Anda di halaman 1dari 10

Albert Einstein

Mengapa Sosialisme?
Versi Online: Situs Indo-Marxist—Situs Kaum Marxist Indonesia, Februari 2002
Kontributor: Soeripto
Versi Inggris: Why Socialism?--by Albert Einstein

Apakah pantas bagi seseorang yang bukan merupakan pakar di bidang


persoalan sosial dan ekonomi mengemukakan pandangannya berkaitan
dengan sosialisme? Karena berbagai alasan, saya yakin hal itu pantas saja
dilakukan.

Pertama-tama marilah kita menganalisa pertanyaannya dari


sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah. Terlihat memang
tidak ada perbedaan metodologi yang esensial antara
astronomi dan ekonomi: ilmuwan dari kedua disiplin ilmu itu
mencoba untuk menemukan hukum-hukum umum yang
dapat diterima sebagai sekelompok alasan yang dapat
menjelaskan suatu fenomena dalam rangka untuk
menghubungkan fenomena-fenomena tersebut dengan
sejelas-jelasnya. Tapi pada kenyataannya beberapa
perbedaan metodologi memang ada. Penemuan hukum-
hukum umum dalam bidang ekonomi disulitkan oleh
keadaan dimana pengamatan gejala-gejala ekonomi sering
dipengaruhi oleh banyak faktor yang juga sangat sukar
untuk dievaluasi secara terpisah. Selain itu, pengalaman
yang telah terakumulasi sejak awal masa yang dikenal
dengan periode ‘peradaban dari sejarah umat manusia’
telah banyak dipengaruhi dan dibatasi oleh sebab-sebab
yang tidak bertujuan ekonomi semata. Contohnya, sebagian
negara-negara besar dalam sejarah menunjukkan
eksistensinya dengan menjajah. Para penjajah tersebut
mengokohkan dirinya, baik secara hukum dan ekonomi,
sebagai kelas yang istimewa pada negara yang dijajahnya.
Mereka menetapkan secara sepihak monopoli kepemilikan
tanah dan menunjuk seorang pemuka agama dari golongan
mereka sendiri. Dalam mengatur pendidikan, pemuka
agama telah membuat pembagian kelas dalam masyarakat
menjadi institusi permanen, dan menciptakan sebuah sistem
nilai yang mana masyarakat mulai –secara tidak sadar
dalam banyak hal– diatur tingkah laku sosialnya.

Tetapi apakah dalam sejarah kita benar-benar telah


dapat mengatasi apa yang Thorstein Veblen katakan sebagai
“fase pemangsa” dalam perkembangan manusia. Fakta
ekonomi yang dapat diamati dan juga merupakan bagian
dari fase tersebut, bahkan hukum-hukum yang diperoleh
dari fase itu tidak dapat diterapkan untuk fase-fase lain.
Karena tujuan utama dari sosialisme tepatnya adalah untuk
mengatasi dan jauh melampaui “fase pemangsa” dalam
perkembangan manusia, ilmu ekonomi dalam
perkembangannya kini dapat memberikan sedikit
penerangan bagi masyarakat sosialis di masa mendatang.

Kedua, sosialisme diarahkan untuk mencapai etika-sosial


(social-ethical) sebagai tujuan akhir. Walau bagaimanapun
ilmu pengetahuan tidak dapat membuat tujuan akhir, dan
bahkan, hanya dapat digunakan manusia secara bertahap:
ilmu pengetahuan, utamanya, dapat memberikan cara
bagaimana mencapai tujuan akhir tertentu. Tetapi tujuan
akhir itu sendiri berada dalam pikiran seseorang yang
memiliki etika idealis tinggi dan –jika tujuan akhir ini belum
dikembangkan lebih jauh, akan tetapi penting dan kuat–
diadopsi dan dikembangkan oleh banyak manusia yang,
setengah sadar, menentukan evolusi masyarakat secara
lambat.

Dengan alasan tersebut, kita harus tetap waspada untuk


tidak terlalu berharap lebih pada ilmu pengetahuan dan
metode ilmiah manakala pertanyaan tersebut berkaitan
dengan persoalan manusia: dan kitapun seharusnya tidak
menganggap para pakar sebagai satu-satunya yang berhak
untuk mengemukakan tentang pertanyaan seputar
organisasi sosial dalam masyarakat.
Banyak suara yang menyatakan beberapa saat ini
bahwa masyarakat sedang melalui krisis, dimana
stabilitasnya secara serius telah terganggu. Ini merupakan
karakteristik dari suatu situasi dimana seseorang merasa
tidak peduli atau bahkan menjadi tidak ramah apabila
berada di dalam grup, besar atau kecil, dimana mereka
bergabung. Dalam rangka untuk menggambarkan maksud
saya, maka saya berikan pengalam pribadi saya. Baru-baru
ini saya berdiskusi dengan seorang pria yang sangat pandai
dan ramah, tentang ancaman adanya perang, yang menurut
saya akan sangat membahayakan keberadaan umat
manusia, juga saya tegaskan bahwa hanya sebuah
organisasi supra-nasional yang dapat memberikan
perlindungan dari bahaya tersebut. Kemudian rekan saya itu
menjawab dengan santai dan tenang, bahwa: “mengapa
kamu begitu menentang pemusnahan umat manusia?” Saya
yakin bahwa berabad-abad yang lampau tidak ada
seorangpun yang akan membuat pernyataan semacam ini.
Ini merupakan pernyataan dari seseorang yang telah
berjuang keras namun sia-sia untuk memperoleh
keseimbangan dalam dirinya sendiri dan kurang lebih
menjadi putus asa. Ini mrupakan ekspresi dari kesendirian
yang menyedihkan dan terasing dari masyarakat banyak
yang saat ini sedang menderita. Apa sebabnya? Adakah
jalan keluarnya?

Memang mudah untuk memunculkan pertanyaan


semacam itu, tetapi sulit untuk menjawabnya dengan
jaminan apapun. Saya harus mencoba, biar bagaimanapun,
semampu saya, walaupun saya sadar akan fakta bahwa
perasaan dan kemampuan kita kadangkala bertentang dan
tidak mudah dipahami, hal tersebut tidak dapat diungkapkan
dengan cara yang singkat dan mudah.

Manusia, pada satu keadaan dan waktu yang sama,


adalah seorang mahluk penyendiri dan mahluk sosial.
Sebagai mahluk penyendiri ia berusaha untuk melindungi
keberadaannya dan yang terpenting untuknya adalah
memuaskan keinginan pribadinya, dan untuk
mengembangkan bakatnya. Sebagai mahluk sosial, ia
berusaha untuk memperoleh pengakuan dan dicintai oleh
sesama manusia, untuk membagi kebahagiaan, untuk
membuat nyaman mereka di kala sedih, dan untuk
meningkatkan taraf hidup. Hanya saja eksistensi dari hal-hal
tersebut sangat bergantung, kadang bertentangan,
bergantung pada karakter pribadi manusia tersebut dan
kombinasi khusus tersebut menentukan sampai sejauh
mana seseorang dapat mencapai keseimbangan pribadi dan
dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat.
Sangat dimungkinkan bahwa kedua kekuatan ini, terutama
digabungkan karena memang melekat padanya. Akan tetapi
kepribadian yang pada akhirnya muncul sebagian besar
terbentuk: oleh pengaruh lingkungan dimana manusia
tersebut mengalaminya sendiri selama proses
perkembangannya, oleh struktur masyarakat dimana ia
dibesarkan, oleh budaya dari masyarakat, dan oleh
penghargaan yang diperolehnya atas tingkah laku
tertentunya. Konsepsi abstrak “masyarakat” bagi manusia
perseorangan adalah keseluruhan hubungan langsung
maupun tidak langsung atas masyarakat yang hidup pada
masa yang sama atau pada masa sebelumnya. Individu
tertentu dapat berpikir, merasakan, berjuang dan bekerja
bagi dirinya sendiri, akan tetapi ia sebenarnya bergantung
pula pada masyarakat –baik secara fisik, intelektual, dan
emosional– sehingga sangat mustahil memikirkannya atau
memahaminya di luar kerangka masyarakat. Adalah
masyarakat yang menyediakan manusia dengan makanan,
pakaian, rumah, perkakas, bahasa, pola pikir dan hampir
sebagian isi dari pemikirannya: hidupnya menjadi nyata
setelah bekerja dan berhasil sukses sejak jutaan tahun
lampau dan hingga kini dimana semua hal tersebut
tersembunyi di balik sebuah kata “masyarakat”.

Itu adalah bukti, karenanya, ketergantungan seseorang


terhadap masyarakat adalah fakta alamiah yang tidak dapat
dihilangkan–sama seperti kasus semut dan kumbang. Walau
demikian, ketika seluruh proses kehidupan semut dan
kumbang telah ditetapkan hingga sampai detil terkecil
secara kaku, pola masyarakat dan hubungan satu sama lain
dari umat manusia sangat beragam dan sangat mungkin
berubah. Ingatan, kapasitas untuk membuat kombinasi baru,
suatu anugrah berupa kemampuan komunikasi oral telah
memungkinkan suatu perkembangan umat manusia dimana
hal ini tidak ditentukan oleh kebutuhan biologis. Beberapa
perkembangan ditunjukkan dalam tradisi, institusi dan
organisasi, dalam literatur, keberhasilan penelitian dan
rekayasa, dalam hasil-hasil kesenian. Ini menunjukkan
bagaimana hal tersebut dapat terjadi bahwa, dalam keadaan
tertentu, manusia dapat dipengaruhi hidupnya oleh tingkah
lakunya sendiri, dan dimana dalam proses ini kesadaran
berpikir dan keinginannya dapat pula ikut berperan.

Manusia sejak lahir memiliki, melalui keturunan, suatu


struktur biologis yang mana harus kita pandang sebagai hak
yang melekat dan tidak dapat dicabut, termasuk kebutuhan
alamiah sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
Selain itu, selama hidupnya, ia memiliki suatu struktur
kebudayaan yang ia peroleh dari masyarakat melalui
komunikasi dan melalui pengaruh-pengaruh dalam bentuk-
bentuk lain. Struktur kebudayaan ini, seiring dengan
perjalanan waktu, dapat berubah dan sangat ditentukan oleh
hubungan antara seseorang dengan masyarakatnya.
Antropologi modern, mengajarkan kita, melalui penelitian
perbandingan atas kebudayaan primitif, bahwa tingkah laku
sosial manusia dapat dibedakan, tergantung pada pola-pola
budaya yang berlaku pada umumnya dan bentuk-bentuk
organisasi yang mendominasi di masyarakat. Berdasarkan
hal ini maka mereka berupaya untuk membantu bahwa
banyak manusia yang mendasarkan harapannya: bahwa
karena struktur biologisnya, manusia tidaklah bersalah,
untuk membinasakan sesamanya atau berada di bawah
kekejaman kekuasaan, adalah merupakan keyakinan
pribadinya.

Bila kita bertanya pada diri kita sendiri bagaimana


struktur masyarakat dan tingkah laku budaya manusia
seharusnya diubah untuk membuat kehidupan manusia lebih
memuaskan, kita harus selalu sadar bahwa terdapat kondisi-
kondisi tertentu yang tidak dapat kita ubah. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, sifat alamiah manusia
adalah, untuk kepentingan praktis, tidak dapat dirubah.
Selain itu, teknologi dan perkembangan demografi pada
beberapa abad terakhir telah menciptakan kondisi-kondisi
yang saat ini telah ada. Pada dasarnya perbandingan
kepadatan populasi yang menetap dengan jumlah barang
yang tidak dapat digantikan guna kelangsungan hidupnya,
jumlah pembagian distribusi tenaga kerja dan tingginya
jumlah aparat yang produktif adalah suatu keharusan. Saat –
dimana pada masa lalu tampaknya begitu damai– telah
hilang untuk selamanya ketika individu atau kelompok-
kelompok kecil dapat sepenuhnya mandiri. Ini hanya sedikit
membesar-besarkan bahwa umat manusia membentuk
suatu komunitas kehidupan dari produksi dan konsumsi.

Saat ini saya telah mencapai suatu titik dimana dapat


saya indikasikan secara jelas bagi saya apa yang menjadi
esensi dari krisis saat ini. Hal itu berkaitan dengan hubungan
antara indivisu dengan masyarakat. Individu menjadi lebih
sadar daripada sebelumnya akan ketergantungan kepada
masyarakat. Tetapi ia tidak menyadari bahwa
ketergantungan ini sebagai suatu aset berharga, suatu
ikatan organik, suatu tenaga pelindung, tetapi lebih
cenderung sebagai ancaman terhadap hal-hal alamiahnya,
atau bahkan atas kondisi ekonominya. Lebih jauh, posisinya
dalam masyarakat lebih ditekankan terus-menerus dalam
bentuknya dimana lebih ditentukan oleh sifat egoisnya,
ketimbang ditentukan oleh alur sosialnya, yang mana secara
alamiah memang lebih lemah, yang terus menerus
mengalami pembusukan. Seluruh umat manusia, apapun
posisinya di masyarakat, mengalami penderitaan dalam
proses pembusukan. Tanpa disadari mereka terpenjara
dalam egoismenya sendiri, perasaan takut, kesendirian dan
secara naif takut kehilangan, sederhana dan tidak rumit
menjalani hidup. Menusia dapat menemukan arti dalam
kehidupan, pendek dan berisiko sebagaimana layaknya,
hanya melalui pengabdian dirinya dalam masyarakat.

Anarki ekonomi dari masyarakat kapitalis sebagaimana


yang terjadi saat ini, menurut pendapat saya adalah sumber
utama dari kejahatan. Kita lihat sebelumnya terdapat
komunitas besar dari suatu produsen suatu anggota yang
terus berupaya agar dapat memperoleh buah dari hasil kerja
samanya, tanpa adanya paksaan, tetapi secara keseluruhan
berada dalam jaminan hukum yang berlaku. Dalam kaitan
ini, penting untuk disadari bahwa tujuan produksi
-sebagaimana disebut, seluruh kemampuan produktif yang
dibutuhkan untuk membuat barang-barang kebutuhan
utama sebagaimana pentingnya pula membuat barang-
barang penting lainnya- menurut pendapat saya adalah
kepemilikan pribadi dari para individu.

Untuk memudahkan, dalam diskusi selanjutnya saya


akan menyebut “pekerja” kepada semua yang tidak ikut
memiliki apa yang menjadi tujuan-tujuan produksi walaupun
hal ini tidak cukup berhubungan dengan pengertian dalam
bentuk umum. Pemilik dari tujuan-tujuan produksi berada
dalam posisi untuk membeli tenaga kerja dari para pekerja.
Dengan menggunakan tujuan-tujuan produksi, para pekerja
menciptakan barang-barang baru yang menjadi milik para
kapitalis. Hal utama dari proses ini adalah hubungan antara
apa yang pekerja telah hasilkan dengan apa yang telah ia
peroleh (upah), dua hal ini menjadi ukuran dalam kaitannya
dengan nilai sesungguhnya. Sepanjang kontrak kerja adalah
‘bebas’, apa yang diperoleh pekerja tidak ditentukan oleh
nilai sesungguhnya dari barang-barang yang dihasilkannya,
tetapi oleh kebutuhan minimum dan oleh kebutuhan
kapitalis akan tenaga kerja dalam kaitannya dengan jumlah
pekerja yang bersaing untuk bekerja. Hal ini penting untuk
dipahami bahwa walaupun pada tataran teori pembayaran
para pekerja tidak ditentukan oleh nilai dari hasil
produksinya.

Modal swasta cenderung untuk terus terkonsentrasi


pada beberapa tangan, terutama karena kompetisi di antara
para kapitalis, dan terutama karena perkembangan
teknologi dan pertumbuhan pembagian kerja menumbuhkan
formasi unit-unit yang lebih besar dengan pengeluaran
semakin kecil. Hasil dari perkembangan-perkembangan ini
adalah oligarki dari modal swasta sebagai kekuatan besar
yang tidak dapat diawasi secara efektif walau oleh
mayarakat politik yang terorganisir secara demokratis
sekalipun. Hal ini benar, sebab anggota dari badan-badan
legislatif merupakan pilihan dari partai-partai politik, yang
sebagian dibiayai atau paling tidak dipengaruhi oleh kapitalis
swasta yang mana, untuk kepentingannya, memisahkan
antara pemilih dengan yang dipilih. Konsekuensinya adalah
wakil rakyat tersebut kenyataannya tidak sepenuhnya
melindungi kepentingan kelompok populasi yang tidak
diistimewakan. Lebih jauh, sejalan dengan kondisi saat ini,
kapitalis swasta tidak dapat dihindari mulai mengontrol, baik
langsung maupun tidak, sumber-sumber utama dari
informasi (pers, radio, pendidikan). Hal ini tentunya menjadi
sangat sulit, dan bahkan dalam banyak kasus menjadi
mustahil, bagi seseorang warga negara untuk dapat
memperoleh kesimpulan yang obyektif dan dapat secara
cermat menggunakan hak-hak politiknya.

Situasi yang terjadi dalam dunia ekonomi yang


berbasiskan kepemilikan modal swasta memiliki karakteristik
yang terdiri dari dua prinsip utama: Pertama, tujuan-tujuan
produksi (modal) yang dimiliki oleh swasta dan pemiliknya
menempatkannya sejauh ia memandang hal itu pantas.
Kedua, kontrak kerja itu bebas. Tentu saja, tidak ada sesuatu
yang merupakan masyarakat kapitalis murni dalam hal ini.
Dalam hal tertentu, patut pula diperhatikan bahwa pekerja,
melalui perjuangan politik yang panjang dan pahit, telah
sukses dalam mengamankan apa yang disebut perbaikan
bentuk atas “kontrak kerja bebas” bagi kategori pekerja
tertentu. Tetapi secara keseluruhan, saat ini ekonomi tidak
ada bedanya dengan kapitalis “murni”.

Produksi ditujukan untuk memperoleh keuntungan,


bukan untuk dipakai. Tidak ada suatu ketentuan bahwa
semua yang mampu dan mau bekerja dapat selalu berada di
posisi untuk memperoleh pekerjaan; sebuah ‘pasukan
pengangguran’ selalu saja ada. Pekerja berada dalam
keadaan cemas takut kehilangan pekerjaannya. Karena
pengangguran dan upah buruh yang rendah tidak dapat
menyediakan pangsa pasar yang menguntungkan, produksi
barang-barang konsumsi dibatasi, dan penderitaan besar
adalah konsekuensinya. Perkembangan teknologi seringkali
menyebabkan lebih banyak pengangguran daripada
meringankan beban pekerjaan. Motif untuk keuntungan,
dalam kaitannya dengan kompetisi di antara kapitalis,
bertanggung jawab atas ketidakstabilan dalam akumulasi
dan penggunaan modal yang pada akhirnya meningkatkan
beban depresi yang parah. Kompetisi tanpa batas
menjadikan penyia-nyiaan pekerjaan dan menyebabkan
kepincangan kesadaran sosial individu sebagaimana telah
saya uraikan sebelumnya.

Kepincangan individu ini saya anggap sebagai kejahatan


terburuk dari kapitalisme. Seluruh sistem pendidikan kita
menderita karena setan ini. Suatu sikap kompetisi yang
berlebihan tertanam dalam benak setiap pelajar, yang
diajarkan semata-mata untuk memperoleh kesuksesan
sebagai persiapan untuk masa depannya. Saya yakin hanya
ada satu jalan untuk menghilangkan setan jahat ini, yaitu
dengan menciptakan suatu ekonomi sosialis, disertai dengan
sistem pendidikan yang dapat diorientasikan untuk
mencapai tujuan sosial. Dalam bentuk ekonomi, tujuan-
tujuan produksi dimiliki oleh masyarakat itu sendiri dan
digunakan dengan terencana. Suatu ekonomi terencana,
yang menyesuaikan produksi sesuai kebutuhan masyarakat,
akan membagi pekerjaan untuk diselesaikan oleh semua
yang mampu bekerja dan dapat menjamin tujuan hidup
seluruh manusia, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Pendidikan dari setiap individu, dalam rangka menambah
kemampuan lahiriahnya, akan mencoba untuk
mengembangkan dalam dirinya rasa tanggung jawab atas
sesama umat manusia di tempat yang lebih baik dan sukses
dalam masyarakat kita saat ini.

Walau demikian, ada suatu hal penting untuk diingat


bahwa ekonomi yang terencana belumlah langsung menjadi
sosialisme. Suatu ekonomi terencana dapat disertai dengan
perbudakan individu secara lengkap. Pencapaian sosialisme
membutuhkan solusi yang sangat sulit atas beberapa
problem sosial politik: Bagaimana mungkin, dalam
pandangan kekuatan politik dan ekonomi terpusat yang
sangat berpengaruh, untuk mencegah para birokrat menjadi
terlalu berkuasa dan terlalu percaya diri? Bagaimana hak-
hak individu dapat dilindungi dan dengan demikian
keseimbangan demokratis dengan kekuasaan birokrasi
dapat dijamin?

Kejelasan akan tujuan dan permasalahan sosialisme


adalah sangat signifikan dalam masa peralihan ini. Sejak,
dalam kondisi saat ini, diskusi yang bebas dan tidak
terbendung mengenai masalah-masalah ini telah menjadi
suatu hal yang sangat tabu, saya berpendapat landasan dari
majalah ini akan sangat penting bagi kepentingan publik.

Anda mungkin juga menyukai