Anda di halaman 1dari 15

MEMATANGKAN KONSEPSI MUSLIM NEGARAWAN:

PELUANG DAN TANTANGAN KE DEPAN


Untuk keluar dari semua kemelut di atas, agaknya kita perlu sosok
pemimpin ala Don Quixote yang sendirian dengan pedang di tangan,
siap membabat habis semua kejahatan. Namun agaknya sulit ditemukan
sosok itu. Jangan-jangan kalaupun muncul pemimpin perkasa, kita
terjerumus lagi kepada pengkultusan sosok pemimpin. Prof. Dr. Teuku
Jacob Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis.

1. Pendahuluan
Negara Indonesia telah mengalami berbagai macam revolusi, sejak
dijajah Belanda hingga pemerintahan Soeharto. Revolusi-revolusi yang lahir
ini bukan tanpa arti. Revolusi dilahirkan oleh tangan-tangan dan langkah
seorang citizen, penduduk negara, yang sadar akan gap sosial yang terjadi di
negaranya. Revolusi mengubah tatanan dominan yang sebelumnya
menopang kehidupan bangsa ini. Dalam kata lain, dalam suatu waktu,
revolusi mengehegemoni negara, mengambil alih kekuasaan dominan.
Revolusi bukan hanya dilahirkan tapi juga melahirkan. Revolusi
yang terjadi di Indonesia telah banyak melahirkan insan-insan baru
khususnya pemudayang kemudian meletakkan satu per satu jarinya di
lapangan pemerintahan negeri ini. Perang Diponegoro I dan II dilahirkan
dan melahirkan seorang Pangeran Diponegoro yang kemudian menyentak
kesadaran masyarakat bahwa mereka dijajah, meski sebagai imbalannya ia
harus menerima pengasingan.
Namun, tak dipungkiri bahwa revolusi yang berkali-kali terjadi di
Indonesia membuat Indonesia terlena. Indonesia seakan terus menunggu
revolusi untuk memperbaiki negara yang tak kunjung sembuh dari sakitnya.
Revolusiyang boleh dikatakan terbaru1998 di mana seluruh elemen
masyarakat terutama pemuda menduduki istana negara dan memaksa
Soeharto untuk mundur dari jabatannya, masih menjadi siluman perayu
bagi masyarakat. Masyarakat, terutama mahasiswa, terus menerus
menggalang dan meneriakkan revolusi sebagai katalis perubahan. Kondisi
negara yang tak kunjung membaik dijadikan alasan untuk mempercepat
revolusi.
Padahal, revolusi dilahirkan bukan untuk melahirkan revolusi baru.
Tahapan selanjutnya dari revolusi adalah melahirkan para negarawan baru.
Negarawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring adalah
seseorang yang ahli dalam kenegaraan; pemimpin politik yang secara taat
asas menyusun kebijakan negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Negarawan di sini tentu saja bukan hanya mereka yang berkarir di politik
praktis, ahli dalam kenegaraan atau dalam arti lain seorang pejabat.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai
organisasi yang dilahirkan dan melahirkan revolusi, kemudian
menggelontorkan gerakan Muslim Negarawan, tentu saja tidak mau terjebak
dalam paradigma negarawan sempit di atas. Kata Muslim di depan kata
Negarawan bahkan sudah merupakan magis bagi kenegarawanan itu
sendiri. Apa yang bisa dilakukan seorang Muslim dalam mereplika dirinya
menjadi negarawan-negarawan handal? Apakah Negarawan hanyalah
seorang politisi sebagaimana yang sering dipahami oleh kader KAMMI?
Apa sesungguhnya nilai Muslim Negarawan itu? Bagaimanakah usaha
untuk menginstitusionalkan usaha para Muslim Negarawan ini?
Makalah ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas. Pertanyaan yang bukan berarti menyangsikan paradigma KAMMI
yang telah mengakar selama ini, tapi untuk memperbarui konsepsi yang
telah ada di dalamnya. Konsepsi baru inilah yang kemudian akan turut
menjiwai paradigma Muslim Negarawan sehingga menjadikan KAMMI
sebagai rahim yang melahirkan para muslim negarawan itu.
2. Muslim Negarawan dan Politisi
Negarawan secara sempit bisa dimaknai sebagai seorang pemimpin.
Dalam ensiklopedia melalui Sudarsono dijelaskan bahwa negarawan atau
statesman is usually a politician or other notable figure of state who has
had a long and respected career in politics at national and international
level. Negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau figur lain
yang memiliki karir yang mumpuni dan berkelanjutan baik di kancah
nasional maupun internasional. Dapat dilihat bahwa definisi seorang
statesman terbatas pada kacamata politik.
Sudarsono (2010:80) menjelaskan bahwa kepemimpinan politik yang
negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan
kengearaan. Di sini bisa terdapat makna eksplisit bahwa negarawan
sesungguhnya adalah sifat. Seluruh manusia bisa menjadi pemimpin, tapi
bagaimana setiap pemimpin itu bisa melekatkan sifat-sifat negarawan pada
dirinya sehingga bukan hanya menjadi pemimpin statuta atau dalam arti lain
pimpinan, tapi benar-benar menjadi pemimpin yang memimpin dan
mengayomi.
Muslim Negarawan yang selama ini dicanangkan KAMMI membuat
stigma bergerak ke arah pentingnya seorang kader KAMMI menjadi
politisi. Kata negarawan yang dilekatkan mengarahkan pemikiran
seseorang untuk lebih dekat kepada politisi dalam arti praktis. Sementara
kata Muslim di depannya dimaknai sebagai identitas keislaman, bahwa
kader KAMMI adalah negarawan yang muslim.
Al-Banna (2005: 97) memberikan analogi yang bagus tentang politisi
(kata sementara untuk menyebut negarawan), yaitu bahwa mungkin
seseorang dapat disebut politisi dengan segala makna politik yang
terkandung di dalamnya, namun ia tidak memiliki afiliasi. Sedangkan
seorang yang terjun ke dalam politik praktis mungkin saja tidak mengerti
makna politik yang sebenarnya.
Al-Banna seakan menegaskan bahwa seorang politisiatau
negarawanpada akhirnya bukan seseorang yang melulu terjun ke dalam
dunia politik praktis. Bahkan mungkin banyak politisi yang mereka terjun
ke dalam politik praktis tapi ternyata tidak memahami apa itu politik sama
sekali.
Merujuk pada pengertian politik atau yang disebut siyasah dalam
bahasa Arab sesungguhnya bukan hanya mengenai politik praktis. Dalam
suatu riwayat Asma binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ia seolah-olah
terlepas dari politik kuda setelah mendapat seorang khadim. Politik di sini
berarti teknik, kekuatan, melayani, etika yang memiliki wilayah aplikasi
yang lebih luas daripada sekedar diterjemahkan menjadi politik praktis.
Lalu bagaimana dengan paradigma Muslim Negarawan yang seringkali
diterjemahkan menjadi politisi (pejabat)? Di sinilah konsepsi itu mesti
diperbaiki. KAMMI sebagai kawah candradimuka yang melahirkan para
muslim negarawan pada akhirnya harus kembali lagi merefleksi makna yang
terkandung di balik kata muslim negarawan tersebut.
Negarawan berarti tidak melulu menjadi seorang politisi atau pejabat,
tapi ia bisa merambah profesi-profesi lainnya. Apalagi dengan
ditambahkannya kata muslim di depannya, maka tentu saja menjadi
internalisasi tersendiri. Nilai-nilai Islam manakah yang akhirnya bisa
membedakan Negarawan Biasa dengan Muslim Negarawan.
3. Intelektual Profetik dan Lahirnya Muslim Negarawan
1.1 Intelektual Profetik
Sebelum menjadi seorang muslim negarawan, seorang kader
KAMMI hendaknya memiliki karakter intelektual profetik. Ini
semacam tahapan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang
muslim negarawan. Pengertian intelektual bisa dilihat dalam surat
Ali Imran ayat 190-191:

Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau
dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci
Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

Dalam ayat tersebut terdapat kata-kata bagi orang yang berakal,
yang berarti segala tanda yang ada di bumi ini hanya bisa dilihat
oleh orang yang berakal. Semua manusia tentu saja diberkahi
dengan kemampuan akal sebagai bekal hidup, tapi akal di sini
berarti lebih dari itu, yaitu kemampuan untuk memahami tanda
yang diberikan oleh Yang Kuasa kepada manusia. Tanda-tanda
inilah sesungguhnya katalis perkembangan akal manusia. Jika tidak
ada tanda-tandaterutama tanda alamakal manusia itu sendiri
tidak bisa berkembang.
Akal sebagai alat dan alam sebagai bahan, suatu alat yang tidak
digunakan untuk mengolah suatu bahan lama kelamaan akan
kehilangan fungsinya. Akal manusia yang tidak digunakan untuk
memahami tanda-tanda Allah akan kehilangan fungsinya untuk
memanusiakan manusia itu sendiri.
Saefuddin dalam bukunya, Desekulerisasi Pemikiran: Landasan
Islamisasi mengungkapkan bahwa kata intelek digunakan sebagai
keterangan kata berfikir. Konsep kata ulul albab ini
diterjemahkan sebagai konsep paduan zikir dan fikir, rasional dan
intuitif seperti halnya konsep akal aktif pada ilmuwan abad
pertengahan.
Dalam menggunakan akalnya untuk berpikir atau memahami
tanda-tanda, manusia juga membutuhkan zikir untuk mempertajam
analisisnya. Hal ini tidak semata-mata diartikan bahwa fikir adalah
kerja otak dan zikir adalah kerja hati. Keduanya merupakan dua
kegiatan yang disinergikan otak, karena di dalam otan ada organ
yan gberfungsi melakukan tugas berlogika (fikir) dan organ yang
berfungsi untuk intuisi (zikir).
Sementara profetik sendiri berasal dari kata prophet yang berarti
nabi. Profetik juga berarti kenabian atau sifat yang ada dalam diri
nabi. Sriyanto (2011: 32) menjelaskan bahwa sifat nabi di sini
adalah ciri manusia yang ideal secara inspiritual-individual, tetapi
juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah
kebaikan, dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan
penindasan.
Sifat-sifat profetik di mana ciri khas teologis terangkum di
dalamnya inilah yang diperlukan untuk melengkapi intelektualitas
manusia. Intelektual di mana fikir dan zikir bersatu, dilengkapi
dengan sifat-sifat profetik yang bisa diambil dari Al-Quran dan
Sunnah.
1.2 Menuju Muslim Negarawan
Muslim Negarawan adalah aksi nyata dari Intelektual Profetik.
Ketika seseorang sudah memenuhi kapasitas sebagai seorang
Intelektual Profetik, maka menjadi seorang Muslim Negarawan
adalah cara bagi dirinya untuk membuat sifat-sifat profetik itu
menjadi nyata. Di sini seorang intelektual profetik dituntut untuk
menjadi muslim yang utuh, dengan sifat negarawan tersanding di
bahunya.
KAMMI (Sudarsono, 2010: 81) sendiri telah merumuskan profil
muslim negarawan yang akan dicetak bahwa muslim negarawan
haruslah memiliki: (1) basis ideologi Islam yang mengakar, (2)
basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, (3) idealis dan
konsisten, (4) berkontribusi pada pemecahan problematika umat
dan bangsa, serta (5) mampu menjadi perekat komponen bangsa
pada upaya perbaikan.
Kelima komponen tersebut bisa digambarkan dalam diagram
berikut:


Dalam diagram tersebut yang menjadi landasan gerak adalah basis
ideologi dan pengetahuan. Ideologi dan pengetahuan ini menjadi
Bahan:
1. basis ideologi Islam
2. basis pengetahuan
Penggerak
: Idealis
dan
Konsisten
Hasil :
1. pemecahan problematika bangsa
2. perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan
penting karena jika tidak ada, tidak ada yang bisa diolah. Istilahnya,
tidak mungkin sebuah kue donat dapat dibuat tanpa adanya tepung
terigu, telur, dan gula, meskipun peralatan untuk mengolah bahan
telah siap.
Basis ideologi Islam adalah sebuah refleksi di mana Indonesia saat
KAMMI lahir masih sangat mengagung-agungkan seorang
pemimpin yang nasionalis, yang Indonesianis. Segala sesuatu yang
bersifat keagamaan ditolak karena tidak Indonesianis. Hal ini
sesungguhnya sangat dialektis mengingat pemimpin-pemimpin
besar Indonesia dahulu seperti M. Natsir, Buya Hamka, dan lainnya
sukses membawa keislaman mereka di publik.
Kejatuhan Soeharto yang berarti juga kejatuhan kekakuan rezim
Orde Baru membuat masyarakat merindukan sosok pemimpin yang
tidak hanya nasionalis. Kehadiran konsep tentang pemimpin
berbasis Islam, juga partai politik berbasis Islam, menjadi warna
baru yang mulai dilirik. Orang mulai kembali berpikir tentang
agama mereka yang kini dibawa ke publik.
Namun, basis Islam di sini bukan hanya sekedar ditujukan untuk
populisasi agama di ranah politik. Basis Islam adalah landasan yang
harus dimiliki semua kader, karena sifat intelektual profetik yang
telah dibawa sebelumnya berbasiskan Islam. Ideologi Islam di sini
pun dipahami bukan hanya sebagai cara pemikiran, tapi juga
keyakinan.
Kedua, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan adalah untuk
menopang basis ideologi Islam yang telah ada sebelumnya. Bukan
berarti Islam saja tidak cukup, tapi pengetahuan-pengetahuan yang
dikembangkan oleh orang-orang non-Islam menjadi penting juga
untuk meng-counter berbagai macam isu yang akan melingkupi
dikarenakan negarawan yang membawa nama Islam masih
terdengar asing.
Ketiga, idealis dan konsisten adalah mesin yang siap menggerakkan
kedua basis yang telah mengakar tadi. Ideologi Islam dan basis
pengetahuan yang sudah kuat tadi tidak akan bisa direalisasikan jika
tidak ada alatnya, yaitu idealis dan konsisten. Keduanya
diperlukan untuk terus menjaga ideologi dan terus
merealisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
Idealis dan konsisten inilah yang akhirnya akan mempertahankan
gerakan. Tanpa konsistensi dan idealitas, maka ideologi Islam dan
basis pengetahuan yang telah tersusun rapi itu akan rapuh dan
mudah hancur. Perwujudan dari sesuatu yang ideal tidak akan
mudah tanpa konsistensi yang mapan.
Pada akhirnya ideologi Islam dan basis pengetahuan yang kuat
dengan terus didorong oleh idealis dan konsistensi akan
menghasilkan kemauan untuk berkontribusi di masyarakat dan
menyongsong perbaikan. Berkontribusi pada pemecahan
permasalahan umat dan bangsa dan Menjadi perekat komponen
bangsa sebagai upaya perbaikan adalah hasil dari segala proses
sebelumnya. Kontribusi dan menjadi perekat adalah bentuk nyata
dari ideologi yang terus dikonsisteni.
4. Sekolah Ilmu Profetik Berbasis Kepakaran
Paradigma Intelektual Profetik memang bisa dikatakan sebagai
jalan untuk mencetak Muslim Negarawan. Namun di siniseperti yang
telah penulis jabarkan sedari awalada konsepsi yang salah tentang
Muslim Negarawan itu sendiri. Paradigma bahwa Muslim Negarawan
adalah seorang politisi adalah mindset yang harus diubah terlebih
dahulu.
Sekolah Ilmu Profetik Berbasis Kepakaran adalah hal yang
penulis tawarkan untuk memperbaiki mindset tentang Muslim
Negarawan. Sekolah Ilmu Profetik Berbasis Kepakaran merupakan
tempat di mana kader KAMMI bisa mempelajari dan mendiskusikan
ilmu-ilmu kepakaran mereka dan dihubungkan dengan Islam (profetik).
Sekolah ini pada akhirnya akan menggolkan sebuah wacana lahan gerak
para Muslim Negarawan ke depannya.
Terinspirasi dari Sekolah Ilmu Sosial Humaniora Profetik
1
yang
pernah diadakan di Fakultas Ilmu Budaya, di mana di sana membahas
tentang teori-teori sosial yang berpengaruh dan mengaitkannya dengan
Islam itu sendiri, merupakan tempat di mana para kader KAMMI bisa
mengingat Islam di bidang yang ia tekuni. Karena bisa dikatakan,
teori-teori yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan ini adalah teori
Barat sehingga Islam sebagai ibu dari ilmu sering dilupakan.
Terkait tentang materi apa saja yang akan disampaikan dalam
Sekolah ini, maka jelas dimulai dari epistemologi ilmu, yaitu teori
mendasar tentang ilmu itu sendiri. Teori dasar ini yang kemudian
dikembangkan berdasarkan kepakaran masing-masing. Basis
kepakaran ini juga sebenarnya merupakan cara untuk menghargai
kepakaran kader KAMMI yang berasal dari berbagai macam disiplin
ilmu. Diskusi di KAMMI tidak melulu tentang politik dan isu sosial
masyarakat.
Melalui sekolah ini, akhirnya akan terbuka wacana di mana lahan
dakwah Muslim Negarawan KAMMI bukan hanya terpusat di ranah
politik praktis, tapi juga akan ada di bidang lainnya, sesuai dengan
kepakaran yang kader KAMMI miliki. Nilai profetik yang dibawa pada
akhirnya akan menuntun kader KAMMI untuk tetap menjaga nilai
Islam di bidang apapun yang ditekuni.
Yang namanya sekolah, tentu saja tidak berjalan sepanjang waktu
tanpa ada jeda libur. Penulis menawarkan sekolah ini diadakan dalam
kurun waktu tertentu, semisal 3 bulan sekali dengan durasi 1 bulan per
sekolah. Setiap serial sekolah akan memuat tema tertentu di mana para
peserta akan bisa fokus untuk memahami apa yang dipelajari secara
keseluruhan.
Harapannya, sekolah ini bisa memberikan wacana baru bagi para
kader KAMMI, yaitu wacana di mana semua ilmu adalah profetik dan

1
Sekolah Ilmu Sosial Profetik merupakan sekolah yang membahas tentang teori-teori
Sosial dari kacamata Islam. Sekolah ini merupakan salah satu perwujudan dari pemikiran
Prof. Kuntowijoyo. Sekolah ini diadakan di Musholla Al-Adab Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, dan merupakan kerjasama antara Takmir musholla dengan
Keluarga Muslim Ilmu Budaya.
bisa tertempelkan di Muslim Negarawan. Sekolah ini juga akan
menguatkan tradisi keilmuan KAMMI yang penulis rasa masih sangat
kurang saat ini.
5. Solidaritas Muslim Negarawan
Menimbang dari Sekolah Ilmu Profetik Berbasis Kepakaran, akan
lahir kader-kader KAMMI yang mampu berkarya di bidang masing-
masing, tentu saja dalam kerangka interdisipliner. Namun,
berdiasporanya kader KAMMI di bidangnya masing-masing tidak akan
membawa perubahan jika tidak ada ikatan yang mengikat. Perlu ada
suatu ikatan di antara kader KAMMI yang pada akhirnya melahirkan
sebuah konsesus bersama untuk pengembangan bangsa ini.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengulas tentang ashabiyah
sebagai landasan dari peradaban. Teori ashabiyah Ibn Khaldun inilah
yang menjadi kerangka teoritis teori politik modern seperti teori Hobbes
dan Karl Marx. Peradaban yang kuat adalah wujud dari ashabiyah atau
solidaritas masyarakat yang kuat. Masyarakat yang dulu mulai
terbentuk setelah kehidupan nomaden berhenti menggalang solidaritas
mereka saat bercocok tanam, saat sumber daya harus digunakan
bersama-sama. Ketika tidak ada solidaritas, maka manusia tidak akan
bisa bertahan hidup. Kelompok yang terbentuk dari solidaritas inilah
yang merupakan cikal bakal terbentuknya negara.
Max Weber dalam Harrison (2011:
http://socioconcepts.blogspot.com/2011/11/solidarity-in-durkheim-
weber-and-marx.html?m=1 juga mengungkapkan tentang teori
solidaritasnya dalam buku Theory od Social and Economic
Organization bagian Types of Solidary Social Realtionship. Weber
mengungkapkan bahwa relasis sosial bisa berbasiskan perasaan
subjektif individu terhadap kelompok, atau juga berdasarkan minat dan
tujuan yang sama. Di sini ia menekankan bahwa solidaritas masyarakat
terbentuk karena masyarakat meyakininya.

Khaldun (1986: 151) mengatakan bahwa solidaritas sosial hanya
akan didapati pada golongan yang dihubungkan oleh pertalian darah
atau pertalian lain yang mempunyai arti sama. Di sini ada titik tekan
pada pertalian, di mana solidaritas hanya akan terbentuk jika ada
ikatan, ada pertalian antara satu orang dengan lainnya. Pertalian darah
di sini bisa dimaknai bahwa orang Indonesia seluruhnya memiliki
pertalian darah sebagai masyarakat suatu negara di mana akan ada rasa
solidaritas bersama. Namun, pertalian yang lebih mengikat dan lebih
pas dengan Muslim Negarawan adalah muslim itu sendiri, Islam.
Pertalian Islam di mana golongan-golongan minor dikesampingkan
akan menjadi pertalian kuat untuk membentuk solidaritas sosial.
Solidaritas sosial ini yang nantinya akan melahirkan pemimpin, di
mana Khaldun (1986: 156) menyatakan bahwa pemimpin hanya akan
lahir dari masyarakat yang memiliki solidaritas sosial. Pemimpin inilah
yang nantinya akan mewujudkan tujuan terakhir solidaritas sosial, yaitu
kedaulatan. Solidaritas sosial itulah yang membuat orang menyatukan
usaha untuk tujuan yang sama; mempertahankan diri, dan menolah atau
mengalahkan musuk (Khaldun, 1986: 166).
Muslim Negarawan yang selama ini dihasilkan KAMMI memang
pada akhirnya akan menjadi individu-individu cemerlang yang mampu
memberikan warna pada Indonesia. namun, cemerlangnya para Muslim
Negarawan KAMMI tidak akan memberikan dampak berarti tanpa
adanya solidaritas di kalangan mereka. Solidaritas inilahyang seperti
kata Ibn Khaldunakan membentuk peradaban baru, yang
berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.
Dasar dari solidaritas Muslim Negarawan KAMMI telah jelas,
yaitu ideologi Islam. Sama seperti Ibn Khaldun dan Max Weber yang
mengungkapkan bahwa perekat solidaritas paling kuat adalah ikatan
spiritualitas, yang memiliki efek magis terhadap masyarakat, solidaritas
muslim negarawan KAMMI adalah nilai-nilai Islam. Percuma jika
solidaritas Muslim Negarawan KAMMI dibentuk atas dasar
kepentingan politik semata, mengingat negarawan dipahami secara
sempit sebagai politisi.
Ikatan solidaritas yang berupa nilai Islam inilah yang akan
mendistribusikan para kader KAMMI ke pos-pos penting pembangunan
Indonesia. Muslim Negarawan KAMMI bukan hanya akan menjadi
politisi yang berkecimpung di politik praktis semata, tapi juga menjadi
politisi di segala bidang. Solidaritas yang sudah terbentuk akan
membentuk harmonisasi di antara para kader KAMMI secara otomatis.
6. Penutup
Muslim Negarawan jelas bukan hanya sekedar jargon atau bahkan
hanya sekedar nama. Pembentukan jati diri menjadi seorang muslim
negarawan tentu saja harus benar-benar dilandaskan pada nilai-nilai
Islam. Dan karena dilandaskan pada nilai Islam inilah, maka tingkah
laku Muslim Negarawan tidak bisa macam-macam, karena konsepsi
agama pun bukan merupakan suatu yang main-main.
Muslim Negarawan pada akhirnya harus memperluas definisinya
sendiri, apakah masih tetap pada ranah perpolitikan praktis, atau akan
merambah ke wilayah lain di luar politik. Mengingat aspek-aspek
pembangunan tidak hanya dibangun dari segi politik, maka menjadi
penting untuk memperluas sayap Muslim Negarawan.
Sekolah Ilmu Profetik Berbasis Kepakaran merupakan suatu usaha
untuk memperluas paradigma tentang Muslim Negarawan. Muslim
Negarawan bukan hanya mereka yang berkecimpung di bidang politik.
Sekolah ini akan membuka wacana tentang ilmu berbasis kepakaran
kader KAMMI yang tentu saja dikaitkan dengan Islam. Sekolah inilah
yang akan membuka lahan gerak dakwah kader KAMMI.
Perluasan ini jelas tidak akan tercipta tanpa adanya suatu solidaritas.
Solidaritas Muslim Negarawan yang berlandaskan nilai Islam adalah
katalisator pembentuk peradaban baru yang madani. Islam menjadi
perekat di antara para negarawan karenatanpa disadarinilai
spiritual menjadi pengikat magis untuk membentuk solidaritas. Ketika
ikatan ini kuat, maka bukan mustahil peradaban yang madani akan
terbentuk.
Tabik.




















DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna, Hasan. 2005. Risalah Pergerakan 1. Jakarta: Era Intermedia
Al-Quran Terjemahan. 2007. Bandung: Syaamil Quran.
Khaldun, Ibn. 1986. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus
Sriyanto. 2011. Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Kuntowijoyo).
Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo (Skripsi).
Sudarsono, Amin. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda
Cendekia















DAFTAR LAMAN
Harrison, Jonathan. 2011. Solidarity in Durkheim, Weber and Marx.
http://socioconcepts.blogspot.com/2011/11/solidarity-in-durkheim-
weber-and-marx.html?m=1. Diakses tanggal 9 Desember 2013 pukul
05.00 WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/. Diakses pada 9 Desember
2013 pukul 04.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai