Anda di halaman 1dari 23

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

REKONSEPTUALISASI PENYELESAIAN
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Oleh: Winasis Yulianto*
Abstrak:
Hubungan antar lembaga negara didasari atas prinsip check and
balances. Dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara dapat
terjadi perbedaan penafsiran UUD, sehingga terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara. Bilamana sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI
Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk
menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun bagaimana
bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka
terjadi kekosongan hukum. Penulisan ini akan menganalisisnya
secara tajam dan membandingkan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi di negara lain.
Kata Kunci: Sengketa Kewenangan dan Lembaga Negara

1. Latar Belakang Masalah


Sebagai Negara Hukum,1 Indonesia menempatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUDN RI 1945, sebagai
ketentuan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.2 UUDN RI
1945sebagai undang-undang dasar, pada prinsipnya harus memuat tiga hal pokok,3 yaitu:
*

Winasis Yulianto, Dosen Tetap dan Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh
Situbondo
1
Pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara hukum tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDN RI
1945
2
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Peurndang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3
Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 51.

1111

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan yang
ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
Materi muatan undang-undang dasar yang mirip pendapat di atas dipaparkan oleh
Miriam Budiardjo. Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:4
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
ekskutif dan yudikatif: dalam negara federal, pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyesaikan
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan
sebagainya.
2. Hak-hak azasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah
tersendiri).
3. Prosedur mengubah undang-undang dasar.
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undangundang dasar.
Susunan ketatanegaraan atau organisasi negara merupakan aspek penting dalam
kehidupan ketatanegaraan. Oleh karena itu terdapat lembaga negara yang disebutkan dalam
UUDN RI 1945 dan lembaga negara yang tidak disebutkan dalam UUDN RI 1945.
Lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUDN RI 1945 setelah perubahan
adalah:5
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 2 dan Pasal 3);
2. Presiden (Pasal4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal15 dan Pasal 16);
3. Pemerintah Daerah (Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B);
4. Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A dan Pasal 21);
5. Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C dan Pasal 22D);
6. Komisi Pemilihan Umum (Pasal 22E);
7. Bank Sentral (Pasal 23D);
8. Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23E dan Pasal 23F);
9. Mahkamah Agung (Pasal 24 dan Pasal 24A);
10. Komisi Yudisial (Pasal 24B);
4

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 101.
Bandingkan lembaga-lembaga negara tersebut dengan Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam
Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 196.
Bandingkan pula dengan pendapat Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 184-191.
5

1112

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

11. Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 dan Pasal 24C);


12. Tentara Nasional Indonesia (Pasal 20);dan
13. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 30).
Di luar lembaga-lembaga negara yang telah disebutkan oleh UUDN RI 1945 di atas,
masih terdapat lembaga-lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kelembagaan negara kalau dikelompokkan, berbentuk sebagai berikut:6
1. Lembaga-lembaga negara dan komisi-komisi negara yang bersifat independen
berdasarkan konstitusi;
2. Lembaga-lembaga independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang;
3. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan pemerintah (ekskutif)
lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat
khusus di dalam lingkungan pemerintahan;
4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan ekskutif (pemerintah)
lainnya;
5. Lembaga, Korporasi dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang
dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya.
Dari lembaga-lembaga negara yang telah disebutkan di atas, dalam pelaksanaan
kewenangnya, terdapat kemungkinan adanya sengketa7 antar lembaga negara. Dalam hal
terjadi sengketa lembaga negara yang kewenangnya diberikan oleh UUDN RI 1945, maka
terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Lembaga yudisial yang
dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.8
Ketentuan organik dari Pasal 24C UUDN RI 1945 adalah Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi merupakan bunyi ketentuan Pasal
24C ayat (1) dan ayat (2) UUDN RI 1945.
6

Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Disertasi, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2009), hlm. 220-222.
7
Indriyanto Seno Adji lebih suka menggunakan istilah rivalitas. Lihat Indriyanto Seno Adji, Rivalitas atau
Penegakan Hukum, Harian Kompas Selasa 7 Agustus 2012.
8
Pasal 24C ayat (1) UUDN RI 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus peselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Sedangkan Pasal 24 C ayat (2) UUDN RI 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

1113

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang


Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, untuk
selanjutnya disebut PMK 08, menyebutkan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi
pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara adalah:
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda);
g. Lembaga Negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Dalam hal sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam
konstitusi, belum ada satu norma pun yang mengaturnya. Dua kali sengketa antara Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk selanjutnya disebut KPK, dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut Polri tidak diselesaikan secara
yudisial. Pada sengketa pertama antara KPK dengan Polri, banyak kalangan menilai bahwa
proses penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka dalam kasus pidana yang disangkakan
Mabes Polri penuh kejanggalan. Proses hukum terhadap Bibit-Chandra terkesan sangat
dipaksakan.9 Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa sengketa
kewenangan lembaga negara bukan wewenang presiden, tetapi kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menyelesaikannya.10
Sengketa KPKdengan Polri berikutnya adalah penanganan dugaan korupsi
pengadaan alat simulasi mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat untuk ujian surat
izin mengemudi (SIM). KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo menjadi
tersangka dalam dugaan korupsi tersebut.11 Titik puncak sengketa antara KPK dengan Polri
adalah datangnya para perwira polisi untuk menangkap Novel Baswedan di gedung KPK
Pada hari Jumat malam tanggal 5 Oktober 2012.Menurut Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar
mengatakan, memang ada upaya penangkapan terhadap Komisaris Novel, salah satu
penyidik Polri ditempatkan di KPK. Penangkapan itu terkait kasus lama, yaitu pada tahun
2004. Novel diduga melakukan penganiayaan berat terhadap pencuri sarang burung

Lihat Suara Karya Online, Konflik KPK-POLRI Campur Tangan Presiden Sangat Diperlukan, Sabtu 14
November 2009 diakses hari Jumat tanggal 20 Juli 2012 pukul 17.00.
10
detikNews, Bibit & Chandra Ditahan Singgung Rivalitas KPK Polri, SBY Hanya Bisa Menengahi, Jumat 30
Oktober 2009, http://news.detik.com/read/2009/10/30/165355/1232007/10/singgung-rivalitas-kpk-polrisby-hanya-bisa-menengahi, diakses hari Jumat tanggal 20 Juli 2012 pukul 17.10.
11
Harian Kompas, KPK Tidak Boleh Dihambat Inspektur Jenderal Djoko Susilo Jadi Tersangka, Rabu 1 Agustus
2012.

1114

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

walet.Saat ditanyakan kenapa kasus kenapa kasus lama baru ditangani sekarang, Boy
mengatakan, korbannya baru melapor sebulan lalu.12
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan
sengketa KPK dengan Polri, dengan menetapkan empat kebijakan:13
(1) Kasus simulator SIM ditangani oleh KPK;
(2) Proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara;
(3) Waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam peraturan pemerintah;
(4) Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan saat ini.
Sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur UUDN RI 1945,
bukan hanya KPK dengan Polri. Indriyanto Seno Adji mencatat KPK beberapa kali
bersengketa dengan lembaga negara lain:14 KPK dengan Mahkamah Agung (MA),KPK
dengan badan pemeriksa keuangan (BPK), KPK dengan Kejaksaan Agung KPK dengan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP), maupun KPK dengan DPR.15
Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam hal terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi. Sejauh
saat ini, sengketa yang demikian dapat diselesaikan oleh Presiden dengan mempertemukan
pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Selanjutnya presiden memberikan
instruksi-instruksi yang harus dipatuhi oleh lembaga negara yang sedang bersengketa.
Masalahnya adalah, penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial,
yang tentu tidak memiliki kekuatan hukum bahkan dapat tidak dipatuhi.
Akhirnya, dalam perspektif kehidupan bernegara sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945 perlu dicarikan model
penyelesaian yudisialnya. Hal ini diperlukan dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu
kesejahteraan masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan pokok
permasalahan atau isu sentral yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah konsep penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Dari isu
sentral tersebut dapat dirumuskan permasalahan hukumnya sebagai berikut:
12

Harian Kompas, Masyarakat Bela KPK Tidak Ada Perintah Kepala Polri, Sabtu 6 Oktober 2012.
Teten Masduki, SBY Akhirnya Memimpin, Harian Kompas Rabu 10 Oktober 2012.
14
Indriyanto Seno Adji, log. cit.
15
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya tanggal 8 Oktober menyatakan bahwa Saya pernah
menengahi dan mencarikan solusi, ketika ada perselisihan, antara lain, KPK dengan MA, dengan Mahkamah
Agung, itu sekitar tahun 2006. BPK dengan Mahkamah Agung tahun 2007, KPK dengan Polri dan Kejaksaan
Agung
tahun
2009
..
Lihat
Pidato
LengkapPresiden
Soal
KPK-Polri,
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/09/16035782/Ini.Pidato.Lengkap.Presiden.soalKPK-Polri
diunduh pada hari Senin 15 Oktober 2012 pukul 16.15. Lihat juga pidato Presiden SBY pada saat
memberikan Sambutan Rakor dengan KPK dan Lembaga Tinggi Negara Lainnya di Kantor Presiden hari Senin
tanggal 13 Juli 2009.
13

1115

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

1. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara?


2. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Korea
Selatan?
3. Kerangka Teoritik dan Konseptual
Guna menganalisis problematik hukum di atas, maka diperlukan kerangka teori dan
kerangka konseptual sebagai pisau analisis. Kerangka teori yang dipergunakan dalam
penulisan ini meliputi grand theory yang meliputi teori kedaulatan dan teori konstitusi,
middle theory meliputi teori kewenangan dan applied theory meliputi teori lembaga negara.
Sedangkan kerangka konseptual yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah konsep
lembaga negara dan konsep sengketa lembaga negara.

3.1. Teori Kedaulatan


Teori Kedaulatan dipilih untuk menganalisis problema penulisan ini mengingat
dalam ketatanegaraan Indonesia menganut Kedaualatan Tuhan, Kedaulatan Negara,
Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Indonesia menganut Kedaulatan Tuhan
berdasarkan Pembukaan UUD 1945 terutama alenia ketiga, Pasal 29 tentang Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah presiden.
Indonesia menganut Kedaulatan Negara mengingat Pasal 33 UUD 1945.Indonesia
menganut Kedaulatan Hukum mengingat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Indonesia menganut
Kedaulatan Rakyat mengingat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Para ahli belum terdapat kata sepakat asal muasal kata kedaulatan. Ada ahli yang
berpandangan bahwa kata kedaulatan berasal dari bahasa Latin, namun ada pula yang yang
berasal dari bahasa Arab.Di Indonesia pun masih terdapat perbedaan pandangan tentang
asal muasal kata kedaulatan.
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa menurut sejarah, asal kata kedaulatan
yang dalam bahasa Inggris dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus
berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau soverign karena kedaulatan
merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara.16
Sri Sumantri M mengenalkan berbagai istilah kedaulatan merupakan padanan istilah
sovereignty (Inggris), souverainete (Prancis), souvereneteit (Belanda), souranus (Italia).
Semua istilah tersebut berasal dari kata Latin, superanus, yang mempunyai arti
tertinggi.17
16

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni, 2003),
hlm. 16.
17
Sri Sumantri M, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945 dalam Padmo Wahjono (ed.),
Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 47. Baca juga Anwar C., Teori
dan Hukum Konstitusi Paradigma Kedaulatan Pasca Perubahan UUD 1945, Implikasi dan Implementasinya
pada Lembaga Negara (Malang: In-Trans, 2008), hlm. 25.

1116

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

Yudha Bhakti Ardhiwisastra berpendapat bahwa untuk pertama kalinya ajaran


kedaulatan dirumuskan secara jelas oleh Jean Bodin (1530-1596) di dalam bukunya De
Republica, yang diterbitkan pada tahun 1576.18 Jean Bodin memberikan definisi
sovereignty (souveinete, supreme potestas) as The absolute and perpetual power of a
commonwealth (la puissance absolue et perpetuelle d une Republique), or in the later Latin
edition, The supreme power over citizens and subjects, unrestrained by law (supreme
potestas in cives ac subditos, legibus solute).19 Dengan demikian menurut Bodin,
kedaulatan adalahsebagai kekuasaan tertinggi terhadap penduduk dan benda-benda yang
ada, yang tidak dibatasi oleh hukum.
Pendapat berbeda tentang asal muasal kata kedaulatan dikemukakan oleh Mahendra
Putra Kurnia. Ia berpendapat bahwa asal mula kata kedaulatan dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Arab daulah atau daulat yang berarti kekuasaan atau dinasti
pemerintahan,
juga
disamakan
dengan
sovranita
dalam
bahasa
Italia,
souvereignty/sovereignty dalam bahasa Inggris yang juga disamakan dengan kata
souvereiniteit, souvereinet dan sovranus, yang mana kata-kata tersebut berasal dari bahasa
Latin superanus yang berarti tertinggi atau dalam pustaka lain diartikan sebagai raja kepala
negara yang tertinggi.20
Dari berbagai pendapat tentang makna kedaulatan, maka dapat disimpulkan bahwa
kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam mengatur tata kehidupan berbangsa dan
bernegara.Namun demikian tidak berarti bahwa kedaulatan bersifat mutlak, tetapi
kedaulatan memiliki batasan dalam pelaksanaannya. Batasan yang dimaksud adalah bahwa
kedaulatan berlaku hanya pada wilayah negara tersebut berada dan kedaulatan berakhir
ketika memasuki wilayah negara lain.
Dalam literatur dikenal berbagai pandangan pemilik kedaulatan. Soehino
berpendapat bahwa terdapat empat teori pemilik kedaulatan, yaitu Teori Kedaulatan Tuhan,
Teori Kedaulatan Negara, Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Kedaulatan Rakyat.21

18

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, (Bandung: Alumni,
1999), hlm. 29
19
CE Merriam, Jr., History of the Theory of Sovereignty Since Rousseau, (Kitchener: Batoche Books, 2001), p.
7.
20
Mahendra Putra Kurnia, Hukum Kewilayahan Indonesia: Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan
Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011), hlm. 25.
21
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hlm. 152-170). Jazim Hamidi berpendapat setidaknya
ada lima bentuk kedaulatan: Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Negara
dan Kedaulatan Hukum. Penulis berpendapat bahwa antara pendapat Soehino dan pendapat Jazim Hamidi
adalah sama, karena dalam Teori Kedaulatan Tuhan yang dikemukakan oleh Soehino juga memperdebatkan
siapa wakil Tuhan di dunia. Dengan demikian pendapat Soehino menggabungkan antara Teori Kekuasaan
Tuhan dengan Teori Kekuasaan Raja.Wakil Tuhan di dunia di lapangan keduniawian adalah raja, sedangkan
di lapangan keagamaan adalah Paus.

1117

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

3.1.1. Teori Kedaulatan Tuhan


Teori Kedaulatan Tuhan merupakan teori yang paling tua dari sejarahnya.Teori ini
berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi itu yang memiliki atau ada pada Tuhan yang
berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke V sampai abad ke XV.
Perkembangan teori ini sangat erat hubungannya dengan agama baru yang timbul pada saat
itu, yaitu agama Kristen. Organisasi keagamaan ini adalah gereja dan dikepalai oleh
seorang Paus. Dengan demikian pada saat itu terdapat dua organisasi kekuasaan, yaitu
organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh raja dan organisasi gereja yang dikepalai
oleh seorang Paus.22
Pada awal perkembangannya, agama baru ini mendapa pertentangan karena
dianggap bertentangan dengan paham atau kepercayaan yang dianut pada saat itu, yaitu
menyembah dewa. Banyak para pemimpin yang ditangkap dan dibunuh karena dianggap
mengancam kedudukan dan kewibaan raja. Namun dalam perkembangannya agama Kristen
berkembang dengan baik dan diakui sebagai satu-satunya agama resmi yaitu agama negara.
Mulai saat itu organisasi gereja mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat
mengatur kehidupan negara. Maka tidak jarang timbul dua peraturan yang mengatur hal
yang sama, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja. Dalam hal peraturan
tersebut saling bertentangan, maka timbul persoalan peraturan yang berasal dari mana yang
harus dipatuhi. Persoalan tersebut bersumber dari pertanyaan mendasar, siapakah
sebenarnya wakil Tuhan di dunia ini.
Dari pertanyaan mendasar tersebut, terdapat beberapa pendapat.Agustinus
berpendapat bahwa wakil Tuhan di dalam suatu negara adalah Paus. Thomas Aquinas
berpendapat lain, bahwa kekuasaan raja dan Paus itu adalah sama, hanya tugasnya
berlainan. Raja dalam lapangan keduniawian sedangkan Paus dalam lapangan
keagamaan.Marsilius berpendapat bahwa kekuasaan itu ada pada negara atau raja.Dengan
demikian menurut Marsilius, yang melaksanakan kedaulatan Tuhan adalah raja. Pengaruh
dari pendapat Marsilius di atas, para raja merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut
kehendaknya.
3.1.2. Teori Kedaulatan Negara
Kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan, tetapi ada pada negara. Negaralah yang
menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Tidak ada satu
hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.
Salah seorang tokoh Teori Kedaulatan Negara adalah Jean Bodin yang berpendapat
bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum di dalam suatu
negara, yang sifatnya:23
22

Pada saat itu organisasi gereja mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat
perlengkapan organisasi Negara.
23
Ibid., hlm. 79.

1118

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

1. Tunggal. Ini berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki. Jadi di dalam
Negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang berhak menentukan atau
membuat undang-undang, atau hukum.
2. Asli. Ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain. Jadi
tidak diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau
kotapraja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan yang ada padanya
tidak asli, sebab diperoleh dari pusat.
3. Abadi. Ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan
itu adalah negara, yang menurut pendapat Jean Bodin Negara itu adanya abadi.
4. Tidak dapat dibagi-bagi. Ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan
kepada orang lain atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Tokoh lain Teori Kedaulatan Negara adalah Georg Jellinek. Georg Jellinek
berpendapat bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau
kemauan negara.Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara diangap satusatunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasan tertinggi atau kedaulatan.Di
luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum.
3.1.3. Teori Kedaulatan Hukum
Teori Kedaulatan Hukum atau rechts-souvereiniteit berpendapat bahwa yang
memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah
hukum itu sendiri. Argumentasinya adalah bahwa baik raja atau penguasa maupun rakyat
atau warga negara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.Semua sikap,
tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum.
Tokoh Teori Kedaulatan Hukum adalah Krabe. Menurut Krabbe yang berdaulat itu
adalah hukum.Hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara dan hukum itu berlaku
terlepasdaripada kehendak negara.
3.1.4. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori Kedaulatan Rakyat lahir sebagai reaksi atas kedaulatan raja.24 JJ Rousseau,
tokoh Teori Kedaulatan Rakyat berpendapat bahwa raja mendapat kekuasaannya dari
rakyat. Jadi yang berdaulat itu adalah rakyat. Raja itu hanya merupakan pelaksaan dari apa
yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat.
Tokoh Teori Kedaulatan Rakyat lainnya adalah Immanuel Kant.Ia berpendapat
bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
daripada warga negaranya. Dalam pengertian bahwa kebebasan disini adalah kebebasan
dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak
24

Jazim Hamidi, Teori Hukum Tata Negara A Turning Point of The State, (Jakarta : Salemba Humanika, 2012),
hlm. 5.

1119

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah
merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.
3.2. Teori Konstitusi
Teori Konstitusi dipilih untuk menganalisis problematik dalam penulisan ini
mengingat bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara.Setiap
tindakan yang diambil oleh lembaga negara, penyelenggara negara maupun nmasyarakat
harus tunduk pada konstitusi. Teori konstitusi akan dipergunakan untuk mencari model
penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI
1945.
3.2.1. Pengertian Konstitusi
Sejak zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu
masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis.
Ini dapat dibuktikan pada faham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi.
Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Di
antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea mengandung
kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan
membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada, karena hanya merupakan
materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai.25
Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan
Resblica constituere. Dari sebutan itu lahirlah semboyan yang berbunyi Prinsep Legibus
Solutus est, Salus Publica Supreme Lex, yang artinya Rajalah yang berhak menentukan
organisasi/struktur dari pada negara, oleh karena ia adalah satu-satunya pembuat UndangUndang.26
Kata konstitusi, berasal dari bahasa Perancis constituer yaitu sebagai suatu
ungkapan berarti membentuk.Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal
untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu pernyataan
tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum atau sesudah
berdirinya negara yang bersangkutan.27
Menurut Blacks Law Dictionary, constitution berarti:28

25

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 62. Bandingkan
dengan Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 88.
26
Ibid.
27
Jazim Hamidi dan Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publesher, 2009), hlm.
87.
28
Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1979), p. 282.

1120

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

the organic and fundamental law of a nation or state, which may be written or
unwitten, establishing the character and conception of its government, laying the
basic principles to which its internal life is to be conformed, organizing the
government, and regulating, and limiting the functions of its different departments,
and prescribing the extend and manner of the exercise of souvereign powers.
Menurut Bolingbroke dalam esainya On Parties yang dikutip oleh KC Wheare,
yang dimaksud dengan konstitusi adalah kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan,
yang ditarik dari prinsip-prinsip rasio tertentu .. yang membentuk sistem umum, dengan
mana masyarakat setuju untuk diperintah.29
Dahlan Thaib berpendapat bahwa batasan-batan konstitusi adalah:30
1. Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan
kepada para penguasa.
2. Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu
sistem politik.
3. Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara.
4. Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.
Joeniarto berpendapat bahwa:31
Undang-Undang Dasar ialah suatu dokumen hukum yang mengandung aturanaturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau dasar-dasar mengenai
ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat
luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan
dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau
perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya.
Dari berbagai pendapat di atas, penulis sependapat dengan Dahlan Thaib, yang
menyebutkan bahwa konstitusi haruslah memiliki batasan-batasan: kumpulan kaidah yang
memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa, adanya pembagian
tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik, adanya deskripsi dari lembagalembaga negara, adanya masalah hak-hak asasi manusia.

29

KC Wheare, Modern Constitution, (Oxford : Oxford University Press, 1966) diterjemahkan oleh
Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya : Pustaka Eureka, 2003), hlm. 3-4.
30
Dahlan Tahib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 15-16.
31
Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1981), hlm. 22.

1121

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

3.2.2. Materi Muatan Konstitusi


Berbagai pandangan ahli berkaitan dengan materi muatan konstitusi. AAH Strycken
berpendapat bahwa undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah
dokumen formal yang berisi:32
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin.
Sri Soemantri M berpendapat bahwa undang-undang dasar atau konstitusi berisi tiga
hal pokok, yaitu:33
Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara;
Kedua,
ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan yang
Ketiga,
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental.
Rosco J Tresolini dan Martin Shapiro berpendapat bahwa konstitusi Amerika
Serikat mengatur tiga masalah pokok:34
1. It establishes the framework or structure government;
2. It delegates or assigns the powers to government;
3. It retrains the exercise of these powers by governmental officials in order that certain
individual rights can be preserved.
Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat ketentuanketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:35
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
ekskutif dan yudikatif: dalam negara federal, pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyeesaikan

32

Sri Soemantri M berpandangan bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Namun ada juga
para ahli yang membedaka antara konstitusi dengan undang-undang dasar, di antaranya Herman Heller dan
F Lassale. Lihat Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 10. Berkaitan dengan substansi konstitusi, lihat Sri Soemantri M.,
Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung : Alumni, 1987), hlm. 2.
33
Ibid., hlm. 51.
34
Ibid.
35
Miriam Bidiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 101.

1122

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan


sebagainya.
2. Hak-hak azasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah
tersendiri).
3. Prosedur mengubah undang-undang ddasar.
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undangundang dasar.
Iriyanto A Baso Ence berpendapat bahwa beberapa hal pokok yang seharusnya
menjadi bagian fundamental dalam penyusunan materi konstitusi adalah:36
Pertama, pembatasan kekuasaan negara secara tegas antara legislatif, ekskutif dan
yudikatif;
Kedua, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak
warga negaranya;
Ketiga, pembentukan susunan organisasi negara yang tepat dan sesuai kondisi yang
dihadapi suatu negara;
Keempat, adanya prosedur mengubah konstitusi.
Dari berbagai pendapat tentang muatan konstitusi, penulis sependapat dengan
Iriyanto A Baso Ence bahwa beberapa hal pokok yang seharusnya menjadi bagian
fundamental dalam penyusunan materi konstitusi adalah:
1. Pembatasan kekuasaan negara secara tegas antara legislatif, ekskutif dan yudikatif;
2. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga
negaranya;
3. Pembentukan susunan organisasi negara yang tepat dan sesuai kondisi yang dihadapi
suatu negara;
4. Adanya prosedur mengubah konstitusi.
3.2.3. Fungsi dan Tujuan Konstitusi
Dalam sejarahnya di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas
kewenangan penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan
kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan kelahiran
demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi menjamin alat
rakyat untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan
bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu
konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga
merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan
kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.37
36

Iriyanto A Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah terhadap
Kewenangan Mahkamah Konstitusi, (Bandung : Alumni, 2008), hlm. 78-79.
37
Dahlan Thaib dkk.,Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 17.

1123

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,


Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan
pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih
terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.38 Cara pembatasan yang dianggap
paling efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan. Pembatasan-pembatasan ini
tercermin dalam Undang-Undang Dasar atau konstitusi.39 Pembatasan kekuasaan
mengandung arti batas tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara, serta pembatasan
mengenai waktu kekuasaan itu dapat dijalankan.40
Jimly berpendapat bahwa tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi juga untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu
adalah:41 (i) keadilan; (ii) ketertiban; dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti
kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana
dirumuskan sebagai tujuan negara oleh para pendiri negara (the founding fathers and
mothers).
Dari berbagai pendapat tentang fungsi dan tujuan konstitusi, yang terpenting adalah
memahami fungsi dan tujuan konstitusi secara integral dan menyeluruh. Artinya, konstitusi
harus dipahami sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.3. Teori Kewenangan
Teori Kewenangan dipilih untuk menganalisi problematik dalam penulisan ini
mengingat bahwa setiap lembaga negara memiliki kewenangan. Teori Kewenangan
diperlukan untuk membedakannya dengan kekuasaan, serta untuk mengetahui bagaimana
kewenangan diperoleh.
Dalam ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, istilah kekuasaan
dan wewenang terkait erat dengan fungsi pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata wewenang memiliki arti:42
1. Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan,
2. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada
orang lain,
3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.
Sedangkan kewenangan memiliki arti:43
1. Hal berwenang,
2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
38

Ibid., hlm. 18.


Ibid., hlm. 19.
40
Ibid., hlm. 22.
41
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 119
42
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), hlm. 1272.
43
Ibid.
39

1124

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

Menurut Bagir Manan, kekuasaan (macht) tidak sama artinya dengan


wewenang. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).44
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa beda antara kekuasaan dan wewenang
adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan
kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau
sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari
masyarakat.45
Wewenang adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang
diberikan oleh undang-undang atau legislatif dan ekskutif. Jadi kewenangan merupakan
kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya
mengenai bagian tertentu (onderdeel) saja dari kewenangan, jadi di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas saja, akan tetapi juga wewenang untuk pembentukan
wewenang serta distribusi wewenang, utamanya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.46
Philipus M Hadjon berpendapat bahwa47 setiap tindakan pemerintahn diisyaratkan
harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,
yaitu: atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lasimnya digariskan melalui
pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar; kewenangan delegasi dan mandat
adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Dari berbagai pendapat tentang kewenangan di atas, penulis berpendapat bahwa
kewenangan adalah kemampuan yang diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk
melakukan tindakan tertentu yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat tertentu yang
mencakup hak dan sekaligus kewajiban. Sedangkan sumber kewenangan penulis
sependapat dengan Philipus M Hadjon bahwa kewenangan itu diperoleh melalui tiga
sumber, yaitu: atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan
44

Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupatendan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada
Seminar Nasional Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam
Rangka Penataan Ruang, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1-2.
45
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 91-92.
Bandingkan dengan pendapat Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 1.
46
I Nyoma Alit Puspadma, Perpanjangan Hak Guna Bangunan bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip
Kepastian Hukum, Keadilan, dan Berkelanjutan menuju Investasi yang Menyejahterakan Rakyat, Makalah
Seminar Hasil Penelitian Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang, 2012, hlm. 11.
47
Philpus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,
Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga pada hari Senin, tanggal 10
Oktober 1994, hlm. 7-8.

1125

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar; kewenangan delegasi dan
mandate adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
3.4.

Teori Lembaga Negara


Teori Lembaga Negara diperlukan untuk menganalisis problematika penulisan ini
mengingat tidak setiap lembaga negara memperoleh kewenangan dari undang-undang
dasar. Melalui teori ini akan diperoleh klasifikasi lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undng dasar ataupun peraturan perundang-undangan lain.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa lembaga negara itu adalah lawan kata
lembaga swasta, lembaga masyarakat atau biasa disebut Organisasi Non Pemerintah
(Ornop) atau Non Governmental Organizations (NGOs). Oleh sebab itu, lembaga apa saja
yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat adalah lembaga negara. Lembagalembaga negara itu disebut sebagai lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan
nondepartemen, ataupun lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena
diberi kuasa oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU,
dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.48
Ranking kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturannya
berdasarkan hukum. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara
yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatannya
dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.49
Dari berbagai pendapat di atas penulis sependapat dengan Jimly yang berpendapat
bahwa ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kuasa oleh UUD,
ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang
hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
3.5. Kerangka Konseptual
3.5.1. Konsep Lembaga Negara
Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara terminologis memiliki
istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, lembaga negara disebut dengan
menggunakan istilah political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda
terdapat istilah staat organen. Di Indonesia, dikenal beberapa istilah yaitu: lembaga negara,
badan negara atau organ negara.50
Konsep organ negara dan lembaga negara itu sangat luas maknanya, sehingga tidak
dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasaan legislatif, ekskutif dan
yudikatif saja. Pertama, organ negara paling luas mencakup setiap individu yang
48

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 60-61.
Ibid., hlm. 61
50
Gunawan A Tauda, Komisi Negara Independen Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan
Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2012), hlm. 52.
49

1126

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

menjalankan law-creating dan law-applying; Kedua (pengertian kedua), organ negara


dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang
menjalankan law-creating dan law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam
struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; Ketiga, (pengertian ketiga), organ
negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi
law-creating dan/ataulaw-applying dalam kerangka sistem kenegaraan atau pemerintahan.
Di dalam pengertian ini, lembaga negara mencakup pengertian lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden ataupun keputusan-keputusan yang
tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah. Keempat, organ
atau lembaga Negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan UUD, UU atau oleh peraturan yang lebih rendah. Kelima, lembagalembaga negara yang berada di pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh
UUD 1945.51
Dalam konsep hukum tata negara positif (positive staatsrecht), lembaga negara
merupakan organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang biasanya diatur atau
menjadi muatan dalam konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara.52
3.5.2. Konsep Sengketa Lembaga Negara
Dalam hubungan kewenanga antar lembaga negara terdapat banyak potensi
sengketa yang dapat terjadi dan memerlukan perhatian. Potensi sengketa disebabkan oleh
ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur fungsi, tugas, wewenang
suatu lembaga yang yang mengakibatkan munculnya beragam penafsiran karena
ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur kelembagaan negara.53
Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang
sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga
negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang
Dasar. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang
diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah
diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian
dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi.54

51

Jimly Asshiddiqie, Permbangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indoensia, 2006), hlm. 40-41.
52
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 159.
53
Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataannya dalam Kerangka Sistem Hukum
Nasional, (Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei Agustus 2010), hlm. 3.
54
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, (Jakarta : Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 150.

1127

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara:55


1. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi
(oleh UUD 1945);
2. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi
oleh pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi independen
(independent regulatory agencies)] yang tidak bertanggung jawab kepada
siapapun.
3. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi
pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi negara ekskutif
(executive branch agencies)] yang bertanggung jawab kepada Presiden atau
menteri dan/atau merupakan bagian dari ekskutif.
Lembaga negara/organ negara kategori pertama dapat berperkara di Mahkamah
Konstitusi. Lembaga negara/organ negara kategori kedua dapat pula berperkara di
Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara/organ negara kategori ketiga tidak
mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah
Konstitusi karena telah jelas, lembaga negara/organ negara kategori ketiga bersifat hierarkis
dengan presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari ekskutif.56
4. Pembahasan
4.1. Model Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dimungkinkan terjadi perbedaan
penafsiran kewenangan. Sengketa antara KPK dan Polri merupakan contoh konkrit
sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945. Sumber
kewenangan KPK adalah UU KPK,57 sedangkan kewenangan Polri adalah UU Polri.58 Ini
berarti bahwa kedua lembaga tersebut tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa
lembaga negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktek ketatanegaraan, sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945 diselesaikan oleh Presiden dengan
mempertemukan pimpinan lembaga negara yang bersengketa. Dalam sengketa KPK dan
Polri tentang dugaan korupsi simulator SIM Korps Lalu Lintas Polri, Presiden bertemu
dengan pimpinan KPK dan Kepala Polri. Setelah pertemuan dengan kedua lembaga
tersebut, Presiden membuat keputusan penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM

55

Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), hlm. 41.
56
Ibid. hlm. 41-42.
57
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
58
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

1128

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

yang melibatkan (mantan Kepala korlantas) Inspektur Jenderal Djoko Susilo agar ditangani
KPK.59
Penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden bukanlah penyelesaian hukum, karena
itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Pihak-pihak yang bersengketa dapat tidak mematuhi
keputusan Presiden di atas. Faktanya kemudian, Polri menggugat KPK karena KPK
menyita berbagai dokumen milik Polri, yang menurut Polri tidak ada hubungannya dengan
kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri.
Bilamana kita cermati argumentasi filosofis pembentukan KPK dan Polri,
seharusnya sengketa antara KPK dan Polri tidak perlu terjadi. Konsiderans menimbang
huruf a UU KPK maupun konsideran menimbang huruf a UU Polri, keduanya dimaksudkan
untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUDN RI 1945. Dengan demikian ada kesamaan tujuan pembentukan KPK dan Polri,
yaitu dalam kerangkan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Apa kemudian yang salah, sehingga terjadi sengketa antara KPK dan Polri. Penulis
berpendapat bahwa sengketa kewenangan tersebut disebabkan oleh ego sektoral KPK dan
Polri. Kondisi ini ditunjang dengan adanya tersangka yang berasal dari lingkungan Polri.
Upaya pembelaan korps sangat kental, sehingga segala daya upaya dilakukan untuk dapat
menangani perkara dugaan korupsi simulator SIM.60
Formulasi penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak
diaturdalam UUDN RI 1945 perlu mempergunakan tafsir yang lebih luas. Polri sekalipun
kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945, namun institusi Polri disebutkan dalam
UUDN RI 1945.61 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Polri memiliki legal
standing untuk menjadi pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara di
Mahkamah Konstitusi.62

59

Presiden Serahkan ke KPK, Harian Kompas Selasa 9 Oktober 2012.


Salah satu kultur polisi yang berlaku universal untuk tidak melaporkan tindakan buruk teman sejawat
petugas polisi. Ini yang terkenal dengan sebutan the blue silence. Lihat Eddy OS Hiariej, Tembok Biru yang
Diam, Harian Kompas Selasa 16 Oktober 2012.
61
Lihat Pasal 30 UUDN RI 1945.
62
Margarito Kamis berpendapat bahwa SKLN bisa saja dilakukan bila Polri yang mengajukan sebab Polri
disebut dalam UUD.Lihat Kasus Simulator SIM Menghitung Peluang di Mahkamah Konstitusi, Harian Kompas
Kamis 9 Agustus 2012.
60

1129

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

Bagaimana dengan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh


UUDN RI 1945. Penulis berpendapat perlu dilakukan perubahan UUDN RI 1945,
khususnya berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
selama ini memiliki kewenangan terbatas memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kewenangan tersebut agar
diperluas menjadi memutus sengketa kewenangan lembaga negara.63 Dengan demikian
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutus semua sengketa lembaga negara
tanpa kecuali.
Bilamana tidak dimungkinkan melakukan perubahan UUDN RI 1945, Mahkamah
Agung dapat ditunjuk untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Tujuan dari
penunjukkan Mahkamah Agung adalah sebagai lembaga yudisial untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara. Dengan adanya lembaga yudisial dimaksud, maka akan
terdapat kepastian hukum bilamana terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945.
Namun demikian penulis lebih sependapat bilamana sengketa kewenangan lembaga
negara diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan keberadaan Mahkamah
Konstitusi sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme check and balances antar
cabang
kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi.64 Dengan memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945, maka forum hukum yang
diperlukanakan terpenuhi.65 Melalui lembaga yudisial dimaksud, maka lembaga negara
yang bersengketa akan mematuhi putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi.
4.2.

Model Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Di Korea Selatan


Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan menetapkan bahwa Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan dalam hal:
1. The constitutionality of a law upon the request of the court;
2. Impeachment;
3. Dissolution of a political party;

63

Nimatul Huda berpendapat bahwa konflik kewenangan antar lembaga/komisi/badan negara juga belum
sepenuhnya ditampung oleh Mahkamah Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi baru sebatas
pada konflik antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Ke depan perlu ada
perluasan pemaknaan terhadap lembaga negara sehingga konflik-konflik kewenangan antar kelembagaan
negara ataupun daerah ada saluran untuk menyelesaikan secara yuridis. Lihat Nimatul Huda, Mekanisme
Check and Balances di Antara Lembaga-Lembaga Negara, Majalah Konstitusi No. 54 Juli 2011, hlm. 30-31.
64
Lihat Muchammad Ali Safaat, Peran MK mewujudkan PrinsipCheck and Balances, Majalah Konstitusi No.
54 Juli 2011, hlm. 24-25.
65
Forum Hukum merupakan istilah yang dipergunakan oleh Muchammad Ali Safaat.Penulis sendiri lebih
suka menggunakan istilah lembaga yudisial.

1130

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

4. Competence dispute between State agencies, between State agencies and local
governments, and between local government; and
5. Constitutional complaint as prescribed by Act.
Walaupun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki lima kewenangan, namun dalam
penulisan ini yang dibahas hanya kewenangan yang berkaitan dengan penyelesaian
sengketa kewenangan lembaga negara.
Dari ketentuan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan dapat ditarik kesimpulan
bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa kewenangan antara:
a. Lembaga-lembaga negara;
b. Lembaga negara dengan pemerintah daerah;
c. Pemerintah daerah dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat menyelesaikan setiap
sengketa lembaga negara, tanpa memperhatikan apakah lembaga negara tersebut
kewenangannya diberikan atau tidak oleh konstitusi. Dalam hal menyelesaikan sengketa
kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berbeda dengan
Mahkamah Konstitusi Indonesia. Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan
sengketa kewenangan lembaga negara terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUDN RI 1945.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berpendapat bahwa bilamana konflik antara
negara, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga negara tentang tugas dan masing-masing
lembaga, tidak hanya membahayakan prinsip check and balances antara kekuasaan publik,
tetapi juga beresiko melumpuhkan fungsi pemerintahan yang penting. Hal ini dapat
menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar warga negara, yang menyerukan
mekanisme koordinasi yang sistematis. Konstitusi Korea Selatan telah menganugerahi
Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili sengketa kewenangan sebagai bagian
dari fungsi menjaga konstitusi.66
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengadili sengketa kewenangan dalam
klasifikasi:
a. Mengadili sengketa kewenangan antara lembaga-lembaga negara, dalam hal ini
sengketa kewenangan antara Majelis Nasional, Ekskutif, pengadilan biasa dan Komisi
Pemilihan Umum;
b. Mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara dengan pemerintah daerah,
dalam hal ini:
(1) sengketa kewenangan antara Ekskutif dan Kota Metropolitan Khusus, Kota
Metropolitan atau provinsi;
(2) sengketa kewenangan antara ekskutif dan kota/kabupaten.
66

Alenia ini dan kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan terjemahan dari
website Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, http://english.ccourt.go.kr/ diunduh pada hari Selasa tanggal
27 November 2012 pukul 09.17.

1131

Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)

c. Mengadili sengketa kewenangan antar pemerintah daerah, dalam hal ini:


(1) sengketa kewenangan antaraKota Metropolitan Khusus, Kota Metropolitan atau
provinsi;
(2) sengketa kewenangan antara kota/kabupaten atau kecamatan otonom;
(3) sengketa kewenangan antara Kota Metropolitan Khusus, Kota Metropolitan atau
provinsi dan kota/kabupaten atau kecamatan otonom.
Bilamana dikaji dari teori konstitusi, penulis berpendapat bahwa pengaturan
konstitusi Korea Selatan lebih mendekati muatan konstitusi bila dibandingkan dengan
muatan UUDN RI 1945. Prinsip check and balances diatur dalam konstitusi Korea Selatan
tidak hanya lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam konstitusi, tetapi juga
lembaga negara lain yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi, termasuk
pemerintah daerah.
Prinsip yang diterapkan dalam konstitusi Korea Selatan sekaligus memenuhi konsep
lembaga negara, tanpa perkecualian. Artinya bahwa, lembaga negara yang dimaksud dalam
konstitusi Korea Selatan tidak membedakan antara lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan konstitusi, undang-undang maupun peraturan perundangan lain.67 Dengan
demikian, model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Korea Selatan
lebih memenuhi rasa kepastian hukum.Hal ini mengingat di Korea Selatan terdapat
lembaga yudisial yang mengadili sengketa kewenangan lembaga negara tanpa melihat
sumber kewenangan, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa kewenangan
lembaga negara dibatasipada lembaga negara yang kewenangannya berasal dari UUDN RI
1945. Di luar lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara atribusi oleh UUD
1945, Mahkamah Konstitusi Indonesia tidak memiliki kewenangan mengadili. Oleh karena
itu, penulis berpendapat bahwa pelajaran dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat
diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia.68
5. Simpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model
penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi dibatasi pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara atribusi
oleh UUDN RI 1945. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, dalam hal terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara di luar yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,
diselesaikan oleh Presiden. Penyelesaian sengketa lembaga negara model ini tidak
67

Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga Negara di Indonesia menjadi empat: lembaga Negara yang
dibentuk oleh UUD, undang-undang, Keputusan Presiden dan Peraturan Menteri. Lihat Jimly Asshiddiqie,
Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 66.
68
Andy Omara mempergunakan istilah a good lesson for the Indonesian Constitutional Court. Lihat Andy
Omara, Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From the Korean Constitutional
Court Experience?, (Seoul: 2008, Korea Legislation ResearchInstitute), p. 50.

1132

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133

menjamin kepastian hukum dan cenderung tidak dipatuhi oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
Kedua, model penyelesaian sengketa lembaga negara di Korea Selatan oleh
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan tidak membedakan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh konstitusi maupun peraturan perundangan lain. Model
penyelesaian sengketa lembaga negara model ini akan menjamin kepastian hukum dan
pelaksanaan check and balances antar lembaga negara.
Dari pelajaran yang dipetik dari kewenangan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
di atas, perlulah kiranya kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia diberi kewenangan
yang lebih luas dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Lembaga
negara yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi tidak lagi dibatasi kewenangan yang
bersumber dari atribusi UUDN RI 1945, tetapi juga kewenangan yang berasal dari
peraturan perundangan lain.
Untuk menunjang kewenangan diperluas Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam
menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga Negara, perlu dilakukan perubahan Pasal 24
C ayat (1) UUDN RI 1945. Frasa yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dihilangkan, sehingga ketentuan Pasal 24 C
ayat (1) UUDN RI 1945 berbunyi memutus sengketa kewenangan lembaga negara.

1133

Anda mungkin juga menyukai