REKONSEPTUALISASI PENYELESAIAN
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Oleh: Winasis Yulianto*
Abstrak:
Hubungan antar lembaga negara didasari atas prinsip check and
balances. Dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara dapat
terjadi perbedaan penafsiran UUD, sehingga terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara. Bilamana sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI
Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk
menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun bagaimana
bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka
terjadi kekosongan hukum. Penulisan ini akan menganalisisnya
secara tajam dan membandingkan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi di negara lain.
Kata Kunci: Sengketa Kewenangan dan Lembaga Negara
Winasis Yulianto, Dosen Tetap dan Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh
Situbondo
1
Pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara hukum tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDN RI
1945
2
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Peurndang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3
Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 51.
1111
pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan yang
ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
Materi muatan undang-undang dasar yang mirip pendapat di atas dipaparkan oleh
Miriam Budiardjo. Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:4
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
ekskutif dan yudikatif: dalam negara federal, pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyesaikan
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan
sebagainya.
2. Hak-hak azasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah
tersendiri).
3. Prosedur mengubah undang-undang dasar.
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undangundang dasar.
Susunan ketatanegaraan atau organisasi negara merupakan aspek penting dalam
kehidupan ketatanegaraan. Oleh karena itu terdapat lembaga negara yang disebutkan dalam
UUDN RI 1945 dan lembaga negara yang tidak disebutkan dalam UUDN RI 1945.
Lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUDN RI 1945 setelah perubahan
adalah:5
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 2 dan Pasal 3);
2. Presiden (Pasal4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal15 dan Pasal 16);
3. Pemerintah Daerah (Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B);
4. Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A dan Pasal 21);
5. Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C dan Pasal 22D);
6. Komisi Pemilihan Umum (Pasal 22E);
7. Bank Sentral (Pasal 23D);
8. Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23E dan Pasal 23F);
9. Mahkamah Agung (Pasal 24 dan Pasal 24A);
10. Komisi Yudisial (Pasal 24B);
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 101.
Bandingkan lembaga-lembaga negara tersebut dengan Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam
Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 196.
Bandingkan pula dengan pendapat Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 184-191.
5
1112
Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Disertasi, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2009), hlm. 220-222.
7
Indriyanto Seno Adji lebih suka menggunakan istilah rivalitas. Lihat Indriyanto Seno Adji, Rivalitas atau
Penegakan Hukum, Harian Kompas Selasa 7 Agustus 2012.
8
Pasal 24C ayat (1) UUDN RI 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus peselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Sedangkan Pasal 24 C ayat (2) UUDN RI 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
1113
Lihat Suara Karya Online, Konflik KPK-POLRI Campur Tangan Presiden Sangat Diperlukan, Sabtu 14
November 2009 diakses hari Jumat tanggal 20 Juli 2012 pukul 17.00.
10
detikNews, Bibit & Chandra Ditahan Singgung Rivalitas KPK Polri, SBY Hanya Bisa Menengahi, Jumat 30
Oktober 2009, http://news.detik.com/read/2009/10/30/165355/1232007/10/singgung-rivalitas-kpk-polrisby-hanya-bisa-menengahi, diakses hari Jumat tanggal 20 Juli 2012 pukul 17.10.
11
Harian Kompas, KPK Tidak Boleh Dihambat Inspektur Jenderal Djoko Susilo Jadi Tersangka, Rabu 1 Agustus
2012.
1114
walet.Saat ditanyakan kenapa kasus kenapa kasus lama baru ditangani sekarang, Boy
mengatakan, korbannya baru melapor sebulan lalu.12
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan
sengketa KPK dengan Polri, dengan menetapkan empat kebijakan:13
(1) Kasus simulator SIM ditangani oleh KPK;
(2) Proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara;
(3) Waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam peraturan pemerintah;
(4) Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan saat ini.
Sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur UUDN RI 1945,
bukan hanya KPK dengan Polri. Indriyanto Seno Adji mencatat KPK beberapa kali
bersengketa dengan lembaga negara lain:14 KPK dengan Mahkamah Agung (MA),KPK
dengan badan pemeriksa keuangan (BPK), KPK dengan Kejaksaan Agung KPK dengan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP), maupun KPK dengan DPR.15
Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam hal terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi. Sejauh
saat ini, sengketa yang demikian dapat diselesaikan oleh Presiden dengan mempertemukan
pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Selanjutnya presiden memberikan
instruksi-instruksi yang harus dipatuhi oleh lembaga negara yang sedang bersengketa.
Masalahnya adalah, penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial,
yang tentu tidak memiliki kekuatan hukum bahkan dapat tidak dipatuhi.
Akhirnya, dalam perspektif kehidupan bernegara sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945 perlu dicarikan model
penyelesaian yudisialnya. Hal ini diperlukan dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu
kesejahteraan masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan pokok
permasalahan atau isu sentral yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah konsep penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Dari isu
sentral tersebut dapat dirumuskan permasalahan hukumnya sebagai berikut:
12
Harian Kompas, Masyarakat Bela KPK Tidak Ada Perintah Kepala Polri, Sabtu 6 Oktober 2012.
Teten Masduki, SBY Akhirnya Memimpin, Harian Kompas Rabu 10 Oktober 2012.
14
Indriyanto Seno Adji, log. cit.
15
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya tanggal 8 Oktober menyatakan bahwa Saya pernah
menengahi dan mencarikan solusi, ketika ada perselisihan, antara lain, KPK dengan MA, dengan Mahkamah
Agung, itu sekitar tahun 2006. BPK dengan Mahkamah Agung tahun 2007, KPK dengan Polri dan Kejaksaan
Agung
tahun
2009
..
Lihat
Pidato
LengkapPresiden
Soal
KPK-Polri,
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/09/16035782/Ini.Pidato.Lengkap.Presiden.soalKPK-Polri
diunduh pada hari Senin 15 Oktober 2012 pukul 16.15. Lihat juga pidato Presiden SBY pada saat
memberikan Sambutan Rakor dengan KPK dan Lembaga Tinggi Negara Lainnya di Kantor Presiden hari Senin
tanggal 13 Juli 2009.
13
1115
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni, 2003),
hlm. 16.
17
Sri Sumantri M, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945 dalam Padmo Wahjono (ed.),
Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 47. Baca juga Anwar C., Teori
dan Hukum Konstitusi Paradigma Kedaulatan Pasca Perubahan UUD 1945, Implikasi dan Implementasinya
pada Lembaga Negara (Malang: In-Trans, 2008), hlm. 25.
1116
18
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, (Bandung: Alumni,
1999), hlm. 29
19
CE Merriam, Jr., History of the Theory of Sovereignty Since Rousseau, (Kitchener: Batoche Books, 2001), p.
7.
20
Mahendra Putra Kurnia, Hukum Kewilayahan Indonesia: Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan
Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011), hlm. 25.
21
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hlm. 152-170). Jazim Hamidi berpendapat setidaknya
ada lima bentuk kedaulatan: Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Negara
dan Kedaulatan Hukum. Penulis berpendapat bahwa antara pendapat Soehino dan pendapat Jazim Hamidi
adalah sama, karena dalam Teori Kedaulatan Tuhan yang dikemukakan oleh Soehino juga memperdebatkan
siapa wakil Tuhan di dunia. Dengan demikian pendapat Soehino menggabungkan antara Teori Kekuasaan
Tuhan dengan Teori Kekuasaan Raja.Wakil Tuhan di dunia di lapangan keduniawian adalah raja, sedangkan
di lapangan keagamaan adalah Paus.
1117
Pada saat itu organisasi gereja mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat
perlengkapan organisasi Negara.
23
Ibid., hlm. 79.
1118
1. Tunggal. Ini berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki. Jadi di dalam
Negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang berhak menentukan atau
membuat undang-undang, atau hukum.
2. Asli. Ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain. Jadi
tidak diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau
kotapraja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan yang ada padanya
tidak asli, sebab diperoleh dari pusat.
3. Abadi. Ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan
itu adalah negara, yang menurut pendapat Jean Bodin Negara itu adanya abadi.
4. Tidak dapat dibagi-bagi. Ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan
kepada orang lain atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Tokoh lain Teori Kedaulatan Negara adalah Georg Jellinek. Georg Jellinek
berpendapat bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau
kemauan negara.Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara diangap satusatunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasan tertinggi atau kedaulatan.Di
luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum.
3.1.3. Teori Kedaulatan Hukum
Teori Kedaulatan Hukum atau rechts-souvereiniteit berpendapat bahwa yang
memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah
hukum itu sendiri. Argumentasinya adalah bahwa baik raja atau penguasa maupun rakyat
atau warga negara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.Semua sikap,
tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum.
Tokoh Teori Kedaulatan Hukum adalah Krabe. Menurut Krabbe yang berdaulat itu
adalah hukum.Hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara dan hukum itu berlaku
terlepasdaripada kehendak negara.
3.1.4. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori Kedaulatan Rakyat lahir sebagai reaksi atas kedaulatan raja.24 JJ Rousseau,
tokoh Teori Kedaulatan Rakyat berpendapat bahwa raja mendapat kekuasaannya dari
rakyat. Jadi yang berdaulat itu adalah rakyat. Raja itu hanya merupakan pelaksaan dari apa
yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat.
Tokoh Teori Kedaulatan Rakyat lainnya adalah Immanuel Kant.Ia berpendapat
bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
daripada warga negaranya. Dalam pengertian bahwa kebebasan disini adalah kebebasan
dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak
24
Jazim Hamidi, Teori Hukum Tata Negara A Turning Point of The State, (Jakarta : Salemba Humanika, 2012),
hlm. 5.
1119
membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah
merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.
3.2. Teori Konstitusi
Teori Konstitusi dipilih untuk menganalisis problematik dalam penulisan ini
mengingat bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara.Setiap
tindakan yang diambil oleh lembaga negara, penyelenggara negara maupun nmasyarakat
harus tunduk pada konstitusi. Teori konstitusi akan dipergunakan untuk mencari model
penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI
1945.
3.2.1. Pengertian Konstitusi
Sejak zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu
masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis.
Ini dapat dibuktikan pada faham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi.
Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Di
antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea mengandung
kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan
membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada, karena hanya merupakan
materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai.25
Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan
Resblica constituere. Dari sebutan itu lahirlah semboyan yang berbunyi Prinsep Legibus
Solutus est, Salus Publica Supreme Lex, yang artinya Rajalah yang berhak menentukan
organisasi/struktur dari pada negara, oleh karena ia adalah satu-satunya pembuat UndangUndang.26
Kata konstitusi, berasal dari bahasa Perancis constituer yaitu sebagai suatu
ungkapan berarti membentuk.Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal
untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu pernyataan
tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum atau sesudah
berdirinya negara yang bersangkutan.27
Menurut Blacks Law Dictionary, constitution berarti:28
25
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 62. Bandingkan
dengan Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 88.
26
Ibid.
27
Jazim Hamidi dan Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publesher, 2009), hlm.
87.
28
Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1979), p. 282.
1120
the organic and fundamental law of a nation or state, which may be written or
unwitten, establishing the character and conception of its government, laying the
basic principles to which its internal life is to be conformed, organizing the
government, and regulating, and limiting the functions of its different departments,
and prescribing the extend and manner of the exercise of souvereign powers.
Menurut Bolingbroke dalam esainya On Parties yang dikutip oleh KC Wheare,
yang dimaksud dengan konstitusi adalah kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan,
yang ditarik dari prinsip-prinsip rasio tertentu .. yang membentuk sistem umum, dengan
mana masyarakat setuju untuk diperintah.29
Dahlan Thaib berpendapat bahwa batasan-batan konstitusi adalah:30
1. Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan
kepada para penguasa.
2. Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu
sistem politik.
3. Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara.
4. Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.
Joeniarto berpendapat bahwa:31
Undang-Undang Dasar ialah suatu dokumen hukum yang mengandung aturanaturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau dasar-dasar mengenai
ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat
luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan
dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau
perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya.
Dari berbagai pendapat di atas, penulis sependapat dengan Dahlan Thaib, yang
menyebutkan bahwa konstitusi haruslah memiliki batasan-batasan: kumpulan kaidah yang
memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa, adanya pembagian
tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik, adanya deskripsi dari lembagalembaga negara, adanya masalah hak-hak asasi manusia.
29
KC Wheare, Modern Constitution, (Oxford : Oxford University Press, 1966) diterjemahkan oleh
Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya : Pustaka Eureka, 2003), hlm. 3-4.
30
Dahlan Tahib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 15-16.
31
Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1981), hlm. 22.
1121
32
Sri Soemantri M berpandangan bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Namun ada juga
para ahli yang membedaka antara konstitusi dengan undang-undang dasar, di antaranya Herman Heller dan
F Lassale. Lihat Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 10. Berkaitan dengan substansi konstitusi, lihat Sri Soemantri M.,
Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung : Alumni, 1987), hlm. 2.
33
Ibid., hlm. 51.
34
Ibid.
35
Miriam Bidiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 101.
1122
Iriyanto A Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah terhadap
Kewenangan Mahkamah Konstitusi, (Bandung : Alumni, 2008), hlm. 78-79.
37
Dahlan Thaib dkk.,Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 17.
1123
1124
Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupatendan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada
Seminar Nasional Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam
Rangka Penataan Ruang, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1-2.
45
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 91-92.
Bandingkan dengan pendapat Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 1.
46
I Nyoma Alit Puspadma, Perpanjangan Hak Guna Bangunan bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip
Kepastian Hukum, Keadilan, dan Berkelanjutan menuju Investasi yang Menyejahterakan Rakyat, Makalah
Seminar Hasil Penelitian Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang, 2012, hlm. 11.
47
Philpus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,
Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga pada hari Senin, tanggal 10
Oktober 1994, hlm. 7-8.
1125
melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar; kewenangan delegasi dan
mandate adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
3.4.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 60-61.
Ibid., hlm. 61
50
Gunawan A Tauda, Komisi Negara Independen Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan
Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2012), hlm. 52.
49
1126
51
Jimly Asshiddiqie, Permbangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indoensia, 2006), hlm. 40-41.
52
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 159.
53
Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataannya dalam Kerangka Sistem Hukum
Nasional, (Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei Agustus 2010), hlm. 3.
54
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, (Jakarta : Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 150.
1127
55
Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), hlm. 41.
56
Ibid. hlm. 41-42.
57
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
58
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
1128
yang melibatkan (mantan Kepala korlantas) Inspektur Jenderal Djoko Susilo agar ditangani
KPK.59
Penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden bukanlah penyelesaian hukum, karena
itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Pihak-pihak yang bersengketa dapat tidak mematuhi
keputusan Presiden di atas. Faktanya kemudian, Polri menggugat KPK karena KPK
menyita berbagai dokumen milik Polri, yang menurut Polri tidak ada hubungannya dengan
kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri.
Bilamana kita cermati argumentasi filosofis pembentukan KPK dan Polri,
seharusnya sengketa antara KPK dan Polri tidak perlu terjadi. Konsiderans menimbang
huruf a UU KPK maupun konsideran menimbang huruf a UU Polri, keduanya dimaksudkan
untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUDN RI 1945. Dengan demikian ada kesamaan tujuan pembentukan KPK dan Polri,
yaitu dalam kerangkan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Apa kemudian yang salah, sehingga terjadi sengketa antara KPK dan Polri. Penulis
berpendapat bahwa sengketa kewenangan tersebut disebabkan oleh ego sektoral KPK dan
Polri. Kondisi ini ditunjang dengan adanya tersangka yang berasal dari lingkungan Polri.
Upaya pembelaan korps sangat kental, sehingga segala daya upaya dilakukan untuk dapat
menangani perkara dugaan korupsi simulator SIM.60
Formulasi penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak
diaturdalam UUDN RI 1945 perlu mempergunakan tafsir yang lebih luas. Polri sekalipun
kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945, namun institusi Polri disebutkan dalam
UUDN RI 1945.61 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Polri memiliki legal
standing untuk menjadi pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara di
Mahkamah Konstitusi.62
59
1129
63
Nimatul Huda berpendapat bahwa konflik kewenangan antar lembaga/komisi/badan negara juga belum
sepenuhnya ditampung oleh Mahkamah Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi baru sebatas
pada konflik antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Ke depan perlu ada
perluasan pemaknaan terhadap lembaga negara sehingga konflik-konflik kewenangan antar kelembagaan
negara ataupun daerah ada saluran untuk menyelesaikan secara yuridis. Lihat Nimatul Huda, Mekanisme
Check and Balances di Antara Lembaga-Lembaga Negara, Majalah Konstitusi No. 54 Juli 2011, hlm. 30-31.
64
Lihat Muchammad Ali Safaat, Peran MK mewujudkan PrinsipCheck and Balances, Majalah Konstitusi No.
54 Juli 2011, hlm. 24-25.
65
Forum Hukum merupakan istilah yang dipergunakan oleh Muchammad Ali Safaat.Penulis sendiri lebih
suka menggunakan istilah lembaga yudisial.
1130
4. Competence dispute between State agencies, between State agencies and local
governments, and between local government; and
5. Constitutional complaint as prescribed by Act.
Walaupun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki lima kewenangan, namun dalam
penulisan ini yang dibahas hanya kewenangan yang berkaitan dengan penyelesaian
sengketa kewenangan lembaga negara.
Dari ketentuan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan dapat ditarik kesimpulan
bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa kewenangan antara:
a. Lembaga-lembaga negara;
b. Lembaga negara dengan pemerintah daerah;
c. Pemerintah daerah dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat menyelesaikan setiap
sengketa lembaga negara, tanpa memperhatikan apakah lembaga negara tersebut
kewenangannya diberikan atau tidak oleh konstitusi. Dalam hal menyelesaikan sengketa
kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berbeda dengan
Mahkamah Konstitusi Indonesia. Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan
sengketa kewenangan lembaga negara terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUDN RI 1945.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berpendapat bahwa bilamana konflik antara
negara, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga negara tentang tugas dan masing-masing
lembaga, tidak hanya membahayakan prinsip check and balances antara kekuasaan publik,
tetapi juga beresiko melumpuhkan fungsi pemerintahan yang penting. Hal ini dapat
menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar warga negara, yang menyerukan
mekanisme koordinasi yang sistematis. Konstitusi Korea Selatan telah menganugerahi
Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili sengketa kewenangan sebagai bagian
dari fungsi menjaga konstitusi.66
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengadili sengketa kewenangan dalam
klasifikasi:
a. Mengadili sengketa kewenangan antara lembaga-lembaga negara, dalam hal ini
sengketa kewenangan antara Majelis Nasional, Ekskutif, pengadilan biasa dan Komisi
Pemilihan Umum;
b. Mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara dengan pemerintah daerah,
dalam hal ini:
(1) sengketa kewenangan antara Ekskutif dan Kota Metropolitan Khusus, Kota
Metropolitan atau provinsi;
(2) sengketa kewenangan antara ekskutif dan kota/kabupaten.
66
Alenia ini dan kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan terjemahan dari
website Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, http://english.ccourt.go.kr/ diunduh pada hari Selasa tanggal
27 November 2012 pukul 09.17.
1131
Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga Negara di Indonesia menjadi empat: lembaga Negara yang
dibentuk oleh UUD, undang-undang, Keputusan Presiden dan Peraturan Menteri. Lihat Jimly Asshiddiqie,
Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 66.
68
Andy Omara mempergunakan istilah a good lesson for the Indonesian Constitutional Court. Lihat Andy
Omara, Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From the Korean Constitutional
Court Experience?, (Seoul: 2008, Korea Legislation ResearchInstitute), p. 50.
1132
menjamin kepastian hukum dan cenderung tidak dipatuhi oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
Kedua, model penyelesaian sengketa lembaga negara di Korea Selatan oleh
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan tidak membedakan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh konstitusi maupun peraturan perundangan lain. Model
penyelesaian sengketa lembaga negara model ini akan menjamin kepastian hukum dan
pelaksanaan check and balances antar lembaga negara.
Dari pelajaran yang dipetik dari kewenangan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
di atas, perlulah kiranya kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia diberi kewenangan
yang lebih luas dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Lembaga
negara yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi tidak lagi dibatasi kewenangan yang
bersumber dari atribusi UUDN RI 1945, tetapi juga kewenangan yang berasal dari
peraturan perundangan lain.
Untuk menunjang kewenangan diperluas Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam
menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga Negara, perlu dilakukan perubahan Pasal 24
C ayat (1) UUDN RI 1945. Frasa yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dihilangkan, sehingga ketentuan Pasal 24 C
ayat (1) UUDN RI 1945 berbunyi memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
1133