Anda di halaman 1dari 8

Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail

Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu pantai Indonesia, naik ke daratan,


masuk ke pedalaman. Gelombang demi gelombang ini datang susun-bersusun dengan
suatu keteraturan, mulai 1998 ketika reformasi meruntuhkan represi 39 tahun gabungan
zaman Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pembangunan, dan membuka lebar pintu
dan jendela Indonesia. Hawa ruangan yang sumpek dalam dua zaman itu berganti dengan
kesegaran baru. Tapi tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang semakin kencang dan
arus menderu-deru.

Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik, berdiri-menjamurnya partai-partai


politik baru, keleluasaan berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP (izin penerbitan pers),
dilepaskannya tahanan politik, diselenggarakannya pemilihan umum bebas dan langsung,
dan seterusnya, dinikmati belum sampai sewindu, tapi sementara itu silih berganti
beruntun-runtun belum terpecahkan krisis yang tak habis-habis. Tagihan rekening
reformasi ternyata mahal sekali.

Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu menumbuh dan menyuburkan
kelompok permissif dan addiktif negeri kita, yang sejak 1998 naik daun. Arus besar yang
menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah gelombang sebuah gerakan syahwat
merdeka. Gerakan tak bersosok organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri, tapi
bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa
mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan
elektronik jadi pengeras suaranya.

Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini?

PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku
seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Sebagian berjelas-
jelas anti kehidupan berkeluarga normal, sebagian lebih besar, tak mau menampakkan
diri.

KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya
SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa
hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggam, serta
mengiklankan berbagai alat kelamin tiruan (kue pancong berkumis dan lemper
berbaterai) dan boneka karet perempuan yang bisa dibawa bobok bekerjasama.

KETIGA, produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa
dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya,
siswa dengan pekerja seks komersial ---- ditayangkan pada jam prime time, kalau
pemainnya terkenal. Remaja berseragam OSIS memang menjadi sasaran segmen pasar
penting tahun-tahun ini. Beberapa guru SMA menyampaikan keluhan pada saya. “Citra
kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru tidak cerdas, kurang pergaulan dan
memalukan.” Mari kita ingat ekstensifnya pengaruh tayangan layar kaca ini. Setiap
tayangan televisi, rata-rata 170.000.000 yang memirsa. Seratus tujuh puluh juta
pemirsanya.

KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu)
situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh
perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya, sama
mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam mau pun Klaten.

Pornografi gratis di internet luarbiasa besar jumlahnya. Seorang sosiolog Amerika Serikat
mengumpamakan serbuan kecabulan itu di negaranya bagaikan “gelombang tsunami
setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua telapak tangan.”

Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan situs porno diblokir pemerintah untuk terutama
melindungi anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan hal yang sama.

KELIMA, penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat ¼ sastra dan ½ sastra. Di
Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis
yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada
kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-
berani. Kok mereka tidak malu, ya?” Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG
SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra
mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa.

KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang
dengan teks dialog diterjemahkan ke bahasa kita itu tampak dari kulit luar biasa-biasa
saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara
siswa dengan Bu Guru. Harganya Rp 2.000. Sebagian komik-komik itu tidak semata
lucah saja, tapi ada pula kadar ideologinya. Ideologinya adalah anjuran perlawanan pada
otoritas orangtua dan guru, yang banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas.
Dalam salah satu komik itu saya baca kecaman yang paling sengit adalah pada Menteri
Pendidikan Jepang. Tentu saja dalam teks terjemahan berubah, yang dikecam jadinya
Menteri Pendidikan Nasional kita.

KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru.


Indonesia kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, diukur dari kwantitas
dan harganya. Angka resmi produksi dan bajakan tidak saya ketahui, tapi literatur
menyebut antara 2 juta – 20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping,
kini turun menjadi Rp 3.000, bahkan lebih murah lagi. Dengan biaya 3 batang rokok
kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan
pelaku kulit putih dalam 6 posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah. Anak SD kita bisa
membelinya tanpa risi tanpa larangan peraturan pemerintah.

Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat ada murid-murid laki-laki yang
kumpul dua sore seminggu di rumah salah seorang dari mereka, lalu menayangkan VCD-
DVD porno. Sesudah selesai mereka onani bersama-sama. Siswa sekolah apa, dan kelas
berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak diceritakan apa ekses selanjutnya.
KEDELAPAN, fabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek
dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk
kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah, remaja
dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa batas umur larangan di bawah 18
tahun. Negeri kita pasar besar minuman keras, jualannya sampai ke desa-desa.

KESEMBILAN, produsen, pengedar dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan


Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat
produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap sebagai pengguna, ratusan
ribu menjadi korbannya.

KESEPULUH, fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin 57.000
orang / tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit seorang pecandu
rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak 15 trilyun (1996), tapi ongkos pengobatan
berbagai penyakit akibatnya 30 trilyun rupiah.

Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat
merdeka ini? Karena sifat addiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, begitu pula
proses pembentukan ketiga addiksi tersebut dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam
masyarakat permissif, interaksi antara seks dengan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab
sekali, sukar dipisahkan. Interaksi ini kemudian dilengkapi dengan tindak kriminalitas
berikutnya, seperti pemerasan, perampokan sampai pembunuhan. Setiap hari berita
semacam ini dapat dibaca di koran-koran.

KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat


permissif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-


sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran
merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi.

KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh unsur pertama di atas,
kasus perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Setiap hari dapat
kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika
papi-mami tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan
apa sebab dia/mereka memperkosa, selalu dijawab ‘karena terangsang sesudah menonton
VCD/DVD biru dan ingin mencobakannya.’ Praktisi aborsi gelap menjadi tempat
pelarian, bila kehamilan terjadi.

Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di
Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu
tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu atau gabungan ketujuh faktor di
atas. Inilah produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial yang diakibatkannya.

Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan pornoaksi
menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversi pro-kontra RUU APP.

Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total kontra
menolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini. Tetapi
bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya.

Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnaka n adalah perlindungan
bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasan pornografi. Dalam hiruk
pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12
tahun terpapar pornografi, situs porno di internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40%
anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah. Sementara
anak-anak di Amerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang, anak-anak kita belum,
karena undang-undangnya belum ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena
kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti menolak
melindungi anak-cucu kita sendiri.

Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi bahu-membahu


menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan sosial.
Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat
raya.

Menguji Rasa Malu Diri Sendiri

Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang dimuat
di sebuah media. Dia berkata, “Kalau cerpen saya itu dianggap pornografis, wah, sedihlah
saya.” Saya waktu itu belum sempat membacanya. Tapi saya kirimkan padanya pendapat
saya mengenai pornografi. Begini.

Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya itu lewat
dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan ayah, ibu,
mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan
ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian
masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan, tak
canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan karya
pornografi.

Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa malu,
dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik, maka karya saya itu
pornografis.

Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilai karya orang lain.
Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila orang lain menilai karya saya.
Setiap pembaca bisa melakukan tes tersebut dengan cara yang serupa.

Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang kini luntur dalam
warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal.
Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang taufan
reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di Indonesia. Majalah ini diam-
diam jadi tempat pelatihan awal onani pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun
kemudian, dikalahkan internet, sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik
langganan situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah pabrik
pengeruk keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk
eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar ini. Bila
mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh
perempuan dan fundamentalis- syahwat-merdeka seperti Penthouse, Hustler, Celebrity
Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya.

Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia, saya
sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5
telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik, isteri dan anak
perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu hari ketika
Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalam masalah ketelanjangan model yang
dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy,
promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani?
Malu atau tidak?

Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirak an-mengingat


akibat yang mungkin terjadi sesudah orang membaca karya pornografis itu. Sesudah
seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya
hubungan kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah
dengan kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka
pembaca akan terangsang.

Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan
memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi
sasaran. Perkosaan banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum
haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja, pembantu pergi ke pasar,
jam 9-10 pagi.

Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa, umumnya
bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang ingin mencoba sendiri.
Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti
lebih jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat
tumpukan guntingan koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek,
puisi, novel atau komik cabul.

Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit kelamin


gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besar Indonesia
berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol dan narkoba yang tak kalah
destruktifnya.
Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis

Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen-puisi-
novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi
selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang
mungkin ditimbulkan oleh tulisannya. Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah
dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka membayangkan,
bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka
beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa
yang disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan
yang bisa terjadi selanjutnya?

Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu, beradik-kakak dengan
destruksi yang dilakukan produsen-pengedar- pembajak- pengecer VCD/DVD porno,
beredar (diperkirakan) sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita,
masyarakat konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya Rp
30.000 sekeping, kini Rp 3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek. Mengisap
rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menonton sekeping
VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama dengan produsen alkohol, narkoba
dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur penting pengukuhan masyarakat
permissif-addiktif serba-boleh- apa-saja- genjot, yang dengan bersemangat melabrak apa
yang mereka anggap tabu selama ini, berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak
bangsa.

Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra Selangkang

Akhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca cerpen karya penulis yang
disebut di atas. Dalam segi teknik penulisan, cerpen itu lancar dibaca. Dalam segi isi
sederhana saja, dan secara klise sering ditulis pengarang Indonesia yang pertama kali
pergi ke luar negeri, yaitu pertemuan seorang laki-laki di negeri asing dengan perempuan
asing negeri itu. Kedua-duanya kesepian. Si laki-laki Indonesia lupa isteri di kampung.
Di akhir cerita mereka berpelukan dan berciuman. Begitu saja.

Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis tidak menyatakan sikap yang jelas
terhadap hubungan kedua orang itu. Akan ke mana hubungan itu berlanjut, juga tak
eksplisit. Apakah akan sampai pada hubungan pernikahan atau perzinaan, kabur adanya.

Perzinaan adalah sebuah pencurian. Yang melakukan zina, mencuri hak orang lain, yaitu
hak penggunaan alat kelamin orang lain itu secara tidak sah. Pezina melakukan intervensi
terhadap ruang privat alat kelamin yang dizinai. Dia tak punya hak untuk itu. Yang
dizinai bersekongkol dengan yang melakukan penetrasi, dia juga tak punya hak
mengizinkannya. Pemerkosa adalah perampok penggunaan alat kelamin orang yang
diperkosa. Penggunaan alat kelamin seseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang
suci adanya.

Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada lembaga pernikahan, dan/atau
melakukan hubungan kelamin semaunya, yang tokoh-tokoh dalam karyanya diberi peran
syahwat merdeka, adalah rombongan pencuri bersuluh sinar rembulan dan matahari.
Mereka maling tersamar. Mereka celakanya, tidak merasa jadi maling, karena (herannya)
ada propagandis sastra menghadiahi mereka glorifikasi, dan penerbit menyediakan
gratifikasi. Propagandis dan penerbit sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi,
berkomplot dengan maling.

Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap) sastra, tapi juga untuk bacaan
turisme, rujukan tempat hiburan malam, dan direktori semacam itu. Buku petunjuk yang
begitu langsung tak langsung menunjukkan cara berzina, lengkap dengan nama dan
alamat tempat berkumpulnya alat-alat kelamin yang dapat dicuri haknya dengan cara
membayar tunai atau dengan kartu kredit gesekan.

Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan berbagai masalah wilayah selangkang
dan sekitarnya. Kalau di Malaysia pengarang-pengarang yang mencabul-cabulkan karya
kebanyakan pria, maka di Indonesia pengarang sastra selangkang mayoritas perempuan.
Beberapa di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hingga ada
kritikus sastra sampai hati menyebutnya “vagina yang haus sperma”. Mestinya ini sudah
menjadi kasus psikiatri yang baik disigi, tentang kemungkinannya jadi epidemi, dan
harus dikasihani.

Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan naik
takhta sebagai penguasa tertinggi kerajaan, Sultanah atau Ratu dengan kenegarawanan
dan reputasi terpuji, maka di abad 21 ini sejumlah perempuan Indonesia mencari dan
memburu tepuk tangan kelompok permissif dan addiktif sebagai penulis sastra
selangkang, yang aromanya jauh dari wangi, menyiarkan bau amis-bacin kelamin
tersendiri, yang bagi mereka parfum sehari-hari.

Dengan Ringan Nama Tuhan Dipermainkan

Di tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di Iowa Writing Program, Universitas
Iowa, di benua itu sedang heboh-hebohnya gelombang gerakan perempuan. Kini, 34-an
tahun kemudian, arus riaknya sampai ke Indonesia. Kaum feminis Amerika waktu itu
sedang gencar-gencarnya mengumumkan pembebasan kaum perempuan, terutama
liberasi kopulasi, kebebasan berkelamin, di koran, majalah, buku dan televisi.

Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan alat kelamin orang lain itu di
layar kaca, yang cengengesan dan mringas-mringis seperti Gloria Steinem dan
semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya. Mereka tidak peduli terhadap
epidemi penyakit kelamin HIV-AIDS yang meruyak menyebar seantero Amerika Serikat
waktu itu, menimpa baik orang laki-laki maupun perempuan, hetero dan homoseksual,
akibat kebebasan yang bablas itu.

Di setasiun kereta api bawah tanah New York, seorang laki-laki korban HIV-AIDS
menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangka manusia berbalut kulit
tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanya kosong, suaranya parau.
Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun 1970-an,
tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam. Sebuah orkestra
simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu karena
kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasan bablas itu. Para pembebas kaum
perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa bangsa karena asyik mendandani
penampilan selebriti diri sendiri. Saya sangat heran. Sungguh memuakkan.

Kalimat bersayap mereka adalah, “This is my body. I’ll do whatever I like with my
body.” “Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengan tubuhku ini.”
Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaan mereka sendiri, padahal
tubuh itu pinjaman kredit mencicil dari Tuhan, cuma satu tingkat di atas sepeda motor
Jepang dan Cina yang diobral di iklan koran-koran.

Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu. Penganjur masyarakat
permissif di mana pun juga, tidak suka Tuhan dilibatkan dalam urusan. Percuma bicara
tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhan dipermainkan dalam karya.
Situasi kita kini merupakan riak-riak gelombang dari jauh itu, dari abad 20 ke awal abad
21 ini, advokatornya dengan semangat dan stamina mirip anak-anak remaja bertopi
beisbol yang selalu meniru membeo apa saja yang berasal dari Amerika Utara itu.

Penutup

Ciri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka ini adalah budaya malu yang
telah kikis nyaris habis dari susunan syaraf pusat dan rohani mereka, dan tak adanya lagi
penghormatan terhadap hak penggunaan kelamin orang lain yang disabet-dicopet-
dikorupsi dengan entengnya. Tanpa memiliki hak penggunaan kelamin orang lain, maka
sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdeka adalah maling dan garong genitalia, berserikat
dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan HIV-
AIDS, prostitusi dan aborsi, bersuluh bulan dan matahari.***

Anda mungkin juga menyukai