juga menyukai