Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling
umum di dunia dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan
masyarakat, namun masih sedikit yang diketahui tentang beban
penyakit yang sebenarnya, dan akibatnya, penyakit ini pun diabaikan
(Tubiana, 1991). Baru-baru ini, leptospirosis telah diakui sebagai
penyakit menular yang muncul kembali-di antara hewan dan manusia
dan diakui sebagai zoonosis yang paling luas di seluruh. (Ahmed,
2012) termasuk daerah Pasifik (Lau, 2012).
Leptospirosis didistribusikan di seluruh dunia, namun paling
umum terjadi di daerah tropis dan subtropis di mana kondisi untuk
transmisi menguntungkan tetapi juga diketahui terjadi di daerah
beriklim sedang. Leptospirosis muncul sebagai penyakit para petualang,
khususnya mereka yang berpartisipasi dalam olahraga air. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 500.000 kasus
yang parah terjadi setiap tahun di seluruh dunia (Tubiana, 1991).
Dilaporkan bahwa seluruh kawasan Asia Tenggara merupakan daerah
endemis leptospirosis (Ahmed, 2012).
Lingkungan sebagai penentu penularan penyakit bervariasi antara
lain tempat, dan termasuk perubahan iklim, cuaca yang ekstrim,
penggunaan lahan, perdagangan internasional, waduk hewan, dan
praktik pertanian. Hal ini telah menjadi semakin jelas bahwa curah
hujan, badai, banjir, urbanisasi, dan rekreasi adalah faktor risiko penting
munculnya penyakit, keanekaragaman hayati yang mungkin bisa
menjadi pelindung (Lau, 2012).


B. Tujuan
BAB II
PERMASALAHAN

Leptospirosis menempati urutan ke-34 sebagai penyebab penyakit dan
urutan ke-27 sebagai penyakit penyebab kematian.
A. Angka Kesakitan
Di wilayah Asia Pasifik, negara-negara dengan tingkat insiden
tinggi (> 10 per 100.000 penduduk) yaitu Bangladesh, Kamboja, Fiji,
Polinesia Prancis, Kepulauan Andaman dan Nikobar di India, Laos, Nepal,
Kaledonia Baru, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. Negara-negara seperti
Cina, daratan India, Selandia Baru, Filipina, dan Mongolia memiliki
insiden yang cukup tinggi (1 - 10 per 100.000 penduduk) sementara
tingkat insiden rendah (<1 per 100.000 penduduk)
terlihat di negara-negara seperti Australia, Hong Kong, Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan (Lim, 2011).
Angka kesakitan tertinggi yakni berasal dari daerah Ocean
sebanyak 0,72 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kesakitan
terendah berasal dari daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara yakni
sebanyak 0,0072 per 100.000 penduduk. Daerah lain yang memiliki angka
kesakitan tinggi yaitu daerah Asia Barat Daya sebanyak 0,42 per 100.000
penduduk. Daerah Afrika memiliki angka kesakitan leptopsirosis sebanyak
0,15 per 100.000 penduduk dan daerah Carribian, Amerika Serikat, dan
Amerika Selatan memiliki angka kesakitan yakni sebesar 0,0079/ 100.000
penduduk (Sabin, 1963).

B. Angka Kematian
Angka kematian tertinggi yakni berasal dari daerah Oceania yakni
sebanyak 0,11 per 100.000 penduduk. Urutan kedua yaitu Afrika sebanyak
0,032 per 100.000 penduduk, kemudian Asia Barat Daya sebanyak 0,025
per 100.000 penduduk. Carribian, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan
memiliki angka kematian oleh karena leptospirosis sebanyak 0,0052
sedangkan Asia Selatan dan Asia Tenggara berada di urutan terakhir
dengan angka kematian sebanyak 0,002 per 100.000 penduduk (Sabin,
1963).























BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Keluhan dan gejala penyakit
Manifestasi klinis leptospirosis dapat berkisar dari sindrom demam
tinggi untuk penyakit yang fatal (penyakit Weil) ditandai dengan
perdarahan, gagal ginjal, dan penyakit kuning (LaRocque, 2005).
Spektrum gejala leptospirosis sangat luas dan memiliki tanda-tanda
klinis umum yang menyerupai banyak penyakit febril akut, seperti
influenza, demam berdarah atau malaria. Manifestasi parah terjadi pada 5-
15% dari infeksi manusia dan ditandai sebagai: i) Sindrom Weil ( trias
jaundice, perdarahan dan gagal ginjal akut), yang memiliki kasus tingkat
kematian 10-15%, dan ii) Sindrom perdarahan paru berat/ Severe
Pulmonary Hemorrhage Syndrome (SPHS), yang dapat dilihat sebagai
gangguan pernapasan akut dan dikaitkan dengan tingkat kematian kasus
sebanyak 50% dalam beberapa penelitian (Tubiana, 1991).

B. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Diagnosis laboratorium leptospirosis meliputi pemeriksaan
mikroskopis lapangan gelap, kultur, dan tes serologi. Isolasi tetap menjadi
standar baku dan leptospira dapat diisolasi dari darah, Cerebro Spinal
Fluid (CSF) dan urin selama minggu pertama penyakit (Lim, 2011).
Sebuah studi dari Timur Laut Thailand menunjukkan bahwa
sensitivitas kultur darah dapat ditingkatkan dengan menggunakan
kombinasi whole blood dan deposit dari pintalan plasma. Namun, fasilitas
kultur seringkali tidak rutin tersedia dan membutuhkan penggunaan media
khusus misalnya Fletcher dan media EMJH. Pertumbuhan lambat dan bisa
memakan waktu hingga 4 bulan. Inokulasi hamster atau marmut jarang
dilakukan saat ini. Serovar leptospira mungkin diidentifikasi menggunakan
tes aglutinasi atau PCR (Lim, 2011).
Mayoritas kasus klinis dikonfirmasi menggunakan tes serologi.
Pasangan sera harus diperoleh karena antibodi mungkin tidak muncul di
awal penyakit dan serokonversi mungkin memakan waktu lama yakni 30
hari. Standar acuan tes serologi adalah MAT (Microagglutination Test)
yang memungkinkan untuk deteksi serogrup yang menginfeksi. Panel
antigen di MAT mencerminkan serogrup lazim di negara dimana kejadian
leptospirosis ada (Lim, 2011).
Uji ELISA dan uji dipstick adalah tes cepat untuk mendeteksi
Leptospira genus-spesifik c antibodi. Dalam perbandingan tes serologi di
Inggris, IgM ELISA (PanBio) memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas
94% dan muncul sebagai screening test yang cocok. Namun, dalam
perbandingan yang sama di Malaysia, PanBio ELISA memiliki sensitivitas
hanya 54% sedangkan Dipstick memiliki sensitivitas 83% (Lim, 2011).
Kinerja optimal dari PanBio Uji ELISA mungkin karena efek
pemblokiran antibodi IgG yang tinggi atau tingginya titer MAT. Antigen
yang digunakan rapid test juga mungkin tidak bereaksi silang dengan
semua antibodi serovar dan alat tes penting serta harus dievaluasi secara
lokal sebelum diadopsi untuk penggunaan diagnostik rutin. PCR sekarang
tersedia dan berguna untuk deteksi dini penyakit. Mungkin ada kebutuhan
untuk menggunakan kombinasi tes laboratorium (Lim, 2011).


C. Etiologi
Leptospirosis adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh
spirocheta genus Leptospira famili Leptospiraceae (Ahmed, 2012;
LaRocque, 2005). Infeksi biasanya terjadi ketika air atau tanah
terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi dan terjadi kontak dengan
kulit atau membran mukosa manusia (LaRocque, 2005).
Organisme ini memiliki panjang 6-20 mm, terkait pada satu atau
kedua ujungnya dan motil. Organisme ini adalah organisme aerobik dan
merupakan bakteri yang tumbuh lambat. Leptospira interrogans adalah
subtyped yang terbagi menjadi 24 serogrup dan lebih dari 200 serovar
berdasarkan pada amplop luar lipopolisakarida (LPS) (Lim, 2011).

D. Cara Pencegahan
Tindakan higienis umum yakni menghindari kontak dengan air
yang berpotensi terkontaminasi, mengenakan pakaian pelindung dan alas
kaki dan kontrol hewan pengerat adalah andalan pencegahan. Hewan di
peternakan dan hewan domestik dapat divaksinasi. Doxycycline 200 mg
sekali seminggu telah terbukti efektif untuk kemoprofilaksis (Lim, 2011).

E. Cara Pengobatan
Penisilin atau doksisiklin masih menjadi antibiotik yang biasa
digunakan untuk mengobati leptospirosis. Penisilin telah terbukti
mempersingkat waktu demam dan periode disfungsi ginjal. Antibiotik
lainnya yang mungkin efektif meliputi macrolides, beta-laktam dan
aminoglikosida. Sebuah penelitian terbuka uji coba secara acak di
Thailand dengan melibatkan 69 pasien yang telah dikonfirmasi menderita
leptospirosis menunjukkan bahwa tiga hari penggunaan azitromisin
seefektif penggunaan tujuh hari doksisiklin. Pasien yang mengkonsumsi
azitromisin memiliki efek merugikan yang lebih sedikit (Lim, 2011).

F. Rehabilitasi
1. Mantain jalan napas pasien, memonitor status oksigenasi, dan
membantu dengan ventilasi mekanis
2. Menilai tanda-tanda vital, dan memonitor aritmia
3. Auskultasi napas dan suara hati, dan laporan jika ada perubahan dari
normal.
4. Pemberian agen cairan intravena dan agen vasopressor, memantau
asupan dan output, serta perfusi perifer dan status kardiovaskular dan
ginjal.
5. Membantu dengan perawatan dialisis, memantau hasil laboratorium
6. Memantau komplikasi, seperti tanda-tanda perdarahan terbuka atau
terselubung dan organ lainnya yang terlibat
7. Sebelum antibiotik diberikan, periksa riwayat alergi pasien, memantau
reaksi negatif terhadap antibiotik (Lippincott William & Wilkins,
2011).

G. Prognosis
Angka kematian akibat leptospirosis bervariasi mulai dari kurang
dari 1% hingga lebih dari 20%. Kematian tergantung pada banyak faktor
termasuk serovar yang dicurigai serovar icterohaemorrhagiae dan
copenhageni memiliki kecenderungan untuk menghasilkan penyakit berat.
Spektrum klinis leptospirosis manusia berkisar dari penyakit ringan tanpa
ikterik hingga penyakit parah yang ditandai dengan kegagalan multipel
organ. Bentuk ringan leptospirosis mungkin jauh lebih umum daripada
bentuk parah dan kebanyakan pasien dengan bentuk ringan cenderung
sembuh dalam 1-2 minggu. Selain serovar dan keparahan spektrum klinis,
jenis manifestasi klinis dan komplikasi juga memiliki penentu tingkat
kematian (Kobayashi, 2005).
Hasil fatal terutama berkaitan dengan gagal ginjal meskipun fitur
lain seperti hiperkalemia, trombositopenia, gagal jantung dengan hipotensi
dan aritmia, dan kegagalan pernafasan dengan hemoptisis masif dikenal
berkontribusi terhadap angka kematian. Manifestasi neurologis (misalnya
gangguan kesadaran, delirium dan kekakuan leher) dan gejala sistem
pencernaan (misalnya perdarahan gastrointestinal, mual berulang dan
muntah, sakit perut, meteorismus dan cegukan) juga terkait dengan tingkat
kematian yang tinggi. Faktor pasien seperti usia tua, status gizi dan adanya
masalah kesehatan seiring sering dikaitkan dengan penyakit klinis lebih
berat dan peningkatan mortalitas (Kobayashi, 2005).
Sebagian besar kematian terjadi antara hari ke-10 dan 15 penyakit,
meskipun kematian dapat terjadi dini yakni pada hari kelima pada kasus
berat fulminan. Jika pasien tidak diobati untuk kasus parah dalam waktu 2-
3 hari setelah onset penyakit, mungkin menjadi lebih parah dan kadang-
kadang berakibat fatal. Tenaga medis profesional, terutama dokter
perawatan primer, yang terutama bertanggung jawab untuk diagnosis dan
pengobatan, perlu tahu tentang gejala dan tanda-tanda awal, dan temuan
awal laboratorium klinis. Awal terapi antimikroba awal yang bersangkutan
dalam waktu 4-5 hari setelah onset penyakit dan terapi suportif yang tepat
dan penggunaan dialisis untuk mengobati gagal ginjal telah mengurangi
angka kematian terkait leptospirosis (Kobayashi, 2005).





















BAB IV
PENUTUP

1. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis paling umum yang disebabkan
oleh spirocheta genus Leptospira famili Leptospiraceae.
2. Spektrum gejala leptospirosis sangat luas dan memiliki tanda-tanda klinis
umum yang menyerupai banyak penyakit febril akut
3. Diagnosis laboratorium leptospirosis meliputi pemeriksaan mikroskopis
lapangan gelap, kultur, dan tes serologi
4. Pencegahan dilakukan dengan melakukan tindakan higienis umum yakni
menghindari kontak dengan air yang berpotensi terkontaminasi,
mengenakan pakaian pelindung dan alas kaki dan kontrol hewan pengerat
5. Antibiotik yang biasa digunakan untuk mengobati leptospirosis adalah
penisilin atau doksisiklin














BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S.A., Sandai, D.A., Musa, S., Hoe, C.H., Riadzis, M., Lau, K.L., et al.
2012. Rapid Diagnosis of Leptospirosis by Multiplex PCR. Malays J Med
Sci. 19 (3) : 9-16.
Kobayashi, Y. 2005. Human leptospirosis : management and prognosis.
Symposium First Department of Internal Medicine, School of Medicine,
Ehime University, Ehime 791-0295, Japan. 51 : 210-4.
LaRocque, R.C., Breiman, R.F., Ari, M.D., Morey, R.E., Janan, F.A., Hayes,
J.M., et al. 2005. Leptospirosis during Dengue Outbreak, Bangladesh.
Emerging Infectious Diseases. 11 (5) : 766-9.
Lau, C.L., Dobson, A.J., Smythe, L.D., Fearnley, E.J., Skelly, C., Clements,
A.C.A., et al. 2012. Leptospirosis in American Samoa 2010: Epidemiology,
Environmental Drivers, and the Management of Emergence. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 86 (2) : 309-19.
Lim, V.K.E. 2011. Leptospirosis: are-emerging infection. Malaysian J Pathol. 33
(1) : 1-5.
Lippincott William & WIlkins. 2011. Lippincott's Guide To Infectious Diseases.
China : Wolters Kluwer Health
Sabin, A.B. 1963. Tropical Health : A Report on a Study of Needs and Resources.
Washington : National Academy of Sciences-National Research Council
Tubiana, S., Milkulskiz, M., Becam, J., Lacassin, F., Lefevre, P., Gourinate, A.,
et al. 1991. Risk Factors and Predictors of Severe Leptospirosis in New
Caledonia. PLOS Neglected Tropical Diseases. 7 : 1-8.








LAMPIRAN
(fotokopi pustaka)

Anda mungkin juga menyukai