Anda di halaman 1dari 2

Peran Orangtua Menunjang Keberhasilan Hidup Anak

Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu ? Ali Bin Abi Thalib r.a.

Semua orangtua berharap anak mereka kelak akan menjadi pribadi yang sukses dalam hidup. Orangtua berlomba-lomba
untuk menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan terbaik. Namun apakah benar bahwa pendidikan formal
adalah jaminan keberhasilan hidup anak? Jawabannya TIDAK!

Untuk bisa membantu anak berhasil dalam hidupnya kelak, orangtua perlu mencermati hal-hal mendasar yang
dibutuhkan anak sebagai pondasi keberhasilan hidup. Hal mendasar yang harus benar-benar diperhatikan antara lain
adalah konsep diri, sikap, kepribadian, karakter, nilai hidup, kepercayaan, kejujuran, kepemimpinan, kemampuan
komunikasi, kedisiplinan, dan motivasi yang tinggi.

Secara ringkas, orangtua perlu memperhatikan hal-hal berikut:

• Membantu anak mengenali dirinya (kekuatan dan kelemahannya)


• Membantu anak mengembangkan potensi sesuai bakat dan minatnya
• Membantu meletakkan pondasi yang kokoh untuk keberhasilan hidup anak
• Membantu anak merancang hidup

Peletakan pondasi sukses diawali sejak anak lahir dan berlanjut hingga tiga tahun pertama. Selanjutnya, dengan bekal
yang didapat selama tiga tahun pertama dalam hidupnya, anak mengembangkan dirinya untuk tiga tahun ke dua. Enam
tahun pertama merupakan masa yang sangat kritis dalam hidup anak. Apa yang didapat selama masa ini merupakan
dasar untuk anak dalam mengkonstruksi dirinya pada enam tahun ke dua dan ke tiga.

Proses pendidikan yang dilalui anak pada masa sekarang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi pendidikan dapat
membantu seorang anak untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya. Di sisi lain pendidikan, karena proses yang
salah, sering kali justru menjadi penghambat hidup anak kelak. Mengapa bisa begini?

Masa kritis anak, dalam proses pendidikan formal, adalah selama lima tahun pertama mereka di SD. Masa ini
merupakan masa yang sangat menentukan karena sering kali konsep diri anak dan rasa diri mampu dan berharga justru
rusak akibat proses pembelajaran yang tidak manusiawi yang hanya menempatkan anak sebagai obyek pendidikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di luar negeri terhadap murid SD kelas 1 sampai 6, didapatkan fakta bahwa
pembentukan konsep diri yang terjadi saat anak di SD sangat dipengaruhi oleh prestasi akademiknya. Prestasi akademik
seorang anak menentukan konsep diri anak. Selanjutnya konsep diri akan mempengaruhi prestasi akademik. Pada tahap
selanjutnya konsep diri dan prestasi akademik akan saling mempengaruhi, baik secara positip maupun negatif.

Semua anak pada dasarnya terlahir dengan potensi menjadi jenius. Masing-masing anak mempunyai keunggulan di
aspek kecerdasan yang berbeda. Hal ini sejalan dengan teori Multiple Intelligence. Sayangnya, sistem pendidikan kita
hanya mengakomodasi dan menghargai salah dua dari delapan kecerdasan yang ada, yaitu hanya menghargai
kecerdasan logika/matematika dan bahasa (linguistik).

Setiap anak mempunyai kepribadian dan keunikan tersendiri. Salah satu keunikan mereka adalah gaya belajar. Ada tiga
gaya belajar yang dominan yaitu gaya belajar visual (berdasar penglihatan), gaya belajar auditori(berdasar
pendengaran), dan gaya belajar kinestetik (berdasar sentuhan/gerakan). Setiap gaya belajar ini mempunyai cara belajar
yang berbeda. Prestasi akademik anak yang rendah sering kali disebabkan karena guru tidak mengerti cara mengajar
yang benar, yang sesuai dengan kepribadian dan gaya belajar murid.

Sekolah pada umumnya hanya menggunakan gaya belajar visual dalam proses pembelajarannya. Hal ini sangat
merugikan anak dengan gaya belajar dominan auditori dan kinestetik. Anak kinestetik, karena sering bergerak dalam
belajar, akan dianggap sebagai anak nakal atau hiperaktif. Label ini akan menjadi "cap" yang bersifat negatip dan akan
terus terbawa hingga anak dewasa.

Sekolah selama ini tidak pernah mengajarkan anak cara belajar yang benar melalui kurikulum "belajar cara belajar".
Sekolah hanya memberikan bahan ajar tanpa pernah mengajarkan strategi belajar yang sesuai untuk setiap gaya belajar.

Jangankan bicara kurikulum "belajar cara belajar", kurikulum yang ada saat ini saja masih sangat amburadul. Minggu
lalu saya membaca di koran bahwa KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang oleh sebagian besar orangtua dan
guru diplesetkan menjadi Kurikulum Bingung Kabeh (kabeh dalam bahasa Jawa artinya "semua") , ternyata tidak jadi
diberlakukan setelah diujicobakan selama beberapa tahun. Ck? ck? ck? hebat nggak? Mau dibawa ke mana pendidikan
anak kita? Ternyata anak kita hanya menjadi kelinci percobaan Diknas. Yang lebih gila lagi, maaf kalau saya
menggunakan kata yang kurang santun, yang menjadi kelinci percobaan adalah semua anak didik di Indonesia. Anak-
anak kita yang nantinya menjadi generasi penerus yang menentukan keberhasilan dan kemajuan bangsa Indonesia. KBK
sudah saatnya diganti menjadi KAK. Apa itu? Kurikulum Ajur Kabeh atau Kurikulum Hancur Semua.

Hal lain yang juga sangat disayangkan adalah sekolah, pada umumnya, tidak tahu bahwa sebenarnya semua bidang
studi dapat digolongkan menjadi empat kategori yaitu kategori bahasa, konsep, kombinasi, dan hapalan. Setiap kategori
ini menuntut teknik atau strategi belajar yang berbeda.

Murid atau anak yang tidak tahu strategi belajar untuk setiap kategori akan mengalami kesulitan belajar yang berakibat
pada pencapaian prestasi akademik yang rendah. Pencapaian prestasi akademik yang rendah akan membuat anak yakin
bahwa ia adalah anak yang "bodoh". Apabila pencapaian prestasi rendah berlangsung berulang kali maka dapat
dipastikan anak benar-benar menjadi bodoh, sebenarnya bukan karena anak bodoh namun lebih karena mereka percaya
bahwa mereka "bodoh".

Selain perlu mengajar anak strategi belajar untuk setiap kategori anak juga perlu belajar cara membaca yang benar, cara
mencatat yang benar, cara menghitung yang benar, dan cara menghapal yang benar. Ini adalah bagian dari keterampilan
belajar yang harus dikuasai anak, yang sayangnya tidak pernah diajarkan di sekolah.

Langkah selanjutnya adalah mengajarkan anak strategi yang tepat untuk mengerjakan soal ujian. Mengapa? Karena
setiap tipe soal menuntut cara pengerjaan yang berbeda. Misalnya soal pilihan ganda, menjawab singkat, menjodohkan,
esai, dan soal cerita.

Selain perlu mengembangkan kecakapan di aspek akademik, anak juga perlu mengembangkan kecakapan lain yang
sesuai dengan bakat dan minat. Untuk mudahnya orangtua dapat membantu anak mengembangkan hobi anak.

Fase kritis selanjutnya adalah saat anak di SMU. Pada masa ini orangtua harus bisa membantu anak dalam
merencanakan hidup. Penetapan tujuan hidup, walaupun belum bisa dilakukan secara final pada usia remaja, akan
sangat menentukan jurusan yang dipilih saat di kelas 2 SMU.

Pada banyak kasus, sering kali orangtua memaksakan kemauan mereka terhadap anak tanpa pernah mengindahkan
pikiran dan suara hati anak. Orangtua sering kali merasa tahu semua yang terbaik bagi anak mereka. Pemaksaan
kemauan ini semakin diperburuk oleh kerangka berpikir atau paradigma yang sudah usang, yang dijadikan pijakan
berpikir para orangtua. Seringkali orangtua berusaha mewujudkan impian mereka, yang tidak dapat mereka capai saat
mereka masih muda, melalui anak mereka.

Pada masa remaja (SMU) orangtua sebaiknya membantu anak untuk "melihat" masa depan, khususnya dalam aspek
karir atau pekerjaan. Ada empat kuadran yang bisa dimasuki anak. Ada kuadran pegawai/karyawan, kuadran
pengusaha, kuadran pemilik usaha, dan kuadran investor.

Setiap kuadran mempunyai aturan main yang sangat berbeda dan membawa konsekwensi yang juga berbeda. Tidak
tepat bagi kita, selaku orangtua, untuk menentukan kuadran mana yang harus dimasuki anak saat mereka selesai kuliah.
Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan mereka sebagai pembelajar seumur hidup, yang senantiasa
berkembang, yang akan mampu beradaptasi dengan berbagai situasi yang dihadapi.

Semua ini bisa dilakukan anak bila pondasi hidupnya kokoh, bila konsep dirinya kuat dan positip, bila anak merasa
dirinya berharga dan layak untuk sukses, dan anak tahu apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Dengan pondasi hidup yang kokoh maka anak akan dapat mengembangkan potensinya secara maksimal. Potensi yang
merupakan anugerah dari Tuhan yang dibawa anak sejak lahir. Potensi yang akan menjadi kekuatan dan batu pijakan
anak untuk meraih keberhasilan hidup di bidang apa saja.

Anda mungkin juga menyukai