Anda di halaman 1dari 9

Journal Reading

Causes and Management of Epistaxis


at a District Hospital




Oleh:
Prieza Noor Amalia
1102009217


Pembimbing:
Dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp.THT-KL
Dr. Elananda Mahendrajaya, SpTHT-KL




Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT
Rumah Sakit Umum Dr. Slamet Garut
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Juli 2014
Penyebab dan Manajemen Epistaksis di Sebuah Rumah Sakit
Kabupaten

Muhammad Ismail Khan , Muhammad Marwat, Rafique Ahmad Khatta.

Departementsof Otorhinolaryngology and Ophthalmology, Mufti Mehmood Memorial
Teaching Hospital, Gomal Medical College, DI Khan and Departement of
Otorhinolarygology, Khalifa Gulnawaz Teaching Hospital, Bannu, Pakistan

Tujuan : Untuk menentukan penyebab, jenis, lateralitas, kebutuhan untuk masuk rumah sakit
dan tingkat keberhasilan modalitas pengobatan epistaksis
Metodologi : Penelitian ini dilakukan di Departemen THT, Rumah Sakit Pendidikan Mufti
Mehmood Memorial, DI Khan, Pakistan dari bulan September 2010 sampai Juni 2012.
Semua pasien epistaksis akut karena sebab apapun diikut sertakan. Mereka yang di antaranya
perdarahan berhenti secara spontan dikeluarkan. Data untuk sembilan variabel berikut
dikumpulkan; jenis kelamin, umur dalam tahun, kelompok usia, penyebab, jenis dan
lateralitas epistaksis, perlu untuk masuk rumah sakit dan menentukan tingkat keberhasilan
modalitas pengobatan.
Hasil : Dari 275 pasien, 199 (64%) adalah laki-laki dan 76 (36%) perempuan. Rata-rata usia
pasien adalah 38.30 23.69 tahun. Trauma adalah yang paling umum (46,9%) menjadi
penyebab hipertensi (26,9%). Epistaksis anterior lebih sering terjadi (61,45%) dibanding
posterior (20,75%). Perak Nitrat Cautry adalah modalitas pengobatan yang paling umum
(57.80%) diikuti dengan tampon hidung anterior (31,3%). Tingkat keberhasilan yaitu 91.80%
untuk Silver Nitrat Cautry.
Kesimpulan : Dengan membawa tingkat keberhasilan yang baik, Perak Nitrat Cautry adalah
pilihan yang lebih disukai untuk pengobatan epistaksis anterior. (Rawal Med J 2013; 38:48-
51).
Kata kunci: Epistaksis, Tampon hidung, Perak nitrat.





PENDAHULUAN

Epistaksis jarang parah dan jarang memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 60 % dari orang-orang di seluruh dunia selama masa hidup mereka ,
dan sekitar 6 % dari mereka dengan mimisan mencari perawatan medis , dengan 1,6 dalam
10.000 membutuhkan perawatan di rumah sakit.
1
Etiologi utama meliputi idiopatik, obat
inhalasi, kerusakan mukosa akibat infiltrasi oleh keganasan atau penyakit granulomatosa dan
trauma hidung.
2
Kondisi ini memiliki distribusi bimodal, dengan puncak kejadian pada usia
lebih muda dari 10 tahun dan lebih tua dari 50 tahun. Ada dua jenis epistaksis, epistaksis
anterior (lebih umum) dan epistaksis posterior (kurang umum dan lebih parah).
3
Sebagian
besar kasus epistaksis dikelola secara konservatif dengan cautry kimia atau tampon hidung.
Bila prosedur ini gagal, ligasi arteri dapat dipertimbangkan.
4
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menentukan penyebab, jenis, lateralitas, indikasi untuk perawatan di rumah sakit dan
tingkat keberhasilan modalitas pengobatan epistaksis.

METODOLOGI

Penelitian deskriptif ini dilakukan di Departemen THT, Rumah Sakit Pendidikan
Mufti Mehmood Memorial, Dera Ismail Khan, Pakistan dari bulan September 2010 sampai
Juni 2012. Semua pasien epistaksis akut karena sebab apapun diikut sertakan. Mereka yang di
antaranya perdarahan berhenti secara spontan dikeluarkan. Sebuah informed consent tertulis
harus diperoleh. Riwayat penyakit otorhinolaryngological menyeluruh dan pemeriksaan
klinis dilakukan secara cermat. Jika pasien berada dalam keadaan syok karena kehilangan
darah yang berlebihan, langkah pertama yang diambil adalah menstabilkan pasien.
Letak pendarahan diidentifikasi sebagai berikut. Setiap pembekuan darah di hidung
disedot keluar. Bola kapas (1-2) direndam dalam campuran lidokain 2% dan epinefrin 1:1000
dimasukkan ke dalam lubang hidung yang berdarah selama 10 menit untuk mencapai anestesi
local serta vasokonstriksi. Setelah mengeluarkan bola kapas, hidung diperiksa kembali dan
jika pembuluh darah asal berhenti berdarah, akan muncul sebagai titik merah pada mukosa
hidung. Jika pembuluh darah itu masih berdarah, mengalir perlahan dapat terlihat. Sedangkan
sampel darah diambil dan dikirim untuk estimasi Haemoglobin, dan pengelompokan darah
serta pencocokan silang di tempat yang ditentukan. Tergantung pada tingkat keparahan,
lateralitas dan jenis epistaksis, satu atau lebih dari tiga modalitas pengobatan konservatif
berikut ini digunakan dengan anestesi lokal, perak nitrat cautry (SNC), tampon hidung
anterior (ANP) atau tampon posterior hidung (PNP). Awalnya, pasien diobati dengan SNC,
jika titik perdarahan terlihat dan unilateral. ANP dilakukan dengan pita kasa diresapi dengan
salep antibiotik, pada pasien di mana titik perdarahan tidak terlihat dan jika cairan banyak.
PNP dilakukan dengan kateter Folley, ketika ANP tidak bekerja dalam mengendalikan
perdarahan. Tampon tersisa selama 24-48 jam. Spongeston (gelfoam) digunakan pada pasien
dengan perdarahan diatesis, untuk menghindari trauma mukosa terkait dengan tampon
hidung.
Keberhasilan pengobatan didefinisikan jika tidak kambuh pendarahan setelah SNC
atau pengambilan tampon dalam waktu satu minggu. Semua pasien yang pendaharan ulang
setelah pengambilan tampon, tampon hidung diulang dan dibiarkan selama 48 jam.

HASIL
Dari 275 pasien, 199 (64%) adalah laki-laki dan76 (36%) perempuan. Rata-rata usia
pasien adalah 38.30 23.69 tahun (kisaran 5-80 tahun) (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik demografi dari populasi penelitian (n =275).

Trauma merupakan penyebab paling umum (46,9%) epistaksis, diikuti oleh hipertensi
(26,9%). Epistaksis anterior lebih umum terjadi (61,45%) dibandingkan tipe posterior
(20,75%). SNC adalah modalitas pengobatan yang paling umum (57.80%) diikuti oleh ANP
(31,3%). Tidak ada kematian yang terjadi dalam penelitian ini (Tabel 2).





Tabel 2. Penyebab, manajemen dan hasil (n =275).




















PEMBAHASAN
Epistaksis adalah manifestasi dari beberapa kelainan sistemik dan local dari tubuh.
5
Rentang usia pasien kami hamper mirip dengan yang dilaporkan dalam literatur lokal dan
asing.
3,6
Berlawanan dengan hasil kami, dalam sebuah studi oleh Awan et al semua pasien
berasal dari kelompok usia anak.
7
Hasil studi kami menunjukkan presentasi bimodal dari
epistaksis antara pasien, yang juga telah dilaporkan dalam literatur.
6,8
Namun studi dari
Thailand tidak mendukung penemuan ini.
9
Insiden epitaksis meningkat di usia muda karena
cedera olahraga dan kecelakaan lalulintas jalan karena gaya hidup mereka yang agresif. Di
sisilain, peningkatan insiden di usia tua mungkin disebabkan oleh patologi pembuluh darah,
hipertensi dan keganasan.
3
Penelitian kami konsisten dengan penelitian lain dalam
menunjukkan keterkaitan laki-laki lebih besar.
1,6,9
Saatini, pasien yang membutuhkan rawat inap (41%), hamper mirip dengan yang
dilaporkan oleh Hussain et al (38.01%). Namun, angka-angka kami lebih tinggi dari yang
dilaporkan oleh Timsit et al (11%).
10
Kebutuhan untuk rawat inap lebih pada pasien dengan
perdarahan berlebihan, pasien berusia di atas 65 tahun, dan kasus-kasus dengan kepala atau
trauma maxilla facial.
Dalam penelitian kami, penyebab tersering epitaksis adalah trauma (46,9%), yang
didukung oleh literature nasional dan internasional.
6,11
Tetapi sebuah studi oleh Hanif et al
telah melaporkan hipertensi menjadi penyebab umum.
12
Menurut beberapa penelitian, lebih
dari 75 % kasus trauma hidung hadir dengan epistaksis.
13
Hipertensi adalah penyebab paling umum kedua (26,9%) dari epistaksis dalam seri
kami. Temuan ini sesuai dengan penelitian lain.
6, 14
Shaheen telah melaporkan bahwa bukan
hipertensi yang menyebabkan epistaksis, melainkan adanya keterkaitan aterosklerosis yang
menghasilkan penurunan respon pembuluh darah terhadap hemostasis dan pasien ini
cenderung mengalami perdarahan berat dan lama.
15
Dalam penelitian kami, epistaksis
anterior lebih umum (61,45%) disbandingkan tipe posterior (20,75%). Temuan ini sejalan
dengan literatur yang ada.
6,9,16
Temuan ini berbeda dari beberapa studi, yang menunjukkan
bahwa epistaksis posterior lebih sering terjadi.
1,17
Mengenai kontrol perdarahan hidung, kami menggunakan 3 modalitas konservatif
secara bertahap : awalnya SNC jika titik perdarahan terlihat, ANP jika perdarahan berlimpah,
dan PNP jika ANP gagal. Pendekatan yang sama untuk mengontrol epistaksis juga diikuti
oleh Rope et al.
18
SNC digunakan dalam 57,8% pasien kami. Tingkat keberhasilan
keseluruhan untuk kauterisasi lebih tinggi (92%) daripada yang dilaporkan oleh Razdan et al
(72.07%).
19
Nemerdan Mottasim di Yordania melaporkan tingkat keberhasilan 74%, artinya
lebih rendah dari kami.
20
Tampon hidung anterior digunakan dalam 31,3% dari pasien kami dengan tingkat
keberhasilan 78%. Gilyoma et al telah menggunakan ANP untuk 38,5% dari pasien dengan
tingkat keberhasilan 92,5% yang lebih tinggi dari hasil kami.
21
Demikian pula Hussain et al
melaporkan tingkat keberhasilan 98,2% untuk ANP. Sebaliknya, Nicholaides et al
melaporkan kesuksesan penggunaan ANP hanya 22,3% kasus.
22
Kami menggunakan pita
kasa yang diresapi dengan salep antibiotik (furacin) pada ANP untuk meminimalkan risiko
toxic shock syndrome, terkaitdengan paraffin direndam dalam kassa.
3
Spongeston (gelfoam)
digunakan untuk balut hidung padapasien (5,45%) dengan perdarahan diatesi, karena
didukung oleh penelitian lain.
6

Dalam seri kami, tidak ada ligasi bedah yang diperlukan. Ligasi arteri diperlukan
dalam kasus-kasus sulit epistaksis ketika tindakan konservatif gagal. Saat ini, pendekatan
endoskopi dan intervensi radiologi telah membuat ligasi arteri yang lebih aman dan lebih
cepat dalam pengelolaan epistaksis.
23
Tidak ada kematian yang tercatat dalam seri ini. Sebuah
angka kematian 1,9 % dilaporkan dalam sebuah penelitian di Nigeria karena epistaksis
berat.
11
Penelitian ini terbatas karena kelompok penelitian kecil. Sebuah penelitian besar, acak
dan pusat studi multi dapat membantu untuk mempelajari efektivitas dari berbagai modalitas
pengobatan konservatif dalam mengelola epistaksis.

KESIMPULAN
Trauma adalah penyebab utama epistaksis. Membawa tingkat keberhasilan yang baik ,
SNC adalah pilihan yang lebih disukai untuk pengobatan epistaksis anterior. Pengalaman
kami menunjukkan bahwa pendekatan konservatif ini dapat dikatakan cukup dalam
pengelolaan kebanyakan kasus epistaksis tanpa perlu ligasi arteri.




















DAFTAR PUSTAKA

1. Pallin DJ, Chng Y, Mckay MP, Emond JA, Pelletier AJ, Camargo CA. Epidemiology of
epistaxis in US emergency departments, 1992 to 2001. Ann Emerg Med 2005;46:77-81.
2. Pfaff JA, Gregory P. Otolaryngology. Rosen's Emergency Medicine: 5
th
ed. St Louis:
Mosby,Inc. 2002;928-938.
3. Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis: summary for patients. Am FamPhyscian
2005;71:305-11.
4. Pradhan. Management of refractory posterior epistaxis by sphenopalatine artery
cauterization. Nepal J ENT Head Neck Surg 2010;1:3-5.
5. Tevmoortash A, Sesterhenn A, Kress R, Sapundhiev N, Werner JA. Efficacy of ice
packs in the management of epistaxis. ClinOtolaryngol Allied Sci 2003; 28:545-7.
6. Hussain G, Iqbal M, Shah SA. Evaluation of aeitiology and efficacy of management
protocol of epistaxis. J Ayub Med Coll Abbottabad 2006;18:62-5.
7. Awan MS, Ali MM, Hussain I, Mian MY. Management of pediatrics epistaxis: a
prospective study of 100 cases. Profess Med J 2001;8:226-65.
8. Santos PM, Lepore MI. Epistaxis. In: Bailey BJ ed. Head & Neck Surgery
Otolaryngology, 3
rd
ed USA: Courier Westford 2001:415-28.
9. Chaiyasate S, Roongrotwattanasiri K, Fooanan S, Sumitsawan Y. Epistaxis in Chiang
Mai University Hospital. J Med Assoc Thai 2005;88:226-65.
10. Timsit CA, Bouchene K, Olfatpour B, Herman P, Tran Ba Huy P. Epidemiology and
clinical findings in 20,563 patients attending the Lariboisiere Hospital ENT Adult
Emergency Clinic. Ann OtolaryngolChirCervicofac 2001;118:215-224.
11. Akinpelu OV, Amusa YB, Eziyi JAE, Nwawolo CC. A retrospective analysis of
aetiology and management of epistaxis in a South-Western Nigerian Teaching Hospital.
West Afr J Med 2009;28:165-8.
12. Hanif M, Rizwan M, Rabbani MZ, Chaudhry MA. Common causes of epistaxis- a two
years experience at Rawalpindi General Hospital. J Surg Pak 2001;6:2-3.
13. Daniel M, Raghavan U. Relation between epistaxis, external nasal deformity and septal
deviation following nasal trauma. Emerg Med J 2005;22:778-9.
14. Ali S, Mumtaz S, Saeed M. Epistaxis: aetiology and management. Ann King Edward
Med Coll 2003;9:272-4.
15. Shaheen OH. Epistaxis. In: Mackay IS, Bull TR, eds. Scott Brown's Otolaryngology.
5
th
edn London: Butterworths, 1987; 272-282.
16. Viducich RA, Blanda MP, Gerson LW. Posterior
epistaxis: clinical features and acute complications Ann Emerg Med 1995;25:592-6.
17. Emanuel JM. Epistaxis. In: Cumming CW, et al. eds. Otolaryngology Head & Neck
Surgery. 3rd ed. St Louis: Mosby, 1998: 852-65.
18. Rope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad Med J
2005;81:309-14.
19. Razdan U, Raizada RM, Chaturvedi VN. Efficacy of conservative treatment modalities
used in epistaxis. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 56:20-3.
20. Nemer AK, Motassim AR. Evaluation of conservative measures of epistaxis. Khartoum
Med J 2008;1:15-7.
21. Gilyoma JM, Chalya PL. Etiological profile and treatment outcome of epistaxis at a
tertiary care hospital in Tanzania: a prospective review of 104 cases. BMC Ear Nose
Throat Disord 2011;11:8.
22. Nicholaides A, Gray R, Pfleiderer A. A new approach to the management of acute
epistaxis. ClinOtolaryngol 1991;16:153-9.
23. Safaya A, Venkatchalam VP, Chaudhary N. Nasal endoscopyevaluation in epistaxis.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2000;5:133-6.

Anda mungkin juga menyukai