Anda di halaman 1dari 23

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada
usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid
ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Pramitasari, 2013).
Demam tifoid ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya
muncul 1- 3 minggu setelah terkena dan mungkin ringan atau berat. Gejala
meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan
,sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose spots), serta
pembesaran limpa dan hati (Inawati, 2009).
B. Gejala Demam Tifoid
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang
tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan. Sedangkan yang terlama
sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodormal yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing
dan tidak bersemangat.
Demam tifoid memiliki gejala klinis yang tidak khas dan bervariasi dari
ringan sampai dengan berat. Keluhan dan gejala pasien pada minggu pertama
menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala,
anoreksia, mual, muntah, diare dan konstipasi. Suhu tubuh meningkat setiap
7


hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam.
Pada pasien demam tifoid dapat ditemukan bibir kering, dan pecah-pecah
(rhagaden), permukaan lidah kotor, berwarna putih dan kekuningan dengan
pinggir yang hiperemis disertai gangguan pada saluran pencernaan berupa
diare dan konstipasi (Saraswati dkk, 2012).
Menurut Kepmenkes No. 1479 tahun 2003, terdapat dua jenis kasus tifoid
yaitu Tifoid perut klinis dan Tifoid perut widal/kultur (+). Tifoid perut klinis
ditandai dengan demam tinggi terus menerus 7 (tujuh) hari atau lebih,
permukaan lidah kotor dan pinggirnya merah (typhoid tounge) dapat disertai
sembelit (obstipasi), diare, kesadaran menurun. Sedangkan Tifus perut
widal/kultur (+) ditandai dengan demam tinggi terus menerus yang pada
pemeriksaan laboratorium darah, air seni, tinja atau sumsum tulang
menunjukkan bakteri Salmonella typhi atau pada serum darah terdapat
kenaikan kadar zat antinya.
Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita baik
diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan
sanitasi lingkungan yang kurang, higiene pribadi serta perilaku masyarakat
yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Saraswati dkk, 2012).
C. Sumber Penularan
Manusia adalah satu-satunya pejamu yang alamiah dan merupakan
reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama
berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan
dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Infeksi
paling banyak pada daerah endemik terjadi pada musim kemarau atau
8


permulaan musim hujan. Dosis infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang
terkontaminasi oleh feses (Nelwan, 2012).
Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita
tifoid dapat menularkan bakteri Salmonella thypi kepada orang lain.
Salmonella thypi tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan dan makanan yang tercemar Salmonella thypi masuk ke tubuh
orang yang sehat melalui mulut (Ngastiyah, 2005).
Infeksi dapat terjadi secara langsung maupun tidak secara langsung
dengan kuman Salmonella thypi. Kontak langsung berarti ada kontak antara
orang sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid. Kontak tidak
langsung dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak, air es yang
dibuat dari air yang terkontaminasi, atau dilayani oleh orang yang membawa
bakteri, baik penderita aktif maupun karier. Debu yang berasal dari tanah yang
mengering, membawa bahan-bahan yang mengandung bakteri penyakit yang
dapat mecemari makanan yang dijual di pinggir jalan. Debu tersebut dapat
mengandung tinja atau urin dari penderita atau karier demam tifoid. Bila
makanan dan minuman tersebut dikonsumsi oleh orang sehat terutama anak-
anak sekolah yang sering jajan sembarangan maka rawan tertular penyakit
9


infeksi demam tifoid. Infeksi demam tifoid juga dapat tertular melalui makanan
dan minuman yang tercemar bakteri yang dibawa oleh lalat (Musnelina, 2004).
Menurut Kepmenkes No. 364 tahun 2006, Beberapa kondisi kehidupan
manusia yang sangat berperan pada penularan diantaranya :
1. Higiene perorangan yang rendah seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa pada anak-anak, penyaji makanan dan pengasuh anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,
sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak. Faktor ini paling
berperan pada penularan demam tifoid.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran
dan sampah tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
4. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
5. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
6. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid
D. Komplikasi Demam Tifoid
Demam tifoid sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir seluruh organ
utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
1. Komplikasi intestinal
Komplikasi intestinal pada demam tifoid meliputi:

10


a. Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis)
dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap
sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan
juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan
kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis
perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal.
Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%,
bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan
tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah
perlu dipertimbangkan.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar
ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
11


karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya
adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada
rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan
nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam
tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah
perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam,
modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas pengobatan.
2. Komplikasi ekstra intestinal
Komplikasi ekstra intestinal pada demam tifoid meliputi:
a. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrino-
genema, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial
thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation product sampai
koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada
kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai,
hal ini dimungkinkan karena menurunnya produksi trombositdi sumsum
tulang selama proses infeksi atau meningkatnya desruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik.
Koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
12


menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi.
b. Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50%
kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi
daripada S. paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh
karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati.
Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh
karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi
dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.
c. Pankreatitis tifosa
Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada
demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro
inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografii dapat
membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
d. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien
dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat
berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia atau syok
13


kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis
yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya
dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
e. Tifoid toksik/ Neuropsikiatrik
Neuropsikiatrik dapat berupa derilium dengan atau tanpa kejang,
semi koma atau koma, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer dan psikosis. Terkadang
gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium,
somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas
normal. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah
terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
f. Tifoid karier
Pengidap tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses
atau urin) mengandung S.typhi setelah satu tahu pasca demam tifoid,
tanpa disertai gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S.typhi masih
dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca
penyembuhan. Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis
14


(asimtomatik) dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam
tifoid akut. Pada beberap penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering
disertai infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan risiko
terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma
pankreas, karsinoma paru dan keganasan dibagian organ atau jaringan
lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan
populasi pasca ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga
faktor infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan
bukan akibat infeksi tifoid akut (Sudoyo, 2006).
E. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang selalu ada di
masyarakat sepanjang waktu dengan angka kejadian kecil demam tifoid. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 16-33 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan kejadian 500-600 ribu per kasus
kematian tiap tahun (Aden, 2010). Demam tifoid merupakan suatu penyakit
yang terdapat diseluruh dunia akan tetapi lebih banyak dijumpai di negara-
negara yang sedang berkembang di daerah tropis. Antara 300-500 kasus baru
infeksi Salmonella typhi dilaporkan terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.
Kebanyakan penderita demam tifoid berumur dibawah 20 tahun (Rohman,
2010).
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dan menjadi
masalah kesehatan yang serius. Insiden demam tifoid di Indonesia
diperkirakan sebanyak 800 penderita per 100.000 penduduk pertahun
dengan angka kematian 2% (Widoyono, 2011). Sedangkan berdasarkan
15


Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, demam tifoid atau paratifoid juga
menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah
sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274 orang
dengan Case Fatality Rate sebesar 0,67 % (Pramitasari, 2013).
Demam tifoid yang terjadi di negara maju bersifat sporadis terutama
sehubungan dengan kegiatan wisata ke negara-negara yang sedang
berkembang. Insiden demam tifoid di USA tidak berbeda antara laki-laki dan
wanita. Karier intestinal kronik lebih banyak dijumpai pada perempuan dengan
perbandingan 3,65 : 1 dengan laki-laki. Kurang lebih 85% karier ini dijumpai
pada wanita diatas 50 tahun. Secara umum insiden tifoid dilaporkan 75%
didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun. Pada anak-anak biasanya diatas 1
tahun dan terbanyak diatas 5 tahun dan manifestasi klinik lebih ringan
(Kepmenkes, 2006).
F. Pencegahan dan Pengendalian Tifoid
Tindakan preventif sebagai sebagai upaya pencegahan penularan dan
peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek,
mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agaen penyakit dan faktor
pejamu (host) serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok
untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
1. Identifikasi dan Eradikasi Salmonella thypi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. Thypi ini
cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi
maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu
16


mendatagi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai
disuatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi
tertentu seperti pengelola sarana makanan minuman baik tingkat usaha
rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran
lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. Thypi akut maupun
karier.
Kegiatan ini dilakukan dirumah sakit, klinik maupun dirumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. Thypi.
3. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi.
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi
tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi
tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya
yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun
golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah yaitu:
a. Daerah non-endemik.
1) Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi.
a) Sanitasi air dan kebersihan lingkungan.
b) Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan
minuman
c) Pencarian dan pengobatan kasustifoid karier.
17


2) Bila ada kejadian epidemi tifoid.
a) Pencarian dan eliminasi sumber penularan
b) Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c) Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah
tersebut.
b. Endemik
1) Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 57
0
C, iodisasi
dan klorinisasi).
2) Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah).
3) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung (Sudoyo, 2006).
Pengendalian adalah sifat yang mengelola, mengatur dan mengawasi,
agar tifoid tidak bermasalah lagi bagi masyarakat. Seluruh tenaga kesehatan
baik dalam bidang kuratif, preventif atau kegiatan yang terkait, sebenarnya
adalah pengendalian tifoid. Beberapa kegiatan dalam aspek pencegahan dan
pengendalian tifoid berdasarkan keputusan mentri kesehatan republik
indonesia nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang pengendalian demam
tifoid, diantaranya:
a. Langkah-langkah strategis pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid.
Masalah rumit yang sering timbul sehubungan dengan penanganan
kasus tifoid yang tidak optimal adalah karier(Carrier), Relaps, dan
Resistensi. Karier tifoid adalah seseorang yang selalu mengandung basil
18


Salmonella sehingga menjadi sumber infeksi (penular) untuk orang lain.
Karier akan terjadi bila penderita tidak diobati atau pengobatan yang
tidak adekuat, atau ada faktor-faktor predisposisi pada penderita sehingga
basil susah dimusnahkan dari tubuh. Seseorang dianggap karier bila hasil
kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit dan
disebut karier kronik bila basil masih ada sampai 1 tahun atau lebih. Bagi
penderita yang tidak diobati dengan adekuat, insidens karier dilaporkan
5-10% dan kurang lebih 3% menjadi karier kronik. Karier intestinal
kronik (Cronic Intestinal Carrier) biasanya mempunyai faktor
predisposisi penyakit kronik dihati seperti Opisthorchiasis dan
kolelitiasis.
b. Perbaikan sanitasi lingkungan.
Salah satu usaha untuk memutuskan rantai penularan tifoid adalah
usaha perbaikan lingkungan. Usaha ini sangat mendasar, komplit,
melibatkan banyak pihak dan sektor, serta merupakan bagian terpenting
dalam upaya pembangunan kesehatan masyarakat. Beberapa hal yang
menjadi masalah dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan air
minum, pengawasan terhadap makanan dan air serta sistem pembuangan
kotoran dan limbah. Beberapa perbaikan sanitasi lingkungan adalah:
1) Penyediaan air bersih untuk seluruh warga. Penyediaan air yang aman,
klorinasi, terlindung dan terawasi. Tidak tercemar oleh air limbah dan
kotoran lain. Untuk air minum masyarakat membiasakan dengan
memasak sampai mendidih, selama 10 menit.
19


2) Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Tidak
terkontaminasi oleh lalat dan serangga.
3) Pengelolaan air limbah, kotoran, sampah harus benar sehingga tidak
mencemari lingkungan.
4) Kontrol dan pegawasan terhadap kebersihan lingkungan, terlaksana
dengan baik dan berkesinambungan.
5) Membudayakan prilaku hidup bersih dan lingkungan bersih yang
berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat.
c. Peningkatan higiene makanan dan minuman.
Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan makanan.
Higiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang
sangat penting dalam pencegahan. Beberapa hal yang merupakan
kegiatan yang sangat perlu dilaksanakan:
1) Perlu diingat Golden rules of WHO dalam promosi kebersihan
makanan: Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi
keamanan.
a) Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak.
b) Hindarkan kontak antara makanan mentah dengan yang sudah
dimasak.
c) Mencuci tangan dengan sabun.
d) Permukaan dapur dibersihkan dengan cermat.
e) Lindungi makanan dari serangga, binatang mengerat dan binatang
lainnya.
f) Gunakan air bersih atau air yang dibersihkan.
20


2) Menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan
dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai
penyajian untuk dimakan.
3) Mendorong pengguna ASI untuk bayi, serta mendidihkan seluruh susu
dan air yang akan dugunakan sebagai makanan bayi.
4) Memasak dan pasteurisasi susu serta produk lainnya, serta superfisi
terhadap sanitasi produksinya.
5) Melaksanakan qualiti controle terhadap semua hasil pertanian yang
dimakan dan diminum.
6) Pengawasan terhasap restoran dan industri makan.
7) Pendidikan kesehatan masyarakat tentang tata cara hidup bersih dan
sehat, terutama kegiatan cuci tangan yang benar.
d. Peningkatan higiene perorangan
Peningkatan higiene perorangan adalah pilar ketigadari program
pencegahan yakni perlindungan diri terhadap penularan tifoid. Kegiatan
ini merupakan ciri berprilaku hidup sehat. Budaya cuci tangan yang
benar adalah kegiatan terpenting. Setiap tangan yang dipergunakan untuk
memegang makanan, maka tangan sudah harus bersih. Kegiatan ini
sangat penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan direstoran, atau
warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak. Setiap
tangan kontak dengan feses, urin atau dubur maka harus dicuci pakai
sabun dan kalau dapat disikat.

21


e. Pencegahan dengan imunisasi.
Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar ketiga yakni
perlindungan diri dari penularan tifoid. Sampai saat ini vaksin tifoid baru
diprioritaskan untuk traveler, tenaga laboratorium mikrobiologis dan
tenaga pemasak/penyaji makanan direstoran restoran. Namun
mengingat perangai tifoid dengan morbiditas cukup tinggi, vaksinasi
terhadap tifoid sudah harus dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-
anak, setelah mereka mengenal jajanan yang tidak terjamin
kebersihannya.
f. Surveilans.
Data-data yang ada pada kegiatan surveilens tifoid dapat
menunjukan adanya orang yang terserang tifoid serta informasi mengenai
tempat dan waktu kejadian tifoid masyarakat. Dengan mengetahui
gambaran permasalahan tifoid di masyarakat tersebut, maka para
pengambilan keputus di bidang kesehatan dapat menetapkan cara
penanganan yang tepat dan dapat menelaah efikasi cara yang telah dan
akan diterapkan. Kecuali itu dapat pula diketahui peningkatan
kecenderungan serangan demam tifoid yang terjadi yang terjadi. Data-
data surveilens juga dapat digunakan sebagai alat pengukur mutu
pelayanan kesehatan.
G. Teori John Gordon
Teori ini dikenal dengan istilah "segitiga epidemiologi" yang digunakan
untuk menganalisis terjadinya penyakit. Segitiga ini terdiri atas bibit penyakit
atau agent, pejamu atau host serta lingkungan atau environment. Konsep ini
22


bermula dari upaya untuk menjelaskan proses timbulnya penyakit menular
dengan unsur-unsur mikrobiologi yang infeksius sebagai agent, namun
selanjutnya dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses timbulnya
penyakit tidak menular dengan memperluas pengertian agent.
1. Bibit penyakit (Agent).
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk
batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C)
selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Jumlah
kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105-109 kuman
yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin
pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid ( Sudoyo, 2006).
2. Pejamu (Host).
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine.
Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit
terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :

23


a. Higiene perorangan
Menurut keputusan mentri kesehatan republik indonesia nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang pengendalian demam tifoid,
peningkatan higiene perorangan adalah pilar ketiga dari program
pencegahan yakni perlindungan diri terhadap penularan tifoid. Kegiatan
ini merupakan ciri berperilaku hidup sehat. Budaya cuci tangan yang
benar adalah kegiatan terpenting. Setiap tangan yang dipergunakan
untuk memegang makanan, maka tangan sudah harus bersih. Kegiatan
ini sangat penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan direstoran,
atau warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak dalam
perilaku mencuci bahan makanan, perilaku mencuci peralatan makanan
dan perilaku penyimpanan makanan. Setiap tangan kontak dengan
feses, urin atau dubur maka harus dicuci pakai sabun dan kalau dapat
disikat. seseorang yang kebersihan perorangan kurang, cenderung untuk
mengalami demam tifoid lebih tinggi karena penyakit ini masuk dalam
kategori falco-oral. Kuman Salmonella thypi masuk dalam tubuh
melalui tangan yang tercemar karena tidak dicuci sebelum makan, atau
ikut masuk dalam tubuh, pada saat selesai buang air besar,namun
tangan tidak dicuci dengan bersih.
Tangan merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling
sering berhubungan dengan mulut dan hidung secara langsung,
sehingga tangan menjadi salah satu penghantar utama masuknya kuman
penyebab penyakit ke dalam tubuh manusia. Salah satu kebiasaan yang
dapat meminimalisir jumlah kuman di tangan kita yaitu cuci tangan.
24


Walaupun cuci tangan merupakan suatu hal yang sederhana yang biasa
kita lakukan tapi sangat besar manfaatnya. Secara individu cuci tangan
dapat meningkatkan hieginitas perorangan yang dapat berpengaruh
terhadap kesehatan (Nasry, 2006).
b. Kebiasaan jajan
Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan
hidup manusia. Makanan yang dikonsumsi beragam jenis dengan
berbagai cara pengolahannya. Makanan-makanan tersebut sangat
mungkin menjadi penyebab terjadinya gangguan dalam tubuh kita
sehingga kita jatuh sakit. Salah satu cara untuk memelihara kesehatan
adalah dengan mengkonsumsi makanan yang aman, yaitu dengan
memastikan bahwa makanan tersebut dalam keadaan bersih dan
terhindar dari wholesomeness (penyakit). Banyak sekali hal yang dapat
menyebabkan suatu makanan menjadi tidak aman, Salah satu di
antaranya dikarenakan terkontaminasi. Makanan dan minuman dapat
menyebabkan makanan tersebut dapat menjadi media bagi suatu bibit
penyakit. Penyakit yang ditimbulkan oleh makanan yang
terkontaminasi disebut penyakit bawaan makanan (food-borned
diseases), salah satu di antaranya demam tifoid (Thaheer, 2005).
Kebiasaan jajan atau makan di luar penyediaan rumah berarti
mengkonsumsi makanan atau minuman yang bukan buatan sendiri.
Dengan demikian, pembeli sebagian besar tidak mengetahui cara
pengolahan bahan baku makanan menjadi bahan yang siap santap yang
dilakukan oleh penjamah makanan. Dengan kata lain, perilaku
25


penjamah makanan ikut berperan dalam menentukan suatu makanan
sehat atau tidak. Perilaku penjamah makanan juga dapat menimbulkan
risiko kesehatan, dalam arti perilaku penjamah makanan yang tidak
sehat akan berdampak pada higienitas makanan yang disajikan.
Sebaliknya, perilaku penjamah makanan yang sehat dapat
menghindarkan makanan dari kontaminasi atau pencemaran dan
keracunan (Adam, 2004).
Berdasarkan penelitian Okky (2013) tentang faktor risiko
kejadian penyakit demam tifoid pada penderita yang dirawat di Rumah
Sakit Umum Daerah Ungaran menunjukkan bahwa, untuk responden
penderita demam tifoid lebih banyak pada kelompok yang memiliki
kebiasaan jajan atau makan di luar penyediaan rumah, yaitu sebesar
66% dan untuk responden yang tidak memiliki kebiasaan jajan/makan
di luar penyediaan rumah sebesar 34 %. Berdasarkan analisis tabulasi
silang menggunakan Chi-square didapatkan nilai p value = 0,001 dan
nilai OR = 7,765 yang berarti kebiasaan jajan atau makan di luar
penyediaan rumah merupakan faktor risiko dari kejadian demam tifoid
pada pasien rawat inap di RSUD Ungaran.
c. Lingkungan (Environment)
Menurut keputusan mentri kesehatan republik indonesia nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang pengendalian demam tifoid, faktor
lingkungan sangat berpengaruh terhadap usaha untuk memutuskan
rantai penularan tifoid. Usaha ini sangat mendasar, komplit, melibatkan
banyak pihak dan sektor, serta merupakan bagian terpenting dalam
26


upaya pembangunan kesehatan masyarakat. Beberapa hal yang menjadi
masalah dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan air minum,
pengawasan terhadap makanan dan air serta sistem pembuangan
kotoran dan limbah. Beberapa perbaikan sanitasi lingkungan adalah:
1) Penyediaan air bersih untuk seluruh warga. Penyediaan air yang
aman, klorinasi, terlindung dan terawasi. Tidak tercemar oleh air
limbah dan kotoran lain. Untuk air minum masyarakat membiasakan
dengan memasak sampai mendidih, kurang lebih 10 menit.
2) Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Tidak
terdapat lalat dan serangga.
3) Pengelolaan air limbah, kotoran, sampah harus benar sehingga tidak
mencemari lingkungan.
4) Kontrol dan pegawasan terhadap kebersihan lingkungan, terlaksana
dengan baik dan berkesinambungan.
5) Membudayakan perilaku hidup bersih dan lingkungan bersih yang
berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat.
Air rumah tangga yang tidak memenuhi kualitas kesehatan
cenderung sebagai sarana penyebaran berbagai penyakit, diantaranya
adalah penyakit demam tifoid. Untuk berbagai keperluan hidup, air
bersih harus memenuhi beberapa syarat baik syarat fisik maupun syarat
bakteriologis (Sastrawijaya, 2009).
Dalam penelitian Okky (2013), hasil analisis bivariat
memperlihatkan ada hubungan yang bermakna secara statistik dengan
kejadian demam tifoid dengan nilai OR 2,253 (p-value=0,045). Dengan
27


arti orang yang memiliki sumber air bersih dari sumur (bukan dari
penyediaan PDAM) mempunyai risiko terkena penyakit demam tifoid
sebesar 2,253 kali dibandingkan dengan orang yang di rumahnya
memiliki penyediaan air bersih dari PDAM. Sebanding dengan hasil
penelitian tersebut, juga menemukan bahwa mengkonsumsi air non
PDAM untuk keperluan sehari-hari akan meningkatkan peluang terkena
demam tifoid (OR=29,18 95% CI: 2,12<OR<400,8) dibandingkan
dengan mengkonsumsi air PDAM.
Jarak sumber air bersih yang terlalu dekat dengan jamban
(sumber pencemar) merupakan salah satu kemungkinan cara
penyebaran bakteri dan kuman penyakit, salah satunya Salmonella
typhi. Hal ini disebabkan oleh karena bakteri dari daerah sumber
kontaminasi menyebar maksimum 2-5 meter, kemudian menyempit
sampai 11 meter. Kontaminasi bersifat searah dengan aliran air tanah
dan tidak sebaliknya. Sehingga apabila jarak sumber air bersih dengan
sumber pencemar terdekat kurang dari 10 meter, maka semakin besar
kemungkinan terjadiya kontaminasi. Kuman S. typhi sering ditemukan
di sumur-sumur penduduk yang telah terkontaminasi oleh feses
manusia yang terinfeksi oleh kuman tifoid (Machfoed, 2004). Menurut
penelitian Rahman (2009) tentang faktorfaktor risiko yang
berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid pada orang dewasa
menjelaskan bahwa, hasil analisis terhadap variabel kepemilikan
jamban keluarga di rumah diketahui bahwa orang yang tidak
mempunyai jamban keluarga yang memenuhi syarat, risiko terkena
28


demam tifoid meningkat 1,1 kali lebih besar dibandingkan dengan
orang yang mempunyai jamban keluarga yang memenuhi syarat, namun
secara statistik tidak bermakna dengan p value sebesar 0,801 (p>0,05).
H. Kerangka Teori









Lingkungan
1. Ketersediaan jamban sehat
2. Ketersediaan tempat sampah
Kejadian Demam
Tifoid di Desa
Candiwulan
Host
1. Perilaku cuci tangan
2. Kebiasaan Jajan
Agent
Salmonella sp.

Anda mungkin juga menyukai