Anda di halaman 1dari 14

METODE TAKHRIJ DALAM JADITS

oleh :
Muhammad Fathoni, S. Pd.I

A. PENDAHULUAN
Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al Quran, sebelum
diberlakukan terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi
otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase
perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki
kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu
hadits benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan
dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara dan metode istinbath
hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan
dengan obyek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya,
memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan
(semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang
lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara
menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui
metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada
hakekatnya dalil-dalil syara (al-Quran dan hadits) tersebut selaras dan tidak ada
pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT.
Untuk pembahasan kali ini agar tidak melebar, maka penulis hanya akan
memfokuskan pada bagaimana hakikat dari metode tarjih dan bagaimana metode
tarjih itu diberlakukan?

B. PEMBAHASAN
Metode tarjih ini adalah salah satu metode untuk menyelesaikan hadts mukhtalif,
setelah melalui metode kompromi dan nasikh mansukh tidak menemukan jalan
keluarnya, maka metode tarjih ini berlaku.
1) Pengertian Metode Tarjih
Secara bahasa, tarjih berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika
terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya
yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jamu wa al-taufiq. dalil
yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut
marjuh.1[1]
Secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul, yaitu
yang pertama adalah menurut Ulama Hanafiyah, yaitu :2[2]

Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang
bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri

Menurut mereka, dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang
sama, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Kemudian, dalil tambahan
pendukung salah satu dalil yang bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Artinya,
disini dalil pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena
apabila ada dalil lain yang berdiri sendiri, berarti dalil itu dapat dipakai untuk
menetapkan hukum, bukan dalil yang bertentangan tersebut.
Kedua, Jumhur Ulama mendefinisikan:
) (
Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk
diamalkan (diterapkan).

Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan
maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor
pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka
sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus
dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya
dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.3[3]
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi.
Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-
hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang
lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.

1[1] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hal, 195
2[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Beirut: Darul Fikr, 1987), hal,185
3[3] Ali Mushtafa Ya`qub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1999), Cet. I, hal. 31-32.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan hadits yang saling bertentangan.
Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain
adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada
di Neraka. Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:

Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.
(HR. Abu Dawud)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Masud dan Ibn
Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa
Salamah Ibn Yazid al-Jufi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW.
Seraya bertanya : Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang
yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam
keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku
hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat
baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup
dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang
menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasai, dan dinilai sebagai hadits hasan secara
sanad oleh imam Ibnu Katsir.4[4]
Jumhur ulama membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni saja,
karena masalah ini tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qathi (pasti)
dan tidak juga antara zhanni dengan yang qathi. Jumhur Ulama ushul sepakat
bahwasanya apabila sudah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajih atau
yang dikuatkan wajib diamalkan. Alasannya karena, kesepakatan dan amalan yang
telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam
berbagai kasus.5[5]
Contohnya, dalam kasus perbuatan yang mawajibkan mandi. Para sahabat
menguatkan hadits dari Aisyah tentang Iltiqa al-khitanain (bertemunya alat vital

4[4] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al Matan inda Ulama al Hadits al
Nabawi, (Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah, 1983), Hal. 115
5[5] Wahbah Az Zuhaili, Op.cit, hal. 196
laki-laki dengan perempuan H.R Muslim dan Tirmidzi)6[6] dari hadits riwayat Abu
Hurairah RA yang mengatakan (air itu berasal dari air).
Maksudnya, apabila keluar air mani, baru wajib mandi. Oleh karena itu, para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan
tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang
rajih itu wajib diamalkan.
Para ulama Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang
bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan
tidak mungkin dilakukan nasakh. Cara pentarjihan dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok besar yaitu:
1. yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadits) yang
saling bertentangan,
2. yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling
bertentangan7[7].
Al-Qasimi dengan mengutip pendapat Imam Syafi`i dalam Risalahnya
mengatakan bahwa dalam hadis-hadis yang dianggap kontradiksi, maka kami tidak
mengambil pendapat salah satunya kecuali ada sebab yang menunjukkan kepada
yang lebih kuat dari hadis yang akan ditinggalkan.8[8]
Ketelitian Imam al-Syafi`i dalam menyeleksi hadis-hadis yang dianggap
kontradikasi antara keduanya, memberikan dua rumusan; 9[9]
a. Jika keadaan salah satu dari dua hadis menyerupai kitabullah (dari segi makna),
maka yang dijadikan hujjah adalah hadis yang menyerupai kitabullah,
b. Jika dalam hadis tidak ada yang menyerupai (dari segi makna) dengan teks
kitabullah, maka kami menetapkan salah satunya dengan cara diantaranya;
i. Keadaan rawi lebih dikenal dari segi sanad dan lebih masyhur
keilmuan, hafalan dan imla`,

6[6] Ibid.
7[7] Ibid, Hal. 197
8[8] Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, (t.tp : Dar
al-Nukhasy, t.th.), hal. 318.
9[9] Ibid.
ii. Keadaan rawi hadis yang kami pilih adalah yang sanad
periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kami meninggalkan yang satu
jalur periwayatan,
iii. Hadis yang kami pilih adalah hadis yang menyerupai makna
kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang lain, dan yang diunggulkan
adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu hadis dan menggunakan qiyas dalam
penjelasannya.

Sementara al-Suyuthi membagi tiga bagian dalam merumuskan hadis-hadis
yang mukhtalaf yaitu;
a) Keduanya dikompromikan (al-jam`u), jika bisa dikompromikan, dan dengan cara
ini tidak akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan
antara keduanya,
b) Jika tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu
mendahulukan yang nasikh,
c) Jika tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih
(mengunggulkan) salah satunya.10[10]

2) Macam-Macam Metode Tarjih
Ada beberapa macam metode tarjih :
a. Tarjih bain al-Nushush ( )
Untuk mengetahui kuatnya salah satu dari nash yang saling bertentangan, ada
beberapa cara yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, yaitu dari sisi sanadnya,
matannya, dari segi hukum yang dikandung dalam nash, dan pentarjihan dengan
menggunakan faktor dalil lain di luar nash. tarjih ini juga terbagi atas 3 cara yakni
:11[11]
i. Dari segi sanad
Pertama, Perawi salah satu dari dua hadits yang bertentangan jumlahnya lebih
banyak dalam tingkatan-tingkatannya dibandingkan hadits yang lain. Maka, hadits

10[10] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Beirut : Dar al-
Kutub, t.th.), Jilid II, hal. 115.
11[11] http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/beberapa-aspek-tarjih-dari-sisi-
sanad.html. diakses tanggal 10 Oktober 2012.
yang dibawakan perawi yang lebih banyak lebih kuat dibandingkan hadits yang
dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya. Contoh :


Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar : Telah menceritakan kepada
kami Syubah, dari Abi Ishaq, dari Ashim bin Dlamrah, dari Ali bin Abi
Thalibradliyallaahu anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu alaihi
wasallam shalat (sunnah) sebelum asar sebanyak dua rakaat. (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud no. 1272).

Syubah dalam sanad hadits ini telah menyelisihi beberapa perawi lain yang
meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabiy), dari Ashim bin Dlamrah, dari Ali
radliyallaahu anhu tentang shalat sunnah sebelum Asar Nabi SAW; dimana mereka
semua menyebutkan empat rakaat [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah
no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara lain :
Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus
bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).
Jika kita mengambil metode tarjih dalam pembahasan ini, kedudukan shalat
sunnah sebelum Asar empat rakaat lebih kuat dibandingkan dua rakaat.
Kedua, Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih
hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain.
Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua. Contoh :
Ketiga, Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mempunyai
kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi ini lebih kuat daripada yang
lainnya. Contoh :

:
Dari Maimunah, ia berkata : Rasulullah SAW menikahiku, dan kami berdua dalam
keadaan halal (setelah selesai ihram) (HR. Abu Dawud no. 1843; shahih).

Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu Abbas ra.:


Bahwasannya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam
keadaan ihram (HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410).

Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunah
ra. dimenangkan atas riwayat Ibnu Abbas ra.ma. Hal ini dikarenakan ia berstatus
sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata :

Ibnu Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan
Maimunah dalam keadaan ihram (HR. Abu Dawud no. 1845; shahih).

Keempat, Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang
mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain
tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua. Contoh
:
:

Dari Abu Raafi, ia berkata : Rasulullah SAW menikahi Maimunah dalam keadaan
halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam
keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya (HR. At-
Tirmidzi no. 841).

Jika hadits ini sah maka riwayat Abu Raafi ini dimenangkan atas riwayat
Ibnu Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu
Raafi merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah SAW dan Maimunah, dan
yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau SAW.12[12]
Kelima, Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri
Rasulullah SAW. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-
perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri. Contoh :13[13]
- :

Dari Aisyah dan Ummu Salamah ra.ma bahwasannya Rasulullah SAW pernah
mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah
bercampur dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa (HR. Al-
Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109).


12[12] Ibid.
13[13] Ibid.

Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : Barangsiapa yang pada waktu subuh
dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu (HR. Malik no. 299,
Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih).

Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab Aisyah dan
Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi SAW dibanding dengan Abu
Hurairah ra.
ii. Dari segi matan
Yang dimaksud matan disini adalah isi atau kandungan dari hadits, Al Quran
atau Ijma, baik yang berupa amr (perintah), larangan, am dan khosh serta yang
lainnya. Larangan lebih didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah
lebih diutamakan daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah :
Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada menarik mashlahah. Jika dalil
satunya memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil
yang memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati.
Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan yang lain mengandung
lafadh majazy (arti kiasan) maka didahulukan dalil yang mengandung lafadh hakiki,
karena lafadh hakiki tidak memerlukan qorinah (indikasi) nash yang lain. Bila ada
dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain mengandung pembolehan,
maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya bisa lebih berhati-hati.
Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan. Ucapan lebih didahulukan atas
aktivitas.
Contohnya adalah tentang buang hajat dengan posisi menghadap atau
membelakangi kiblat (ka`bah), hadis tersebut adalah:

.) (

Diriwayatkan dari Abu Hirairah ra dari Rasulullah SAW bersabda; apabila
seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan
menghadap dan membelakangi arah qiblat. (HR. Muslim).14[14]


14[14] Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut :
Dar al-Fikr, 1988), Cet. I, Jilid 1, hal. 137.

.) (
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata; Aku datang ke rumah saudari
perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW dalam keadaan duduk
untuk buang hajat menghadap kearah Syam dan membelakangi qiblat. (HR.
Muslim).15[15]

Kalau diteliti kedua hadis ini tampak adanya perbedaan antara qaul
(ucapan) Nabi SAW dengan af`alnya (perbuatannya). Dalam hal ini al-Syaukani
mengutip pendapat Ibnu Rusyd; bahwa hukum dalam perbuatan Rasulullah SAW
seperti hukum dalam qaul-qaulnya.16[16]
Dan menurut pendapatnya jika terjadi kontradiksi antara qaul Nabi SAW dan
af`alnya maka diambil beberapa sikap sebagai berikut; pertama, mendahulukan
qaul daripada af`al, kedua, mendahulukan af`al daripada qaul, ketiga,
mendahulukan yang diketahui sejarahnya.17[17]
Imam al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani berpendapat bahwa
perbuatan Nabi SAW menunjukkan pada wajib (ketetapan) dan jika diketahui
faktor sejarah maka yang datang terakhir dinasakh dan jika yang datang terakhir
juga diketahui sejarahnya maka keduanya ditarjih dan tetap diantara keduanya
tidak terjadi kontradiksi, boleh jadi menunjukkan pada nadab atau ibadah diantara
perbedaan qaul dan af`al. 18[18]


iii. Dari segi hukum atau kandungan teks
Dan dari segi hukum atau kandungan teks menurut al-Syaukani adalah
:19[19]
Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain
menyatakan kebolehan saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya itulah yang
harus di dahulukan.

15[15] Ibid, hal. 138.
16[16] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min
Ulum al-Ushul, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), hal. 38
17[17] Ibid, hal. 39.
18[18] Ibid.
19[19] Nasrun Haroen, Opcit, hal, 200
Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain
bersifat meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Menurut Syafiiyah teks yang bersifat meniadakan lebih
didahulukan dari teks yang bersifat menetapkan. Sedangkan menurut jumhur teks
yang sifatnya menetapkan lebih di dahulukan.
Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum
menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks yang lain mengandung
hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana tersebut, maka teks
yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih didahulukan, karena dengan
adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan
sabda Rosulullah SAW:

Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan (HR al-Baihaqi)

Teks yang mengandung hukuman yang lebih ringan didahulukan dari pada
teks yang mengandung hukuman yang berat. Seperti yang tertulis dalam QS al-
Baqarah: 185:
,_`_ < `, `.`_l ,_`_ `, -.`-l l..l :,-l -.l < ls !. >,>
l-l _`>: __
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.

Pentarjihan dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash Al-Amidi
mengemukakan lima belas cara pentarjihan dengan menggunakan metode ini, dan
Imam al-Syaukani meringkasnya menjadi :20[20]
o Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik itu
al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas, maupun logika.
o Mendahulukan salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau
yang diamalkan al-Khulafa al-Rasyidun hal ini dikarenakan penduduk Madinah lebih

20[20] Ibid, hal 201-202
banyak mengetahui persoalan Turunnya al-Quran dan penafsiran ayat-ayat al-
Qurannya.
o Dikuatkan nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak
menyebutkan illatnya.
o Menguatkan dalil yang kandungannya menurut sikap waspada (Ihkstiyat) daripada
dalil lainnya yang tidak demikian.
o Mendahulukan nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya
dari nash yang tidak demikian halnya.

b. Tarjih bain al-Aqyisah ( )
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam
persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya
menjadi :21[21]
o Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qathi
dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qathi lebih kuat dari
pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah
ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di tawil
dan di nasakh. Sedanglan ijma tidak bisa di khususkan, ditawilkan dan dibatasi.
o Dari segi hukum furu (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu yang
kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furunya lebih dahulu dari hukum
asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu yang illat nya diketahui secara
qathi dari hukum furu yang illat nya bersifat zhanni.
o Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam
nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau
tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
o Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung
oleh sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya
harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.

Para ahli ushul berselisih pendapat mengenai pengamalan dalil yang lebih
unggul (tarjih). Dalam hal ini ada dua pendapat:22[22]

21[21] Wahbah al-Zuhaily, Opcit, Hal, 120
o Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah
wajib bila dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak unggul (unggul) karena dalil
yang lemah tidak boleh diamalkan, baik pengunggulan (tarjih) tersebut secara
qathi maupun dzani. Adapun dasar-dasar pendapat mereka :
Para sahabat sepakat untuk mengamalkan dalil yang lebih unggul. Mereka telah
mengunggulkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra tentang wajibnya mandi
jinabah. Kewajiban mandi itu karena keluarnya air (sperma). Alasan ditarjihnya
hadits ini adalah karena isteri-isteri nabi, termasuk Aisyah lebih tahu terhadap
perbuatan beliau daripada orang lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa para sahabat tidak menggunakan
pendapat-pendapatnya dan qiyas-qiyas sebagai dasar beramal, kecuali setelah
menkaji nash-nash.
Apabila dalil yang lebih unggul tidak diamalkan, maka sudah pasti dalil yang
lemah diamalkan. Mengamalkan dalil yang lemah dan meninggalkan dalil yang lebih
unggul adalah hal yang dilarang menurut akal.
Apabila salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan lebih unggul,
maka berdasarkan orang-orang yang berakal sehat, dalil yang lebih unggullah yang
wajib diamalkan. Karena akal akan mendahulukan untuk mengamalkan dalil yang
lebih unggul daripada dalil yang lemah. Adapun dasar hukumnya adalah karena
pemberlakuan hukum-hukum syara itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku di masyarakat.
Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan
dalil yang lebih unggul. Apabila terdapat pertentangan antara beberapa dalil,
maka kita diperbolehkan untuk memilih salah satunya sebagai dasar beramal atau
tidak mengamalkan dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut sama sekali.
Adapun dasar-dasar argumentasi mereka adalah23[23]: Firman Allah SWT:

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang
mempunyai pandangan


22[22] Muhammad Wafa, Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-dalil Syarah, (Bangil: al-
Izzah, 2001), hal. 188
23[23] Ibid.
Ayat ini memerintahkan kita untuk mengambil suatu kejadian sebagai
peringatan secara mutlak tanpa harus ada penjelasan atau penelitian terlebih
dahulu. Berdasarkan ayat ini, maka tidak ada alasan untuk mewajibkan
mengamalkan dalil yang tidak unggul. Karena mengamalkan dalil yang tidak unggul
termasuk mengambil pelajaran atau peringatan.
Sabda Rasulullah SAW

Saya diperintahkan untuk menghukumi lahiriyah, dan Allah yang menghukumi
hal-hal non lahiriyah (bathiniyah)

Tidak diragukan lagi bahwa dalil unggul adalah termasuk hal-hal yang
bersifat lahiriyah. Oleh karena itu ia dapat diamalkan.
C. KESIMPULAN
Metode tarjih adalah salah satu metode untuk mencari salah satu hadits
yang sah untuk dipergunakkan dengan cara mengunggulkan salah satu hadis dari
hadis yang berlawanan maksudnya, dalam metode ini harus disertai dengan
pengetahuan dan alas an-alasan yang jelas. Dan jika metode ini tidak dapat
ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih
dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial
sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu
dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan
cara al-jamu wa al-taufiq. Para ulama Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak
cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir
terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh.

D. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun sebagai tambahan pengetahuan tentang
metode pemilihan hadits yang bertentangan dengan cara tarjih. Saran dan kritik
yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kebaikan kita bersama dan perbaikan
penulisan makalah berikutnya. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan
terima kasih. Selamat berdiskusi..!!


DAFTAR PUSTAKA

Al Adhlabi, Shalahuddin Ibn Ahmad, Manhaj Naqd al Matan inda Ulama al Hadits al
Nabawi, (Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah, 1983)
Al Naisaburi, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Cet. I, Jilid
1, (Beirut : Dar al-Fikr, 1988)
Al Qasimi, Jamal al-Din, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, (t.tp : Dar al-
Nukhasy, t.th.)
Al Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Jilid II, (Beirut : Dar al-
Kutub, t.th.)
Al Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min
Ulum al-Ushul, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.)
Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997)
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/beberapa-aspek-tarjih-dari-sisi-sanad.html.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008)
Wafa, Muhammad, Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-dalil Syarah, (Bangil: al-Izzah,
2001)
Ya`qub, Ali Mushtafa, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1999)
Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Beirut: Darul Fikr, 1987)




http://tonnyfaradizza.blogspot.com/2012/12/metode-tarjih-dalam-hadits.html

Anda mungkin juga menyukai