Anda di halaman 1dari 16

Mengurai Pertambangan Mangan Oekopa dan Oerinbesi

Senin, 05 November 2012 03:05 | Ditulis oleh WALHI NTT |



Mengurai Pertambangan Mangan Oekopa dan Oerinbesi
(Kajian-Analisis Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik)
Oleh: Herry Naif
I. Profil Oekopa
Secara historis, desa Oekopa termasuk wilayah kevetoran Tamkesi (Biboki). Suku yang
dominan ada di wilayah itu adalah Usatnesi Sonaf'Kbat, Soanbubu, Suilkono selain itu ada
suku Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea, Leoklaran, Taslulu, Usboko.
Secara Administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di Kecamatan Biboki Tanpah,
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana
sebelah Utara Berbatasan dengan dengan desa Tualene, Selatan dengan desa Oerinbesi,
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu, Sebelah Barat berbatasan dengan desa
Tautpah. Jumlah penduduk desa Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563 (2011). Mayoritas
penduduknya berprofesi petani sawah. Karena itu, Oekopa dikenal sebagai salah satu
pemasok beras bagi masyarakat Kabupaten TTU dan Kabupaten Belu. Kondisi jarak tempuh
menuju Atambua lebih dekat bila dibandingkan dengan kota Kefa, tidak heran bila kemudian
para petani lebih memilih menjual panen beras ke Atambua. Namun tidak berarti bahwa
dengan kondisi ini kemudian tanggung jawab pemerintah kabupaten TTU tidak memberikan
perhatian serius agar bagaimana mengefektifkan pola pertanian di desa tersebut.
Seyogyanya, Oekopa dan Oerinbesi diidentifikasi sebagai daerah potensial pertanian
(persawahan) dalam kerangka mendukung program pertanian yang telah dicanangkan sebagai
salah satu program strategis Pemerintahan Kabupaten TTU, yakni: Program Padat Karya
Pangan (PKP) yang sedang gencar dikampanyekan.
Potensi persawahan Oekopa dan Oerinbesi didukung kawasan penyanggah yang mana
terdapat enam sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan
Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut digunakan untuk mengairi persawahan Oekopa
seluas 840 ha.
Selain itu, kawasan itu menjadi kawasan penyangga bagi desa Oekopa dan lima (5) Desa
lainnya, seperti: (Tualene, Oerinbesi, Tautpah, Taunbaen dan Biloe). Bahkan juga menjadi
salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan Lurasik, Inggareo, Matamaro.
Kawasan ini pun menjadi kawasan penggembalaan ternak (sapi 752 ekor) bagi warga
Oekopa.
Malah secara historis-cultural, wilayah ini dipandang warga sebagai kawasan yang harus
dilindungi karena di kawasan itu ada tempat ritus adat (fatukanaf dan Oekanaf) dari beberapa
suku yang ada di Oekopa.
Itu berarti, pengelolaan lingkungan berasas pada sebuah kearifan lokal yang bernuansa nilai
perlindungan ekologis perlu dilestarikan dan diakomodir dalam konsep pengeloaan sumber
daya alam.. Hubungan timbal-balik manusia dengan alam dipandang dalam sebuah keadilan
demi pewarisan lingkungan bagi generasi selanjutnya.
II. Hasil Temuan
Sejak tahun 2010, diwacanakan akan adanya pertambangan mangan di desa Oekopa oleh PT.
Gema Energi Indonesia (GEI). Sosialisasi dilakukan sekali sebagai bentuk perkenalan
perusahan dengan warga. Setelah itu, perusahaan atau pun pemerintah Kabaupaten TTU tidak
pernah mendatangi Oekopa untuk melakukan sosialisasi tentang adanya pertambangan
tersebut.
Kendatipun demikian, tahun 2012 perusahaan kembali ke Oekopa dengan mengantongi surat
Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan
dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.
Dari hasil pantauan lapangan yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) NTT dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi
(09/08/12) di Oekopa ditemukan beberapa fakta, diantaranya:
Pembangunan stock phile mangan di Oekopa, yang berjarak 10 M dari
Pemukiman dan 30 M dari persawahan rakyat;
Kawasan ini oleh masyarakat adat dilihat sebagai kawasan yang perlu dijaga
(naestala) karena ada tempat-tempat ritual adat, seperti Busao, lan faot naine
mnune dan Fatutasu. Dan kemudian oleh Negara dilarang agar rakyat
menebang pohon dan merusak lingkungan. Herannya, sekarang dikampling
untuk wilayah pertambangan mangan dan Pembangunan Stok file)
Wilayah pertambangan (WP) seluas 200 hektare, pada kawasan penyangga dan
penggembalaan tenak warga dan kawasan itu merupakan kawasan penyangga
sosial-budaya karena terdapat tempat-tempat ritus adat masyarakat setempat
dan pekuburan warga; seperti Busao, Koi, Kukbit. Selain itu, kawasan ini juga
ada beberapa kampung lama (kuamnasi) seperti: Haubesi, Usapi kolen, Fatule.
Namun hingga hari ini, Usapikolen yang masih didiami oleh 8 KK.
Sosialisasi dilakukan sekali pada tahun 2010 oleh PT. Gema Energi Indonesia
(GEI) yang dihadiri 22 orang dari Oekopa; Pada dokument ini membuktikan
pemalsuan dokumen karena kepala desa mengambil hak sebagai tokoh adat,
sedangkan sekretaris desa menduduki posisi sebagai kepala desa;
Ganti-rugi lahan dimana per/hektare 22,5 juta; Sebagai ikatan dengan setiap
warga pemilik lahan per/hektare 2 juta namun pada realisasinya 1 juta/pemilik
lahan;
Pohon-pohon jati yang berada di lokasi pertambangan diganti dengan harga yang
bervariasi Rp. 50.000 Rp. 500.000
Wacana pertambangan mangan di Oekopa menyebabkan ketidaknyamanan bagi
warga dan malah menimbulkan pro-kontra antar warga;
Janji perusahaan akan dibangun tangki-tangki limbah dan akan melakukan
penanaman kembali pada lokasi yang telah digali;
Adanya penolakan warga dari suku Usatnesi sonaf'kbat yang sudah disampaikan
kepada Bupati TTU dan DPRD TTU, Sebagai respon DPRD TTU, Ketua
komisi C DPRD TTU bersama dua anggota DPRD TTU bertemu langsung
dengan pihak penolak di kantor desa Oekopa dengan tujuan menghimpun
usulan penolak, (3 Agustus 2012)
Perusahaan (PT. Gema Energi Indonesia GEI) telah menurunkan 6 peralatan
bor di Oekopa dan sementara melakukan aktivitas pemboran; untuk melakukan
pencarian mangan, (Hendrikus Abatan, Kepala Desa Oekopa), Fredy Tan
(Penanggungjawab perusahaan di Kefa) dan pernyataan beberapa warga yang
ditemui di Oekopa;
Janji perusahaan adalah membangun kapela (tempat ibadat) Oekopa;

III. Kajian Analisis atas Fakta Pertambangan Oekopa
Sejak tahun 2007, pertambangan mangan masif dilakukan hampir di seluruh wilayah di Pulau
Timor seolah menjadi leading sector dari berbagai bidang lainnya. Pertambangan mangan di
Pulau Timor dilihat sebagai pertambangan berjemaat. Tanpa sebuah kajian-kritis atas
pertambangan yang dilakukan para pihak, tidak heran bila kemudian banyak wilayah
pertambangan yang mendapat reaksi penolakan dari warga setempat.
Beberapa temuan lapangan di Oekopa yang disampaikan sebelumnya, tentunya tidak jauh
berbeda dengan fakta pertambangan lain di Indonesia dan NTT.
Dengan demikian, kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT dan
Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (LAKMAS) mencoba membuat analisa dan kajian atas
beberapa fakta yang ditemukan 09 Agustus dan 18 Agustus 2012 sebagai pertimbangan kritis
untuk kembali melihat dan meninjau kebijakan pertambangan Oekopa dan Oerinbesi yang
sedang ramai dibicarakan.

3.1. Apa itu Pertambangan
Pertambangan adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan
cara bongkar: gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung.
Pertambangan adalah kegiatan paling merusak (alam dan kehidupan sosial) yang
dimiliki orang kaya dan hanya menguntungan orang kaya.
Pertambangan adalah lubang besar yang menganga dan digali oleh para
pembohong (Mark Twian)
Pertambangan adalah industri yang banyak mitos dan kebohongan:
Dari beberapa defenisi ini tidak jarang menimbulkan perdebatan mengenai kegiatan
pertambangan itu sendiri karena akan menimbulkan peluang kerusakan
lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dikarenakan adanya
penggerukan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan telah
mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam akan terganggu.
3.2. Dampak Ekologi
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum, (Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), Pasal 1 (2).
Topografi wilayah Oekopa sangat mendukung pengembangan persawahan. Sejak
tahun 1970-an warga Oekopa mulai mengenal sebuah pola pengelolaan
persawahan yang baik. Kehidupan mereka ditopang oleh persawahan dan
pengembangan peternakan.
Apabila kebijakan diarahkan pada pertambangan mangan dengan dibangun stok file
dan wilayah pertambangan seluas 200 hektare pada wilayah yang sama maka
akan berakibat pada:
a) Perubahan Bentangan Alam (land-scape)
Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi tentunya membawa perubahan land-
scape yang berakibat pada penyempitan lahan pertanian, dan
penghilangan padang penggembalaan. Lebih dari itu akan berakibat
pada terganggunya ekosistem di wilayah tersebut seiring dengan
berubahnya land-scape wilayah itu.
Apalagi pembongkaran permukaan tanah itu dilakukan di kawasan
penyangga tentunya akan berakibat fatal pada pengembangan
persawahan dan peternakan yang selama ini menjadi penopang hidup
warga.

b) Mengganggu Tata Hidrologi air
Kenyataannya pada wilayah itu terdapat 6 sumber mata air, seperti:
Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Itu berarti
wilayah tersebut adalah water scathman area (daerah tangkapan air)
yang dimanfaatkan mengairi persawahan yang selama ini menjadi
sumber penghidupan warga. Dikhatirkan bahwa konversi wilayah
penyangga ini pun dapat berakibat pada kekeringan sumber mata air
karena terjadi perubahan tata hidrologi air.
Karena itu, pembangunan pabrik pengolahan biji mangan di Oekopa harus
mendapat kajian serius, terutama mempertimbangkan ketersedian air.
Apakah ketersedian air di wilayah Oekopa dan Oerinbesi akan mampu
mengairi persawahan bila air itu harus didistribusikan lagi untuk
kepentingan proses pemurnian mangan. Sebab, kebutuhan pabrik akan
air untuk proses pemurnian mineral mangan (Mn) tidak seperti yang
dibayangkan mencuci perabot rumah tangga.

c) Harus ada Kajian Analisa Resiko
Pertambangan mangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus
berbasis analisa resiko. Pembongkaran permukaan tanah yang luas
dapat menimbulkan tanah longsor. Selain itu, ledakan tambang,
keruntuhan tambang serta keselamatan warga pekerja apa sudah
dipertimbangkan.
Tanpa pembongkaran tanah saja, Kabupaten TTU sering mengalami
bencana longor saat hujan dan kekeringan pada musim panas. Malah
menurut beberapa warga Oekopa bahwa sering terjadi longsor ketika
musim hujan.
Padahal dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tengan
Penanggulangan Bencana, Pasal 6 (a dan b) menyatakan bahwa
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi: a. pengurangan risiko bencana dan
pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program
pembangunan; b.Perlindungan Masyarakat dari dampak bencana;
Dalam kaitan dengan pertambangan Oekopa dan sesuai perintah Undang-
Undang dilihat bahwa secara faktual negara tidak melakukan tindakan
mitigatif dengan melakukan analisa resiko bencana. Hal ini secara jelas
diungkap dalam Pasal 7 (b) yang menyatakan bahwa perencanaan
pembangunan yang memasuk unsur-unsur kebijakan penanggulangan
bencana; Atau dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 13
yang mengatur soal pengendalian kerusakan lingkungan itu meliputi
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
Itu berarti, Pemerintah Kabupaten TTU belum memiliki kajian analisa
resiko dalam kasus pertambangan Oekopa dan Oerinbesi;
Pertanyaannya, siapa yang harus melakukan undang-undang ini? Bila
ada bencana longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim
panas yang berdampak pada persawahan rakyat siapa yang harus
bertanggung jawab?

d) Harus Diasaskan pada Kebijakan Tata Ruang
Kebijakan penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, yang kemudian diperbaharui dengan Undang- undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang
yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan
kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Dalam konteks itu, apakah pertambangan Oekopa dan Oerinbesi sudah
melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak
mengganggu ruang persawahan dan peternakan warga sebagai sumber
penghidupan warga.
Apabila pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi diberlakukannya
sesuai dengan kebijakan penataan ruang, semstinya tidak mengganggu
ruang hidup rakyat. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang sehingga tidak menimbulkan over-lap pengelolaan.
Kebijakan tata ruang berguna membantu mengupayakan perbaikan kualitas
rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).
Pemerintah Kabupaten TTU menjadikan KLH dan SEA sebagai salah satu
pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of
thinking) perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan
lingkungan hidup di Kabupaten TTU.
Pemerintah Kabupaten TTU perlu melakukan penataan ruang (Rencana
Tata Ruang Wilayah) sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007. Hanya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
secara komprehensif Pemkab TTU mampu memetakan seluruh
potensinya, baik di bidang pertanian, peternakan, pariwisata,
kehutanan, dll yang dilandasi pada analisa keseimbangan ekologi dan
analisa resiko ancaman.
Padahal, masyarakat Oekopa sendiri sudah memiliki konsep perlindungan
ekologi yang mestinya diadopsi pemerintah kabupaten TTU. Kearifan
lokal mereka telah melakukan penataan ruang dimana kawasan
lindung, mata air yang mana melindungi wilayah kelola rakyat.
Sebetulnya hal ini pun telah diatur dalam Udang-Uundang No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang terutama Pasal 34 (1), yang menyatakan
bahwa Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang
wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis; b. perumusan
program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola
ruang wilayah dan kawasan strategis; dan c.pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan
kawasan strategis. Hal ini dipertegas dalam (ayat 4) bahwa penataan
ruang harus dilaksakan sesuai dengan standar kualitas lingkungan; dan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Dengan dasar ini, kita bisa melihat bahwa apakah ijin pertambangan
oekopa dan oerinbesi sudah dilandaskan pada Penataan Ruang,
sehingga kemudina tidak mengganggu kualitas lingkungna dan daya
dukung lingkungan terutama oekopa dan oerinbesi sebagai kawasan
strategis persawahan.

3.3. Dampak Limba Industri
Setiap usaha pertambangan memiliki karakter yang berbeda antara mineral yang
satu dengan mineral yang lainnya. Namun prinsipnya pertambangan dilihat
sebagai aktivitas yang sangat beresiko terhadap ekosistem dan lingkungan hidup.
Begitu pun usaha pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus
dilihat dari dampak industri yang mana dapat menimbulkan potensi gangguan
antara lain;
Pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air limbah dari
buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Hal ini dapat
menyebabkan pencemaran air. Dengan demikian, pertambangan mangan
Oekopa dan Oerinbesi akan berdampak buruk pada persawahan dan
peternakan akibat pencemaran air dan udara yang ditimbulkan dari proses
pencucian mangan tersebut.
Gangguan berupa suara bising dari berbagai alat berat, berupa suara ledakan
eksplosive (bahan peledak) dan gangguan terhadap kesehatan masyarakat
sehingga dapat muncul jenis penyakit baru yang bersifat endemik dan
epidemik;
Karena itu, kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kiranya menjadi
fundamen dalam mengevaluasi kebijakan tersebut. Bukannya AMDAL dilihat sebagai legal
formal yang akan meligitimasi sebuah prosudure formal dalam memenuhi ketentuan formal.
Tetapi harus dilakukan sebagai kiat baik dalam upaya menjaga keseimbangan ekologi di
setiap wilayah.
Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi belum mendapat kajian AMDAL
secara serius. Malah, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Daerah
Kabupaten TTU belum mengetahui tentang adanya perijinan tersebut.
Dan itu dapat dibenarkan karena dari Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik
Pengolahan Mangan itu diketahui oleh BLH Daerah Kabupaten TTU.
Padahal, Badan Lingkungan Hidup Daerah adalah sebuah instansi yang
ada dikabupaten TTU yang memiliki kewenangan untuk
merekomendasikan layak tidaknya sebuah proses pengelolaan lingkungan
hidup apalagi pertambangan.
Berlandas pada beberapa fakta ini dapat disimpulkan sementara bahwa pertambangan
mangan Oekopa dan Oerinbesi belum dilakukan secara transparan agar dilakukan upaya
minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.
3.4. Dampak Kesehatan
Pertambangan adalah sebuah usaha yang tidak ramah lingkungan dan berakibat
fatal bagi kesehatan manusia. Karena itu, pertambangan mangan di Oekopa dan
Oerinbesi perlu dilihat dampak kesehatan yang tentunya akan dialami warga.
Sebab dampak Mangan terutama terjadi di saluran pernapasan dan otak. Gejala
keracunan mangan adalah halusinasi, pelupa dan kerusakan saraf. Manganese
can also cause Parkinson, lung embolism and bronchitis.Mangan juga dapat
menyebabkan Parkinson, emboli paru-paru dan bronkitis. When men are exposed
to manganese for a longer period of time they may become impotent. Ketika
orang-orang yang terkena mangan untuk jangka waktu yang lebih lama mereka
menjadi impoten.
Suatu sindrom yang disebabkan oleh mangan memiliki gejala seperti
schizophrenia, kebodohan, lemah otot, sakit kepala dan insomnia.
Mangan senyawa alami ada di lingkungan sebagai padatan di tanah dan partikel
kecil di dalam air. Manganese particles in air are present in dust particles.
Mangan partikel di udara yang hadir dalam partikel debu. These usually settle to
earth within a few days. Ini biasanya menetap ke bumi dalam waktu beberapa
hari. Humans enhance manganese concentrations in the air by industrial
activities and through burning fossil fuels.Manusia meningkatkan konsentrasi
mangan di udara oleh aktivitas industri dan melalui pembakaran bahan bakar
fosil. Manganese that derives from human sources can also enter surface water,
groundwater and sewage water.
Mangan yang berasal dari sumber manusia juga dapat memasukkan air
permukaan, air tanah dan air limbah. Through the application of manganese
pesticides, manganese will enter soils. Melalui penerapan pestisida mangan,
sehingga mangan akan memasuki tanah.
Pertambangan Mangan dapat mengancam kesehatan dengan berbagai cara:
Debu, tumpahan bahan kimia/limbah, asap-asap yang beracun, logam-
logam berat dan radiasi dapat meracuni penambang dan menyebabkan
gangguan kesehatan sepanjang hidup mereka;
Mengangkat peralatan berat dan bekerja dengan posisi tubuh yang
janggal dapat menyebabkan luka-luka pada tangan, kaki, dan
punggung;
Penggunaan bor batu dan mesin-mesin vibrasi dapat menyebabkan
kerusakan pada urat syaraf serta peredaran darah, dan dapat
menimbulkan kehilangan rasa, kemudian jika ada infeksi yang sangat
berbahaya seperti gangrene, bisa mengakibatkan kematian;
Bunyi yang keras dan konstan dari peralatan dapat menyebabkan
masalah pendengaran, termasuk kehilangan pendengaran;
Jam kerja yang lama di bawah tanah dengan cahaya yang redup dapat
merusak penglihatan;
Bekerja di kondisi yang panas terik tanpa minum air yang cukup dapat
menyebabkan stres kepanasan.Gejala-gejala dari stres kepanasan
berupa pusing-pusing, lemah, dan detak jantung yang cepat, kehausan
yang sangat, dan jatuh pingsan;
Pencemaran air dan penggunaan sumberdaya air berlebihan dapat
menyebabkan banyak masalah-masalah kesehatan
Lahan dan tanah menjadi rusak, menyebabkan kesulitan pangan dan
kelaparan.
Pencemaran udara dari pembangkit listrik yang dibangun dekat dengan
daerah pertambangan dan mobilisasi transportasi dapat menyebabkan
penyakit-penyakit yang serius
Dari beberapa fakta yang diperkirakan dapat terjadi ini, apakah pernah
dipertimbangkan secara serius oleh Pemerintah Kabupaten TTU? Ataukah
dengan alasan ekonomi kemudian semua dampak ini dibiarkan atau seolah
tidak diketahui.
Karena itu sejak awal, pemerintah kabupaten terutama dinas kesehatan mestinya
melakukan studi dan analisis kesehatan agar dapat dilihat dan diminimalisir
dampak kesehatan agar semua fakta itu tidak menimpah warga Oekopa dan
Oerinbesi bahkan masyarakat yang sedang gencar melakukan pertambangan
mangan di wilayahnya.
3.5. Dampak Sosial-Budaya
Setiap wilayah memiliki sebuah norma dan budaya yang dianut dalam berbagai
aspek kehidupan. Dalam konteks pengelolaan Sumber Daya Alam pun pasti
setiap wilayah memiliki konsep dasar pengelolaan atau yang dikenal dengan
istilah kearifan lokal (local wisdom).
Secara historis, kabupaten TTU dikenal dengan istilah salu miomaffo, kulun
maubes yang berarti bahwa Miomaffo, Insana dan Biboki memiliki kedekatan
historis. Ketiga kevetoran ini secara historis memiliki beberapa kesepakatan
sejarah dan kesamaan nilai dan budaya yang dianut bersama.
Dalam kaitan dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam, mereka mengelolanya
sesuia dengan zonasi yang disepakati. Untuk kawasan-kawasan tertentu yang
ingin dilindungi maka dianggap keramat atau sakral yang tidak bisa diganggu.
Misalnya Naesleu (hutan adat), Naes tala (hutan larangan) dan kemudian
dikenal istilah oekanaf dan faot kanaf dan demi pengawasan kemudian dibagi
seturut suku-suku yang ada.
Tidak heran di setiap kampung di Timor pasti setiap suku memiliki faot kanaf dan
oe kanaf yang mana menjadi tempat pemujaan leluhur dan terintegrasinya
suku tersebut.
Begitu pun dengan desa Oekopa, Suku Usatnesi Sonaf'kbat dan beberapa suku
lainnya menganggap kawasan itu sebagai kawasan yang perlu dilindungi dan
tidak boleh diganggu oleh siapa pun.
Sistem kepemilikan lahan adalah sistem kolektif artinya dimiliki bersama oleh
suku tersebut. Tidak benar bila kemudian dikampling oleh turunannya sebagai
milik pribadi, karena setiap turunan hanya diberi hak untuk mengelola.
Hanya saja sistem ini kemudian tergerus oleh perkembangan zaman yang
bernuansa individualistik dan kapitalistik. Sehingga segala keputusan
kemudian tunduk dengan modal dan kepentingan pribadi.
Berpijak pada beberapa pemikiran ini, dari hasil pantauan kami menemukan,
bahwa:
Kehadiran Pertambangan di desa Oekopa dan Oerinbesi menciptakan
hubungan kekeluargaan menjadi renggang atau kurang harmonis; Atau
merusak hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam masyarakat;
Belum ada suatu rumusan kesepakatan yang baik dengan masyarakat
(community attribute): peran lembaga adat atau dewan pemangku adat,
peran serta masyarakat lokal tentang upaya pengelolaan dan
perlindungan LH dalam usaha pertambangan;
Padahal masyarakat di Oekopa sejak dulu punya kearifan lokal untuk
melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup dengan melakukan
zonasi pengelolaan. Malah, menurut apao ume adat (penjaga rumah
adat) suku usatnesi sonaf'kbat mengatakan bahwa masyarkat dilarang
menebang pohon dan merusak wilayah itu tetapi pertambangan
dibolehkan.
Belum ada kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten TTU, pengusaha
dengan masyarakat lokal Lembaga Adat/Pemangku Adat- Tobe);
Padahal perintah Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara jelas, bahwa Penetapan WP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara
transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu
dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait,
masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi,
dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan
memperhatikan aspirasi daerah.
Pertambangan Mangan di Oekopa dan Oerinbesi membawa dampak
konflik agraria, karena sejak dulu sistem kepemilikan lahan itu adalah
kolektif, tetapi kemudian dengan pertambangan tanah dikapling
sebagian warga.

3.6. Dampak Kebijakan dan Politik
Pertambangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi adalah sebuah
kebijakan yang tentunya memiliki keterkaitan dengan keputusan politik. Untuk
itu, kebijakan ini perlu dicermati dalam kacamata politik yang lebih detail agar
kemudian tidak berimplikasi buruk bagi warga.
Pertambangan selalu menjadi arena perjudian dalam kanca perpolitikan. Sering
sumber daya alam menjadi bargaining potition dalam membuat kesepakatan-
kesepakatan. Alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanyalah
sebuah rasionalisasi pembenaran atas kerusakan lingkungan. Mengapa?
Karena selama sistem politik yang dijalankan itu mementingkan kekuasaan
dan modal maka rakyat hanyalah sebagai tumbal.
Dalam kaitan dengan itu, kebijakan pertambangan yang digelontarkan
pemerintah Kabupaten TTU dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012
tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih
Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi
perlu dicermati dan dianalisa secara cermat.
Beberapa hal yang perlu dilihat sebagai evaluasi atas kinerja pemerintahan
kabupaten TTU, diantaranya:
Berasas pada Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin
Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan
kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi.
Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber
daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup. sedangkan Tahap Produksi/Eksploitasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan
dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi
kelayakan (Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara, Psl. 1 (15 & 17).
Dari dua terminologi atau tahapan ini kami menilai bahwa Ijin Usaha Pertambangan dalam
Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik
Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa
Oekopa dan Oerinbesi, tidak sesuai dengan tahapan pertambangan karena kenyataan di
lapangan masih melakukan pencarian dengan pemboran untuk mengetahui lokasi dan sebaran
mangan di Oekopa.
Padahal bila perijinan itu sejalan dengan kenyataan di lapangan maka sudah ada konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
Kebijakan ini dinilai tidak populis dan tidak sinkron dengan skala
prioritas program strategis yang sementara dilakoni dimana pertanian
menjadi salah satu program strategis. Apabila pemerintah kabupaten
TTU serius menjalankan RPJMD dan Visi-Misi sertaProgram Padat
Karya Pangan (PKP), maka Oekopa, Oerinbesi dan beberapa wilayah
sentral persawahan harus dijadikan sebagai pemasuk pangan terutama
beras agar tidak terus mengharapkan pasokan pangan dari luar
misalnya RASKIN (Beras Miskin)
Karena itu semestinya Pemkab TTU perlu diidentifikasi wilayah-wilayah potensial pertanian
karena tanpa didorong pemerintah pun telah berkontribusi sebagai pemasok pangan.
Sejak tahun 2010, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratirium
pertambangan tetapi kemudian hasil moratorium itu tidak
dipublikasikan agar publik mengetahui apa hasil evaluasi dan apa
solusi dari permasalahan tersebut.
Pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak berasaskan pada
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal kawasan
yang dijadikan sebagai wilayah pertambangan tersebut sejak dulu
warga dilarang untuk menebang pohon atau merusakannya;
3.7. Dampak Ekonomi
Hampir semua aktivitas pertambangan dilandaskan pada analisis ekonomi.
Argumentasi peningkatan ekonomi warga dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dipandang sebagai alasan mumpuni dari pertambangan. Dengan pertambangan
akan diserap tenaga kerja dan perubahan kualitas hidup masyarakat sekitar
wilayah pertambangan.
Argumentasi yang sama pun ditemukan di Oekopa dan Oerinbesi bahwa dengan
pertambangan mangan akan menyerap tenaga kerja dan memberikan dampak
positif bagi kehidupan rakyat.
Padahal, secara ekonomi yang perlu dikaji lebih jauh adalah kegiatan Produksi,
Distribusi dan Konsumsi.
Untuk pertambangan Oekopa dan Oerinbesi perlu dicermati daya rusak tambang
pada ekonomi warga setempat, apakah terjadi penghancuran pada tata
produksi, distribusi dan konsumsi lokal.
Rusaknya Tata Produksi
Masyarakat Oekopa dan Oerinbesi sejak keberadaannya, persawahan menjadi sumber
penghidupan utama disamping peternakan. Apabila pemerintah berinisiasi untuk
meningkatkan pendapatan mereka mestinya yang dilakukan adalah kembali menata dan
memulihkan lokasi-lokasi penyanggah agar debit air semakin memadai agar seluruh
hamparan itu dimanfaatkan secara efektif untuk persawahan. Malah yang harus dipikirkan
adalah pascah panen apa yang harus dilakukan petani dan bagaimana mengentaskan sistem
ijon yang ramai dilakoni petani.
Bila kawasan itu dikonversi menjadi pertambangan, akan terjadi rusaknya tata produksi.
Karena operasi pertambangan membutuhkan lahan yang luas, dipenuhi dengan cara
menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat. Kehilangan sumber produksi (tanah dan
kekayaan alam) melumpuhkan kemampuan masyarakat Oekopa dan Oerinbesi yang selama
ini menghasilkan beras (pangan) untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Bagi warga Oekopa dan Oerinbesi tanah dan persawahan adalah sumber penghidupan yang
tidak bisa ditukarkan/digadaikan.

Rusaknya tata konsumsi,
Lumpuhnya tata produksi (persawahan dan peternakan) menjadikan masyarakat Oekopa dan
Oerinbesi makin tergantung pada barang dan jasa dari luar. Untuk kebutuhan sehari-hari
mereka semakin lebih jauh dalam jeratan ekonomi.
Uang tunai yang cendrung dilihat besar, tanah dan kekayaan alam sebagai faktor produksi
dan bisa ditukar dengan sejumlah uang untuk sementara waktu (instant) tetapi apa pernah
dipikirkan tentang rusaknya lahan dan tata konsumsi wargayang selama ini mengalami
kedaulatan pangan;

Rusaknya tata distribusi,
Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya barang dan jasa ke
dalam komunitas termasuk beras (pangan) yang merupakan kebutuhan paling pokok.
Padahal, biasanya pada awal sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa
pertambangan akan membawa kesejateraan dengan meningkatkan pendapatan ekonomi
masyarakat setempat.
Tetapi yang terjadi warga Oekopa dan Oerinbesi menjadi kuli di negeri sendiri, bila ia
menjadi seorang petani, ia akan berdaulat dengan dirinya.
Tawaran akan pertambangan perlu dikaji secara cermat dengan melihat fakta-takta yang
sudah ada. Bukan dengan pragramtis lalu pertambangan disetujui, setelah itu baru diakhiri
dengan kekesalan.
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi:
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan dan direkomendasikan beberapa hal
diantaranya:
Pertambangan Mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak layak dilakukan, segera
dihentikan karena sedikit memiliki manfaat positif bagi warga dibanding
dampak-dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan dan warga;
Pulihkan kawasan penyangga agar Oekopa dan Oerinbesi agar terus menjadi
daerah pemasok beras bagi Kabupaten TTU, begitupun dengan kawasan
persawahan lain agar TTU memiliki daerah pemasok beras;
Perijinan pertambangan itu dinilai cacat hukum, karena tidak sesuai dengan
prosedur tahapan pertambangan antara status perijinan dan kenyataan di
lapangan;
Pemkab TTU semestinya secara transparan dan akuntable membuat kajian dan
analisis agar pembangunan tidak bias program dari apa yang sudah
direncanakan;
KRONOLOGI
1. Perjalanan pertambangan mangan di desa Oekopa, kami dari sonaf'kbat dan forum
masyarakat peduli kelestarian alam budaya sudah melakukan penolakan pada:
2. Pada tanggal 21 Mei 2012 mengeluarkan surat pembatalan yang pertama yang
ditunjukkan kepada pemerintah desa Oekopa
3. Pada tanggal 6 Juni 2012 mendapatkan tanggapan dari pemerintah desa dan
mengundang khusus Suku Usatnesi Sonaf'kbat dengan perihal sosialisasi dengar
pendapat bersama camat Biboki Tanpah dan selanjutnya tidak menemukan
penyelesaian;
4. Pada tanggal 25 Juni 2012 pemerintah desa mengeluarkan surat undangan dengan
perihal sosialisasi AMDAL akan tetapi sosialisasi tersebut tidak terlaksana, karena
dari pihak penolak langsung bertindak dengan tegas menolak sosialisasi AMDAL.
Dan pihak pemerintah desa dan tidak melanjutkan janjinya sehingga pada saat itu,
perusahaan langsung meninggalkan lokasi desa Oekopa dengan janji tidak akan
kembali lagi untuk melakukan pertambangan ternyata;
5. Pada tanggal 27 Juni 2012 dari Pihak Perusahaan mengingkari janji dan kembali ke
lokasi pertambangan di desa Oekopa dan esok harinya;
6. Pada tanggal 28 Juni 2012 Perusahaan langsung mengadakan aktivitas dengan cara
mengukur lahan langsung membayar lahan dengan luas areal 25 are sampai 1 ha
dibayar dengan harga sebesar 2 juta rupiah. Pada tanggal yang sama Kami dari
Usatnesi dan Forum melakukan peneguran terhadap investor pertambangan mangan
akan tetapi tanggapan dari perusahaan mengatakan bahwa kami mendapat kuasa dari
pemerintah desa untuk terus melakukan aktivitas selanjutnya walaupun ada penolakan
7. Pada tanggal 1 Juli 2012 dari pihak perusahaan mencoba mengadakan Upacara Adat di
rumah adat Usatnesi sonaf'kbat dan ternyata kedatangan perusahaan langsung
ditindaki dengan tegas karena dinilai tidak sesuai dengan prosedure budaya orang
biboki
8. Pada tanggal 14 Juli 2012 keterwakilan 3 orang dari perusahaan untuk mengklarifikasi
bersama Usatnes Sonaf'kbat dan janjinya dari ketiga orang utusan perusahaan itu
menyatakan esok harinya aktivitas perusahaan akan dihentikan sementara sambil
menunggu keputusan yang jelas akan tetapi perusahaan terus mengingkari janjinya
dengan aktivitasnya terus berlanjut;
9. Pada tanggal 19 Juli 2012 camat Biboki Tanpah mengambil data atau pertimbangan
bersama penolak dan data tersebut akan disampaikan pada Bupati Timor Tengah
Utara
10. Pada tanggal 3 agustus 2012 ketua komisi C DPRD TTU bersama dua anggota
bertemu langsung dengan pihak penolak di kantor desa Oekopa dengan tujuan
menghimpun usulan penolak.



Tulisan ini dipersiapkan sebagai bahan presentasi JPIC SVD Timor, Lakmas Cendana Wangi,
WALHI NTT dengan Komisi C, DPRD Kabupaten TTU, Rabu, 22 Agustus 2012 di Kantor
DPRD TTU
Aktifis lingkungan yang sedang dipercaya menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) NTT dan menjadi kontak person Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Pernyataan Gabriel Manek, tokoh masyarakat desa Oekopa dan Ketua Forum Peduli
Kelestarian Lingkungan, Alam dan Budaya Oekopa
Hasil Wawancara dengan beberapa masyarakat Oekopa dan Data Statistik Desa Oekopa yang
diambil, Kamis 09 Agustus 2012
Fatukanaf (batu nama) dalam budaya orang timor, batu itu memiliki nama seturut suku yang
ada dan itu dihormati dan mendapat perlindungan. Sedangkan Oekanaf (air pemali), dalam
budaya orang Timor air dihormati dan dilindungi oleh suku-suku yang ada. Oekanaf ini
menjadi tempat ritus bagi suku tertentu sebagai bentuk pemujaan mereka terhadap leluhur
Hasil temuan lapangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah NTT dan
Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi NTT, Kamis 09 Agustus
2012
Busao, tempat merayakan ritual adat bagi suku Usatnesi, Lan faot naine mnune, tempat ritual
adat untuk menghubungkan Tamkesi dan Mandeu dan Fatu Tasu itu untuk Monemnasi,
Taekab, Amteme, Tasi
WALHI (Walhana Lingkungan Hidup Indonesia Friends of The Earth Indonesia) adalah
forum organisasi non pemerintah dan kelompok pencinta alam terbesar di Indonesia dengan
26 Perwakilan di 26 Propinsi dan 436 Anggota. Sedangkan WALHI NTT didirikan 1996
yang kini memiliki 43 lembaga anggota tersebar di seluruh NTT;
LAKMAS (Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil) adalah salah satu lembaga sosial yang
bekerja secara sukarela untuk kepentingan publik. Lembaga ini berkedudukan di
Kefamenanu.
Beny Ulu Meak, Masa Depan Pertambangan Mangan di Kabupaten TTU, materi yang
Disamapaikan pada Lokakarya Perempuan dan Mangan di Timor Barat -NTT dalam aspek
Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Hidup tanggal 19 Agustus 2010 di Kefamenanu

Anda mungkin juga menyukai