Anda di halaman 1dari 41

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..i
DAFTAR ISI........1
BAB I. PENDAHULUAN ........2
BAB II. ISI

BAB III. PENUTUP
III. Kesimpulan ...25
DAFTAR PUSTAKA.26

2

BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan fisik dapat mempengaruhi jiwa, dan sebaliknya gangguan jiwa
dapat mempengaruhi atau menimbulkan gangguan fisik. Keadaan ini dapat
menimbulkan kesulitan diagnosis bahkan tidak jarang menimbulkan doctor
shopping, rujukan ke berbagai disiplin hingga akhirnya baru dipikirkan
pendekatan secara psikiatri.
1
Menurut data di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 1996, rujukan ke bangsal psikiatri terbanyak
berasal dari bangsal penyakit dalam (39,1%), bedah (18,1%), saraf (17,4%), dan
ortopedi (9,4%). Gangguan penyesuaian dengan afek depresi merupakan diagnosis
ketiga terbanyak setelah skizofrenia dan delirium akibat kondisi medik. Data lain
menyebutkan 21-26% pasien rawat jalan di masyarakat memiliki gangguan
psikiatri. Dari data tersebut, terlihat bahwa penyakit-penyakit di bidang penyakit
dalam paling banyak berhubungan dengan gangguan psikiatri. Adapun penyakit
fisik yang sering terjadi bersama depresi antara lain penyakit jantung koroner,
infark miokard, stroke, diabetes melitus, parkinson, HIV, arthritis rheumatoid, dan
kanker.
1
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
2
Nyeri pada penyakit kronis dan depresi berhubungan pada beberapa
tingkatan: neurobiologis, psikologis, dan perilaku. Pada tingkatan neurobiologis,
neurotransmitter seperti serotonin, norepinefrin berperan pada gangguan depresif.
Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif, selain itu
keterkaitan nosiseptor mungkin juga memicu eksaserbasi keadaan afek disforik.
Pada tingkatan psikilogis, terdapat hipotesis bahwa nyeri kronis termasuk dalam
3

bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen
tubuh, termasuk nyeri. Sebuah konsep yang sesuai, penekanan somatosensori yang
didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan
gejala disforik termasuk nyeri. Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan
somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik, dan
merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress
psikologis. Pada tingkatan perilaku, terdapat hipotesis bahwa depresi terjadi
sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai
sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari.
3















4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
Depresi termasuk dalam kelompok salah satu gangguan mood. Emosi
merupakan kompleksitas perasaan yang meliputi psikis, somatik, dan perilaku
yang berhubungan dengan afek dan mood. Mood merupakan subjektivitas
perasaan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh
orang lain, atau dengan kata lain mood merupakan perasaanan atau nada perasaan
hati seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan minat,
rasa bersalah, sulit berkonsentrasi, mengalami hilangnya nafsu makan, berpikir
mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif. (termasuk tidur, aktivitas seksual
dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.

2.1.1 Epidemiologi
Gangguan depresi berat paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur
hidup sekitar 15 persen.
1. Jenis Kelamin
Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur dan negara,
terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada
wanita dibandingkan dengan laki-laki.
2
Pada penelitian lain disebutkan
bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan
laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,
alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial dan
model perilaku keputusasaan yang dipelajari.
2

5

Pada penelitian yang dilakukan NIMH ditemukan bahwa prevalensi yang
tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi
substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat
pada situasi Pre Menstrual Syndrome (PMS). Untuk wanita yang telah
menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan
pekerjaan, merawat anak dan orang tua lanjut usia, kekerasan dalam rumah
tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara
usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama
masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis
menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat
pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun.
2
Mungkin
berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan
zat dalam kelompok usia tersebut. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Akhtar didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada
kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok
usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH
menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok
usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal
ini berbanding terbalik untuk laki-laki.
5
6

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan
depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding
daerah perkotaan.
5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An
Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden
dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi
yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar ditemukan tingkat depresi
terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan
pada responden dengan kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar
(13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya perbedaan
tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki
korelasi positif dengan terjadinya gangguan depresif.
2
5. Ras
Prevalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras lain. Tetapi,
klisisi cenderung kurang mendiagnosis gangguan mood dan terlalu
mendiagnosis skizofrenia pada pasien yang mempunyai latar belakang
rasial yang berbeda dengan dirinya.
2.1.2 Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan
genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak
mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik
kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan
7

mood pada sekurangnya beberapa orang. Generasi pertama, 2 sampai 10
kali lebih sering mengalami depresi berat. Anak biologis dari orang tua
yang terkena gangguan mood beresiko untuk mengalami gangguan mood
walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Sedangkan pada
anak kenbar dizigotik gangguan depresi berat terdapat sebanyak 13-28%,
sedangkan pada anak yang kembar monozigotik 53-69%.
2
2. Faktor Biokimia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin,
serotonin dan dopamin (Gambar 2.1.1) berperan dalam patofisiologi
gangguan mood.
Penelitian ilmiah dasar antara regulasi turun (down regulation) reseptor
adrenergik dan respon antidepresan meyatakan adanya peranan langsung
sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain bahwa aktivasi 2
adrenergik menyebabkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin didalam cairan
serebrospinal yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang
rendah di trombosit.
2
Aktivitas dopamine diperkirakan juga memiliki peranan dalam depresi.
Data menyatakan bahwa aktifitas dopamine mungkin menurun pada
depresi dan meningkat pada mania. Dua teori terakhir tentang dopamine
dan depresi adalah bahwa jalur dopamine mesolimbik mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin
hipoaktif pada depresi.
2
Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif
8

(vasopressin dan opiate endogen), regulasi neuroendokrin dan
neuroanatomis.
2

Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama
oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan
kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).
Penelitian dasar dan klinis tentang hubungan depresi dan hipersekresi
kortisol menyatakan bahwa pelepasan kortisol berawal dari neuron di PVN
(paraventricular nucleus) melepaskan CRH (corticotropin releasing
hormone) yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan
kortisol dari korteks adrenal.
Gangguan tiroid seringkali disertai disertai dengan gangguan afektif. Suatu
temuan pada penelitian menyatakan bahwa sepertiga dari semua pasien
dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul
yaitu TSH (thyroid stimulating hormone) terhadap infus TRH (thyrotopine
releasing hormone).
9


Gambar 2.1.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui
kadang-kadang menimbulkan depresi lambat.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi
dan meningkat di saat mereka gembira.
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamanya asam 5-hidroksi
indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA
rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak.

10

3. Faktor Hormonal
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason.
Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil
abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien
dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam
keluarga.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan puerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore.
Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan
faktor penting dalam menentukan etiologi.
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan
kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,
energetik dan lebih ramah dari rata-rata.
5
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan
dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar,
mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan
bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat
pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka
belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi
masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan
perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan
maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan
11

mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi
masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita
mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada
anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam
suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak
biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan
tinggi terhadap gangguan depresif.
5
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan
dan mereka keluar dari lingkungan sosial. 80% serangan pertama depresi
didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada
serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak
yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan
populasi lainnya.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,
pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,
sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode
gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan
lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif
muncul.
5
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya.
2
Satu teori yang
diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang
menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem
pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan
12

menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stresor eksternal.
2


2.1.3 Gambaran Klinik
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya
energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya
sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada
mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang
normal.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi
dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir
mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur,
aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
5
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain :
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang
mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi
senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini
hari dan membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh
diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.
Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,
13

tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan
dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan
turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan
bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia
merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri
sendiri mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun
dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,
amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.
14

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga
pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah
sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup
lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang
tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan
mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang
sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh
tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan
tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi
untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,
khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari
karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan
peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan
menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa.
6

2.1.4 Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada
DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental
and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa
depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang,
dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang,
dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang
episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik,
episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat
diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria
diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan
kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan
memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik
politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).
15

DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang
berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya
mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena
DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian
dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV
dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya pada situasi tertentu
memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting
lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak
punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran
anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan
teks dan didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang
berhubungan dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive
diorder), gangguan depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik
pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan gejala tidak mencapai
keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat. Pada
gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif memang mencapai
keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat tetapi
hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat.
16

DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat
secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan
depresi, dan juga menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.
a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit
yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk

.
b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari
gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok
pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive
terhadap terapi farmakologi dari pada pasien nonmelankolik.
c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal
Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan
secara resmi adalah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis
yang menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang
spesifik dan dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan
dan tidur berlebihan.

1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di
bawah ini: ringan, sedang dan berat.
Gejala utama ialah:
- afek depresif
- kehilangan minat dan kegembiraan
- berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
Gejala lainnya adalah :
6
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
17

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke
hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu.
Sebagaimana pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan
variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah,
terutama di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan
agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol
daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin
juga terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol
berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang
sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode
depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
6
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas mempunyai
makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah
kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat
dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa
yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih
daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari, bukti objektif
dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau
dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok,
18

penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat
badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,
sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala
itu pasti dijumpai.
6

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ III)
F32.0 Episode depresif ringan
-
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas

-
Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya : (a) sampai
dengan (g)

-
Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya.

-
Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar
2 minggu.

-
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan.


F32.1 Episode depresif sedang
-
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan (F30.0)

-
Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya $) dari gejala lainnya :
(a) sampai dengan (g)

-
Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar
2 minggu.

-
Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga.


F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
- Semua 3 gejala utama depresi harus ada
19

- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) yang
menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian,
penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat
dibenarkan.
- Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset
sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan diagnosis
dalam waktu kurang dari 2 minggu.
- Sangat tidak mungkin penderita akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
- Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat
tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan
subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
- Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
di atas
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia
katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini
20

hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan
gejala psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori
gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya
Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran
yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan
diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya
termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang
berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan, keresahan
dan penderitaan; dan campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau
keletihan menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti yang
kadang-kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana
dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa riwayat
adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan
yang memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
Usia dari onset, keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode
dari depresi, semuanya sangat bervariasi. Umumnya episode pertama
terjadi pada usia lebih tua dibanding dengan gangguan bipolar, dengan usia
onset rata-rata lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara
3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya
lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode,
namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus
tetap digunakan). Episode masing-masing dalam berbagai tingkat
21

keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh
sters; dalam berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi
menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang
mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya
akan mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka
diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.
F33.0 Gangguan depresi berulang, episode kini ringan
- Kriteria untuk gangguan depresi berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
ringan (F32.0) dan
- Sekurang-kurangnya dau episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
- Kriteria untuk gangguan depresi berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
sedang (F32.1) dan
- Sekurang-kurangnya dau episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
- Kriteria untuk gangguan depresi berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
tanpa gejala psikotik (F32.2) dan
- Sekurang-kurangnya dau episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
22

- Kriteria untuk gangguan depresi berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3) dan
- Sekurang-kurangnya dau episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
- Kriteria untuk gangguan depresi berulang (F33.-) harus dipenuhi
dimasa lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi
kriteria untuk episode depresif dengan derajat keparahan apa pun atau
gangguan lain apa pun dalam F30-F39; dan
- Sekurang-kurangnya dau episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.8 Gangguan depresif berulang YTT

2.1.5 Skala penilaian objektif untuk depresi
Beberapa skala penilai objektif yang dapat digunakan dalam praktek
dokter atau untuk dokumentasi keadaan klinik depresi.
The Zung Self-Rating Depression Scale terdiri dari 20 butir skala
pelaporan. Skor normal adalah kurang dari sama dengan 34; skor depresi
adalah lebih dari sama dengan 50. Skala tersebut meliputi indek global
intensitas gejala depresi pasien, termasuk kecenderungan ekspresi dari
depresi.

Tabel 2. The Zung Self-Rating Depression Scale
http://turcopsychotherapy.com/understanding-depression/
23


The Raskin Depression Scale adalah suatu skala nilai klinik yang
mengukur beratnya depresi, yang dilaporkan oleh pasien dan dokter
pengamat, pada 5 poin skala dari tiga dimensi meliputi pelaporan verbal,
penampilan perilaku, dan gejala sekunder. Skala berkisar antara 3 sampai
13; skor normal adalah 3 dan skor depresi adalah lebih dari sama dengan 7.


Tabel 3. The Raskin Depression Scale
http://opapc.com/images/pdfs/RaskinDepressionScale.pdf

24

The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D) adalah suatu skala
depresi yang terdiri dari 24 item, tiap item berkisat antara 0 sampai 4 atau
0 sampai 2 dengan total skor antara 0 sampai 76. Dokter mengevaluasi
jawaban pasien terhadap pertanyaan tentang rasa bersalah, pikiran bunuh
diri, kebiasaan tidur dan gejala lain dari depresi dan penilaian diperoleh
dari wawancara klinik.
2.2 Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan.
Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan
dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi
nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).
Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain without nociception).

2.2.1 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik.
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.
Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik
Nyeri akut Nyeri kronik
25

- Lamanya dalam hitungan
menit
- Sensasi tajam menusuk
- Dibawa oleh serat A-delta
- Ditandai peningkatan BP,
nadi, dan respirasi
- Kausanya spesifik, dapat
diidentifikasi secara biologis
- Respon pasien : Fokus pada
nyeri, menangis dan
mengerang, cemas
- Tingkah laku menggosok
bagian yang nyeri
- Respon terhadap analgesik :
meredakan nyeri secara efektif
- Lamannya sampai hitungan
bulan
- Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat C
- Fungsi fisiologi bersifat normal

- Kausanya mungkin jelas
mungkin tidak
- Tidak ada keluhan nyeri, depresi
dan kelelahan
- Tidak ada aktifitas fisik sebagai
respon terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik :
sering kurang meredakan nyeri


Menurut derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
26

reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
27

dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C). Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor
saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan
serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya
impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui
neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.

4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.

28

2.3 Hubungan Nyeri dan Depresi
Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas
untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama
yang terjadi.
4
Kombinasi dari nyeri kronis dan depresi mungkin mengakibatkan
kemerosotan yang progresif. Tidak bergairah, menurunnya energi, gangguan tidur,
afek yang negatif, dan menurunnya hubungan sosial mungkin secara progresif
akhirnya berubah menjadi keterbatasan yang berat dan depresi.
Richard Sternbach menjelaskan bahwa beratnya keterbatasan akibat nyeri
termasuk dalam; sindrom nyeri kronis yang dikarekteristikkan dengan tanda
vegetatif dari depresi. Perilaku termasuk menurunnya tingkat aktivitas, banyaknya
penggunaan obat, banyaknya tindakan bedah, dan penurunan pada tingkat
pendapatan serta menurunnya keharmonisan keluarga. Konflik mental dan
interpersonal menjadi pemicu timbulnya keluhan nyeri, yang kemudian menjadi
sukar untuk diubah.
Pemahaman kita atas kompleksnya mekanisme depresi bahwa tidak hanya
masalah defisit biokimia pada jalur neurotransmitter sebagai pemicu depresi.
Genetik, biokimia, sosioekonomi, psikologis, lingkungan, dan faktor pengalaman
hidup semuanya memiliki peranan dalam kejadian depresi. Bagaimanapun juga
faktor resiko terbesar adalah stress yang kronis, yang diartikan sebagai kelebihan
kejadian negatif pada 6 bulan sebelum onset depresi.

2.3.1 Sumbu Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA) dan Stres
Stressor dapat didefinisakan sebagai semua jenis stimulus yang
mengganggu mekanisme homeostasis normal. Stressor dapat juga berupa
perubahan yang cepat pada temperatur tubuh atau tekanan darah, sedikitnya intake
makanan dalam waktu yang lama, penyakit, infeksi, dan nyeri. Selanjutnya
terdapat stressor yang sering kita jumpai, rasa takut, khawatir, kehilangan
pekerjaan. Pertahanan tubuh pertama dalam melawan perubahan homeostatik
adalah respon simpatis. Neuroendokrin pada sumbu stress hypothalamo-pituitary-
29

adrenal (HPA) secara tradisional dianggap makin lambat, perlindungan terhadap
stress. Walaupun demikian, seperti penyediaan substrat energi yang digunakan
untuk menyokong respon simpatis, sumbu stress HPA berpengaruh untuk semua
penilaian situasi stress, seperti perilaku dan adaptasi endokrin pada stress.
4

2.3.2 Sumbu HPA pada Stres Kronis dan Depresi
Semua penelitaian pada manusia dan hewan, kelangsungan hidup selama
menerima stress kronis tidak hanya pada peningkatan sekresi hormone
kortikosteroid untuk pemeliharaan pada wajah dari kontrol umpan balik negatif,
tetapi juga bahwa penambahan respon kortikosteroid bisa mempercepat datangnya
stressor jika dibutuhkan. seperti kebutuhan dikte respon adaptif pada semua
tingkatan sumbu HPA. Namun kelanjutan dan lamanya stress mungkin
mengganggu sumbu HPA seperti pada luasnya mekanisme umpan balik negatif
yang terganggu; respon adaptif pada sumbu HPA mungkin menjadi maladaptif.
Selama stress kronis terdapat perubahan fungsi sumbu HPA yang menetap.
Terdapat persamaan yang mencolok antara perubahan tersebut dan itu terlihat
pada klinis depresi.
Dibawah ini terdapa skema yang menampilkan modulasi sumbu HPA pada
respon stress, jalur stimulasi pada sumbu HPA (kuning) ditampilkan dengan
warna hijau, dan jalur penghambat ditampilkan dengan warna merah. Stressor
yang berasal dari berbagai macam sumber mengaktifkan neuron pada sel parvo di
nucleus paraventrikularis yang mengandung salah satu dari CRH, vasopresin
arginin (AVP) atau keduanya. Peptida tersebut kemudian dilepaskan kedalam
system porta hipofisis dan ditransport ke kelenjar hipofisis anterior. CRH bekerja
pada kortikotropin kelenjar hipofisis sebagai sekretagok yang bersinergi dengan
sekretagok vasopressin yang lebih lemah untuk melepaskan hormone ACTH
kedalam sirkulasi sistemik. ACTH bekerja pada reseptor khusus di zona fasikulata
di korteks adrenal untuk sintesis awal dan melepaskan hormone glukokortikoid
kortisol. Glukokortikoid berfungsi terutama pada reseptor glukokortikoid (GR),
menekan umpan balik untuk mempengaruhi hipofisis agar mencegah pelepasan
ACTH lebih lanjut pada nucleus paraventrikularis untuk mencegah CRH lebih
30

lanjut dan pelepasan vasopressin, serta pada korteks adrenal untuk mencegah
pelepasan glukokortikoid lebih lanjut. Penambahan umpan balik mungkin
disediakan melalui reseptor glukokortikoid (GR) dan afinitas tinggi pada kerja
reseptor mineral kortikoid dalam hipokampus untuk memodulasi glutamate,
aktivasi stumulus dari penghambat GABAergik dalam bantalan nukleus dari stria
terminalis (BNST). Sumbu HPA mungkin juga diregulasi dengan penambahan
masukan stimulus serotonergik stemotak (5-HT) dan neuron noradrenergic (NA),
dari amigdala (A), dan dengan sitokin inflamasi interleukin-1 (IL-1), semuanya
mungkin mengubah subjek menjadi umpan balik glukokortikoid negative.
Penambahan dalil masukan penghambat disediakan oleh glandula pinealis dan
substansi P neurokinin (SP).
4
2.3.3 Sumbu HPA dan Nyeri Kronis
Nosiseptor dan interaksi sumbu HPA yang mungkin mendasari
komorbiditas dari nyeri kronis dan depresi di tampilkan dalam skema di bawah
ini. Pusat dari hipotesis akhir adalah konsep dari stress kronis yang ditimbulkan
oleh peran nyeri kronis untuk menghilangkan umpan balik negatif glukokortikoid
pada sumbu HPA, menghasilkan sebuah kontrol positif pada sumbu, dan regulasi
bawah dari reseptor glukokortikoid dalam otak dan perifer. Inflamasi dan cedera
saraf menstimulasi neuron yang nosiresponsif dalam tanduk belakang medulla
31

spinalis, dan menyampaikan informasi nosiseptif asenden pada brain stem untuk
menjadi gerbang dalam thalamus terdahulu untuk tafsiran kognitif dalam korteks
somatosensoris. Neuron monoaminergik pada brainstem normalnya menurun ke
medulaspinalis untuk bekerja sebagai sebuah kerusakan pada transmisi
nosiseptif. Selama nyeri kronis, hilangnya irama monoaminergik berespon
terhadap induksi glukokortikoid, penurunan monoamine mungkin memicu
penurunan impuls penghambat desenden ke medulla spinalis untuk efek
peningkatan sensasi nyeri, hilangnya penghambat glukokortikoid pada irama
sitokin proinflamasi untuk kejadian inflamasi perifer berkontribusi pada sensasi
nyeri. Meskipun stress akut adalah analgetik, mengisaratkan bahwa sirkuit
penghambat antara limbik dan korteks somatosensoris, stress kronis yang dipicu
oleh nyeri kronis mungkin ditujukan untuk regulasi bawah dari aktivitas
glukokortikoid termediasi dari hubungan penghambat ini, mengawali persepsi
nyeri yang telah ditingkatkan. Sama halnya, meskipun nyeri akut meningkatkan
mood melalui jalur simpatis dan jalur glukokortikoid (mengisaratkan eksitasi jalur
resiprokal antara somatosensoris dan korteks limbik), nyeri kronis yang diinduksi
regulasi bawah dari modulasi glukokortikoid pada jalur ini mungkin mengawali
mood terdepresi.
4

32



2.3.4 Nyeri Kronis dan Depresi
Diperkirakan lebih dari 50 % pasien yang menderita nyeri kronis
menunjukkan diagnosa klinis gejala dari depresi. Namun nyeri kronis seperti
depresi bukanlah sebuah penyakit tersendiri. Pada ketentuan medis, hal ini
didefinisikan bahwa rentang waktu sebuah spektrum luas dari patofisiologi dan
etiologi psikoligis. Secara umum hal ini bisa dikategorikan dalam empat kelas
berdasarkan penyebabnya:
1. Tidak terdiagnosa secara medis atau penyakit bedah
2. Gangguan psikiatrik
3. Lesi neurologis (contoh: sklerosis multipel), atau
4. Lesi somatik (kanker, nyeri tulang belakang, nyeri kepala, HIV, dan
arthritis rheumatoid).
Pengobatan nyeri kronis terlihat sebagai tantangan yang sulit, hal ini
membutuhkan sebuah pendekatan multidisipliner termasuk farmakoterapi, terapi
kognitif, psikoterapi, dan bedah saraf.
4
33

2.3.4 CRH dan Vasopressin
Disamping peran sebagai sekretagok sentral utama dari sumbu HPA, CRH
berperan suntuk memicu analgesik dengan aksi perifer maupun sentral. Aksi
analgetik perifer terlihat terhubung pada respon inflamasi lokal, bekerja pada
reseptor CRH pada sel imun menimbulkan pelepasan peptida opioid, dimana
mengubah penghambat aktivitas neuron aferen. Walaupun efek analgetik sentral
dari CRH sedikit dipublikasikan, Larivierre dan Melzack menyatakan bahwa
CRH pada rentang dosis yang sempit dapat bekerja sebagai antinosiseptif dalam
sistem saraf pusat. Aksi analgetik pada CRH terlihat dalam melawan keterlibatan
sumbu HPA yang hiperaktif dalam membentuk nyeri kronis, namun banyak kasus
klinis pada nyeri kronis berhubungan dengan penurunan ekspresi CRH pusat dan
penurunan pelepasannya.
4

2.3.5 Sitokin
Potensi elemen inflamasi untuk memerankan regulasi pada sumbu HPA
independen dan mendasari kejadian imunologis, ini merupakan konsep baru, dan
terus didukung sejalan dilaporkan depresi pada kanker yang mendapat terapi
sitokin termasuk interferon. Kebanyakan bukti ilmiah pada penelitian untuk
interaksi sitokin dan HPA berkenaan dengan sitokinpleitropik proinflamasi, IL-1.
Injeksi sentral dai IL-1 menghasilkan efek perilaku pada mimik berbagai gejala
penyakit depresi, termasuk supresi intake makanan, depresi aktivitas lokomotorik,
penurunan eksplorasi social, merubah persepsi ruang, menurunkan atensi, defisit
memori, hiperalgesia, dan peningkatan gelombang tidur lambat.
4

2.3.6 Monoamin
Peran noradrenalin otak dan serotonin pada depresi telah dibuktikan,
namun bukti yang menyebutkan sebuah hubungan antara monoamine dan sumbu
HPA sering dilupakan. Data mengindikasikan bahwa efek utama dari noradrenalin
adalah sebuah fasilitas, dihubungkan melalui reseptor adrenergik. Noradrenergik
mempersarafi sel parvo pada nucleus paraventrikularis terutama muncul pada
kelompok sel A2 pada brain stem, dan berjalan melalui bundel adrenergik ventral
34

(VNAB) untuk mengenai sel CRH. Stimulasi elektris dari VNAB meningkatkan
sekresi kortisol plasma dan melepaskan CRH kedalam portal darah hipofisis.
ACTH yang dipicu stress dan pelepasan kortikosteron dilemahkan setelah lesi
pada serat noradrenergik di VNAB atau nucleus paraventrikularis dengan 6-
hidroksidopamin. Penurunan noradrenalin juga memblok transmisi impuls dari
subikulum ventral pada hipokampus hingga hipotalamus. Sinapsis neuron
glutamatergik tersebut dengan neuron GABA pada bantalan nukleus stria
terminalis (BNST), spekulasi yang menggembirakan bahwa penurunan irama
noradrenergik selama gangguan depresif mungkin menghasilkna peningkatan
aktivitas pada nukleus paraventrikularis melalui hilangnya penghambat irama
GABA. Penambahan jaringan untuk aktivasi HPA mungkin disediakan oleh
amigdala dimana diterima sebuah densitas input noradrenergik dari lokus soreolus
yang mempersarafi nukleus paraventrikularis. Lesi yang diperbaiki pada amigdala
dicetuskan oleh stress dengan melepas hormone HPA ke berbagai stressor. Peran
dari serotonin (5-HT) pada regulasi sumbu HPA telah dilaporkan terutama juga
stimulasinya. Obat yang menungkatkan pembuangan 5-HT seperti fenfluramine
menghambat ambilan 5-HT, termasuk menghambat pengambilan kembali
serotonin selektif. Nukleus paraventrikularis (PVN) menerima masukan
serotonergik dari nukleus raphe otak tengah melalui bundel otak depan, lebih
lanjut penurunan 5-HT dalam raphe atau PVN dengan neurotoksin 57-
dihidrotriptamin menyebabkan penurunan 5-HT di hipotalamus dan menghambat
stimulasi pelepasan kortikosteron. Tingginya konsentrasi kortikosteron
berhubungan dengan regulasi bawah pada reseptor 5-HT
1A
post sinaptik. Hal ini
menghasilkan perilaku anxiogenik, yang sering terlihat pada gangguan depresif.
4

2.3.7 Substansi P
Aksi cepat substansi P pada sumbu HPA sedikit banyak dihambat, dimana
agonis NK
2
dan NK
3
terlihat di stimulasi. Namun penelitian dari efek substansi P
kronis sangat sedikit dilaporkan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa substansi
P langsung distimulasi korteks adrenal untuk melepas glukokortikoid, secara tidak
langsung menstimulasi medula adrenal untuk melepas katekolamin dan stimulasi
35

substansi P tersebut. Sel kromatin medulla adrenal mungkin berubah melalui
kontrol parakrin pada sel adrenokortikal. Lebih lanjut aktivasi jalur substansi P
sentral terjadi pada respon stress akut dan stimulus nyeri yang berbahaya, dan
pengulangan pemberian antidepresan menyebabkan sebuah regulasi bawah dari
substansi P pada berbagai area otak pada hewan percobaan. Peranan potensial
antidepresan pada antagonis substansi P masih dalam penelitian.
4


Penatalaksanaan

Penggunaan analgesik dan obat lain adalah metode yang paling umum yang
digunakan untuk terapi nyeri kronis. Obat nyeri dapat bermanfaat bagi beberapa
pasien dengan nyeri kronis, tetapi tidak selalu efektf untuk setiap orang. Hal ini
penting untuk diingat, karena respon pengobatan setiap orang akan berbeda.
Bahkan, pada beberapa individu, beberapa obat nyeri sebenarnya memperburuk
gejala mereka dari waktu ke waktu atau menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan atau berbahaya. Jika efek samping ini dianggap penyakit maka akan
menjadi peringkat kelima di antara penyebab utama kematian di Amerika Serikat
Secara khusus, penggunaan yang berlebihan, penyalahgunaan dan penyalahgunaan
opioid (narkotika) kini telah menjadi isu nasional di Amerika Serikat. Kematian
akibat overdosis obat resep opioid telah meningkat tajam. Penyalahgunaan dari
penggunaan resep obat nyeri golongan opioid sekarang menjadi peringkat kedua.
Penggunaan jangka pendek obat-obatan opioid untuk nyeri jarang
mengkhawatirkan, meskipun efek samping yang paling bermasalah saat memulai
pengobatan dan cenderung berkurang dengan penggunaan jangka panjang. Di sisi
lain, dalam beberapa kasus, penggunaan jangka panjang opioid meningkatkan
kemungkinan efek samping seperti gangguan pencernaan termasuk sembelit,
masalah organ, masalah keseimbangan, masalah hormon, disfungsi seksual,
36

memori dan gangguan konsentrasi. Setelah penggunaan jangka panjang,
peningkatan rasa sakit kadang-kadang terjadi karena adanya interaksi antara otak
dan opioid

Oleh karena itu, setiap orang dengan nyeri kronis harus dikelola secara individual
dan penggunaan obat-obatan harus ditentukan dengan menimbang manfaat
dibandingkan dengan biaya, potensi efek samping, dan masalah medis lainnya.

Banyak orang dengan nyeri kronis mampu mengelola secara memadai tanpa obat-
obatan dan dapat berfungsi pada tingkat yang mendekati normal. Lain hal
menemukan bahwa kualitas hidup mereka secara keseluruhan, dalam hal
kenyamanan dan fungsi, dapat ditingkatkan dengan obat-obatan.

Semua obat-obatan, atau suplemen gizi dan herbal harus digunakan dengan hati-
hati dan tepat karena mereka dapat berinteraksi satu sama lain dan dapat
menyebabkan efek samping.
Bahkan obat yang paling ampuh digunakan untuk nyeri tidak selalu sepenuhnya
menghilangkan rasa sakit tetapi dapat mengurangi keparahan nyeri. Dengan
demikian, obat-obatan mungkin tidak memadai perawatan sendiri, tetapi harus
dianggap sebagai bagian dari pendekatan yang komprehensif untuk manajemen
nyeri dan perbaikan fungsional.

Ada empat kelas utama yang digunakan dalam pengobatan nyeri kronis:
1. Non-opioid: aspirin, NSAID, dan acetaminofen.
2. Opioid. Contoh opioid termasuk morfin, codeine, hydrocodone, oxycodone,
metadon, dll Tramadol bukanlah opioid tetapi bekerja terutama pada reseptor yang
sama seperti opioid.
37

3 Analgesik ajuvan: Pengobatan awalnya digunakan untuk mengobati kondisi lain
selain rasa sakit tapi sekarang juga digunakan untuk membantu meringankan
masalah nyeri yang spesifik; yang termasuk disini ialah antidepresan dan
antikonvulsan.
4 lain-lain. Pengobatan yang secara tidak langsung meredakan rasa nyeri. Ini
termasuk obat untuk mengobati insomnia, kecemasan, depresi, dan spasme otot.
untuk pengobatan pada pasien dengan depresi yang dikarenakan nyeri kronik kita
dapat mengunakan anti depresan atau dikombinasi dengan obat anti nyeri seperti
diatas hal ini dikarenakan bahwa rasa sakit kronis dan depresi melibatkan saraf
dan neurotransmiter yang sama berarti bahwa antidepresan dapat digunakan untuk
meningkatkan baik rasa sakit kronis dan depresi. Antidepresan bekerja pada otak
untuk mengurangi persepsi nyeri. oleh karena itu dengan mengobati depresi maka
dapat mengobati nyeri kronik secara tidak langsung. Untuk terapi depresi dengan
nyeri kronik biasa digunakan menurut National Institute of Mental Health adalah
:
7

Cognitive behavioral therapy yang dimana merupakan salah satu cara
terapi depresi pada psikoterapi yaitu dengan cara wawancara yang dapat
mengubah suatu cara pandang yang buruk tentang keadaannya yang dapat
mengurangi keadaan depresinya.
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) yaitu citalopram, fuloxetin,
dan sertalin. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara menghambat
reuptake serotonin pada prasinaptik.
Serotonin and norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) yaitu venlafaxine
dan duloxetine. memiliki kerja yang hampir sama dengan SSRI namun
pada SNRI kita dapatkan adalah anti depresan yang bekerja secara luas
menghambat reuptake dari serotonin dan norepinephrine.

Efek samping yang kita harus waspadai dari obat-obatan diatas :
38

Efek samping yang paling umum mencakup mual, diare, insomnia, mulut kering,
gelisah, sakit kepala, disfungsi seksual, mengantuk, pusing dan berkeringat.
Sebagian besar kondisi ini merupakan efek samping jangka pendek dan dapat
diminimalkan dengan tindakan suportif, mentitrasi dosis atau mengubah jadwal
pengobatan.
7


















BAB III
KESIMPULAN

Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas
untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama
yang terjadi. Nyeri pada penyakit kronis dan depresi berhubungan pada beberapa
tingkatan yaitu neurobiologis, psikologis, dan perilaku.
39

Angka kejadian depresi dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, status
perkawinan, riwayat sosioekonomi dan budaya. Etiologinya berupa faktor genetik,
biokimia, hormonal, faktor kepribadian premorbid, dan faktor lingkungan. Adapun
klasifikasinya di bagi atas episode depresi ringan, depresi sedang, depresi berat
(dengan atau tanpa gejala psikotik), episode depresif lain, depresi yang tidak
tergolongkan, dan depresi berulang. Diagnosa depresi menggunakan konsep
gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-IV dan
konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders.
Nyeri merupakan sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut jenisnya
nyeri dibagi atas nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.
Berdasarkan onsetnya dibagi menjad nyeri akut dan nyeri kronis. Berdasarkan
etiologinya dibagi atas nyeri onkologik dan nyeri non onkologik. Dan menurut
derajatnya dibagi menjadi nyeri ringan, sedang dan berat.
Mekanisme depresi pada nyeri kronis tidak hanya masalah defisit
biokimia pada jalur neurotransmitte. Genetika, biokimia, sosioekonomi,
psikologis, lingkungan, dan faktor pengalaman hidup semuanya memiliki peranan
dalam kejadian depresi. Bagaimanapun juga faktor resiko terbesar adalah stress
yang kronis, yang diartikan sebagai kelebihan kejadian negatif pada 6 bulan
sebelum onset depresi.
Mekanisme nyeri melibatkan sumbu hipotalamo-pituitari adrenal (HPA).
secara ringkas mekanisme nyeri dimulai dari stressor yang mengaktifkan neuron
sel parvo pada nukleus paraventrikularis yang mengandung corticotropine
releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) yang dilepaskan ke
hipofisis anterior, hal ini mengaktifkan CRH untuk melepaskan
adrenocorticotropine hormone (ACTH) ke sirkulasi sitemik, ACTH
mempengaruhi zona fasikulata di korteks adrenal untuk mensintesis
glukokortikoid (kortisol), kortisol menekan umpan balik untuk mencegah
40

pelepasan ACTH yang memicu sintesis kortisol. Selain itu mekanisme nyeri juga
dipengaruhi serotonin, noradrenalin dan sitokin serta neurokinin di glandula
pinealis yang mempengaruhi umpan balik negatif sehingga pelepasan kortisol
meningkat.



















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Idaiani S, Bisara D. Komorbiditas Depresi dengan Penyakit Fisik
Menahun. Jurnal Penyakit Tidak Menular Indonesia Vol 1. Pulitbang
Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan Depkes RI. Jakarta;
2009; hal 19-29
41

2. Kaplan, HI, Sadock BJ, Grebb JA, Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, Jilid I. Binarupa Aksara Publisher. Jakarta;
2010; hal 791-878
3. Von KM, Gregory S. The Relationship Between Pain and Depression. The
British Journal of Psychiatry. Vol 168. The Royal Collage of Psychiatrist.
Seattle, Washington; 1996; p 101-108
4. Munro GB, Munro REB. Chronic Pain, Chronic Stress, and Depression.
Journal of Neuroendocrinology Vol 13. Laboratory of
Neuroendocrinology, Departemant of Biomedical Science. University of
Edinburgh. Copenhagen, Denamark; 2001; p 1009-1023.
5. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi. Dalam : Elvira SD, Hadisukanto G.
Buku ajar psikiatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta; 2010.hal.209 222
6. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan I.
Departemen Kesehatan RI; Jakarta; 2003
7. diunduh dari http://www.nimh.nih.gov/health/publications/depression-and-
chronic-pain/index.shtml. Jakarta, Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai